XL #PerempuanHebat for Kartini Day

THE RING(S) : A short movie specially made for Valentine's Day

Selasa, 14 Mei 2019

THE POOL : Nailbiting Survival Thriller For Another Day


:
Tagline:
6 Metres. Deep Pool. No Ladder. No Way Out.

Nice-to-know:
Sutradara Ping Lumpraleng menemukan ide cerita ini saat menemukan kolam kosong sewaktu mencari lokasi untuk debut penyutradaraannya, Kote Rak Aeng Loei (2006).

Cast:
Theeradej Wongpuapan sebagai Day
Ratnamon Ratchiratham sebagai Koy 


Director:
Merupakan feature film keenam bagi Ping Lumpraploeng setelah Pob na pluak (2014).

W For Words:
Jika diminta menyebutkan survival thriller yang melibatkan air dan predator, mungkin mayoritas dari anda akan menyebutkan Open Water (2003) atau yang terbaru 47 Meters Down (2017). Kesamaannya hanya dimainkan satu atau dua karakter yang selalu terlihat di layar, selebihnya adalah binatang buas yang siap mengancam mereka. Film Thailand produksi T Moment ini memang tidak terkecuali. Perbedaannya terletak pada panggung cerita, bukan lautan, bukan juga samudera melainkan kolam renang kosong yang berkedalaman enam meter. Bagaimana bisa?

Art director, Day baru saja menyelesaikan syuting iklan komersial dan memilih bersantai di kolam renang terpencil. Semua kru telah pergi dan instruksi mengosongkan kolam pun sudah keluar. Malangnya Day ketiduran tanpa menyadari air yang mulai surut. Tak lama kekasihnya Koy malah menyusul terjun ke kolam dimana kepalanya sempat terantuk tembok. Keduanya ditambah anjing Lucky yang terikat rantai di atas kolam lantas berupaya bertahan hidup dan mencari jalan keluar selama berhari-hari. Sementara itu buaya betina yang terlepas juga turut mengancam nyawa mereka. 

Dengan limitasi karakter dan setting, tentunya Lumpraploeng harus pandai memaksimalkan apa yang ia punya. Untungnya semua setup yang dipasang bisa dikatakan berhasil dalam menjaga ritme penceritaan. Penonton akan ‘disiksa’ selama 90 menit, meskipun draft awalnya yang konon berdurasi 150 menit, dengan rasa tidak nyaman dan geregetan melihat kesulitan demi kesulitan yang tak henti menghampiri Day. Saat secercah harapan datang, apapun caranya pasti akan pergi lagi, anda hanya perlu bersabar hingga menit terakhir untuk mengetahui nasib pasangan ini.

Karakter Day sendiri digambarkan begitu manusiawi. Ada keputusan yang membuatnya masuk ranah antagonis. Namun kita bisa mengerti alasannya. Apalagi setelah melihat segala bentuk perjuangan tak kenal lelah, mudah rasanya menggalang rasa simpati pada tokoh ini. Sedangkan Koy bisa dikatakan tipikal gadis manja tak berdaya yang mengandalkan kecantikan dan kemolekan tubuhnya, tapi dipaksa tegar juga karena situasi tak terelakkan. Ada dua bintang binatang yang memberi kontribusi signifikan yakni Lucky yang lucu dan buaya yang berbahaya. Kita harus akui kombinasi CGI, mekanik dan live action keduanya cukup meyakinkan di layar.

Sulit untuk tak mengakui penampilan apik Theeradej Wongpuapan yang membawa beban berat di pundaknya dalam one man show kali ini. Sudah satu dekade semenjak kita terakhir menyaksikan akting mempesonanya dalam Bangkok Traffic Love Story (2009) bersama Cris Horwang yang fenomenal itu. Rasa takut, bingung, kalut, frustrasi diterjemahkannya dengan baik lewat ekspresi dan gestur, ditunjang dengan tubuh kekar berotot membuat kita percaya kehidupan keras yang dilakoni pria berusia 40an ini hingga bisa melakukan apa saja demi bertahan hidup.

Tak sia-sia penantian panjang terhadap film yang penayangannya terus ditunda di Indonesia sejak akhir tahun lalu ini. The Pool mungkin dapat dikategorikan sebagai action fantasy drama yang memposisikan manusia melawan monster (literally) dan ketakutan dalam dirinya sendiri akan masa depan yang belum pasti (metaphorically). Seperti kata pepatah milik Napoleon Hill, “Strength and growth come only through continuous effort and struggle.”
This time, Day might be Lucky enough to see another day. And we can always learn to be brave with our own lives as well.

Durasi:
91 menit

Overall:
8.5 out of 10

Movie-meter:

Selasa, 31 Juli 2018

BROTHER OF THE YEAR : Her Worst Enemy That Never Leaves

Original title:
Nong, Pee, Teerak

Quote:
Jane: Kau tak punya hak menghentikan aku menikah.
Chut: Kenapa tidak? Aku cuma takkan mengizinkanmu.


Nice-to-know:
Dalam film, Sunny dan Yaya memainkan karakter kelahiran Thai-French sedangkan Nichkhun Thai-Japanese. Aslinya Sunny adalah Thai-Singaporean-French, Yaya adalah Thai-Norwegian dan Nichkhun adalah American-born Thai-Chinese.

Cast:
Sunny Suwanmethanont sebagai Chut
Urassaya Sperbund sebagai Jane
Nichkhun sebagai Moji 
Anchuleeon Buagaew sebagai Ibu
Chanchalerm Manasaporn

Director:
Merupakan film keempat bagi Witthaya Thongyooyong setelah The Little Comedian (2015).

W For Words:
Selayaknya orangtua, kita tidak pernah bisa memilih siapa saudara kandung kita, tentunya anak tunggal adalah pengecualian. Anak perempuan ataupun laki-laki tentu saja sama di mata mereka yang melahirkan dan membesarkannya. Namun apakah di mata satu sama lain, mereka punya hak dan kewajiban yang sama untuk dapat saling mengisi? GDH yang dikenal sebagai pioneer dalam industri perfilman Thailand kali ini punya kisah menarik mengenai siblings, yang lagi-lagi dikemas dalam genre komedi romantik dengan cara yang unik.

Chut adalah perjaka ting-ting yang berkarir di bidang periklanan, yang memiliki kekasih Muay yang nyaris tak dianggapnya, yang kerap mabuk dan one night stand dengan wanita yang tak perlu diketahui namanya. Kebiasaan hidupnya berubah saat adiknya Jane pulang dari studinya di Jepang, yang dari segala sisi merupakan kebalikan 180 derajat dari sang abang. Bukan terpacu untuk berbenah diri, Chut malah berusaha menjatuhkan Jane yang segera meniti karir dan berencana menikah dengan kekasih Jepang yang baru dikenalnya, Moji.

Sejak awal kwartet Nontra Kumwong, Tossaphon Riantong, Witthaya Thongyooyong dan Adisorn Trisirikasem tidak membuang waktu untuk mengenalkan para tokohnya, melainkan langsung masuk ke dalam konflik yang kemudian membuka karakter mereka selapis demi selapis lewat presentasi situasi terkini dan juga cuplikan masa lalu. Stigma kakak yang wajib beri contoh kepada adik, atau adik yang harus nurut kepada kakaknya juga dihadirkan di sini. Keberpihakan yang dibangun dari pencapaian hasil sang kakak atau adik itu sendiri, memang tak jarang menimbulkan kompetisi di antara keduanya.

Thongyooyong yang juga duduk di bangku pengisah mampu memadukan gaya hidup bebas masyarakat Thailand dengan kultur moral masyarakat Jepang di jaman modern ini. Coba simak perilaku ibu, ‘bibi’, teman-teman kantor Chut dan bos, calon ibu mertua Jane yang cukup kontras. First act nya yang banyak diisi oleh adegan slapstick dijamin membuat anda terpingkal-pingkal. Sedangkan third act nya yang dramatis niscaya membuat anda menitikkan air mata. Perubahan tone yang signifikan tersebut mampu dijembatani dengan smooth melalui konflik personal Jane dan Chut yang turut berkembang.

Urassaya Sperbund alias Yaya adalah nama baru di dunia layar lebar tetapi kemampuannya memainkan rentang emosi mulai dari marah, kesal, bahagia hingga sedih patut diacungi jempol. Jane dengan cepat akan menarik simpati anda. Sebaliknya Chut yang menyebalkan diperankan dengan apik oleh Sunny yang tampaknya sudah tak asing dengan peran cowok slengean. Terlepas dari peran tipikal cowok baik-baik nan sempurna dan screentime yang terbatas, Nickhun tetap berhasil memberikan sensitifitas pria Jepang yang bertanggungjawab pada diri dan keluarganya ke dalam karakter Moji.

Sesungguhnya Brother Of The Year memiliki isu yang kompleks, yang patut dikaji dari berbagai sisi untuk mendapatkan sebuah obyektifitas yang sempurna. Namun Thongyooyong memilih cara-cara yang klise, yang dibangun melalui momentum pernikahan, untuk meluluhkan kesalahpahamanan di antara keduanya. Secara tontonan terbilang berhasil. Secara kehidupan nyata mungkin anda punya pengalaman sendiri. The point is, this movie served as a sweet reminder that “Brothers and sisters are as close as hands and feet. A friend, might also be an enemy that never leaves.”

Durasi:
124 menit

Asian Box Office:
$66.76 millio
n till Jun 2018 in Thailand

Movie-meter:

Rabu, 22 November 2017

COCO : Cherish Memories To Keep Us Alive


Quote:
Héctor: What are you doing?
Miguel: I'm walking like a skeleton.
Héctor: No, skeletons don't walk like that.
Miguel: That's how *you* walk.
Héctor: No, I don't.


Nice-to-know:
The Land of the Dead dalam film terinspirasi dari kota Guanajuato di Mexico yang terkenal dengan perbukitan rumah yang berwarna-warni.

Cast:
Anthony Gonzalez sebagai Miguel (voice)
Gael García Bernal sebagai Héctor (voice)
Benjamin Bratt sebagai Ernesto de la Cruz (voice)
Alanna Ubach sebagai Mamá Imelda (voice)
Renee Victor sebagai Abuelita (voice) (as Renée Victor)
Jaime Camil sebagai Papá (voice)
Gabriel Iglesias sebagai Clerk (voice)
Lombardo Boyar sebagai Plaza Mariachi / Gustavo (voice)
Ana Ofelia Murguía sebagai Mamá Coco (voice)


Director:
Merupakan feature film kelima bagi Lee Unkrich yang kali ini bertandem dengan debutan Adrian Molina. 

W For Words:
Kenangan adalan peninggalan. Sebuah alat pengingat bagi orang hidup akan seseorang atau sesuatu yang pernah hadir dalam masa lalu mereka, baik ataupun buruk itu. Pixar Studio bersama Disney dengan jeli mengangkat tema tersebut lewat sebuah perayaan tradisi yang kental dengan nilai-nilai keluarga, dari sudut pandang satu individu naif yang punya mimpi besar. Tidak terlalu mengherankan jika anda setia mengikuti karya-karya mereka dari tahun ke tahun, yang bekerja maksimal bagi segala kalangan usia tentunya.

Meski ditentang habis-habisan oleh orangtuanya, seorang bocah laki-laki tetap bermimpi untuk menjadi musisi ternama seperti sang idola Ernesto de la Cruz yang telah lama meninggal. Saat berupaya mencuri gitar peninggalan, Miguel malah terseret ke alam kematian hingga bertemu kakek nenek moyang sekaligus mendiang keluarganya yang ternyata tidak mendukungnya juga. Dibantu Hector, ia berpetualang demi mendapatkan ‘restu’ agar bisa kembali ke dunianya sendiri dan meneruskan cita-citanya sebelum terlambat.

Kwartet Lee Unkrich, Jason Katz, Matthew Aldrich dan Adrian Molina secara cermat menggunakan kultur Mexico, Día de los Muertos sebagai latar belakang cerita. Sebuah tradisi yang rasanya punya sebutan sendiri-sendiri di belahan bumi manapun, sebagai contoh “ceng beng” untuk orang Tionghoa. Beragam karakter yang muncul silih berganti memiliki fungsinya masing-masing dalam bangunan plot. Hanya saja porsi keluarga ‘nyata’ Miguel memang tidak diberi kedalaman sama dengan yang ‘kasat mata’. Jangan lupakan selipan humor sarkastis yang tak jarang menghadirkan tawa spontan. 

Sutradara Sanchez tak hanya memanjakan mata dengan penggambaran warna-warni dunia orang hidup dan mati yang begitu kontras, lengkap dengan jembatan keemasan dari kelopak bunga, tapi juga berhasil mengetuk hati anda dengan penuturan kisah keluarga secara sederhana yang penuh suka duka. Film ini bisa dengan mudah jatuh ke ranah soap opera klise yang mudah terlupakan tetapi peletakkan twist yang elegan di penghujung menghapus stigma tersebut. Berbagai tembang yang hadir di sepanjang film mungkin belum terlalu ear-catchy memorable tapi jelas memiliki kekuatan lirik tersendiri.

Menonton Coco jelas merupakan sebuah investasi, yang kerap bisa diturunkan kepada siapapun untuk menyerap nilai-nilai yang diusungnya. Sebuah coming of age story yang tak hanya mengajarkan kita untuk terus mengejar bintang di langit tapi tak sampai meninggalkan akar itu sendiri. Pixar has found another way to move us from happiness to tears through good and bad memories, that everything can be changed if you believe enough. One more thing, juat because the past didn’t turn out like you wanted it to, doesn’t mean your future can’t be better than you ever imagined. Miguel’s journey will prove it to you!

Durasi:
126 menit

Movie-meter:

Rabu, 27 September 2017

PENGABDI SETAN : Imperious Genre Revival Of Classic Local Horror

Quote:
Rini: Kalo memang itu Ibu, kita bilang sama dia supaya gak ganggu kita lagi.
Suwono: Kuburan kan cuma ada orang mati. Dan orang mati gak bahaya.


Nice-to-know:
Proses syuting memakan waktu selama 18 hari di daerah Pengalengan, Jakarta dan Sentul.

C
ast:
Tara Basro sebagai Rini Suwono
Endy Arfian sebagai Toni
Nasar Anuz sebagai Bondi
Adhiyat Abdulkhadir sebagai Ian
Dimas Aditya sebagai Hendra
Ayu Laksmi sebagai Mawarni Suwono
Elly D Luthan sebagai Nenek Rini
Egi Fedly sebagai Budiman Syalendra
Bront Palarae sebagai Suwono
Arswendy Bening Swara sebagai Ustad
Fachri Albar sebagai Batara
Asmara Abigail sebagai Darmina


Director:
Merupakan feature film keenam bagi Joko Anwar setelah A Copy Of My Mind (2015). 

W For Words:
Salah satu horror cult lokal yang diakui oleh masyarakat luas adalah Pengabdi Setan yang diproduksi Rapi Films pada tahun 1980 dan disutradarai oleh Sisworo Gautama Putra. Meski hanya mengandalkan make up dan kostum seadanya tanpa polesan efek spesial, film yang dibintangi Ruth Pelupessy, WD Mochtar, Fachrul Rozy,  Simon Cader, Him Damsyik dll ini dijamin akan membuat bulu kuduk anda berdiri dengan segala penceritaan dan pengadeganannya. Saat pertengahan tahun lalu mendengar kabar remake nya dengan menunjuk Joko Anwar yang juga memfavoritkannya, I know you’ll be in for this treat

Keluarga Suwono pindah ke rumah nenek Rini yang jauh dimana-mana demi pengobatan Ibu Mawarni yang sakit misterius. Tak lama kemudian Ibu meninggal dan Ayah terpaksa meninggalkan rumah karena pekerjaan. Rini beserta ketiga adiknya Toni, Bondi dan Ian terpaksa tinggal hingga kemudian diganggu oleh hantu perempuan.  Dibantu oleh tetangganya Budiman dan putranya Hendra yang menaruh hati padanya, Rini pun bertekad menguak tabir masa lalu yang disimpan keluarganya rapat-rapat sebelum semuanya terlambat. 

Skenario yang dikerjakan Joko bersama Subagio Samtani, Sisworo Gautama, Imam Tantowi, Naryono Prayitno ini sedianya memberi porsi memadai bagi masing-masing karakternya untuk bernafas dan saling bersinergi. Namun dalam prosesnya, masih terlalu banyak pertanyaan yang mengusik tentang keberadaan satu sama lain yang kerap dibiarkan tak terjawab. Keutuhan keluarga menjadi hal terakhir yang saya pedulikan hingga film berakhir. Jawaban rangkaian teka-teki yang dimaksudkan sebagai twist pun rasanya tidak terlalu dinanti lagi.

Terlepas dari segala kekurangan materi, harus diakui tata artistik, lighting dan pemanfaatan setting menjadi kekuatan yang sulit dipungkiri. Berbagai sudut rumah mulai dari tangga, lorong, sumur, kamar hingga halaman mampu mewujudkan panggung ketakutan bagi setiap karakternya untuk unjuk gigi. Beragam trik jump scares yang cukup konsisten di sepanjang durasinya dijamin membuat anda terpekik kaget hingga spontan menutup mata. Belum lagi lantunan suara Aimee Saras dalam tembang Kelap Malam yang akan merasuk ke dalam benak penonton.



Karakter ayah memang tidak pernah sempurna di film-film Joko, either he’s missing or simply an asshole. Pengabdi Setan kembali mempertegas fakta itu. Tetapi bukan itu yang akan menggarisbawahi review ini, melainkan inisiatif Joko untuk menetapkan benchmark baru bagi para pembuat film genre ini di tanah air yang memang tak seharusnya lari dari citarasa lokal yang kental. Alhasil Pengabdi Setan yang anyar pun sukses mewarisi versi lawasnya akan konsep orisinil horor Indonesia lengkap dengan balutan pesan moral yang diusungnya. Who’s in for another prequel/sequel? Especially after what has been revealed before end credits.

Durasi:
107 menit

Movie-meter:

Jumat, 08 September 2017

IT : Float High Above Fear And Freedom

Quote:
Georgie: Bill? If you'll come with me, you'll float too.

N
ice-to-know:
27 adalah angka yang melekat dalam film ini. Film dirilis 27 tahun setelah serial televisinya ini tepat sebulan setelah ulang tahun Bill Skarsgard yang ke-27. Pennywise kembali ke Derry setiap 27 tahun sekali. Jonathan Brandis yang memerankan Bill muda di film aslinya meninggal di usia 27.

C
ast:
Jaeden Lieberher sebagai Bill Denbrough
Jeremy Ray Taylor sebagai Ben Hanscom
Sophia Lillis sebagai Beverly Marsh
Finn Wolfhard sebagai Richie Tozier
Chosen Jacobs sebagai Mike Hanlon
Jack Dylan Grazer sebagai Eddie Kaspbrak
Wyatt Oleff sebagai Stanley Uris
Bill Skarsgård sebagai Pennywise

Nicholas Hamilton sebagai Henry Bowers
Director:
Merupakan feature film ketiga bagi Andy Muschietti setelah Mama (2013).

W For Words:
Badut ibarat dua mata pisau, ada yang meng
hibur, ada juga yang menakutkan. Tergantung persepsi anda ataupun pengalaman pribadi di masa kecil yang mungkin masih tergambar jelas dalam ingatan. Namun di tangan horror master Stephen King lewat bukunya yang diterbitkan pada tahun 1986 yang telah diadaptasi ke serial televisi awal 90an, tentunya anda semua sudah bisa menebak ke mana film ini akan mengarah. Apalagi di tangan dingin kakak beradik Muschietti, Barbara yang bertindak sebagai produser dan Andries yang bertanduk sebagai sutradara. Hell no!

Remaja Bill Denbrough hidup dalam rasa bersalah setelah adiknya Georgie hilang secara misterius saat bermain dengan kapal kertas buatannya di tengah hujan. Bersama Eddie, Stanley, Richie yang tergabung dalam The Losers, mereka lantas bertemu dengan Beverly, Ben, Mike yang juga kerap dibully, termasuk oleh Henry dkk. Kawanan tersebut kemudian menemukan fakta adanya berbagai insiden aneh masa lampau yang sempat terjadi di kota kecil Derry itu, yang mengarah pada sosok badut misterius Pennywise yang terus mengintai rasa takut tanpa batas.
Cary Fukunaga memang batal mengepalai proyek cult ini tapi tak lantas menyurutkan langkahnya untuk memperkaya materi skenario dengan bantuan Chass Palmer dan Gary Dauberman. Pondasi karakter anak-anak mendapat porsi yang memadai. Pahit manisnya hidup yang mereka jalani baik di lingkungan sekolah ataupun rumah tak jarang memberikan kesan coming of age story yang biasa kita jumpai dalam film drama remaja. Oleh sebab itu, rasa simpati dan empati terasa begitu mudah mengetuk pintu kepedulian penonton akan sepak terjang mereka. Hanya saja peran orang-orang dewasa di sekitarnya masih digambarkan satu dimensi, yang membuatnya jatuh di luar garis keberpihakan.

Nama Muschietti memang belum sebesar James Wan ataupun David F. Sandberg sebagai sineas horor modern dengan kekuatan box office. Namun kepiawaiannya mengukur materi novel sebelum memutuskan membaginya dalam dua bagian pantas diapresiasi. Perpindahan setting dari aslinya 50an ke 80an pun bukan tanpa alasan, banyak gimmick yang terbilang mampu memperkuat penceritaan. Kombinasi trik jump scares tradisional plus modern alias CGI juga turut membangun ketegangan yang konstan di sepanjang film. Sinematografer Chung berhasil memaksimalkan pencahayaan dan tata kamera statis dinamisnya hingga menghasilkan atmosfir mencekam.

Lillis dan Wolfhard bisa jadi memperoleh nilai tertinggi di antara anggota The Losers lainnya lewat kapabilitas akting keduanya yang mencuat. Namun Lieberher, Ray Taylor, Jacobs, Dylan Grazer, Oleff tetap mampu mengikat chemistry mereka bertujuh secara utuh. Belum lagi antagonis Hamilton yang mendapat panggungnya sendiri. Sementara itu Bill Skarsgard berhasil keluar dari bayang-bayang sang ayah Stellan atau kakak tertua Alexander yang lebih dulu angkat nama. Peran badut berdansa penebar teror yang diyakini banyak kritikus akan membuka jalan panjang baginya ini dijamin akan menetap lama dalam ingatan anda.

IT adalah sebuah tontonan nostalgic yang menyeramkan sekaligus menyenangkan. Dari rumah The Neibolt Street hingga gorong-gorong bawah tanah kota Derry, emosi dan adrenalin anda akan terus dipacu menyaksikan teror demi teror Pennywise terhadap kepada The Losers. Pemahaman filsafat “mengatasi rasa takut demi menggapai kebebasan” meskipun prosesnya memakan durasi yang cukup lama, menjadi salah satu highlight penting yang membuat semuanya utuh dan dapat diterima nalar. This millenial edition will float high above its predecessors. And friendship bounds they had offered would never sink.

Durasi:
134 menit

Overall:
8.5 out of 10

Movie-meter:

Selasa, 17 Januari 2017

LA LA LAND : A Honest To Goodness Musical Romance For Life


Quote:
Mia: People love what other people are passionate about.

Nice-to-know:
Menurut komposer Justin Hurwitz, semua track piano direkam oleh pianis Randy Kerber selama pre produksi. Lantas Ryan Gosling belajar piano dua jam setiap hari, enam hari dalam seminggu demi mendalami setiap track hingga sukses memainkan semuanya selama syuting berjalan tanpa bantuan body double atau CGI.

Cast:
Ryan Gosling sebagai Sebastian
Emma Stone sebagai Mia
J.K. Simmons sebagai Bill
Claudine Claudio sebagai Karen
Jason Fuchs sebagai Carlo
Finn Wittrock sebagai Greg
John Legend sebagai Keith         

Director:
Merupakan feature film ketiga bagi Damien Chazelle setelah Whiplash (2014).

W For Words:
Damien Chazelle memang sudah terbukti memiliki kecintaan tinggi terhadap musik. Sempat mengenyam pendidikan di Princeton High School hingga Harvard University dengan spesialisasi drummer jazz, ia akhirnya meninggalkan cita-citanya menjadi musisi dan memilih filmmaking. Sebuah keputusan yang tepat karena feature debutnya yang terinspirasi dari kisahnya sendiri, Whiplash (2014) berhasil meraih 3 piala Oscar. Dua tahun berlalu, kecintaannya terhadap Hollywood pun dituangkan lewat film ini yang bertemakan romansa modern. Judulnya simpel tapi apakah maknanya sesederhana itu?

Sebastian dan Mia mungkin hanya dua dari sekian juta orang di Los Angeles yang memilih untuk mengikuti passion sebagai mata pencaharian. Sebastian adalah pianis jazz yang bekerja di restoran berkelas, yang bercita-cita bisa membuka klub jazz sendiri. Mia adalah barista kedai kopi yang tak bosan mengikuti audisi film, dengan harapan bisa menjadi aktris tenar suatu saat nanti. Keduanya dihadapkan pada problematika serupa, yaitu pembatasan potensi dan kesempatan yang tak kunjung datang. Pertemuan demi pertemuan lantas menyatukan keduanya dalam jalinan asmara sebelum mimpi dan realitas menjadi hambatan.

Chazelle mengemas perjalanan cinta sekaligus mimpi Sebastian dan Mia hanya dalam 4 musim yaitu spring, summer, fall dan winter. Rollecoaster emosi yang juga silih berganti mengisi kanal perasaan mereka pun diterjemahkan secara apik. Dialog yang terkesan raw tak lantas membuat kita mengerutkan kening tapi justru membuka mata kita lebar-lebar sehingga kita bisa mengerti sepenuhnya pergulatan batin mereka dalam membuat tiap keputusan. Struktur plot yang begitu terorganisir mendukung forward storytelling sampai backward conclusion yang begitu ciamik.

Elemen fantasia begitu kuat diterapkan Chazelle dalam teknis penyutradaraannya. Komposisi warna yang kontras menyajikan gambar-gambar yang mencolok mata. Begitupun tone lighting yang selalu disesuaikan dengan mood Sebastian dan Mia dari awal hingga akhir. Belum lagi tata artistik Austin Gorg yang luar biasa. Koreografi buah pemikiran Mandy Moore berpadu serasi dengan alunan musik Justin Hurwitz sehingga tercipta tarian dan lagu yang akan bersinergi secara mudah dengan indera penglihatan dan pendengaran anda.

Istilah three times lucky mungkin tepat mendeskripsikan kolaborasi ketiga Ryan Gosling dan Emma Stone yang berpotensi meraih piala Oscar untuk pertama kalinya setelah sama-sama pernah dinominasikan sebelumnya ini. Who knows? It's a love letter to classic Hollywood romance movies and both did very well with strong chemistry between them. Stone pada khususnya mempertunjukkan kualitas akting yang mumpuni. Lihat bagaimana audisi demi audisi yang dilakoninya, seakan berakting dalam akting yang sesungguhnya mulai dari ekspresi sampai gestur nyata. Gosling seperti biasa mempertontonkan kharismanya yang luar biasa. Permainan musik dan bahasa tubuhnya di atas panggung teramat meyakinkan.

La La Land adalah sebuah tribute sempurna yang rasanya sulit untuk tidak membuat kita jatuh cinta. Jatuh ke dalam buaian mimpi yang terasa menyimpan sejuta harapan atau malah pelukan cinta yang dirasa memberikan beribu kehangatan. Baik mimpi ataupun cinta, keduanya memang butuh kompromi dengan segala konsekuensinya, terlebih saat dihadapkan pada realita yang tak bisa terhindarkan. Chazelle had successfully stated the obvious and transformed a honest to goodness musical romance ever made. A pure cinematic bliss we will remember for such long time!

Durasi:
128 menit

U.S. Box Office:
$74.081.569 till Jan 2017

Overall:
9 out of 10

Movie-meter:

Selasa, 20 September 2016

ONE DAY : Taking Risk For Chance In Love


Tagline:
Would you risk everything, just to be in love for just one day?

Nice-to-know:
Kolaborasi kedua sutradara Banjong Pisanthanakun dengan aktor yang juga penulis skenarionya Chantavit Dhanasevi setelah Hello Stranger (2010).

Cast:
Chantavit 'Ter' Dhanasevi sebagai Denchai
Nittha 'Mew' Jirayungyurn sebagai Nui


Director:
Merupakan film kedelapan bagi Banjong Pisanthanakun setelah Pee Mak Phrakanong (2013).



W For Words:
7 dari 20 film Thailand terlaris sepanjang masa hingga saat ini merupakan produksi GTH (GMM Tai Hub) yang telah menutup usianya tahun lalu setelah sebelas tahun beroperasi yang diakhiri dengan merilis dua film terakhirnya Heart Attack dan May Who yang juga tidak terlalu mencatat hasil memuaskan di tangga box office. Untungnya masa hiatus itu tidak berlangsung lama. Studio yang selalu dikenal dengan production value tinggi dan inovasi berkualitas tersebut menjelma menjadi production house baru di bawah bendera GDH 559 (Gross Domestic Happiness). Karya perdana mereka sudah bisa anda nikmati mulai minggu ini yang mengusung dua nama besar yaitu Banjong Pisanthanakun dan Chantavit Dhanasevi. Penasaran kan?

Staf IT berusia 30 tahun, Denchai adalah invisible man di kantornya. Nyaris tidak ada yang mengingat namanya apalagi mempedulikan keberadaannya. Diam-diam ia mengagumi si cantik Nui dari divisi Marketing yang ternyata menjalin hubungan gelap dengan bos perusahaan, Top yang sudah beranak istri. Ketika outing tahunan diadakan di Hokkaido, Nui mengalami kecelakaan dan menderita hilang ingatan selama satu hari. Lantas Denchai menggunakan kesempatan itu untuk mengaku sebagai pacarnya. Apakah kebersamaan mereka akan berlanjut, atau harus berakhir?

Sutradara Banjong Pisanthanakun pernah meraih sukses besar lewat komedi romantis Hello Stranger (2011) yang juga digagasnya bersama sang aktor Chantavit Dhanasevi. Formula yang nyaris serupa dengan tema yang berbeda berusaha dihadirkan, dimana setting dipindahkan dari Korea ke Jepang. Humor-humor situasi yang khas kembali mengisi lewat karakter-karakter pendukung yang hadir dalam porsi secukupnya saja tapi tetap memorable. Walaupun pada akhirnya saya agak menyayangkan keputusan final dalam film yang mereka buat karena akan sangat mempengaruhi kelanjutan nasib GDH 559 di masa mendatang. 

Suasana perkantoran yang statis di paruh awal berhasil memperkenalkan dua tokoh utamanya yang ‘kesepian’ dengan pergolakannya masing-masing. Hokkaido yang terasa dinamis dengan segala daya tarik wisatanya menjadi panggung bertutur yang dilematis di paruh akhir. Berbagai metafora yang disematkan di sepanjang penceritaan mampu mendorong plot ke arah pembabakan yang dituju secara jelas. Sebut saja lonceng permohonan, tombol kejujuran, figur kejutan sampai menara es.

Chantavit rela melakukan permak terhadap dirinya sendiri demi masuk ke dalam karakter Denchai. Wig keriting, susunan gigi yang tidak rapi plus kacamata kutu buku yang membuatnya terlihat berbeda. Gestur nerd yang ditampilkannya juga didukung oleh padanan kostum yang juga believable. Nittha memulai debut layar lebarnya dengan gemilang dimana setiap presence nya selalu ditunggu penonton. Mata besarnya seakan lebih berbicara daripada kata-kata yang keluar dari mulutnya sendiri. Sosok Nui yang easy going di luar tetapi rapuh di dalam mampu dibawakannya dengan lugas.

Jika anda termasuk dalam kategori lajang kota besar yang berkarir mungkin akan dengan cepat merasa familiar dengan penokohannya. Denchai atau Nui bisa jadi anda sendiri, atau salah satu dari orang di sekitar anda. Dengan pace yang konstan, One Day akan membuat anda terlarut hingga tanpa sadar menangis dalam suka hingga tertawa dalam duka. It’s a moody romance with emotional rollercoaster you should not miss! Cinta memang seringkali membuat kita bersikap egois, karena kebahagiaan kita sendiri yang menjadi taruhannya. But we all still need love, don’t we?

Durasi:
134 menit

Overall:
8.5 out of 10

Movie-meter:

Selasa, 30 Agustus 2016

TRAIN TO BUSAN : Unstoppable Ride For Zombie Bite

Tagline:
Life-or-death survival begins.

Nice-to-know:

Premiere pada Cannes Film Festival 2016 pada section Midnight Screening.  

Cast:
Gong Yoo sebagai Seok-woo
Kim Su-an sebagai Su-an
Jung Yu-mi sebagai Seong-kyeong
Ma Dong-seok sebagai Sang-hwa
Choi Woo-shik sebagai Young-guk
Ahn So-hee sebagai Jin-hee
Kim Eui-sung sebagai Yong-suk
Choi Gwi-hwa sebagai gelandangan
Jung Suk-yong sebagai Captain of KTX
Ye Soo-jung sebagai In-gil
Park Myung-sin sebagai Jong-gil
Jang Hyuk-jin sebagai Ki-chul
Kim Chang-hwan sebagai Kim Jin-mo

Director:
Merupakan feature live-action perdana bagi Yeon Sang-ho yang sebelumnya menggarap enam animasi.

W For Words:
Selama puluhan tahun, George A. Romero dan John A. Russo telah membagi para pecinta zombie menjadi dua kubu yaitu zombie berjalan dan zombie berlari.  Mana yang lebih disukai dengan berbagai alasan di baliknya biarlah menjadi preferensi anda. Kini zombie apocalypse terbaru versi Yeon Sang-ho yang sempat diputar pada Cannes Film Festival 2016 ini siap menambah panjang daftar film sejenis. Namun bagi penggemar film Asia pada khususnya, hal ini jelas merupakan kabar gembira. It means you might expect to get humanity sides more than anything else. Well, is that so?

Pialang Seok-woo mungkin bukan ayah yang baik bagi Su-an, hingga berniat memberikan kado ulang tahun terbaik yaitu mengantar putrinya tersebut menemui ibunya alias mantan istrinya di Busan dengan menggunakan kereta express KTX. Dalam perjalanan, mereka bertemu pria tangguh Sang-hwa dan istrinya yang tengah mengandung Seong-kyeong, kawanan pemain bisbol yang dipimpin Young-guk dan pemandu sorak Jin-hee yang menyukainya, dua bersaudari lanjut usia, gelandangan serta ratusan penumpang lainnya. Epidemi misterius nan mematikan kemudian menentukan nasib mereka semua.

Nama Yeon Sang-ho memang belum setenar Park Chan-wook, Bong Joon-ho atau Kim Ki-duk. Namun live-action perdananya ini saya yakini akan langsung membawanya ke jajaran sutradara kelas A negeri ginseng. Skenario yang juga ditulisnya ini sepintas terlihat linier, tetapi jika ditelusuri lebih dalam, sesungguhnya Yeon telah menyematkan beberapa twist dan turns yang menjadi kejutan menarik hingga end credits bergulir. Semuanya dirangkai secara piawai lewat pengenalan multi karakter yang begitu berwarna lengkap dengan identitas konflik masing-masing.

Yeon masih setia menggunakan metode bertutur tiga babak secara efektif terlepas dari limitasi durasi yang mengekang. Universe yang ia ciptakan, meski masih menyisakan sebagian pertanyaan mendasar yang tidak pernah terjawab hingga akhir, berhasil menjadi panggung bertahan hidup yang sangat meyakinkan. Kecepatan zombie mengejar manusia berbanding lurus dengan pacing film yang juga konsisten mengantar penonton pada tujuan yang ingin dicapainya. Tim efek khusus pantas diacungi jempol dengan kinerja maksimal yang dipertunjukkannya. 
















Barisan cast sukses mempertahankan pakem dramatisasi yang biasanya melekat pada film-film Korea. Gong Yoo yang bertransformasi sifat usai menghadapi situasi hidup mati didukung oleh si kecil Su-an yang konsisten dengan pemikiran lurusnya. Sementara Dong-seok adalah tipikal hero sejati, kontras dengan Yu-mi yang terlihat tak berdaya. Ada lagi kawula muda yang diwakili Woo-sik atau manula oleh Soo-jung dan Myung-sin. Sedangkan Yong-suk diyakini mampu menganulir keberpihakan penonton dengan sikap dan perangainya.

Train To Busan adalah sebuah perjalanan spektakuler yang mampu mengaduk-aduk emosi penonton sejak stasiun keberangkatannya. Tidak perlu khawatir akan materi darah dan kekerasan yang tergolong minim di sini. Beberapa perhentian melodrama yang kerap bermuatan kritik sosial akan memberi waktu bagi jantung anda, yang tak disadari kian terpacu, untuk beristirahat sejenak. Karakter manusia memang kompleks. Still it’s better to be alive, right? Now the signal is on. Just get on board into nearest cinema as quick as you can for such memorable experiences!

Durasi:
118 menit

U.S. Box Office:
$1.644.123 till August 2016

Movie-meter:


Selasa, 08 Desember 2015

MIDNIGHT SHOW : Unravel Mystery In Bloody Theatre

Quote:
Johan: Ya meskipun satu penonton tetap harus kita layani.

Nice-to-know:
Sutradara Ginanti Rona sempat diganggu dimana saat take, earphone nya terdengar suara berisik dan tawa wanita padahal semua kru dan pemain sedang tidak bersuara.

Cast:
Gandhi Fernando sebagai Juna
Acha Septriasa sebagai Naya
Ratu Felisha sebagai Sarah
Ganindra Bimo sebagai Tama
Boy Harsya sebagai Ikhsan
Gesata Stella sebagai Lusi
Arthur Tobing sebagai Seno
Ronny P. Tjandra sebagai Johan
Daniel Topan sebagai Allan
Ade Firman Hakim sebagai Guntur
Rangga Djoned sebagai Heru
Citra Prima sebagai Yuli
Rayhand Khan sebagai Bagas Film
Neny Aggraeni sebagai Desi
Yayu Aw Unru sebagai Purno
Zack Lee


Director:
Merupakan feature debut bagi Ginanti Rona Tembang Asri setelah menjadi astrada dalam The Raid: Redemption (2011).

W For Words:
Siapa nyana duet G bertekad menyuguhkan tontonan berdarah-darah bagi penikmat film Indonesia di awal tahun 2016 mendatang? Mereka adalah Gandhi Fernando dan Ginanti Rona Tembang Asri. Satunya adalah pelakon dan juga pionir dari Renee Pictures yang sudah menelurkan tiga film berbeda genre sejauh ini. Sedangkan yang lainnya sudah berpengalaman sebagai astrada bagi famous Indonesian genre directors yaitu Gareth Evans dan The Mo Brothers selain menggarap secara koperatif sebuah film kecil lima tahun silam. Seperti apa hasil kolaborasi produser dan sutradara ini memang layak ditunggu.

Pengusaha bioskop Johan sedang menunggui anak buahnya berjaga untuk pertunjukan midnight, sebuah film baru berjudul “Bocah” yang konon diinspirasi dari kisah nyata. Satpam Allan yang sudah mengantuk, penjaga loket Naya yang harus menggantikan tugas Lusi yang pulang lebih awal karena sakit dan juga projectionist merangkap penjual snack Juna yang usil. Beberapa penonton pun berdatangan mulai dari pasangan Ikhsan dan Sarah, pria tua Seno serta pria misterius Guntur. Mereka tidak menyadari jika ada sosok bertopeng yang tidak menyukai pemutaran film itu sedang mengintai. 

















Husein M. Atmodjo yang menggarap skenario berdasarkan ide cerita Gandhi ini bertekad memberikan pondasi yang kokoh bagi karakter-karakternya sebelum beranjak dengan konflik yang diusung. Simak saja bagaimana flashback mencengangkan sebagai appetizer yang menggugah rasa. Namun usaha Husein memang belum sepenuhnya berhasil karena adanya kekhawatiran membuka ‘kedok’ terlalu dini. Layer demi layer yang tersingkap seiring waktu akan terus memberi petunjuk bagi anda untuk menebak siapa pelaku sesungguhnya di akhir cerita. Tidak sulit bagi mereka yang mengaku slasher fans.

Ginanti sebagai sutradara tampak menguasai betul panggung bermainnya. Sebuah bioskop tua dengan studio lawas, ruang gelap maupun lorong sempit memang terasa sempurna sebagai arena kejar-kejaran yang menegangkan. Tidak lupa segala gimmick autentiknya mulai dari karcis sobek, poster film non digital hingga loket kaca menambah sisi artistik sekaligus menunjukkan kecintaan pembuatnya terhadap sinema sejak usia dini. Sinematografi dengan low key lighting dari Joel F. Zola sukses menghadirkan suasana mencekam di sepanjang film.














Menarik melihat Acha mengambil peran yang berbeda dari biasanya karena Naya adalah sosok heroine yang jelas akan anda pedulikan nasibnya di sepanjang film. Gandhi memberikan penampilan yang lebih baik dari sebelumnya lewat karakter Juna yang usil tapi tak kenal takut. Kembalinya Ratu Felisha ke layar lebar lewat genre horor thriller pantas diapresiasi sebagai Sarah yang annoying. Sederetan aktor aktris muda yang turut mendukung sukses menghadirkan ‘distraksi’ yang dibutuhkan. Kemunculan sekilas tak lantas mengurangi nilai akting Ronny dan Gesata yang kian matang.

Terlepas dari pace yang sedikit naik turun dan juga flashback yang agak overexposed pada third act nya, Midnight Show merupakan slasher psikologis dengan kajian character study yang pantas diapresiasi karena tidak banyak filmmaker yang mau bersusah-payah melakukan effort serupa untuk genre sejenis. Sebuah film bisa dikatakan berhasil jika mampu melayangkan imajinasi penonton untuk sejenak membayangkan ada dalam situasi yang tengah dialami para tokohnya. If that’s the case then i’d be anywhere else but Podium theatre. Who’s the killer? It’s your task to uncover the mask.

Durasi:
100 menit

Movie-meter:

Senin, 23 November 2015

A COPY OF MY MIND : Gritty Love Within Political Sphere


Quote:
Alek: Loe kalo mau nyari yang bagus, loe cari yang asli lah. Bajakan masa loe protes.

Nice-to-know:
Diproduksi oleh Lo-Fi Flicks dan CJ Entertainment yang juga menjadi distributornya.

Cast:
Tara Basro sebagai Sari
Chicco Jerikho sebagai Alek
Maera Panigoro sebagai Ny Mirna
Paul Agusta sebagai Bandi
Ario Bayu sebagai Hitman
Tony Setiaji sebagai Penjual DVD
Ronny P Tjandra sebagai Pak Ronny

Director:
Merupakan feature film kelima bagi Joko Anwar setelah Modus Anomali (2012).

W For Words:
Dua belas tahun sudah filmmaker bertalenta tinggi yang mengawali karirnya sebagai jurnalis film ini menggeluti industri film Indonesia baik sebagai pelakon, penata skrip ataupun sutradara. Untuk pertama kalinya menjabat sebagai produser eksekutif selain menulis skenario dan menyutradarainya, Joko Anwar berhasil meraih legitimasi tertinggi dalam negeri yakni Piala Citra sebagai sutradara terbaik melalui A Copy Of My Mind yang juga diputar pada berbagai festival luar seperti 2015 Venice International Film Festival, Toronto International Film Festival, Busan International Film Festival ini.

Dua insan kelas bawah metropolitan yaitu Sari, pekerja facial salon kecantikan yang kerap menutup harinya dengan menonton DVD bajakan di kamar kosnya dan Alek, pembuat teks terjemahan yang selalu menghabiskan harinya dengan bekerja di dalam rumah seorang nenek sebatang kara yang dirawatnya. Keduanya lantas dipertemukan oleh ‘film’ dan segera bertautan karena kesamaan hobi. Namun sebuah ‘kesempatan’ yang datang bersamaan dengan riuh rendahnya kampanye calon presiden negeri ini justru mengancam masa depan hubungan mereka.
Pembajakan adalah musuh utama sang kreatifitas yang lumrah dihadapi oleh industri film di negara manapun juga. Joko dengan cerdas mengambil tema ini melalui sudut pandang ‘produsen’ dan ‘konsumen’ yang (bukan kebetulan) saling jatuh hati. Proses pengerjaan hingga distribusi langsung secara detil digambarkan di paruh pertama. Sedangkan paruh kedua diisi oleh gejolak sosial politik yang acapkali memihak kepentingan elite harus bersinggungan dengan masyarakat yang tidak memiliki banyak pilihan selain mengikuti arus sambil mencoba bertahan hidup.

Pendekatan indie memang terasa dilakukan Joko melalui panggung Jakarta yang digambarkan ‘kumuh’ seperti kos padat penghuni, rumah gang, warteg sederhana, jalan sempit dsb yang tak jarang berkesan temaram. Namun jangan ragukan sinematografi Ical Tanjung yang efektif menangkap setiap sudut metropolitan yang terlupakan. Alur lambat tetapi konsisten di setiap babaknya dijamin memberikan waktu yang cukup bagi anda untuk mengenal semua karakternya sekaligus mengikuti konflik yang menjalar perlahan sebelum mencapai titik kulminasi.
Chicco membangun tokoh Alek dari tampilan fisiknya yang tegap dan kumal tapi berhati lembut dan meyakini apa yang dianggapnya benar. Tara menjiwai peran Sari dengan kepercayaan diri tinggi terlepas dari keterbatasan yang dimilikinya dan sentiasa mencari pembenaran dari segala tindakannya. Chemistry mereka yang bermula dari nafsu mulai berkembang menjadi saling membutuhkan dengan semua upaya kompromi yang terlihat jelas. Maera mampu mencuri perhatian di atas limitasi screen time sebagai Ny Mirna yang tegas dan oportunis. Sementara Paul menunjukkan sisi antagonis yang dibutuhkan sebagai Bandi.

A Copy Of My Mind, yang lahir dari kecintaan seorang Joko Anwar sejak belia terhadap film itu sendiri, lebih merupakan sebuah drama kontemporer dengan character study dan conflict relevance yang kental. Sentuhan thriller yang coba dihadirkan di penghujung cerita memang tidak sampai mengubah ‘haluan‘ tetapi dirasa sudah cukup untuk meninggalkan kesan menetap, bahkan setelah anda meninggalkan bioskop. Your mind will be blown by a pair of helpless lovers in seeking of their own entertainment and testament.

Durasi:
118 menit

Overall:
8.5 out of 10

Movie-meter: