XL #PerempuanHebat for Kartini Day

THE RING(S) : A short movie specially made for Valentine's Day

Minggu, 29 Mei 2011

RABBIT HOLE : Kepedihan Pasutri Kehilangan Putra Kecilnya

Quotes:
Nat: You know, Becca, when your brother died, I found the church very helpful.
Becca: I know. I know you did, but that's you. That's not me, and Danny... Danny isn't Arthur.

Storyline:
Suami istri Becca dan Howie Corbett merupakan pasangan berbahagia yang tiba-tiba dunianya hancur saat putra mereka Danny yang baru berusia 4 tahun tewas dalam kecelakaan mobil. 8 bulan berlalu tapi Becca masih saja berduka dan menentang rencana Danny yang berniat memiliki anak lagi. Karena menghabiskan hari-hari di rumah tak jarang Becca berdebat dengan ibunya Nat dan saudarinya Izzy yang tengah mengandung. Belum lagi kebiasaannya menguntit Jason yang menyebabkan Danny tewas. Keluarga Corbett pun menyadari bahwa terombang-ambing dalam kesedihan bisa saja menghancurkan apa yang telah mereka punyai bersama..

Nice-to-know:
Syutingnya membutuhkan 28 hari dan merupakan refleksi pribadi sang sutradara yang kehilangan saudara kandung laki-lakinya yang berusia 14 tahun pada saat ia sendiri berusia 10 tahun.

Cast:
Memenangi Oscar di usia 36 tahun lewat The Hours (2002), Nicole Kidman berperan sebagai Becca
Karirnya diawali di usia 24 tahun lewat film televisi Double Jeopardy (1992), Aaron Eckhart bermain sebagai Howie
Dianne Wiest sebagai Nat
Miles Teller sebagai Jason
Tammy Blanchard sebagai Izzy
Sandra Oh sebaga Gaby
Giancarlo Esposito sebagai Auggie

Director:
Merupakan film ketiga bagi John Cameron Mitchell yang karir sutradaranya diawali lewat Hedwig and the Angry Inch (2001).

Comment:
Lagi-lagi sebuah melodrama bertemakan kehilangan anak. Bedanya film ini tidak dimaksudkan untuk membuat penonton terhanyut karena lebih menekankan pada sisi satirnya. Terlihat dari interaksi antar anggota keluarga maupun orang-orang di luar lingkaran mereka yang secara tidak langsung dilibatkan juga. David Lindsay-Abaire yang mengerjakan skrip untuk pertunjukan teaternya juga ditunjuk untuk menangani versi layar lebarnya ini.
Tidak ada keraguan sedikitpun saat melihat nama Kidman dan Eckhart menjadi leading castnya. Apalagi posternya yang begitu kaya ekspresi dari keduanya. Becca yang sensitif selalu mengeluh waktunya banyak dihabiskan di rumah sehari-hari sedangkan Howie yang berusaha tegar kerapkali mendapat penolakan dari istrinya. Keduanya menampilkan ikatan yang sangat kuat disini. Anda dapat melihat kebahagiaan yang semula terpancar berubah menjadi kegetiran yang tak jarang memicu pertengkaran di antara mereka.
Sutradara Mitchell juga melakukan pendekatan yang tidak biasa dan menjadi kelebihan tersendiri. Film diawali dengan petunjuk yang sangat sedikit akan apa yang sesungguhnya terjadi pada keluarga Corbett. Namun seiring berjalannya durasi, semua terungkap dengan begitu detil dan anda akan merasa bahwa Becca dan Howie secara pribadi mungkin tidak jauh berbeda dengan tetangga anda sendiri. Perspektif anda digiring untuk bisa memahami konflik-konflik yang terjadi.
Beberapa sisi satir yang coba disampaikan berhasil menohok audiens sekaligus memancing tawa getir. Lihat saja perdebatan Becca dan Nat mengenai Tuhan ataupun kehilangan putra yang kebetulan sama-sama mereka alami walau berbeda sebab. Atau bagaimana Becca berusaha menemukan jawaban atas kegalauannya justru dari sosok Jason. Lain lagi dengan Howie yang berupaya mencari pelampiasan dari figur Gaby. Sangat manusiawi! Namun film ini tidak membiarkan hal-hal klise semacam itu merusak momen yang sudah terbangun dengan sempurna begitu saja.
Rabbit Hole akan menghanyutkan anda di setiap menitnya dengan eksekusi yang brilian dan teramat nyata. Permainan akting kelas Oscar dari Kidman-Eckhart dan juga aktor-aktris pendukung lainnya. Kelemahan mungkin hanya di bagian ending yang tidak mengkonklusikan apa-apa. Jika mau menyerahkan pada penonton untuk berpikir masing-masingpun seharusnya dilengkapi dengan kisi-kisi yang lebih tajam. Meskipun demikian, perasaan hampa akibat kehilangan memang sebaiknya disikapi dengan kerelaan dan kemauan untuk terus maju menyongsong kesempatan lain yang segera datang.

Durasi:
85 menit

U.S. Box Office:
$2,221,809 till Apr 2011

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:

Sabtu, 28 Mei 2011

LIMITLESS : Tablet Mengatasi Keterbatasan Diri

Quotes:
Vernon: You know how they say we can only access 20% of our brain?

Storyline:
Penulis Eddie Morra berada di ujung tanduk hidupnya. Karyanya yang tak kunjung selesai karena keterbatasan ide. Plus kekasihnya Lindy yang menganggapnya tidak memiliki masa depan apapun. Semua mulai berubah saat Eddie bertemu Vernon, ipar mantan istrinya yang menawarkan pil NZT yang dapat memaksimalkan kemampuan otak. Eddie pun mulai kecanduan dan mulai mengumpulkan mimpi-mimpinya secepat mungkin. Namun saat Vernon ditemukan tewas, Eddie pun tahu bahwa ada orang lain selain mereka yang menggunakan pil NZT tersebut dan mungkin mengintai keberadaannya sekarang. Benarkah tidak ada efek samping yang fatal?

Nice-to-know:
Shia LaBeouf awalnya dicasting tapi mengundurkan diri karena mengalami kecelakaan mobil yang mencederakan lengannya. Posisinya digantikan oleh Bradley Cooper.

Cast:
Merupakan satu dari dua proyeknya di tahun 2011 selain The Hangover : Part II, Bradley Cooper bermain sebagai Eddie Morra
Robert De Niro sebagai Carl Van Loon
Abbie Cornish sebagai Lindy
Andrew Howard sebagai Gennady
Anna Friel sebagai Melissa
Johnny Whitworth sebagai Vernon

Director:
Merupakan film keempat bagi Neil Burger yang mengawali karir penyutradaraannya via Interview with the Assassin (2002).

Comment:
Otak merupakan sumber dari segala kegiatan manusia semasa hidupnya. Bahkan setelah meninggal pun dipercaya otak masih dapat bekerja selama beberapa waktu. Premis film ini mengangkat fakta bahwa seseorang hanya dapat menggunakan 20% dari kemampuan otaknya. Lantas bagaimana jika kapasitas tersebut dapat ditingkatkan? Akankah orang tersebut akan memiliki “kelebihan” yang sebelumnya tidak pernah ia punyai?
Diangkat dari novel karya Alan Glynn, Leslie Dixon berhasil mengembangkan skripnya sedemikian rupa ke dalam sebuah tontonan penuh aksi yang mengisyaratkan seberapa jauh anda akan melangkah untuk menjadi “versi” diri anda yang lebih baik lagi. Memang tidak terlalu mengedepankan aspek sains fiksinya mengenai asal muasal pembuatan pil tersebut tetapi lebih pada unsur thriller sederhana mengenai eksplorasi karakter manusia yang sangat beragam.








Penampilan Cooper teramat menarik disini. Karakter Eddie Morra dibawakannya dengan cool dan karismatik. Transformasinya dari seorang penulis gagal menjadi analisa finansial ahli sangat terlihat dimana perubahan menyeluruh terlihat dari gaya berbicara dan bahasa tubuhnya saat berhadapan dengan orang-orang di sekitarnya. Sejak menit awal, dijamin anda akan langsung menyukai tokoh utama ini dan peduli pada perjalanannya yang unik itu.
Di luar karakter Eddie memang terkesan tambahan saja. Namun jangan pernah mengesampingkan nama DeNiro yang menjaga pesonanya sebagai pebisnis wahid Carl Van Loon yang digambarkan ambisius sekaligus perfeksionis. Cornish dan Friel memberikan kontribusi sendiri sebagai dua tokoh utama wanita disini terlepas dari terbatasnya scene yang melibatkan mereka. Terakhir, akting Whitworth di prolog film cukup mencuri perhatian sebagai Vernon yang mengenalkan anda pada NZT tersebut.








Sutradara Burger memang berhasil menjaga intensitas cerita tetap tinggi hingga menit terakhir. Namun freestylenya terkadang menyebabkan sinematografi terasa tidak maksimal sehingga scene-scene yang memacu adrenalin (adegan perkelahian atau kejar-kejaran) menjadi agak shaky dan out of focus. Meski demikian keberanian Burger patut diacungi jempol dalam menyajikan berbagai angle kamera termasuk opening filmnya yang menuntun mood penonton dengan sukses.
Terlepas dari sisi logika yang memicu banyak pertanyaan dan ending yang terlalu bersahabat layaknya film Hollywood, Limitless merupakan thriller memuaskan yang berhasil menghibur tanpa henti dan membuat anda berpikir andai saja hal serupa dapat diwujudkan di dunia nyata. Bisa jadi dunia yang jauh lebih baik akan tercipta. Namun jangan berangan-angan terlalu lama, tetaplah percaya dengan kemampuan otak anda sendiri dan niscaya anda akan dapat memaksimalkannya dengan lebih efektif lewat serangkaian pembelajaran dan pengalaman hidup itu sendiri.

Durasi:
105 menit

U.S. Box Office:
$77,563,588 till May 2011

Overall:
8 out of 10

Movie-meter:

Jumat, 27 Mei 2011

PUPUS : Dilematis Pengharapan Cinta Gadis Lugu

Quotes:
Cindy: Masalahnya aku cewek.. Aku butuh kejelasan..

Storyline:
Beranjak dari daerah ke Jakarta untuk menempuh ilmu, Cindy dikerjai para seniornya pada masa orientasi siswa hingga membawanya berkenalan dengan seniornya Panji yang memiliki tanggal ulang tahun persis dengannya. Cindy pun jatuh cinta pada pandangan pertama meski masih bertanya-tanya apakah Panji memiliki perasaan yang sama. Hari-hari berlalu, Hugo yang juga populer di kampus mulai mendekati Cindy yang semakin bingung dengan sikap Panji yang tidak jelas. Kini pilihan ada di tangan Cindy apakah ia akan bertahan mencintai Panji dengan segala kemisteriusannya itu sebelum harapannya benar-benar pupus.

Nice-to-know:
Diproduksi oleh Maxima Pictures dan gala premierenya diadakan di Plaza Senayan XXI pada tanggal 25 Mei 2011 yang lalu.

Cast:
Donita sebagai Cindy
Marcel Chandrawinata sebagai Panji
Arthur Brotolaras sebagai Hugo
Ichsan Akbar sebagai Eros
Kaditha Ayu
Vicky Monica

Director:
Merupakan film ke-14 bagi Rizal Mantovani yang diawali oleh proyek keroyokan Kuldesak di tahun 1999.

Comment:
Rizal Mantovani merupakan satu dari sedikit sutradara lokal yang sukses bermain nyaris di semua genre mulai dari horror, drama, thriller hingga action. Favorit setiap orang tentunya berbeda-beda dan andalah sebagai penonton yang menilai. Bagaimana dengan drama yang terkesan picisan yang satu ini? Yang trailernya sudah wara-wiri dan sukses mencuri perhatian di bioskop-bioskop tanah air selama beberapa bulan terakhir?
Kisahnya sendiri nyaris merupakan pengulangan drama percintaan pada umumnya. Tarik ulur cinta dan maju mundurnya perasaan menjadi suguhan utama. Hanya saja sudut pandangnya dominan dari sisi perempuan sehingga unsur feminisnya lebih dominan kali ini. Sedikit twist coba dihadirkan di bagian akhir oleh penulis Alim Sudio untuk sedikit mengecoh penonton. Nice try! Meski sejak pertengahan saya sudah mulai dapat menerka endingnya.
Penunjukan Donita sebagai pemeran utama terbilang tepat. Wajah galau dan isak tangis sendunya sudah teruji dalam berbagai FTV dan kembali diperlihatkan sebagai Cindy disini. Sayangnya scene terbaiknya yang dilakukan di dapur tidak menjadi kejutan lagi karena sudah dipampang di trailer begitu saja. Sedangkan Marcel dituntut memberikan karakter lembut sekaligus misterius sebagai Panji. Namun perubahan sikap yang seharusnya lebih “tegas” di akhir cerita menjadi datar saja tanpa disertai alasan yang kuat. Meski demikian chemistry keduanya cukup menarik apalagi keduanya sangat camera-face.
Saya ingin menyorot perihal teknis gambar yang disuguhkan terkesan “terang-benderang” dan menyilaukan mata. Entah disengaja demi menimbulkan efek dramatisasi yang kental tapi nyatanya tidak berpengaruh apapun. Kekurangan yang satu ini tertolong oleh ilustrasi musik yang memang sudah terkenal tetapi diaransemen ulang dan dinyanyikan kembali. Terbukti lantunan suara Ahmad Dhani, Mahadewi maupun Donita sendiri cukup member jiwa pada film.
Pupus bisa saja menjadi sebuah karya yang jauh lebih baik lagi andai dikonsep dengan lebih matang dengan memperhatikan satu dua hal secara lebih detail lagi. Kerunutan dalam bercerita yang mengambil rentang waktu lima tahun dan intensitas klimaks emosi yang kurang konsisten memang sedikit mengganggu. Dan pada akhirnya tidak lebih dari sebuah drama percintaan yang sengaja dikonsep untuk mengharu-biru penonton wanita pada khususnya. Bukankah cinta memang butuh pengorbanan dan cucuran air mata agar benar-benar dapat dirasakan?

Durasi:
85 menit

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:

Kamis, 26 Mei 2011

PIRATE BROTHERS : Persaudaraan Terpisah Pertempuran Seru

Tagline:
Separated by fate.. Destined for a different path!

Storyline:
Sunny yang tengah berduka karena kakak angkatnya tewas di tangan gerombolan bertattoo bergabung di sebuah panti asuhan. Disana ia bertemu Verdy yang lebih muda darinya, persahabatan erat pun terjalin di antara keduanya. Tidak lama kemudian, Verdy diadopsi oleh keluarga kaya dan kelak mewarisi bisnis orangtua angkatnya itu. 20 tahun berlalu, Verdy telah memiliki kekasih bernama Melanie dan hidupnya terjamin. Namun pada suatu kesempatan ia tak sengaja bertemu Sunny yang telah bergabung dengan kelompok bajak laut yang mengincar barang kirimannya. Reuni pun dihabiskan dengan baku hantam seru sekaligus menentukan nasib persahabatan mereka.

Nice-to-know:
Diproduksi oleh Creative Motion Pictures dan gala premierenya dilangsungkan di PPHUI pada tanggal 23 Mei 2011 yang lalu.

Cast:
Robin Shou sebagai Sunny
Verdy Bhawanta sebagai Verdy
Karina Nadila sebagai Melanie
Marcio Fernando Da Silva
Yayuk Aw Unru
Andrew Lincoln Suleiman

Director:
Merupakan film kedua Asun Mawardi setelah Untukmu (2003) yang memasangkan Okan Kornelius dengan Asty Ananta itu.

Comment:
Anda termasuk pecinta film-film aksi tahun 1980-1990an yang dibintangi Barry Prima? Atau mungkin Willy Dozan di televisi dengan Deru Debu? Jika jawabannya iya, sebaiknya tidak melewatkan yang satu ini karena dipastikan kerinduan anda akan terobati. Namun bagi para pecinta film generasi baru, saatnya menambah khasanah perfilman lokal dalam kamus anda. Bukankah diversifikasi itu selalu positif maknanya?
Premis film memang masih setia pada pakem film-film sejenis. Ada masa kecil tokoh utama. Ada pembunuhan yang mengatasnamakan ketidak adilan. Ada misi balas dendam. Ada sekawanan penjahat. Ada penyelamatan sandera. Ada pertarungan melawan kejahatan. Semuanya itu diramu sedemikian rupa oleh penulis asing bernama Matthew Ryan Fischer agar tidak terlalu klise jatuhnya meski fakta tersebut teramat sulit untuk dihindari.
Kinerja sutradara Asun patut diapresiasi tinggi karena berhasil memaksimalkan kerja kamera untuk menghasilkan gambar-gambar jarak dekat maupun jauh yang sedap dipandang. Sinematografinya cukup menjual dengan setting indoor-outdoor yang digunakannya secara bergantian. Coba bandingkan saja scene di atas boat yang menonjolkan warna biru laut dengan scene di dalam warehouse tua yang kontras dengan graffiti disana-sininya.
Robin yang sebetulnya sudah tidak muda lagi tetap mampu menghadirkan koreografi laga yang memikat. Bahu membahu dengan Verdy yang juga tidak kalah tangkasnya terlebih kemampuan capoeira yang dimilikinya. Sesaat kita akan merasa keterikatan emosi di antara keduanya yang terhubung sejak kecil kurang maksimal tetapi rasanya patut dimaklumi Sayangnya Karina tidak mendapat porsi yang frekuentif karena kehadirannya lebih sebagai pemanis belaka di tengah aktor-aktor berwajah dan berpenampilan garang disini.
Sayangnya Pirate Brothers tidak menawarkan keistimewaan dalam bercerita dimana ajakan filmmaker agar penonton dapat bersimpati pada para tokohnya masih tergolong miskin. Beda halnya dengan Merantau yang lebih persuasif itu sehingga terjadi keterkaitan audiens yang cukup nyata. Beruntung suguhan aksi-aksi laga di sepanjang durasi sebagai jualan utamanya bekerja dengan maksimal sehingga misi film yang banyak dibantu insan perfilman Thailand ini setidaknya tercapai dengan sukses.

Durasi:
95 menit

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:

Rabu, 25 Mei 2011

BLACK SWAN : Peran Hitam Putih Obsesi Balet Angsa

Quotes:
Nina Sayers: I had the craziest dream last night about a girl who has turned into a swan, but her prince falls for the wrong girl and she kills herself.

Storyline:
Karirnya sebagai ballerina di New York City tidak membuat Nina berhenti mengejar cita-citanya. Kesempurnaan lah yang ia butuhkan untuk mendapatkan peran White Swan dan Blake Swan dalam pentas Swan Lake yang kesohor itu. Gurunya Thomas menantang Nina untuk bisa keluar dari imej gadis baik-baik yang selama ini diperlihatkannya. Belum lagi tuntutan ibu Nina, Erica yang juga mantan ballerina ternama pada jamannya. Nina pun berlatih semakin keras dan mulai mengubah kepribadiannya agar tidak dicemooh ballerina primadona uzur, Beth ataupun rekannya, Lily yang diam-diam mengincar perannya. Namun apakah obsesi penuh tidak membahayakan dirinya sendiri?

Nice-to-know:
Dibutuhkan sekitar 10 tahun lamanya untuk menyelesaikan skrip film ini.

Cast:
Satu dari dua filmnya di tahun 2010 selain ini adalah Hesher, Natalie Portman disini bermain sebagai Nina Sayers, pebalet handal yang disiapkan untuk pentas puncak Swan Lake yang legendaris itu.
Mila Kunis sebagai Lily
Salah satu peran Vincent Cassel yang paling memorable bagi saya adalah sebagai Mesrine. Kali ini ia kebagian tokoh Thomas Leroy yang mengajar balet sekaligus ketua pentas Swan Lake.
Barbara Hershey sebagai Erica Sayers
Winona Ryder sebagai Beth Macintyre

Director:
Nama Darren Aronofsky mulai mendapat pengakuan internasional saat menangani Requiem for a Dream (2000).

Comment:
Film ini tepat menandai boikot yang dilakukan oleh MPAA terhadap bioskop-bioskop Indonesia. Rasanya sayang sekali sebuah film berkaliber Oscar harus dibatalkan rilisnya secara sepihak dan calon penonton yang penasaran mesti menunggu berbulan-bulan untuk peredaran vcd/dvd resminya. Yah setidaknya masih muncul daripada tidak samasekali.
Cerita yang diinspirasi dari drama balet klasik Swan Lake ini skripnya dikembangkan oleh trio Mark Heyman, Andres Heinz dan John J. McLaughlin sedemikian rupa sehingga terciptalah sebuah drama thriller yang penuh misteri mengenai transformasi angsa putih dan angsa hitam yang silih berganti mengisi layar. Tidak lupa berbagai petunjuk yang ambigu mengisi nyaris setiap perpotongan scenenya sehingga arahnya sulit diduga.
Sutradara Aronofsky menghadirkan editing dan visualisasi yang luar biasa. Permainan warna hitam dan putih yang seimbang seakan mengisyaratkan konsep malaikat dan iblis. Belum lagi scoring music yang demikian dominan serasa menghantui audiens dengan seribu pertanyaan berkecamuk di dalam pikirannya. Ia juga tidak pernah bermasalah dengan tempo disini dimana tempo lambat sekalipun tetap mengajak penonton larut dalam fokus cerita.
Dapat dikatakan ini adalah puncak karir akting seorang Natalie Portman yang diganjar Piala Oscar Aktris Terbaik. Perannya sebagai Nina sangat brilian. Keluguan seorang gadis yang penurut dan sulit keluar dari pakem dirinya sendiri berbalik menjadi kedewasaan seorang wanita yang pembangkang dan berusaha bebas dari segala aturan yang membelenggu. Rasa simpati dan antipati akan menyergap diri anda melihat perubahan 180 derajat pada karakter Miss Sayers tersebut.
Di luar Portman masih ada nama-nama lain yang bermain tidak kalah menariknya. Terutama Cassel yang penggoda sekaligus sulit ditebak niatannya sebagai pelatih balet Thomas. Hershey yang berhasil mengontrol Portman di setiap scene yang melibatkan figur keibuannya secara dominan. Kunis sebagai Lily yang mengintai setiap tindakan Nina dan bertekad mencuri peran utama darinya. Jangan lupakan juga Winona yang masih menyisakan kebintangannya di penghujung karir seorang pebalet handal Beth.
Black Swan akan menghipnotis diri anda selama nyaris 2 jam. Semua elemen bersinergi dengan maksimal disini mulai dari penulis, sutradara hingga aktor-aktrisnya. Belum lagi tampilan koreografi balet yang memesona termasuk adegan pamungkasnya yang luar biasa itu. Sesaat anda akan dibawa memasuki dunia horor psikologis yang menakutkan sekaligus berusaha menebak kekelaman jiwa seorang Nina Sayers yang terobsesi sedemikian rupa. Sebuah kesempurnaan memang kadang harus dibayar mahal dengan totalitas pengorbanan yang tidak sedikit nilain
ya.

Durasi:
105 menit

U.S. Box Office:
$106,952,327 till May 2011

Overall:
8.5 out of 10

Movie-meter:

Selasa, 24 Mei 2011

DON’T LOOK UP : Arwah Penasaran Intai Syuting Remake

Tagline:
Lights.. Camera.. Evil..

Storyline:
Abad kegelapan, seorang wanita gipsi bernama Chavi sempat membuat perjanjian dengan iblis Beng untuk menikah dan melahirkan keturunan perempuan bernama Matya yang kemudian diproyeksikan melahirkan anak iblis sebelum akhirnya dibunuh oleh penduduk desa. Bertahun-tahun kemudian, sutradara Hungaria bernama Bela Olt memutuskan untuk memfilmkan kisah Matya dengan aktris Lila Kis. Satu persatu kru menghilang dari lokasi syuting secara misterius. Kini sutradara Marcus dan produsernya Josh menuju Romania untuk menyelesaikan karya Bela Olt tersebut..

Nice-to-know:
Diproduksi oleh Distant Horizon, Action 5, Hakuhodo DY Media Partners, Videovision Entertainment dan menggunakan bahasa Inggris dan Romania sekaligus.

Cast:
Rachael Murphy sebagai Lila Kis
Reshad Strik sebagai Marcus Reed
Eli Roth sebagai Béla Olt
Alyssa Sutherland sebagai Claire
Henry Thomas sebagai Josh Petri
Carmen Chaplin sebagai Romy Bardoc
Lothaire Bluteau sebagai Grigore

Director:
Merupakan satu dari dua film yang disutradarai oleh Fruit Chan di tahun 2009 selain Chengdu, I Love You.

Comment:
Konon film ini merupakan remake film Jepang yang berjudul Joyurei yang rasanya tidak terlalu penting untuk diketahui produksi kapan karena nyaris tidak terdengar. Saya justru teringat pada sebuah film indie berbujet rendah berjudul Cut (2000) karya Kimble Rendall yang memiliki premis serupa menggunakan media pita seluloid. Kemiripan apapun yang mungkin ditimbulkan sebaiknya tetap menggunakan logika dalam bercerita.
Sayangnya penulis Brian Cox yang mengadaptasi skrip Hiroshi Takahashi dan Hideo Nakata tidak berbuat lebih baik. Konsistensi plotnya patut dipertanyakan. Perpindahan setting ke Romania juga tidak berarti apa-apa kalau tidak mau dikatakan bahasanya teramat mengganggu di telinga. Herannya semua kondisi yang tidak menyenangkan sebelum mengawali syuting malah tidak menyurutkan semangat kru film untuk tetap go show. Bodoh bukan?
Momok yang ditakutkan di awal adalah seorang gadis keturunan Gipsy dan Iblis bernama Matya. Namun kemunculannya sangat pelit dan tak jarang hanya siluet belaka di depan kamera. Plus satu kali di ending yang memperlihatkan adegan melahirkan dengan bayi setengah menggantung di selangkangan. Sungguh menjijikkan! Maaf jika saya sedikit spoiler kali ini karena berasumsi hanya sedikit dari anda yang mungkin tertarik menyaksikan film ini. Yang rajin tampil justru segerombolan lalat yang entah berasal dari mana ternyata dapat langsung terbang mengarah ke mata manusia!
Hampir semua nama yang mendukung film ini tidak terkenal samasekali. Rasanya beberapa dari mereka mungkin menyesalinya di kemudian hari seperti Henry Thoma. Mereka hanya berdialog satu sama lain secara datar dan tidak berdampak apapun dalam membangun ataupun menyelesaikan konflik (jika memang ada). Penonton rasanya tidak lagi peduli pada salah satu dari mereka setelah 30 menit durasi film berlalu. Biarlah yang meninggal lebih dahulu setidaknya dapat keluar lebih cepat dari syuting.
Kematian-kematian tak terjelaskan ditambah ending yang teramat cepat ditutup dalam hitungan detik seakan menipu audiens mentah-mentah yang masih mencoba mereka-reka apa yang baru saja mereka saksikan. Premis yang sebetulnya tidak terlalu buruk itu diperparah dengan spesial efek jadul dan mitos mistis yang tidak berdasar. Don’t Look Up jelas bisa diganti judulnya dengan Don’t Look (saja) sekaligus memperingatkan calon penonton untuk berpikir kembali sebelum memutuskan untuk menonton sebuah horor bersinematografi remang-remang ini.

Durasi:
85 menit

Overall:
6 out of 10

Movie-meter:

Minggu, 22 Mei 2011

SEVERANCE : Outing Eksekutif Kantor Bertahan Hidup

Quotes:
Richard: I can't spell success without "u". And you, and you, and you...

Harris: There's only one "u" in success.

Storyline:
Perusahaan senjata multinasional Palisade Defence menghadiahi Divisi Sales nya dengan team-building outing di akhir pekan. Masing-masing Richard, Jill, Harris, Gordon, Steve, Maggie, Billy yang mendapati tempat mereka bernaung hanyalah pondok tua nan sederhana setelah ditinggal sopir bus yang merajuk. Konflik mulai terjadi saat kaki Gordon putus karena jerat binatang. Saat malam datang, mereka mendapati bahwa ada segerombolan pembunuh yang terobsesi akibat kegilaan perang mengintai nyawa mereka satu-persatu. Berhasilkah mereka lolos dari lokasi yang sudah seperti taman bermain tersebut?

Nice-to-know:
Proses casting berlangsung selama 4 bulan karena sutradara Christopher Smith menginginkan orang-orang yang tepat untuk ambil bagian disini.

Cast:
Angkat nama lewat serial tenar 24 (2002-2003), Laura Harris bermain sebagai Maggie
Danny Dyer sebagai Steve
Toby Stephens sebagai Harris
Claudie Blakley sebagai Jill
Andy Nyman sebagai Gordon
Babou Ceesay sebagai Billy
Tim McInnerny sebagai Richard

Director:
Merupakan feature film kedua bagi Christopher Smith setelah Creep (2004).

Comment:
Jarang sekali sebuah thriller comedy Inggris dibuat apalagi sampai mampu mencuri perhatian selayaknya film ini. Duet penulis James Moran dan Christopher Smith mampu mengembangkan sebuah plot sederhana yang dikemas dengan menarik. Jika klisenya sekumpulan muda-mudi yang terdampar di suatu tempat asing untuk kemudian dihabisi satu-persatu, maka kali ini diganti dengan sekelompok eksekutif perusahaan yang harus bertahan hidup saat dikirim untuk pelatihan kekompakan tim.
Jangan berharap untuk menemukan muka-muka cantik ataupun tampan disini karena yang ada hanyalah dua wanita berkarakter serius serta beberapa pria berusia 30-40 tahunan berpenampilan tidak menarik samasekali. Tipikal orang-orang corporate yang bermuka dua dan sulit ditebak pemikirannya. Itulah sebabnya sulit untuk menarik simpati penonton yang mungkin tidak akan keberatan jika kematian mulai menghampiri para tokoh tersebut dengan cara-cara yang tidak biasa.
Tiga nama yang paling mencuat disini adalah Dyer, Harris dan Nyman. Dyer yang menyebalkan di awal karena karakternya Steve adalah pecandu yang tidak pernah serius tapi berubah di pertengahan film. Harris cukup memikat sebagai wanita paling cantik disini dan Maggie juga tangguh dalam menghadapi situasi apapun. Begitu pula Nyman yang kekanak-kanakan dan tidak bertanggungjawab harus ditempatkan pada kesialan yang tidak menyenangkan di awal cerita.
Sutradara Smith berhasil memadukan unsur komedi dan horor sekaligus. Segala bentuk lelucon corporate yang sinis tak jarang memancing tawa terutama dari sang bos Tim McInnerny yang kaku itu. Sedangkan adegan sadis dan miris juga berkali-kali membuat audiens muak dan jijik. Tim spesial efek mampu menyajikan hal tersebut dengan real apalagi dibantu dengan kinerja kamera yang sepintas terasa mengganggu tapi herannya terasa tepat sasaran.
Lupakan bagian opening yang memang lambat itu karena semakin dalam anda menyimak plot ceritanya maka akan menemukan hiburan yang berbeda dari biasanya. Severance terbukti konsisten dengan konsep old-style nya di tengah-tengah hutan belantara yang menjadi panggung sempurna tersebut. Film yang juga menggunakan dwi bahasa ini memang diperuntukkan khusus bagi pecinta genre sejenis. Bagi anda di luar kelompok terkait, bisa jadi tidak menemukan sesuatu yang spesial disini.

Durasi:
95 menit

U.S. Box Office:
$136,432 till Jun 2007

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:

Sabtu, 21 Mei 2011

DEAR GALILEO : Perjalanan Pelarian Dua Gadis Thailand

Original title:
Nee Dtaam Galileo.

Storyline:
Sesaat sebelum melakukan bungee jumping, Cherry dan Noon bertekad melakukan perjalanan dadakan ke Eropa selama setahun. Alasan keduanya memang berbeda, Cherry kecewa karena mendapat skorsing dari kampusnya sedangkan Noon sedih sebab baru saja putus dari kekasihnya Tum. Rencana mereka sederhana saja yaitu pergi dengan visa pelajar lalu mencari pekerjaan setempat untuk menghidupi diri dan yang terpenting adalah merasakan dunia dalam genggaman mereka. London, Paris dan Roma menjadi kota yang dituju. Namun apakah semua dapat berjalan sesuai rencana?

Nice-to-know:
Diproduksi oleh GTH Production House dan sudah dirilis di Thailand pada tanggal 23 Juli 2009 yang lalu.

Cast:
Chutima Theepanarth sebagai Cherry
Jarinporn Junkiet sebagai Noon
Ray MacDonald sebagai Pisit

Director:
Nithiwat Tharatorn sebelumnya sukses mengarahkan Seasons Change (2006).

Comment:
Perjalanan ke luar negeri seringkali menjadi tema sebuah film. Motifnya bisa bermacam-macam, studi, cinta, karir dsb. Beruntung film Thailand yang satu ini tidak terjebak pada klisenya film-film sejenis. Banyak hal-hal baru (atau lama yang dikreasikan secara fresh) yang ditampilkan disini. Sebagai latar belakang dipilihlah Inggris, Perancis, Italia untuk disebut sebagai Euro Trip. Oops mungkin mengingatkan anda pada komedi seks Hollywood beberapa tahun lalu. Skip!
Sutradara Nithiwat dengan terampil memadukan panorama indah negara-negara Eropa tersebut dengan ruang lingkup cerita yang dipersempit dimana hanya berfokus pada aktifitas Cherry dan Noon saja sehari-harinya. Bagian London, Paris dan Venice masing-masing diberikan waktu seimbang untuk dieksplorasi dengan fokus sedikit lebih banyak pada Paris yang menyita 50 menit dibandingkan dua lokasi lainnya yang kisaran 40 menit saja.








Bagian London merupakan tahap penyesuaian keduanya menginjak negara asing terlebih Noon yang berusaha melupakan kisah cintanya yang kandas atau Cherry yang berupaya membuang pengalaman buruknya dalam berstudi. Bagian Paris dominan dengan unsur pencarian jati diri dimana Noon menemukan seseorang yang menarik perhatiannya. Bagian Milan/Venice adalah episode penetapan hati akan masa depan apa yang mereka impikan terutama Cherry yang mendapat tawaran kerja menarik.
Akting Chutima dan Jarinporn tergolong menyenangkan untuk disimak. Karakter Cherry yang spontan, cuek dan eksplosif seakan berbanding terbalik dengan Noon yang jujur, rapi dan sensitif. Lihat bagaimana keduanya mengisi screen masing-masing ataupun bersamaan secara interaktif. Sudut pandang merekapun silih berganti dituturkan lewat pengalaman hidup belajar, bekerja, bercinta dsb. Tanpa lupa komitmen untuk tidak meninggalkan satu sama lain, melanggar aturan dan meraih kesempatan yang ada menjadi benang merah yang melandasi setiap tindak-tanduk keduanya.








Meskipun dapat dikatakan bertempo lambat, Dear Galileo berhasil menyampaikan messagenya bahwa setiap perjalanan akan membawa pengalaman berharga bagi anda terlepas dari kejadian baik/buruk yang terjadi. Hebatnya lagi dimanapun film ini disyut, citra Thailand dan warganya tetap terekspos dengan tepat tanpa ada kesan dipaksakan. Bisa jadi setelah menontonnya anda akan terinspirasi melakukan perjalanan serupa, mungkin bisa mencoba bertanya pada Galileo terlebih dahulu. Sudah siapkah dengan sepasang batu di tangan anda?

Durasi:
125 menit

Overall:
8 out of 10

Movie-meter:

Jumat, 20 Mei 2011

TRUST : Kejahatan Seksual Internet Gadis Muda

Tagline:
What took her family years to build. A stranger stole in an instant.

Storyline:
Will dan Lynn Cameron terlihat seperti keluarga bahagia dengan anak-anaknya yang beranjak remaja. Sejak kepergian si sulung Peter, gadis remaja berusia 14 tahun Annie justru semakin kesepian. Ia berkenalan dengan Charlie di ajang Teen Chat yang awalnya dikira seumuran. Namun saat bertemu langsung setelah 2 bulan bercakap-cakap tidak langsung betapa terkejutnya Annie mendapati Charlie ternyata berusia setidaknya 20 tahun diatasnya! Kejadian yang tidak diharapkan pun terjadi dan memaksa keluarga Cameron menderita secara psikis sambil memungkinkan masa depan terburuk yang mungkin mereka hadapi.

Nice-to-know:
Diproduksi secara kongsi oleh Millennium Films, Nu Image Films dan Dark Harbor Stories.

Cast:
Satu-satunya film Clive Owen di tahun 2010 sebagai Will Cameron dimana tahun lalu ia tampil dalam The Boys Are Back, Duplicity dan The International.
Dua kali dinominasikan Oscar lewat Being John Malkovich (1999) dan Capote (2005), Catherine Keener kembali dengan peran Lynn Cameron
Liana Liberato sebagai Annie Cameron
Jason Clarke sebagai Doug Tate
Chris Henry Coffey sebagai Charlie

Director:
Merupakan feature film kedua bagi David Schwimmer setelah Run, Fatboy, Run di tahun 2007.

Comment:
Mungkin masih segar dalam ingatan masyarakat Indonesia bahwa beberapa waktu lalu terjadi kejahatan terhadap gadis belia karena berkenalan dengan pria asing lewat internet dimana Facebook sebagai medianya. Hal tersebut merupakan lampu merah bagi para orangtua untuk lebih mengawasi anak-anaknya dimana teknologi sudah semakin maju dan mudah diakses di masa sekarang ini. Film ini merupakan salah satu contoh kasus tersebut.
Hal ini bisa menimpa siapapun dimanapun juga. Topiknya memang terasa berat tetapi sangat umum terjadi tanpa mengenal perkembangan jaman. Itulah sebabnya film ini mendapat rating Dewasa dan orangtua jelas perlu menemani anak remajanya dalam menonton film ini. Berbagai adegan berkonten seksual yang eksplisit dapat ditemui dengan gamblang untuk mempertebal tema yang ingin disampaikan. Tentunya untuk konsumsi bioskop sudah diputus habis oleh gunting sensor.
Schwimmer yang lebih dikenal sebagai aktor nyatanya mampu menunaikan tugas seorang sutradara dengan brilian. Riset langsung terhadap beberapa kejadian nyata yang dilakukannya mampu membuat visinya menjadi tajam dan faktual. Pendekatan personalnya juga terbawa saat mengarahkan aktor-aktris di dalamnya. Terima kasih pada skrip yang ditulis oleh duo Andy Bellin dan Robert Festinger yang demikian meyakinkan dengan dialog-dialog nyatanya.
Kredit khusus patut dilayangkan pada Liberato. Aktris muda kelahiran Texas ini memvisualisasikan tokoh Annie dengan sangat otentik. Kepercayaan dirinya yang rendah hingga membutuhkan pengakuan dari orang-orang di sekelilingnya terlepas dari berhak atau tidak malah membawanya ke situasi yang tidak menguntungkan. Berkali-kali anda akan dibuat miris melihat perlakuan atau mendengar pengakuan dari mulut Annie.
Owen dan Keener juga sukses mempotretkan pasangan suami istri pada umumnya. Pernikahan mereka yang terkadang bermasalah dalam komunikasi semakin diperparah dengan penderitaan yamg berkesinambungan saat mengetahui tragedi telah menimpa putri mereka. Kali ini kita akan melihat emosi Owen yang naik turun sebagai Will, seorang ayah rapuh sekaligus pebisnis handal dalam menyikapi kondisi yang tidak menyenangkan ini.
Trust merupakan sebuah drama realita yang akan menyeret anda untuk turut merasakan “siksaan” batin dari pihak orangtua ataupun sang anak itu sendiri. Beruntung dibekali skrip dan akting yang luar biasa sehingga tidak terkesan sebagai semi-dokumenter ataupun film lepas televisi yang klise. Endingnya mungkin tidak seperti yang diharapkan tetapi justru akan semakin memperkuat kekhawatiran anda akan hal buruk yang bisa saja menimpa anak, saudara, kerabat anda di luar sana.

Durasi:
95 menit

U.S. Box Office:
$117,623 till Apr 2011

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:

Kamis, 19 Mei 2011

BATAS : Menguji Perhinggaan Diri Pedalaman Kalimantan

Quotes:
Jaleswari: Mandau telah ada di dalam dirimu, menebas putus batas keraguanmu..

Storyline:
Jaleswari menerima tanggung jawab berat untuk menyelidiki rantai pendidikan yang selalu terputus di pedalaman Kalimantan. Dua minggu waktu yang diberikan harus dimaksimalkannya terlebih kondisinya yang tengah hamil. Sesampainya disana, Jaleswari diantar oleh Arif, petugas perbatasan untuk bertemu dengan Panglima, Kepala Suku yang mengajarkannya akan “Bahasa Hutan”. Sebetulnya bukan tidak ada tenaga pendidik disana, Adeus yang ditunjuk justru memilih mundur karena pola hidup masyarakat dan adat istiadat setempat yang demikian tertutup akan sistem baru yang dibawanya dari kota besar. Mampukah Jaleswari mengubah semua kondisi tersebut apalagi melihat antusiasme seorang anak lokal bernama Borneo?

Nice-to-know:
Diproduksi oleh Keana Production dan gala premierenya diselenggarakan di Epicentrum XXI pada tanggal 12 Mei 2011.

Cast:
Marcella Zalianty sebagai Jaleswari
Arifin Putra sebagai Arif
Ardina Rasti sebagai Ubuh
Jajang C Noer sebagai Nawara
Piet Pagau sebagai Panglima
Marcell Domits sebagai Adeus
Alifyandra sebagai Borneo

Director:
Merupakan film pertama Rudi Soedjarwo setelah absen 2 tahun. Karya terakhirnya adalah Hantu Rumah Ampera (2009) yang sempat masuk daftar Asian horror movies to watch.

Comment:
Jujur saya menyiapkan diri untuk kemungkinan terburuk dari kualitas akhir film ini. Mengingat harus absen pada gala premierenya dan nyaris semua rekan-rekan memberi penilaian negatif pada waktu itu. Namun melihat nama sutradara dan jajaran cast yang mengisinya, rasanya sulit untuk memalingkan muka dari film yang naskahnya ditulis oleh Slamet Rahardjo Djarot ini.
Tema globalnya dibagi menjadi dua. Satu, seseorang yang berusaha mengintrusi sekumpulan orang yang sudah terpatri dengan adat istiadat dan pola pikir setempat dengan optimismenya. Dua, masyarakat yang antipati dengan perubahan baru yang dibawa dari dunia luar tempat tinggal mereka. Dari situ kemudian digalilah subplot-subplot mengenai pencarian jati diri dari berbagai tokoh yang terlibat di dalamnya.
Jika anda bisa melihat secara luas, tentu dapat menangkap maksud yang ingin disampaikan seorang Rudi Soedjarwo kali ini. Dan jangan coba bandingkan karya yang satu ini dengan karya-karyanya yang lain karena konsepnya sudah jelas berbeda. Rudi menggunakan pendekatan psikis yang sangat personal dari masing-masing karakternya dan hal tersebut memang tidak mudah ditangkap begitu saja oleh penonton yang bisa jadi cepat merasa bosan karenanya.
Paling kentara adalah tokoh Jaleswari yang dihidupkan dengan matang oleh Marcella Zalianty. Ia seringkali berperang dengan batinnya sendiri yaitu kegalauannya dalam mengandung, perasaan kehilangan cinta diwujudkan lewat adegan seorang diri menyuarakan isi hatinya. Di luar itu, ia terlihat tegar dan mampu menjadi sosok yang inspiratif bagi orang-orang di sekitarnya. Sama halnya dengan Rasti yang meski tidak mendapat porsi dialog yang banyak tapi bahasa tubuh dan ekspresi Ubuh sudah berbicara banyak mewakili kepahitan yang dialaminya.
Dua pendatang baru, Alifyandra dan Marcell Domits berakting dengan sangat menarik dalam peranannya masing-masing. Karakter Borneo yang selalu bersemangat memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi. Berbanding terbalik dengan karakter Adeus yang bahkan tidak percaya diri dengan satu-satunya kemampuan yang ia miliki yaitu mengajar. Jangan ragukan kwalitet Piet Pagau dan Jajang C Noer yang lagi-lagi berhasil melebur dalam karakter Nawara dan Panglima.
Kekurangan film ini terletak pada editingnya yang kelewat kasar dalam memotong adegan demi adegan, juga penggunaan handheld camera pada opening film yang cukup mengganggu. Beberapa tambahan karakter sebenarnya tidak terlalu penting jika dimaksudkan untuk memperkaya konflik termasuk Arifin Putra yang meski sudah berusaha maksimal tapi saya merasa karakter Arif tidaklah sepenting itu. Plus endingnya yang seharusnya bisa diakhiri 5-10 menit lebih cepat untuk memperkuat makna closingnya.
Batas adalah sebuah film perjalanan yang kental dengan pengalaman spiritual para karakternya. Tidak ambisius tetapi cukup realistis. Bagaimana mengatasi ketakutan-ketakutan yang akan selalu ada dalam diri seseorang untuk akhirnya mampu keluar dari belenggu-belenggu yang membatasi langkahnya selama ini. Dan tidak ada yang lebih tepat selain pedalaman Borneo dengan segala keterbatasannya untuk digunakan sebagai settingnya. Kunci untuk menikmatinya adalah bersikap santai dan sabar terhadap ritme film yang teramat datar dan lamban. Absurd tetapi nyata senyata-nyatanya, bukankah jiwa manusia memang demikian?

Durasi:
115 menit

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:

Rabu, 18 Mei 2011

MY BEST BODYGUARD : Pencegahan Virus Mematikan Reporter Berani

Tagline:
The world’s most dangerous virus is about to end human race.


Storyline:
Sebuah virus jenis baru HOPE tengah mengancam Bangkok yang dapat menewaskan seseorang hanya dalam waktu 4 hari! Fakta tersebut diketahui oleh Nicha, reporter wanita ternama yang kemudian berusaha menelusuri sebab musababnya itu. Ternyata 7 orang tidak beruntung tengah digunakan oleh perusahaan farmasi asing sebagai bahan percobaan sekaligus penemuan anti virus tersebut. Nicha dibantu oleh Thud dan juga NSSD harus mengungkapkan semuanya sebelum terlambat meski mempertaruhkan nyawanya sendiri.

Nice-to-know:
Distributor Hongkong, Media Asia akan mendistribusikan film secara internasional, sedangkan Oriental Eyes akan menangani peredaran domestik Thailand.

Cast:
Ubolratana Rajakanya sebagai Nicha
Chakrit Yamnam sebagai Thud
Shawn Yue sebagai Shawn
Dr. Archong Chumsai Na-Ayuthaya
Sompol Piyapongsiri

Director:

Sirippakorn Wongchariyawat

Comment:
Thailand mungkin lebih dikenal dengan pasokan film horor atau komedi romantisnya beberapa tahun terakhir yang terbukti cukup sukses menembus pasaran Asia termasuk Indonesia. Namun jika berbicara mengenai action kontemporer seperti yang satu ini, rasanya masih terlalu ambisius walaupun sudah didukung dengan bujet tinggi dan berkolaborasi dengan Hongkong sekalipun. Asia tetaplah Asia dan tidak akan pernah sama dengan nuansa Hollywood bagaimanapun juga.
Premis film ini adalah mengenai penyebaran virus jenis baru yang disebut HOPE. Pihak yang berada di sisi antagonis mungkin bisa dimaklumi yang kebetulan berasal dari kaum kapitalis alias pengusaha industri besar. Tapi kalangan protagonisnya yang kebetulan seorang presenter televisi wanita? Yang bertindak sendiri di luar sepak terjang polisi? Oke menurut saya hal ini sedikit aneh dan terlalu dipaksakan apapun alasannya.
Setelah mengetahui siapa pemeran Nicha sebenarnya rasanya misi filmmaker sudah dapat diterka. Ia adalah Putri Ubolratana Rajakanya, alias keturunan langsung Raja Bhumibol Adulyadej dan Ratu Regent Sirikit! Sayangnya Sang Putri harus diakui kurang memiliki aura bintang dan tidak cukup meyakinkan sebagai reporter berkelas yang sangat dominan kemunculannya. Itulah sebabnya dibutuhkan beberapa aktor good looking untuk tandemnya tapi tidak banyak membantu karena justru lebih memperjelas gap.
Shawn Yue yang paling berpengalaman dalam genre action (lihat saja daftar film Hongkong yang dibintanginya) justru kesulitan berbahasa Inggris dengan baik sehingga mengurangi daya tariknya. Malah Chakrit yang paling terlihat wajar dan bisa dibilang judul film ini merujuk pada perannya disini. Tidak dapat dipersalahkan sepenuhnya jika semua karakter terkesan kurang eksplorasi, skrip yang ditulis oleh C.R.A.B. memang tidak memungkinkan untuk itu.
Sutradara Wongchariyawat tampak kesulitan menyatukan kepingan-kepingan action yang serba palsu disini. Saya pikir mungkin hanya 50% yang setidaknya terlihat sungguhan, sisanya hanyalah buang-buang peluru ke space kosong, lontaran mobil atau adu fisik yang dibantu oleh editor. Pengertian aktor dan petarung sungguhan jelas berbeda. Anda termasuk penonton reguler film action diyakini kecewa dengan suguhan aksi kali ini.
Tidak susah menyimpulkan My Best Bodyguard sebagai film aksi dengan komposisi buruk di dalamnya. Selayaknya anda yang sudah bisa tersenyum melihat trailernya yang sangat berusaha terlihat “menjual” itu dipastikan akan tertawa lebih lebar lagi menyaksikan keseluruhan isinya. Sebuah proyek ambisius yang nampaknya tidak akan mengatrol posisi Sang Putri ke tingkat superstar meskipun ia berhasil survive pada akhir cerita dan sempat melontarkan serentetan kalimat bijaksana sekalipun!

Durasi:
105 menit

Overall:
6.5 out of 10

Movie-meter:

Selasa, 17 Mei 2011

SANCTUM : Pengalaman Mengerikan Penjelajahan Bawah Air

Tagline:
The only way out is down.

Storyline:
Sebuah team penjelajah gua bawah air harus melakukan ekspedisi terhadap gua yang sistemnya paling sulit ditembus di muka bumi. Ketika badai tropis memaksa mereka jauh ke dalam gua, mereka harus berjuang dari arus liar, tekanan deras dan panik yang mulai melanda untuk bisa keluar kembali ke permukaan laut. Guru selam, Frank McGuire sudah menjelajahi gua bawah air Pasifik Selatan selama berbulan-bulan. Namun timnya kali ini adalah putranya yang berusia 17 tahun Josh dan staf keuangan Carl Hurley yang masing-masing memiliki rencana lain. Akankah labirin tersebut dapat dipecahkan sebelum terjebak selamanya?

Nice-to-know:
Sutradara Alister Grierson dan sinematografer Jules O’Loughlin tidak memiliki pengalaman 3D samasekali. Mereka lalu belajar bagaimana bermain dengan cahaya, ruang stereoskopik dan memanipulasi kamera dari coretan-coretan.

Cast:
Sebelum ini sempat mengisi suara dalam Legend of the Guardians: The Owls of Ga'Hoole (2010), Richard Roxburgh berperan sebagai Frank McGuire
Angkat nama dalam serial televisi Home And Away (2005-2008), Rhys Wakefield bermain sebagai Josh
Ioan Gruffudd sebagai Carl
Alice Parkinson sebagai Victoria
Dan Wyllie sebagai Crazy George

Director:
Merupakan feature film kedua bagi Alister Grierson setelah Kokoda di tahun 2006.

Comment:
Terus terang dari awal saya merasa film ini akan sangat menjanjikan. Tidak mudah melakukan syuting di bawah laut untuk menyajikan thriller yang mumpuni, apalagi dibebat dalam teknologi 3 dimensi. Namun melihat nama James Cameron di kursi produser meski tidak sendirian rasanya bisa menjadi jaminan tersendiri. Siapa yang tidak ingat dengan karyanya The Abyss (1992) yang fenomenal itu? Kecuali bagi anda yang lahir di generasi baru, belum terlambat untuk menyaksikannya lewat blue-ray.
Skrip yang ditulis oleh John Garvin dan Andrew Wight ini terasa seperti film kelas dua dimana plotnya terlalu datar dan sederhana, tidak didukung oleh penjelasan yang ilmiah ataupun masuk akal. Semua karakternya juga terkesan satu dimensi. Diperparah lagi dengan dialog-dialog klise di antara mereka, beberapa bahkan mencoba menawarkan humor-humor kering. Dijamin satu setengah jam anda akan terisi oleh kontes menguap dan mengantuk dengan orang-orang di kanan kiri anda.
Saya percaya para aktor disini sudah melakukan usaha terbaiknya tapi apalah artinya jika tidak didukung oleh skenario yang baik? Roxburgh yang paling berpengalaman sekalipun tidak mampu mengangkat nama-nama lain yang tergolong muda dan miskin asam garam itu. Gruffudd yang pernah memikat dalam Fantastic Four mencoba menyajikan sosok psikopat egois dalam dirinya tapi tidak cukup bagi penonton untuk membencinya. Dan kabar buruk bagi para wanita, semua adegan sulit dalam film ini dimainkan oleh laki-laki, seakan menekan emansipasi ke titik nadir sekalipun.






Hal yang positif disini adalah kinerja sutradara Grierson yang berhasil menyodorkan scene-scene bawah air dengan memikat. Sinematografinya terbilang memuaskan dimana segala sudut gua tertangkap dengan baik berikut segala resikonya. Terkadang anda bahkan diajak merasakan klastrofobia ataupun hydrophobia jika membayangkan anda berada dalam situasi tersebut. Efek 3D nya menjadi tidak terlalu penting karena minimnya pencahayaan, toh Blitzmegaplex juga merilisnya dalam 2D saja.
Sanctum memang unggul dalam visualisasi tetapi tidak didukung oleh koneksi antar para tokohnya dengan audiens sehingga sia-sia saja. Penonton tidak terlalu peduli lagi dengan nasib mereka, siapa yang tewas duluan (sebagian besar karena kebodohan masing-masing) dan siapa yang bertahan sampai akhir (lebih karena faktor keberuntungan sepertinya). Drama thriller yang konon diinspirasi dari kejadian nyata ini mudah ditebak arahnya dan tidak menawarkan sesuatu yang luar biasa untuk mengganti sekian uang yang sudah anda keluarkan. Dan satu pesan saya, mohon jangan salahkan James Cameron.

Durasi:
105 menit

U.S. Box Office:
$23,070,045 till Feb 2011

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:

Senin, 16 Mei 2011

7 HATI 7 CINTA 7 WANITA : Dilematis Cinta Kaum Perempuan

Quotes:
Yanti: Lagi global warming, jadinya banyak yang minta saya angetin..

Storyline:
Dokter kandungan yang masih melajang di usia 40an, Kartini dapat dikatakan sudah bertemu pasien dengan karakter A sampai Z. Mulai dari wanita soleh Ratna yang bersuamikan Marwan baru mengandung di tahun kelima pernikahannya, penjaja seks Yanti yang menderita kanker serviks, Nyonya Lili yang sering dikasari suaminya, Rara yang hamil akibat seks bebas dengan seniornya di sekolah Acin dan lain-lain. Belum lagi kehadiran dokter muda Rohana yang seringkali melangkahi teritori pribadi Kartini yang diam-diam dicintai Dokter Anton. Semua permasalahan itu pada akhirnya bertemu pada satu titik dimana batas kasih sayang itu sendiri terkadang dipertanyakan.

Nice-to-know:
Diproduksi oleh Anak Negeri Film dan pemutaran perdana sekaligus press conferencenya diadakan di Blitzmegaplex Grand Indonesia pada tanggal 16 Mei 2011.

Cast:
Jajang C. Noer sebagai Dr. Kartini
Marcella Zalianty sebagai Dr. Rohana
Henky Soelaiman sebagai Dr. Anton
Rangga Djoned sebagai Bambang
Happy Salma sebagai Yanti
Intan Kieflie sebagai Ratna
Olga Lydia sebagai Lili
Verdi Soelaiman sebagai Hadi
Tamara Tyasmara sebagai Rara
Patty Sandya sebagai Nancy
Albert Halim sebagai Acin

Director:
Merupakan debut feature film pertama bagi Robby Ertanto setelah sebelumnya menangani segmen “The List” dalam antologi horor Takut : Faces of Fear (2008).

Comment:
Film ini merupakan satu dari sangat sedikitnya film lokal yang wara-wiri terlebih dahulu di berbagai festival film dalam negeri maupun internasional sebelum dirilis. Bahkan mendapatkan beberapa nominasi FFI 2010 yang lalu walau akhirnya hanya Happy Salma yang menang Aktris Pendukung Terbaik. Awalnya direncanakan edar Agustus 2010 lalu mengalami kemunduran beberapa kali hingga diputuskan tanggal final 18 Mei 2011 secara terbatas di jaringan bioskop Blitzmegaplex saja. Mudah-mudahan fakta ini tetap menarik minat publik untuk menyaksikannya.
Rasanya permasalahan antar interaksi manusia memang tiada habisnya dibahas dalam sebuah film. Bedanya 777 mengambil sudut pandang perempuan sebagai pihak yang lebih dirugikan oleh keegoisan laki-laki baik disengaja ataupun tidak. Jangan heran jika tema perselingkuhan, poligami, hamil pra nikah, kekerasan rumah tangga, prostitusi, emansipasi dst dibahas secara gamblang disini. Memang bukan topik yang baru dan pernah dilakukan oleh ribuan film lainnya tapi tetap menarik untuk diikuti sekaligus menjadi bahan pembelajaran tersendiri bagi kondisi sosio psikis masyarakat negeri ini.
Nama Robby Ertanto Soediskam yang tergolong masih belia itu rasanya patut dikedepankan sebagai sineas handal perfilman nasional di masa mendatang. Film panjang pertamanya ini setidaknya membuktikan kemampuannya dalam menulis sekaligus menyutradarai secara mumpuni. Bagaimana dialog-dialog yang tercipta tergolong bersifat spontan sekaligus berbahasa puitis sehingga terasa dinamis. Belum lagi pengarahan yang diberikannya terhadap aktor-aktris tenar mampu menghasilkan kualitas akting yang prima.
Sulit untuk memilih siapa yang menjadi favorit saya dari ensembel cast kali ini. Yang pasti Jajang sebagai tokoh sentral amat memuaskan. Jangkauan aktingnya sebagai Dr. Kartini terasa luas sehingga interaksinya dengan perempuan-perempuan yang berkonsultasi dengannya terasa hidup. Kesuksesan Happy Salma menyabet Piala Citra lewat peran pelacur memang sangat terbantu oleh celotehan-celotehan sinisnya yang menggigit dan tak jarang memancing tawa. Lain lagi dengan Marcella yang tidak selepas biasanya walau kesan sarkastiknya cukup membuat penonton sedikit antipati terhadapnya.
Patut menjadi “spotlight” disini adalah Intan Kieflie yang multitasking sebagai produser, aktris sekaligus penyanyi. Perannya sebagai Ratna tidak mengecewakan karena harus menghidupi suami yang “bertingkah” dan juga adik yang “bermasalah”. Nama-nama baru seperti Albert, Patty, Tamara dll juga bermain cukup maksimal terlepas dari keterbatasan scene yang diberikan pada mereka. Jangan lupakan juga kontribusi ayah-anak Henky-Verdi, Rangga dst yang tidak sedikit dalam merekonstruksi bangunan konflik yang saling terkait kali ini.
Kekurangan film ini mungkin terletak pada penempatan musik yang seringkali tidak pas ataupun putus dengan sendirinya (ibarat kita menekan tombol “pause” pada music player). Juga konsep sinematografi yang agak standar, bisa jadi terkait dengan masalah bujet yang diminimalisir. Nuansa happy ending memang terkesan dominan walau tidak semua konflik dituntaskan secara jelas dan mengembalikan interpretasi masing-masing kepada penonton.
Terlepas dari plus minus yang dimilikinya, 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita jelas menambah deretan terbatas film lokal berkualitas era tahun 2000an ke atas. Relevansi tema yang teramat nyata digarap dengan tajam, acungan jempol bagi Robby. Rupanya hanya perlu keberanian dan kreatifitas untuk menghasilkan sebuah film layak tonton. Saran saya, cobalah berpikir secara universal bagi anda yang memiliki minat untuk menyaksikannya, niscaya anda akan menemukan banyak wacana berfaedah mengenai ego dan diferensial pria dan wanita di dalamnya.

Durasi:
95 menit

Overall:
8 out of 10

Movie-meter: