Yanti: Lagi global warming, jadinya banyak yang minta saya angetin..
Storyline:
Dokter kandungan yang masih melajang di usia 40an, Kartini dapat dikatakan sudah bertemu pasien dengan karakter A sampai Z. Mulai dari wanita soleh Ratna yang bersuamikan Marwan baru mengandung di tahun kelima pernikahannya, penjaja seks Yanti yang menderita kanker serviks, Nyonya Lili yang sering dikasari suaminya, Rara yang hamil akibat seks bebas dengan seniornya di sekolah Acin dan lain-lain. Belum lagi kehadiran dokter muda Rohana yang seringkali melangkahi teritori pribadi Kartini yang diam-diam dicintai Dokter Anton. Semua permasalahan itu pada akhirnya bertemu pada satu titik dimana batas kasih sayang itu sendiri terkadang dipertanyakan.
Nice-to-know:
Diproduksi oleh Anak Negeri Film dan pemutaran perdana sekaligus press conferencenya diadakan di Blitzmegaplex Grand Indonesia pada tanggal 16 Mei 2011.
Cast:
Jajang C. Noer sebagai Dr. Kartini
Marcella Zalianty sebagai Dr. Rohana
Henky Soelaiman sebagai Dr. Anton
Rangga Djoned sebagai Bambang
Happy Salma sebagai Yanti
Intan Kieflie sebagai Ratna
Olga Lydia sebagai Lili
Verdi Soelaiman sebagai Hadi
Tamara Tyasmara sebagai Rara
Patty Sandya sebagai Nancy
Albert Halim sebagai Acin
Director:
Merupakan debut feature film pertama bagi Robby Ertanto setelah sebelumnya menangani segmen “The List” dalam antologi horor Takut : Faces of Fear (2008).
Comment:
Film ini merupakan satu dari sangat sedikitnya film lokal yang wara-wiri terlebih dahulu di berbagai festival film dalam negeri maupun internasional sebelum dirilis. Bahkan mendapatkan beberapa nominasi FFI 2010 yang lalu walau akhirnya hanya Happy Salma yang menang Aktris Pendukung Terbaik. Awalnya direncanakan edar Agustus 2010 lalu mengalami kemunduran beberapa kali hingga diputuskan tanggal final 18 Mei 2011 secara terbatas di jaringan bioskop Blitzmegaplex saja. Mudah-mudahan fakta ini tetap menarik minat publik untuk menyaksikannya.
Rasanya permasalahan antar interaksi manusia memang tiada habisnya dibahas dalam sebuah film. Bedanya 777 mengambil sudut pandang perempuan sebagai pihak yang lebih dirugikan oleh keegoisan laki-laki baik disengaja ataupun tidak. Jangan heran jika tema perselingkuhan, poligami, hamil pra nikah, kekerasan rumah tangga, prostitusi, emansipasi dst dibahas secara gamblang disini. Memang bukan topik yang baru dan pernah dilakukan oleh ribuan film lainnya tapi tetap menarik untuk diikuti sekaligus menjadi bahan pembelajaran tersendiri bagi kondisi sosio psikis masyarakat negeri ini.
Nama Robby Ertanto Soediskam yang tergolong masih belia itu rasanya patut dikedepankan sebagai sineas handal perfilman nasional di masa mendatang. Film panjang pertamanya ini setidaknya membuktikan kemampuannya dalam menulis sekaligus menyutradarai secara mumpuni. Bagaimana dialog-dialog yang tercipta tergolong bersifat spontan sekaligus berbahasa puitis sehingga terasa dinamis. Belum lagi pengarahan yang diberikannya terhadap aktor-aktris tenar mampu menghasilkan kualitas akting yang prima.
Sulit untuk memilih siapa yang menjadi favorit saya dari ensembel cast kali ini. Yang pasti Jajang sebagai tokoh sentral amat memuaskan. Jangkauan aktingnya sebagai Dr. Kartini terasa luas sehingga interaksinya dengan perempuan-perempuan yang berkonsultasi dengannya terasa hidup. Kesuksesan Happy Salma menyabet Piala Citra lewat peran pelacur memang sangat terbantu oleh celotehan-celotehan sinisnya yang menggigit dan tak jarang memancing tawa. Lain lagi dengan Marcella yang tidak selepas biasanya walau kesan sarkastiknya cukup membuat penonton sedikit antipati terhadapnya.
Patut menjadi “spotlight” disini adalah Intan Kieflie yang multitasking sebagai produser, aktris sekaligus penyanyi. Perannya sebagai Ratna tidak mengecewakan karena harus menghidupi suami yang “bertingkah” dan juga adik yang “bermasalah”. Nama-nama baru seperti Albert, Patty, Tamara dll juga bermain cukup maksimal terlepas dari keterbatasan scene yang diberikan pada mereka. Jangan lupakan juga kontribusi ayah-anak Henky-Verdi, Rangga dst yang tidak sedikit dalam merekonstruksi bangunan konflik yang saling terkait kali ini.
Kekurangan film ini mungkin terletak pada penempatan musik yang seringkali tidak pas ataupun putus dengan sendirinya (ibarat kita menekan tombol “pause” pada music player). Juga konsep sinematografi yang agak standar, bisa jadi terkait dengan masalah bujet yang diminimalisir. Nuansa happy ending memang terkesan dominan walau tidak semua konflik dituntaskan secara jelas dan mengembalikan interpretasi masing-masing kepada penonton.
Terlepas dari plus minus yang dimilikinya, 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita jelas menambah deretan terbatas film lokal berkualitas era tahun 2000an ke atas. Relevansi tema yang teramat nyata digarap dengan tajam, acungan jempol bagi Robby. Rupanya hanya perlu keberanian dan kreatifitas untuk menghasilkan sebuah film layak tonton. Saran saya, cobalah berpikir secara universal bagi anda yang memiliki minat untuk menyaksikannya, niscaya anda akan menemukan banyak wacana berfaedah mengenai ego dan diferensial pria dan wanita di dalamnya.
Durasi:
95 menit
Overall:
8 out of 10
Movie-meter:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar