XL #PerempuanHebat for Kartini Day

THE RING(S) : A short movie specially made for Valentine's Day

Sabtu, 26 Oktober 2013

ABOUT TIME : Poignant Movie About How To Make Time


Quote:
Tim: Lesson Number One: All the time traveling in the world can't make someone love you.

Nice-to-know:
Film ketiga Rachel McAdams menjadi love interest seseorang yang bisa mengarungi waktu setelah The Time Traveler's Wife (2009) dan Midnight In Paris (2011).

Cast:
Domhnall Gleeson sebagai Tim
Rachel McAdams sebagai Mary
Bill Nighy sebagai Dad
Lydia Wilson sebagai Kit Kat
Lindsay Duncan sebagai Mum

Tom Hollander sebagai Harry
Margot Robbie sebagai Charlotte

Director:
Merupakan film ketiga bagi penulis Richard Curtis yang memulai debut penyutradaraannya lewat Love Actually (2003).

W For Words:
Karirnya yang panjang sebagai penulis skrip (kebanyakan) komedi romantis masa kini tak perlu diragukan lagi. Namun sebagai sutradara, Richard Curtis menghadapi situasi fifty-fifty dengan kesuksesan Love Actually (2003) dan kegagalan Pirate Radio a.k.a The Boat That Rocked (2009) ditilik dari angka box office nya. Saya yakin hanya sedikit di antara anda yang sudah menonton judul tersebut belakangan. Selayaknya salah satu dialog dalam About Time, dibutuhkan ‘anak ketiga’ untuk menentukan kredibilitas Curtis selanjutnya. Penasaran?

Di usia 21, Tim Lake diberitahu ayahnya bahwa setiap lelaki di garis keturunan keluarga mereka bisa menjelajah waktu. Dengan kemampuan barunya itu, harapan Tim sederhana yaitu mendapatkan seorang kekasih. Awalnya ia jatuh hati pada Charlotte di sebuah musim panas. Namun memutuskan pergi ke London untuk mengejar cita-cita sebagai pengacara hingga bertemu Mary di sebuah ‘kencan buta’. Beberapa ‘pengulangan’ membuat romansanya sempurna. Mereka menikah dan dikaruniai putri bernama Posy. Sementara hidupnya berjalan, hidup orang-orang di sekeliling Tim pun berubah.

Skrip yang ditulis Curtis sendiri ini sesungguhnya terbagi dalam tiga chapter. Pertama, percintaan Tim dan Mary. Kedua, hubungan Tim dengan adiknya yang bermasalah, Kit Kat. Ketiga, interaksi Tim dengan ayahnya. Ketiga babak ini secara konstan menjelaskan hukum sebab akibat karena perjalanan waktu yang dilakukannya. Potret keluarga Inggris kelas menengah ditakar secara tepat dengan segala ‘ideology’ nya. Durasi yang cukup panjang seakan memberi ruang bagi penonton untuk perlahan-lahan mengenal multi karakter yang beraneka ragam tapi tidak lari dari sudut pandang Tim seorang.

Perpindahan dari satu waktu ke waktu lain terbilang smooth tanpa banyak detail penjelasan yang bisa jadi akan terlalu menggurui. Set awal tahun 2000an yang dominan di paruh pertama film terbangun sempurna. Sinematografer John Guleserian menjalankan tugasnya dengan baik dalam menangkap momen-momen penting. Lengkap mengiringi lagu-lagu hit pada masanya dari t.A.T.u., Sugababes, The Killers dll termasuk tembang lawas Il Mondo dari Jimmy Fontana. Tak ketinggalan scoring music dari Nick Laird-Clowes yang mengalun syahdu. Atau newhit milik Jon Boden, Sam Sweeney & Ben Coleman, How Long Will I Love You yang super catchy itu.

Gleeson menghidupkan tokoh Tim yang goofy dengan sempurna. Keegoisannya justru terasa manusiawi hingga tak sampai menghilangkan simpati penonton. Latar belakang Mary mungkin tidak cukup digambarkan tapi tak menghalangi McAdams untuk menampilkan sosok wanita muda charming yang insecure. Nighy masih membawakan gaya eksentriknya ke dalam figur ayah bijak. Wilson juga memikat sebagai Kit Kat yang lunatic. Sederetan cast lainnya juga terasa pas menjiwai peranannya masing-masing. 

About Time mungkin tidak sempurna sebagai time travel movie karena timeline yang tak jarang terkesan random. Namun sebagai film keluarga terbilang mumpuni. Ya, keluarga karena sesungguhnya berbicara tentang cinta secara universal, ayah anak, kakak adik, suami istri dsb. Abaikan posternya yang misleading itu. Sesuai dengan judulnya, message dari Curtis benar-benar tersampaikan kepada penonton. Kita begitu ingin memperbaiki kesalahan yang pernah dibuat tanpa menyadari bahwa selalu ada alasan di balik setiap kejadian. On top of that, we should know how to love, how to live but the most important thing is how to cherish every single moment while you still have time.

Durasi:
123 menit

U.S. Box Office:
$1,076,250 till
Nov 2013

Overall:
8.5 out of 10

Movie-meter:

Jumat, 25 Oktober 2013

WE’RE THE MILLERS : Hilarious Misadventures Of Misfit Family


Quote:
Scottie P.: You know what I'm sayin?

David Clark: Well, I'm awake and I speak English, so yeah I know what you're saying.

Nice-to-know:
Cast melakukan prank pada Jennifer Aniston dengan memainkan theme song serial "Friends" dan ditayangkan sebagai bloopers di end credit title.

Cast:
Jennifer Aniston sebagai Rose O'Reilly
Jason Sudeikis sebagai David Clark
Emma Roberts sebagai Casey Mathis
Will Poulter sebagai Kenny Rossmore
Ed Helms sebagai Brad Gurdlinger
Nick Offerman sebagai Don Fitzgerald
Kathryn Hahn sebagai Edie Fitzgerald
Tomer Sisley sebagai Pablo Chacon


Director:
Merupakan feature film ke
tiga bagi Rawson Marshall Thurber setelah The Mysteries of Pittsburgh (2008).

W For Words:
Keberhasilan sebuah komedi situasi ditentukan oleh tingkat kesulitan menyatukan berbagai karakter yang saling kontradiktif dalam satu perjalanan konflik. Kali ini kolaborasi BenderSpink, New Line Cinema dan Vincent Newman Entertainment berpegang teguh pada pakem tersebut dalam menyuguhkan kisah penyelundupan narkoba yang dimotori bukan hanya satu orang atau dua orang tetapi satu keluarga! Ya, The Millers ini telah melenggang mulus di tangga box office Amerika Serikat pada fall season 2013 ini dengan mengumpulkan lebih dari 150 juta dollar. Enough reason?

Penyelundup kelas teri, David secara naas dirampok di gedung apartemennya sendiri. Uang bosnya, Brad Gurdlinger yang lenyap membuatnya tak kuasa menolak tugas mengambil ganja di Mexico. Demi melancarkan aksinya, David menyewa dua tetangganya, stripper Rose dan remaja lugu Kenny beserta kawannya yang homeless Casey. Keempatnya berpura-pura sebagai keluarga The Millers yang sedang berlibur agar tidak dicurigai polisi perbatasan. Perjalanan dengan caravan mewah itu kemudian mempertemukan mereka dengan orang-orang tak terduga yang membahayakan penyamaran.
Skrip yang dikerjakan oleh Bob Fisher, Steve Faber, Sean Anders dan John Morris ini terbilang setia pada pakem “family sticks together no matter what” dimana garis finish sudah ditetapkan sejak awal. Awkward moments berhasil dibangun karena mereka bukanlah keluarga dalam arti yang sesungguhnya. Dalam prosesnya mengandalkan segala elemen komedi yang ada mulai dari slapstick, karikatural, dirty jokes hingga konten seksual yang vulgar. Tidak heran mengingat rating R yang disandangnya sehingga tak semua orang bisa menikmatinya dengan aman. You know what i’m sayin?

Sutradara Thurber ‘menjual’ interaksi para karakternya yang memang variatif dalam menjaga pace film yang berada di jalur komedi dan drama sekaligus. Tak hanya internal The Millers tetapi juga eksternal dengan The Fitzgeralds ataupun lainnya yang silih berganti keluar masuk secara episodik. Konsep road movie juga terbangun sempurna seiring perjalanan caravan mereka ke Mexico City lewat penjabaran konflik yang masuk akal dan sangat mungkin terjadi. Lantunan tembang lawas Waterfall milik TLC pada salah satu scene diyakini sukses menghadirkan tawa hangat anda.

Sudeikis secara gemilang mampu menjembatani berbagai karakter sekaligus melalui tokoh Clark yang egois dan tak simpatik itu. Aniston menjawab tantangan dengan keberaniannya ‘stripping’ selain menunjukkan naluri kewanitaannya sebagai ibu dan istri. Roberts tidak mengecewakan sebagai remaja homeless bermasalah yang masih mencari jati diri. Poulter mungkin paling menyita perhatian anda dengan status underdog nya. Selain itu masih ada Helms, Offerman, Hahn, Sisley yang tidak sedikit memberikan kontribusi mereka dalam menghadirkan heartfelt dan awkward moments bersamaan.

We’re The Millers sesuai premis memikat yang disandangnya bisa jadi akan menawan hati anda dengan mudah karena spontanitas dan totalitasnya dalam mengolok-olok konsep keluarga disfungsional. Sederetan memorable scenes yang lucu sekaligus menyentuh mungkin turut membekas dalam ingatan selepas menyaksikannya. Jelas tidak diperuntukkan bagi penikmat komedi ‘sopan’ yang tidak siap dengan suguhan ‘ekstrim’. For me, this is another lesson about how to fit your position into family matters while laughing yourself out loud along the way. Totally worth its ride!

Durasi:
110 menit

U.S. Box Office:
$147,710,416 till mid October 2013

Overall:
8 out of 10

Movie-meter:

Sabtu, 19 Oktober 2013

CAPTAIN PHILLIPS : Terrifying Ordeal At The Sea


Quote:
Captain Richard Phillips: Listen up, we have been boarded by armed pirates. If they find you, remember, you know this ship, they don't. Stick together and we'll be alright. Good luck.

Nice-to-know:
Sewaktu interview dengan NPR dalam program "Fresh Air", Tom Hanks mengaku bahwa ia berjumpa pertama kali dengan aktor-aktor yang berperan sebagai bajak laut Somalia langsung pada syuting adegan di jembatan.

Cast:
Tom Hanks sebagai Captain Richard Phillips
Barkhad Abdi sebagai Muse
Barkhad Abdirahman sebagai Bilal
Faysal Ahmed sebagai Najee
Mahat M. Ali sebagai Elmi
Michael Chernus sebagai Shane Murphy
Catherine Keener sebagai Andrea Phillips 


Director:
Merupakan feature film kedelapan bagi Paul Greengrass setelah Green Zone (2010).

W For Words:
Ada yang sudah menonton film Denmark berjudul A Hijacking (2012) dimana bajak laut Somalia bernegosiasi dengan pihak-pihak berwenang Kopenhagen? Jika sudah, anda bisa bandingkan dengan produksi kolaborasi Michael De Luca Productions, Scott Rudin Productions, Translux dan Trigger Street Productions yang satu ini. Setidaknya ada dua nama besar yang menjadi jaminan mutu di dalamnya yaitu sutradara peraih nominasi Oscar, Paul Greengrass dan tentunya aktor kawakan penerima Piala Oscar, Tom Hanks.

Tahun 2009, kapal container Maersk Alabama bermuatan lebih dari 15,000 kubik cargo milik Amerika Serikat berlayar menuju Mombasa, Kenya. Sang kapten, Richard Phillips memerintahkan 20 krunya dengan penuh otoritas. Tak lama kemudian, dua kapal boat berisikan bandit Somalia menguntit dan bertekad membajaknya. Empat di antaranya berhasil naik dan mengambil alih kekuasaan dengan senjata api. Ketuanya Muse menyandera Phillips dan melarikan diri dengan sekoci. Namun Angkatan Laut tidak tinggal diam dan memulai operasi pembebasan.
Penulis skrip Billy Ray berdasarkan novel biografi karangan Richard Phillips sendiri bersama Stephan Talty, A Captain’s Duty: Somali Pirates, Navy SEALs, and Dangerous Days at Sea yang terbit di tahun 2010 ini tidak kehilangan fokus saat harus berpindah dari ‘panggung’ berskala besar ke yang lebih kecil. Kesemua karakter yang terlibat memegang kunci masing-masing sehingga pertukaran dialog yang terjadi begitu hidup sesuai dengan situasi yang dihadapi. Kita sebagai penonton tetap dikawal ketat mengikuti moment to moment terlepas dari ending yang mungkin sudah bisa diprediksi.

Sutradara Greengrass yang terkenal dengan shaky handheld cam style nya (thanks to The Bourne trilogy) masih mempertahankan trademark tersebut. Tak jarang anda benar-benar merasa mabuk laut dibuatnya saat arus dan ombak mengombang-ambingkan kapal di tengah perairan terbuka itu. Storytelling yang straightforward cenderung tidak mengurangi tensi samasekali. Layer demi layer yang dibuka selama lebih dari dua jam durasinya seakan memberi waktu yang cukup bagi anda untuk betul-betul mengenal situasi yang dihadapi Phillips, bajak laut bahkan pihak militer US sekalipun.

Konsistensi Hanks dalam berakting dari masa ke masa memang patut diacungi jempol. Upayanya menghidupkan sosok Phillips begitu luar biasa sehingga klimaksnya terasa emosional. Bagaimana pergeseran karakteristiknya selama empat hari penyanderaan merupakan salah satu highlight dalam film ini. Abdi sebagai lawannya terbilang fenomenal sebagai debutan. Sosok Muse yang awalnya dibenci justru semakin manusiawi seiring waktu berjalan. Abdirahman, Ahmed dan Ali pun tak kalah cemerlang dalam membangun dramatisasinya secara wajar.

Captain Phillips adalah sebuah biopic menegangkan yang tak boleh dilewatkan. Bagaimana kekerasan dan ketakutan yang mewarnai pembajakan dan penyanderaan disuguhkan dengan begitu nyata tanpa faktor berat sebelah di antara subyek dan obyeknya. Format IMAX sebetulnya tidak terlalu diwajibkan bagi real moviegoers yang mengharapkan eksperimen ‘lebih’ dengan gambar dan suara dari biasanya. In the end, it’s all about the combination of smart filmmaking and captivating performances by its cast. Ready for the adventure and be the witness?

Durasi:
134 menit

U.S. Box Office:
$53,300,000 till
mid October 2013

Overall:
8 out of 10

Movie-meter:

Kamis, 10 Oktober 2013

MANUSIA SETENGAH SALMON : Analogi Perpindahan Rumah dan Hati


Quote:
Mama: Kalo kita mau pindah ke tempat yang baru, kita juga harus siap untuk meninggalkan yang lama.

Nice-to-know:
Pergantian sutradara dari Fajar Nugros di Cinta Brontosaurus dimaksudkan untuk mengubah suasana dan tone film secara keseluruhan.

Cast:
Raditya Dika sebagai Dika
Kimberly Ryder sebagai Patricia
Eriska Rein sebagai Jessica
Bucek sebagai Papa Dika
Dewi Irawan sebagai Mama Dika
Mosidik sebagai Christian, editor buku
Insan Nur Akbar sebagai
Sugiman, sopir

Director:
Merupakan debut penyutradaraan Herdanius Larobu yang juga menggarap efek visual sendiri.

W For Words:
Saat ditanya wartawan mengapa 'rajin' sekali menggunakan binatang sebagai judul ceritanya, Raditya Dika mengatakan bahwa binatang memiliki sifat yang khas sehingga dapat dijadikan perumpamaan. Brontosaurus mewakili sesuatu yang usang, kadaluwarsa. Sedangkan Salmon dipercaya selalu berpindah-pindah selama menempuh jarak 1.448 km untuk menemukan pasangannya. Film ini sendiri adalah kelanjutan dari Indonesian summer hit lalu yang sampai hari ini masih tercatat sebagai film terlaris tahun 2013. Fenomenal? Bisa jadi! Tapi tidak mengejutkan mengingat fanbase Dika begitu luas.

Ketika ibunya memutuskan pindah dari rumah semasa dia kecil, Dika yang juga seorang penulis masih berjuang untuk pindah dari hati Jessica yang sudah meninggalkannya. Saat berbicara dengan temannya Rizky, Dika bertemu cewek cantik Patricia yang bekas teman sekolahnya dulu. Pendekatan berjalan lancar hingga keduanya sepakat jadian. Masalah mulai muncul tatkala Patricia mengetahui isi hati Dika yang sesungguhnya. Sementara itu pencarian rumah baru bersama ibunya tak kunjung berakhir selain ayah Dika yang merasa hubungan dengan putranya sendiri kian berjarak. 

Dika sebagai penulis skrip tahu betul bagaimana memasukan 'his real life stories' untuk dirasakan, bahkan ditertawakan pula oleh penonton. Karakter ayah, ibu, adik-adik, teman-teman bahkan sopirnya silih berganti masuk frame untuk memperkaya plot sehingga film ini dapat dikategorikan family movies. Urusan hati tetap mendapat porsinya sendiri, terwakili oleh sang mantan yang masih hilir mudik dalam hidup Dika maupun kekasih anyar yang mempertanyakan keseriusan Dika. Secara konten memang harus diakui lebih kaya dibandingkan prekuelnya yang terlampau linier karena banyak bicara tentang ego itu.


Sutradara Larobu yang lebih dikenal dengan sebutan Capluk itu nyatanya bukan orang baru di bidang perfilman. Produser Chand Parwez mengaku sudah mengenalnya sejak Kafir / Satanic (2001). Kesempatan menggarap feature film debutnya tak disia-siakan. Kejelian menangkap momen jelas nilai plus dalam produksi di samping pemilihan setting 'sehari-hari' yang cukup variatif. Dukungan sinematografi Yadi Sugandi, editing rapi Cesa David, scoring music Andhika Triyadi dan desain Khikmawan serta sumbangan lagu tema dari HiVi semakin melengkapi unsur entertainment nya.
Dika memang terlihat lebih 'simpatik' di sini meski dari segi akting tidak jauh berbeda dari apa yang sudah-sudah. Hadirnya Kimberly menambah value dengan pesona dan keluwesannya membawakan tokoh. Dewi Irawan dan Bucek menyuguhkan nuansa komedik lewat tipikalitas figur ibu dan ayah yang kental. Insan Nur Akbar sukses mencuri perhatian dengan karakter supir Jawa lugu nan mengganggu. Standup comedian Mosidik turut andil sebagai editor Christian layaknya hantu yang bisa muncul dimana-mana. Deretan aktor-aktris langganan Starvision mengisi deretan extra/cameo. Can you guess all of them?

Saya bisa katakan, Manusia Setengah Salmon mungkin akan lebih bersahabat pada penonton non-fans Raditya Dika. Rangkaian ceritanya yang mengalir datar setidaknya masih bisa diamini karena begitu dekat dengan kenyataan. Dika berhasil menganalogikan ‘rumah’ dan ‘hati’ dengan pas tanpa harus kehilangan korelasi satu sama lain. Siapa sih yang tidak pernah merasakan sulitnya 'move on' dari kondisi yang sudah sangat dikenal sebelumnya? We tend to be afraid with new situations instead of accept it as a challenge. For worse or even better, life must go on, right?

Durasi:
100 menit

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:

Rabu, 09 Oktober 2013

PRISONERS : Lock You Up In Moral Ambiguity


Quote:
Keller Dover: Pray for the best, but prepare for the worst.

Nice-to-know:
Kartu nama Detektif Loki menunjukkan nama lengkapnya sebagai David Wayne Loki.

Cast:
Hugh Jackman sebagai Keller Dover
Jake Gyllenhaal sebagai Detective Loki
Viola Davis sebagai Nancy Birch
Maria Bello sebagai Grace Dover
Terrence Howard sebagai Franklin Birch
Melissa Leo sebagai Holly Jones
Paul Dano sebagai Alex Jones
Dylan Minnette sebagai Ralph Dover


Director:
Merupakan f
ilm ke-11 bagi Denis Villeneuve setelah feature terakhirnya Incendies (2010).

W For Words:
Premis penculikan anak yang kemudian menyulut sang ayah untuk bertindak sendiri rasanya sudah ratusan kali dieksekusi.  Lupakan sejenak dwilogi Taken (2008 & 2012) atau Stolen (2012) yang bertempo cepat dengan serentetan aksi superior sang protagonis di dalamnya. Kali ini Alcon Entertainment, 8:38 Productions dan Madhouse Entertainment punya cara berbeda. Itulah yang menjadi alasan utama anda untuk tidak melewatkannya selain faktor aktor-aktris berkualitas yang mengisi deretan cast nya. Jangan pula gentar melihat durasinya yang tidak biasa untuk ukuran sebuah produksi Hollywood.

Keluarga Dover dan Birch merayakan Thanksgiving bersama sebelum menyadari putri mereka, Anna dan Joy hilang begitu saja. Kecurigaan utama pelaku penculikan yang menggunakan caravan itu jatuh pada Alex Jones, pria terbelakang yang IQ nya diyakini sama dengan anak berusia 10 tahun. Sayangnya Detektif Loki tidak menemukan bukti yang kuat untuk menahan Alex yang memang lolos tes dan investigasi. Tak sabar menunggu kerja kepolisian yang dianggap lamban, ayah Anna yaitu Keller sepakat bertindak sendiri melakukan pencarian sekaligus mengumpulkan bukti-bukti selagi waktu terus berjalan.

Skrip yang ditulis oleh Aaron Guzikowski ini memberi kesempatan seluas-luasnya bagi karakter Keller dan Loki untuk berkembang. Selain itu takaran memadai juga dihantarkan masing-masing tokoh-tokoh di luar keduanya sehingga terjalinlah sebuah circle utuh yang saling bertautan. Nobody would stay for what he seemed. Misteri yang berusaha dijaga rapat dari menit pertama sampai terakhir sesungguhnya telah meninggalkan beberapa petunjuk jika anda cukup jeli mengikutinya. Namun tentunya akan ada banyak distraksi subplot yang bisa menyanggah opini anda. So keep guessing till the very end!

Sutradara Villeneuve secara seimbang membagi unsur drama, aksi, suspense dan thriller sekaligus dengan ketajaman visinya menerjemahkan skrip. Sinematografi yang tampak dingin dan sunyi di hari hujan atau bersalju dari veteran Roger Deakins, besar kemungkinan mengingatkan anda pada No Country For Old Men (2007) milik Coen Brothers, kian memerangkap anda dalam labirin konflik. Scoring musik milik Jóhann Jóhannsson juga terasa pas menyuguhkan atmosfir yang diinginkan. Editing Joel Cox dan Gary Roach tergolong efektif menjaga pace film terlepas dari durasi yang tidak singkat. 

Walau identik dengan peran superhero, kapabilitas Jackman menghidupkan peran dramatik tidak boleh diragukan. Tokoh Keller di tangannya berevolusi sempurna, bukan melulu mengenai baik dan jahat, dari figur ayah simpatik menjadi pria yang tidak segan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Tak kalah cemerlang Gyllenhaal sebagai Detektif intuitif dengan track record sempurna. Pergolakan batinnya untuk bertindak lebih dari semestinya begitu kentara. Karisma keduanya sama kuatnya ketika harus berbagi screen bagaikan yin dan yang. 

Masih ada lagi Howard sebagai Franklin yang dilematik atau Dano yang innocently distubing sebagai Alex. Terlepas dari kesan film ‘lelaki’ yang kental, mungkin tokoh wanita terkesan kurang diberdayakan. Toh kesemuanya tetap menampilkan performa memikat. Bello yang begitu rapuh sebagai Grace, Davis yang tampak tegar sebagai Nancy, Leo yang terlihat tenang bijaksana. Si kecil Gerasimovich dan Simmons yang menjadi pokok permasalahan mampu mencuri perhatian di bagian pembuka dengan pelesetan lagu Jingle Bells nya yang nyeleneh itu.

Prisoners secara harfiah dapat diartikan sebagai pribadi-pribadi yang terpenjara. Bagaimana sebuah abduction/kidnapping bisa memiliki efek domino yang begitu luas bagi pelaku maupun korbannya sendiri. Tidak ada aksi reaksi yang tidak diharapkan karena semua berjalan pada jalurnya yang amat believable. Terlepas dari minimnya kekerasan yang mungkin diharapkan, scene penyiksaan tetap akan membuat anda bergidik. This dark gritty crime drama thriller really worth your effort, time and money to be wasted inside the theatre especially with those top notch performances to keep everything grounded.

Durasi:
153 menit

Overall:
8.5 out of 10

U.S. Box Office:
$49,029,007 till October 2013

Movie-meter:

Selasa, 08 Oktober 2013

FLU : Dramatically Massive Epidemic Korean Movie

Tagline:
Death goes viral

Nice-to-know:
Film berjudul asli Gamgi ini sudah tayang di Korea Selatan pada tanggal 14 Agustus 2013 yang lalu.

Cast:
Jang Hyuk sebagai Kang Ji-koo
Soo Ae sebagai Kim In-hae

Park Min-ah sebagai Mirre
Cha In-Pyo sebagai Presiden
Yoo Hae-jin sebagai Bae Kyung-ub
Lee Hee-joon sebagai Byung-ki
Lee
Sang-Yeob sebagai Byeong-woo

Jeon Kook-Hwan sebagai Ma Dong-seok

Director:
Merupakan f
eature film keenam bagi Kim Sung-su setelah Please Teach Me English (2003).

W For Words:
Masih membekas dalam ingatan akan wabah virus flu yang mematikan dalam Contagion (2011) atau World War Z (2013). Kini rumah produksi Korea, iLoveCinema dan iFilm Co.membuat versinya dimana hak distribusi dipegang langsung oleh CJ Entertainment. Beruntung publik Indonesia bisa menyaksikannya lewat jaringan bioskop Blitzmegaplex walaupun harus terlambat dua bulan. Sederetan aktor-aktris ternama negeri ginseng dikerahkan untuk menghidupkan suasana chaos. Tak heran jika wajah-wajah familiar akan anda temukan dalam film yang menghabiskan total bujet 9,9 juta won.

Sejumlah imigran gelap diselundupkan ke Bundang dekat Seoul. Virus flu H5N1 menewaskan semua kecuali Monssai yang menyebarkan ke seantero warga sipil di dekatnya akibat melarikan diri dari kakak beradik Byeong-woo dan Byeong-ki. Kontan wabah tersebut meluas hingga memaksa Presiden mengambil tindakan yaitu melakukan evakuasi untuk menghentikan penyebaran. Sementara itu dokter yang juga single mom, In-hae bertekad menyembuhkan anaknya Mirre yang tertular dengan bantuan petugas Tim Penyelamat baik budi, Jigu yang juga menaruh hati padanya.
Layaknya film Korea yang kerap menitikberatkan pada nilai-nilai keluarga, yang satu ini bukan pengecualian. Small units yaitu Jigu dan ibu anak In-hae dan Mirre membawa semangat itu, lengkap dengan melodrama episodiknya di paruh kedua sampai film berakhir. Teori konspirasi dari pihak-pihak berwenang dalam menangani wabah juga turut memperkaya konflik. In the end, it might only be the worst situation that happened in Bundang, small city with approx half million population. Namun nyatanya tetap mampu memberikan efek global yang dibutuhkan tanpa terkesan ambisius.

Sutradara Kim melakukan intertwining setiap porsi subplot nya dengan baik sehingga tidak kehilangan fokus. Terima kasih pada kerapian editing Nam Na-young dan kecermatan DOP Lee Mo-gae mengambil suasana kericuhan publik baik steady maupun handheld. Belum lagi kemegahan scoring music yang terbilang efektif menjaga tempo film yang berjalan lebih dari dua jam. Efek virus flu yang mengerikan mulai dari ruam kulit, batuk parah, semburan darah juga sukses membangun paranoia penonton, terlebih ancaman kehilangan orang-orang terdekat dalam hidup kita.

Jang Hyuk yang biasanya bermain komedik kali ini mengusung jiwa patriotik yang meski terkesan berlebihan langsung membuat penonton berpihak padanya. Sebaliknya Su Ae yang insecure dan memegang kode etik kedokteran justru dihadapkan pada situasi yang menuntutnya berubah drastis. Si kecil Min-ha menampilkan akting lugu menggemaskan nan memikat dengan spontanitas dan high curiosity nya. Aksi heroik penuh wibawa dilakoni In-pyo sebagai Presiden yang mendapat tekanan internal, militer sekaligus pihak asing yang mulai mencampuri otoritasnya.

Flu adalah disaster movie dengan intensitas tinggi. Tak jarang esensi konfliknya begitu menekan anda hingga ke ulu hati termasuk perpanjangan klimaks menjelang ending. Atmosfirnya yang depresif juga secara konstan menyetir anda untuk bisa merasakan bagaimana jika berada dalam kondisi demikian. Berbagai informasi teknis dari segi medik ataupun sosial politik yang seharusnya kuat mendukung memang sedikit terabaikan. Toh semua itu tak menghalangi keberhasilan filmmaker Kim dalam menyuguhkan mass hysteria cause by epidemic. This horrible but logically expected under those circumstances sci-fi thriller will stuck in your mind for a while.

Durasi:
121 menit

Overall:
8 out of 10

Movie-meter:

Minggu, 06 Oktober 2013

GRAVITY : Spectacular Space Survival Ride


Tagline:
Don't Let Go

Nice-to-know:
Penggarapan Gravity sempat terombang-ambing selama empat tahun karena perfeksionisme Cuarón yang menginginkan inovasi teknologi yang lebih tinggi lagi.

Cast:
Sandra Bullock sebagai Ryan Stone
George Clooney sebagai Matt Kowalski
Ed Harris sebagai Mission Control
Orto Ignatiussen sebagai Aningaaq
Paul Sharma sebagai Shariff
Amy Warren sebagai Explorer Captain


Director:
Merupakan f
ilm ke-16 bagi Alfonso Cuarón setelah feature terakhirnya Children of Men (2006).

W For Words:
Ayo tunjuk tangan siapa di antara anda yang waktu kecil sempat bercita-cita menjadi astronot ketika ditanya guru? Setelah dewasa mungkin sebagian besar diantaranya sudah mengurungkan niat tetapi masih berpikiran bahwa profesi astronot itu keren. Namun semua opini tersebut dijamin akan berubah seratus delapan puluh derajat selepas menyaksikan persembahan terbaru Warner Bros., Esperanto Filmoj dan Heyday Films ini. Tidak percaya? Buktikan saja. Saya rekomendasikan versi 3D, IMAX 3D atau bahkan 4DX untuk pengalaman sinematik yang lebih nyata. Worth the higher admission price!

Ahli medis Dr. Ryan Stone menjalani misi luar angkasa pertamanya bersama astronot kawakan Matt Kowalski yang berniat pensiun segera. Tugas yang semula tampak tenang dan sederhana itu berubah menjadi bencana ketika serpihan satelit Rusia menerjang stasiun mereka hingga hancur berantakan. Beruntung Matt sempat ‘mengikat’ Ryan sebelum terombang-ambing dalam kepanikan dimana cadangan oksigen nya kian menipis. Komunikasi dengan Houston yang terputus ditambah perjalanan jauh menuju statsiun terdekat membuat harapan hidup keduanya menjadi minim. 

Skrip yang dikerjakan oleh ayah dan anak Cuarón, Alfonso dan Jonás ini sepintas memang terkesan ‘ringan’ tanpa subplot. Murni interaksi antara kedua karakter utama yang berlawanan jenis tanpa tendensi seksual eksplisit dari awal sampai akhir. Demi menjaga tensi film maka dimaksimalkan berbagai macam elemen sebagai penguat cerita seperti persediaan oksigen yang hampir habis, kesigapan bergerak di hampa udara, kemampuan mengoperasikan mesin hingga keinginan kuat untuk bertahan hidup dalam rentang waktu yang demikian terbatas. 

Sebagai filmmaker handal, Alfonso jelas tahu betul bagaimana memvisualisasikan konsep yang ada di kepalanya. Setting stasiun dan kapal luar angkasa dibangun sedetail mungkin melampaui berbagai referensi yang sudah ada dari film sejenis. Pergerakan kamera yang smooth dari berbagai angle kinerja Emmanuel Lubezki juga sangat memikat. Bukan hanya mata, indera pendengaran anda pun dimanjakan dengan sound design yang apik mulai dari yang silent sampai menggelegar sekalipun. Sumbangsih scoring music nan grande dari composer Steven Price juga tak main-main. 

Besar kemungkinan Bullock akan dinominasikan kembali sebagai aktris terbaik di banyak ajang penghargaan film internasional tahun depan melalui performa primanya sebagai Stone. Lihat ekspresi wajah dan dengar intonasi suara saat ketakutan melanda tanpa harus menghilangkan sosok ilmuwan cerdas dan berkemauan keras. Tokoh Kowalski bisa jadi mengingatkan anda pada Chris Kelvin dalam Solaris (2002) yang sama-sama dimainkan Clooney. Gaya perayu flamboyan paruh baya yang dibawakannya di sini tergolong sah saja demi membangkitkan suasana rileks barang sejenak. Ada yang mengenali suara Harris sebagai Mission Control?

Tak dipungkiri, Gravity adalah obsesi tingkat tinggi sekaligus puncak prestasi seorang Cuarón sejauh ini. Sebuah tontonan sempurna yang mampu menstimulasi multi indera penonton secara efektif dari awal sampai akhir. Audiences will be emotionally challenged. Sebuah pengalaman sinematik kaya perspektif yang akan bertahan lama di dalam memori anda selepas meninggalkan bangku bioskop. Most of us could never imagined what it feels like being up there hopeless with fears around. That would be the key for success to gain cult status among survival thriller in years to come.

Durasi:
90 menit

Overall:
8.5 out of 10

Movie-meter:

Sabtu, 05 Oktober 2013

RUSH : Iconic Rivalry and Friendship On/Off The Track


Quote:
James Hunt: The closer you are to death, the more alive you feel. It’s a wonderful way to live. It’s the only way to drive.

Nice-to-know: 
Brühl and Hemsworth tidak diperkenankan mengendarai mobil Formula 1 sungguhan.

Cast:
Chris Hemsworth sebagai James Hunt
Daniel Brühl sebagai Niki Lauda
Olivia Wilde sebagai Suzy Miller
Alexandra Maria Lara sebagai Marlene Lauda
Pierfrancesco Favino sebagai Clay Regazzoni
David Calder sebagai Louis Stanley


Director:
Merupakan feature film ke
=22 bagi Ron Howard yang mengawalinya sejak Grand Theft Auto (1977).

W For Words:
Jika anda mencari referensi film ‘balap mobil’ terbaik sepanjang masa di internet, bisa jadi akan muncul dua judul yakni Grand Prix (1966) atau Winning (1969). Yes, it was very long time ago. Yang terbaru yang bisa saya sebutkan hanyalah produksi Perancis, Michel Vaillant (2003) atau Hollywood product, Speed Racer (2008) yang sebenarnya merupakan remake berjudul serupa di tahun 1967. Kali ini sutradara kondang yang juga seorang aktor, Ron Howard mengetengahkan “kisah nyata” bertemakan serupa dengan dua bintang yang kian bersinar namanya. 

Formula 1 di tahun 70an memang menawarkan kemudahan hidup bagi para pembalapnya terutama si tampan dari Inggris bernama James Hunt. Kapanpun dan dimanapun selalu menarik perhatian media dan wanita termasuk supermodel Suzy Miller yang akhirnya dinikahinya. Sang rival dari Austria, Niki Lauda sebaliknya lebih mengandalkan kerja keras dan perhitungan yang matang. Saat balapan maut di situasi yang kurang kondusif mengakibatkan kecelakaan, keduanya lantas harus jatuh bangun bukan hanya di arena tetapi dalam mengarungi hidup itu sendiri. 

Skrip yang ditulis Peter Morgan ini semenjak menit awal sudah menempatkan Lauda dan Hunt di ‘posisi’ masing-masing mulai dari karakteristik menyetir hingga gaya hidup mereka yang begitu bertolak belakang. Penonton seakan dibiarkan menjadi saksi untuk menentukan keberpihakan selama rentang waktu 6 tahun sekaligus mengenal para tokoh pendukung yang secara langsung ataupun tidak turut andil terhadap perjalanan hidup keduanya dalam merangkak naik ke mimbar juara lengkap dengan polemik tak berkesudahan di sepanjang prosesnya.


Brühl  pantas mendapat acungan jempol atas penampilan luar biasanya menyuguhkan aksen Austria yang kental termasuk bahasa tubuh yang begitu mendekati aslinya. Memang secara karakter, Lauda tergolong challenging dimana terjadi pergeseran psikologis yang signifikan sebelum dan sesudah kecelakaan. Hemsworth masih menokohkan stereotype womanizer yang fancy. Tokoh Hunt di tangannya terbukti lebih memiliki aura bintang walau dari tingkat kesulitan tidak terlalu bisa dibanggakan. As supporting characters, Wilde, Maria Lara, Dormer dan McKay jelas tak mengecewakan samasekali.
Sutradara Howard masih menggunakan konsep biopik yang tipikal dimana footage dari siaran televisi masih menjadi motor storytelling. Terlepas dari detail balapan seru dari satu sirkuit ke sirkuit lain yang minim porsinya, presentasi real life Hunt dan Lauda yang dramatis justru menjadi kekuatan utamanya. Toh teknis pengambilan gambar yang variatif tetap membuat anda merasakan atmosfir yang sesungguhnya. Pace film juga terbilang dinamis meskipun durasinya panjang. Kontribusi Hans Zimmer dalam ‘menghidupkan’ cerita melalui scoring music megahnya jelas tidak sedikit.

Rush sesuai dengan rating Dewasa yang disandangnya tetap menyisakan adegan-adegan miris yang akan membuat anda mengernyitkan kening. Varian lintasan dan tipe mobil yang disuguhkan memang menghadirkan sensasi istimewa terlepas dari unsur bahaya yang meliputinya. Bagi saya, emosionalitas persahabatan dan rivalitas yang sesungguhnya saling menguatkan dua legenda F1 ini sudah merupakan elemen kemenangan film tersendiri. But for all of us, seeing fearless instinct competing against analytical thinking while learning life lessons might be the strongest adrenaline rush ever.

Durasi:
123 menit

U.S. Box Office:
$13,686,319 till September 2013

Overall:
8.5 out of 10

Movie-meter: