XL #PerempuanHebat for Kartini Day

THE RING(S) : A short movie specially made for Valentine's Day

Kamis, 28 Maret 2013

TAMPAN TAILOR : Jatuh Bangun Penjahit Ulung Inspiratif

Penulis: Diaksa Adhistra

Tagline: 
Dia kehilangan segalanya.. Tapi dia tidak pernah kehilangan harapan..

Nice-to-know:
Awalnya akan rilis sekitar bulan Mei-Juni 2013 tetapi dimajukan tiga bulan.

Cast:
Vino G Bastian sebagai Topan
Jefan Nathanio sebagai Bintang
Marsha Timothy sebagai Prita
Ringgo Agus Rahman sebagai Darman

Director:
Merupakan film ketujuh Guntur Soeharjanto setelah Brandal-Brandal Ciliwung (2012).

W For Words:
Sebagian besar di antara kalian pasti sudah pernah menonton The Pursuit Of Happyness (2006) yang diperankan oleh Will Smith dan putranya sendiri. Tak salah jika air mata anda menggenang di akhir film karena haru biru yang berhasil digelorakan dari satu perjuangan mencari penghidupan yang layak. Alim Sudio dan Cassandra Massardi yang bertandem menulis skenarionya memang tidak persis sama karena masih ada penghuni negeri ini yang memiliki kehidupan serupa. Jika tidak percaya coba tengok sekeliling anda secara lebih seksama. 

Jasa menjahit “Tampan Tailor” terpaksa tutup. Sang pemilik, Topan kehilangan segalanya selepas kepergian istrinya termasuk tempat tinggal hingga terpaksa menumpang di rumah sepupunya, Darman dan istrinya yang galak, Atun. Lantas Topan berusaha keras mengambil semua pekerjaan mulai dari calo tiket kereta api, kuli bangunan sampai stuntman film aksi demi menyambung hidup sekaligus menyekolahkan kembali putranya Bintang. Gadis pemilik kios, Prita diam-diam kagum pada upaya pria yang satu itu. Akankah Topan berhasil pada akhirnya?

Suatu kesalutan sendiri dengan sang sutradara yaitu Guntur Soeharjanto alias @toersky yang terang-terangan mengakui kalau karya terbarunya ini memang terinspirasi dari film Hollywood tersebut di atas. Padahal banyak film Indonesia yang terang-terangan menjiplak cerita dari film luar tapi yang membuat film itu sendiri bilang tidak meniru (atau terinspirasi) dari film luar pendahulunya. Guntur juga terampil membesut setiap sudut ibukota yang kerap terlewatkan oleh mata sebut saja stasiun kereta api, flyover yang belum jadi dsb.

Saya pribadi menyukai film ini. Film ini berhasil menggambarkan cerita seorang pria yang berusaha keras untuk menghidupi anaknya walaupun dia sudah tidak mempunyai apa-apa lagi. Tone warna film ini juga lumayan bagus, mewakili sekali dari awal sampai akhir. Kita akan dibuat miris dengan keadaan ayah-anak ini, bahkan jika kalian yang gampang terharu bisa jadi menangis kala menonton film ini. Sayangnya, waktu yang diberikan untuk itu seringkali “diambil”, bisa jadi demi menghindari kesan menye-menye yang terlalu dramatis. 

Ada beberapa artikulasi dialog yang kurang jelas sehingga kita tidak tahu apa yang dibicarakan oleh para pemainnya. Walau demikian, Vino dan Marsha yang juga suami istri di luar layar bermain maksimal sebagai Topan dan Prita. Hanya saja Topan masih terlalu rapi dan klimis menurut pengamatan saya. Si kecil Jefan tak kalah memukau sebagai anak penurut yang penuh empati. Jangan lupakan Ringgo Agus yang berhasil membawa warna tersendiri tanpa harus melucu maksimal sebagaimana biasanya. Tokoh yang sedikit memberi keleluasaan bagi penonton untuk meresapi karakteristik masing-masing.

Tampan Tailor memang sedikit cacat di ending yang terasa antiklimaks. Hubungan ayah anak yang kuat sejak menit pertama seakan berbalik menjadi latar belakang yang tidak istimewa. Sebaliknya romansa yang awalnya bumbu belaka malah menjadi bahan utama. Tak apalah toh kita masih bisa menelaah secara positif sebuah perjuangan hidup inspiratif warga ibukota yang nasibnya kurang beruntung. Tak pelak masih banyak Topan dan Bintang lain di luar sana yang tidak (atau belum) memiliki kesempatan layak untuk setidaknya mencoba peruntungan mereka.

Durasi:
104
menit

Overall:
8 out of 10

Movie-meter:

Jumat, 08 Maret 2013

CRAZY CRYING LADY : Inexplicably Crazy You May Cry


Quotes: 
“Heartbreaks for a day, Remember it for the rest of one's life”

Nice-to-know:
Film yang diproduksi oleh M-Thirtynine Pictures ini telah edar di Thailand pada tanggal 27 Desember 2012 yang lalu.

Cast:
Araya A. Hargate
sebagai Ho
Akom Preedakul sebagai Kom Chaunchuen
Jaroenporn Ornlamai sebagai Nava/Nana
Teeradate Methavorrayuth sebagai Doc
Ray MacDonald sebagai Boyd

Director:
Merupakan f
ilm ketujuh bagi Rerkchai Paungpetch setelah terakhir Valentine Sweety (2012).

W For Words:
Mayoritas film Thailand yang beredar di bioskop Indonesia (sebagian besar lewat jaringan bioskop Blitzmegaplex) tidak pernah mengecewakan saya. Selama ini yang dianggap agak lemah adalah Lulla Man (2011) dan Teenage Love (2012). Nyatanya dua judul tersebut belum mampu menandingi kekurangan film yang berjudul asli Khun Nai Ho ini  Padahal Araya merupakan artis cantik bintang Lux di sana yang ketenarannya tak perlu diragukan lagi. Malangnya ia harus terbiasa mengenakan wig di sepanjang film untuk terlihat lucu? Well, i don’t think it works at all.

Sejak kecil impian Ho sederhana, ia ingin mempunyai bayi sebelum mengetahui ibu dan kakak perempuannya tewas dalam kecelakaan mobil. 20 tahun kemudian, Ho masih tinggal bersama ayahnya Kapten Burapha yang terobsesi kembali ke medan pertempuran dan adik lelakinya Nava yang lebih senang berdandan seperti perempuan. Tiba pada satu ketika dimana rahim Ho akan segera berhenti berfungsi menurut diagnosa dokter Doc yang juga teman kecilnya. Ia lantas bertekad mengandung sesegera mungkin dengan bantuan kekasihnya Boyd.

Paras Araya memang cantik dan kemampuannya untuk terus menangis dalam puluhan ekspresi dari awal sampai akhir pantas diacungi jempol. Namun tokoh Ho tetap belum mampu mendapatkan simpati dari penonton meski nasibnya digambarkan malang sedari kecil. Kesedihan yang bertubi-tubi dialaminya malah terasa berlebihan hingga pada satu titik saya nyaris berteriak “CUKUP!”. Sosoknya juga tidak diperlihatkan bekerja atau setidaknya melakukan sesuatu yang berguna selain mengejar cinta lelaki demi desperasi pembuahan rahim? Oh my Godness!

Di luar Ho, tokoh-tokoh dalam film ini tak kalah mengganggunya. Akom terlihat menggelikan sebagai ayah irrasional karena statusnya sebagai pensiunan militer yang pernah kehilangan rekannya sendiri. Jaroenporn terlihat mengerikan sebagai Nava lengkap dengan implan dada palsu dan kostum semi baletnya yang merusak mata tersebut. Lelucon ala gay/transeksual berulang kali disuguhkan tanpa batasan yang jelas. Satu-satunya yang agak menghibur dari keduanya adalah kemampuan menyamar Kom dan keahlian presentasi Nana dalam video Youtube nya.

Desain produksi memang dibuat memanjakan mata lewat tampilan kostum warna-warni demi memberi penekanan pada penonton bahwa ini adalah komedi slapstick. Sayangnya kinerja sutradara Paungpetch malah kian mengesankan serial televisi dari babak ke babak. Apalagi setting lokasi dalam kota yang demikian terbatas sehingga terbilang gagal menyajikan value yang berarti. Sound efek dari keyboard elektronik semakin memperparah keadaan. Alih-alih lucu memancing tawa, saya malah menganggapnya norak. Nyaris tak ada dialog yang memorable untuk memperkuat konflik yang ada.

Crazy Crying Lady adalah sebuah siksaan dua jam bagi siapapun yang menyaksikannya. Apabila tiap karakter dalam sebuah film gagal menjalin koneksi dengan penonton maka tidak ada lagi yang tersisa. Anda selalu memiliki opsi untuk walkout jika demikian adanya. Mereka semua tidak terkesan ‘manusia’, tidak lucu, juga tidak romantis. Semua plot yang tercerai berai sejak menit awal pada akhirnya berupaya diikat dengan tidak rapi di penghujung kisah. Terlambat sudah! I didn’t get any point in the end. Maybe Thai audiences have different opinions for some inexplicable reasons.

Durasi:
11
5 menit

Asian Box Office:
80,000,000 baht till Feb 2013 in Thailand

Overall:
No rating

Minggu, 03 Maret 2013

SILVER LININGS PLAYBOOK : Unlikeliest Romantic Comedy Bipolar Life


Quotes:
Tiffany: You know, for a while, I thought you were the best thing that ever happened to me. But now I'm starting to think you're the worst.
Pat: Of course you do. Come on, let's go dance.


Nice-to-know:
5 nominasi utama yaitu Best Picture, Best Actor, Best Actress, Best Director, Best Writing dari 8 nominasi Academy Award yang diterimanya, film ini menyusul langkah Reds (1981) dan Million Dollar Baby (2004).

Cast:
Bradley Cooper sebagai Pat
Jennifer Lawrence sebagai Tiffany
Robert De Niro sebagai Pat Sr.
Jacki Weaver sebagai Dolores
Chris Tucker sebagai Danny
Anupam Kher sebagai Dr. Cliff Patel

Director:
Merupakan feature film keenam bagi David O. Russell setelah terakhir The Fighter (2010) yang juga menominasikan dirinya sebagai Sutradara Terbaik dalam ajang Academy Awards 2011.

W For Words:
Nyaris semua orang pernah mengalami kehilangan seseorang yang mereka cintai, entah karena kematian atau segala bentuk perpisahan yang dilandasi oleh rasa ketidakcocokan. Proses move-on kemudian menjadi tahapan terberat untuk menata hidup kembali. Premis itulah yang diangkat dalam novel berjudul sama karangan Matthew Quick yang kemudian dibeli hak adaptasi layar lebarnya oleh The Weinstein company. Awalnya sempat dikabarkan akan diproduseri oleh Sydney Pollack dan Anthony Minghella dimana keduanya meninggal sebelum tahun 2008.

Sekeluarnya dari institusi kejiwaan akibat memukuli selingkuhan istrinya Nikki, Pat Solatano Jr. kembali ke rumah orangtuanya Pat Sr. dan Dolores di Philladelphia. Dr. Cliff Patel yang menangani Pat Jr. mengindikasikan adanya gangguan bipolar dan mengharuskannya menjalani sesi perawatan. Awalnya Pat Jr. yang juga mantan guru itu terobsesi untuk rujuk dengan berbagai cara hingga ia berjumpa Tiffany yang juga pernah dirawat karena gangguan psikologis. Keduanya lantas sepakat saling membantu setelah melalui serangkaian perjanjian unik demi rekonsiliasi.

Kekuatan skrip ini jelas ada pada rangkaian dialog tajam dari dua protagonisnya pengidap bipolar yang kerap menyebabkan perubahan mood secara mendadak, lari dari kenyataan, kesulitan belajar dari kesalahan masa lalu dsb. Keadaan tersebut kian diperburuk oleh pemutusan hubungan, kehilangan pekerjaan, keluarga disfungsi sampai merasa tak diterima oleh lingkungan sekitar. Kompleksitas yang sesungguhnya sangat mungkin terjadi di kehidupan kita sehari-hari tapi jarang yang mau mengakuinya. Pat and Tiff could be anyone of us. Only its’ scale makes the difference betwe
en sane and insane.

Sutradara O’Russell yang sudah lekat dengan bentuk kehidupan nyata seorang bipolar dari putranya Matthew tampak tidak berupaya mendramatisir keadaan yang memang sudah dramatis dari ‘sono’ nya. Bagaimana moment-to-moment scenes yang dari awal sampai akhir didominasi oleh Cooper-Lawrence dieksekusi secara brilian. Setting Philadelphia yang mengedepankan keluarga Amerika modern kelas menengah ini sesungguhnya memiliki pakem baku sebuah komedi romantic meski sesekali menyasar pada konsep satir dalam porsi yang minor.

Kemenangan Lawrence di ajang Oscar menyisihkan empat nominee lain yang jauh lebih senior memang mengejutkan. Namun melihat performanya dalam mengimbangi lawan main yang berusia 15 tahun lebih tua pantas diacungi jempol. Karakternya kompleks dan unpredictable dalam sosok Tiff yang cantik sekaligus rapuh. Akting Cooper juga tak kalah spektakuler dalam menerjemahkan karakter delusional Pat Jr. yang menyedihkan (atau justru mengganggu) tanpa harus kehilangan pesonanya. Jangan kecilkan sumbangsih DeNiro, Weaver, Tucker, Kher yang begitu besar sebagai supporting casts, terlebih melihat ‘polah tingkah’ superstitious Pat Sr. kita bisa tahu mengapa putranya demikian.


Silver Linings Playbook tetaplah sebuah komedi romantis yang berasal dari dunia yang ‘berbeda’. Tak melulu mengeksploitasi pahit manis chemistry pria dan wanitanya, sahabat dan keluarga mereka dalam neighborhood yang sama pun dilibatkan secara serius. Ending cheesy nya memang tergolong klise tapi tetap tak akan menghalangi hadirnya senyum di wajah dan kehangatan di hati anda. Easily connect with us because we’ve all been very emotional through the struggling times. In the end, you might realize it’s the journey of life that matters. Do not ever lose any hope.

Durasi:
122 menit

U.S. Box Office:
$115.697.021 till Mar 2013

Overall:
8 out of 10

Movie-meter:

Sabtu, 02 Maret 2013

WARM BODIES : Skeptically Good Zom-Com Into Lives


Quotes:
Nora: You miss him... like a boyfriend... you miss your zombie boyfriend?

Nice-to-know:
Kisah ini secara tidak langsung didasari oleh "Romeo and Juliet". "R" = "Romeo"; "Julie" = "Juliet; "Perry" = "Paris"; "M/Marcus" = "Mercutio"; "Nora" = Juliet's "Nurse".

Cast:
Nicholas Hoult sebagai R
Teresa Palmer sebagai Julie
Analeigh Tipton sebagai Nora
Rob Corddry sebagai M
Dave Franco sebagai Perry
John Malkovich sebagai Grigio

Director:
Merupakan feature film keempat bagi Jonathan Levine setelah 50/50 (2011) yang menuai banyak pujian dan penghargaan itu.

W For Words:
Cermati poster dan penggunaan judul film ini, anda harusnya dapat merasakan suguhan yang berbeda. Ya. Bagaimana cinta remaja tampil dalam format yang ‘nyeleneh’ yaitu antara manusia dan zombie, lengkap dengan berbagai pakem familiar yang dikreasikan sedemikian rupa untuk memberikan nuansa baru. Ide ini muncul dari Isaac Marion lewat novel berjudul sama yang dipublikasikan pada tahun 2010. Bukan rahasia pula jika Marion yang mengagumi roman sepanjang masa Romeo & Juliet turut memasukkan beberapa elemen tersebut ke dalam ceritanya. Interesting, right?

Populasi manusia di masa depan membentengi wilayah untuk bertahan hidup dari kawanan zombie yang siap memangsa mereka. Saat bergerilya mencari obat-obatan, Julie bersama sang kekasih Perry dan teman-temannya diserang. Adalah zombie muda R yang menewaskan Perry dan mengambil ‘memori’ dari otaknya. Seketika ia jatuh cinta pada Julie yang kemudian diselamatkannya. Lambat laun terjadi interaksi unik di antara keduanya. Kehadiran Julie kian memanusiakan R hingga wajah dunia bisa jadi berubah. Namun kumpulan tengkorak zombie tak tinggal diam.
 
Rasanya tepat mempercayakan Jonathan Levine menulis sekaligus menyutradarai film ini. Visi pemuda bertalenta yang satu ini memang tak jarang menyinggung Twilight saga (2008-2012) yang ‘mengawinkan’ manusia dengan vampir. Jangan buru-buru melakukan justifikasi karena isu kehidupan dan segala isinya juga menjadi faktor penguat yang tak bisa dipandang sebelah mata. Alih-alih menggelorakan percintaan muda-mudi yang ‘cheesy’, ia malah membangun rasa lewat serangkaian proses natural mulai dari keterasingan, kecanggungan sampai penerimaan.

Setting lokasi juga dibangun Levine sedemikian rupa demi menyesuaikan keadaan ‘post-apocalyptic’ Amerika yang berantakan. Lihat saja lima belas menit pertama yang captivating itu dimana dunia diperkenalkan secara langsung oleh karakter R yang berjalan keliling kota seorang diri. Interaksi dan dialog yang tercipta memang minim tapi sudah cukup maksimal dalam mempertahankan ritme film. Dukungan tembang-tembang lawas dari Scorpions, Bob Dylan, John Waite, Roy Orbison, Bruce Springsteen dsb mungkin akan lebih memanjakan penonton dewasa.
 
Nicholas Hoult tampaknya memiliki masa depan yang cerah di Hollywood. Peran R cukup menantang baginya dan ia terbilang berhasil menjiwainya. Saya menyukai ‘transformasi’ yang begitu terlihat melalui gaya bicara dan bahasa tubuh. Tak mudah memberi nyawa pada tokoh mati seperti itu. Lupakan dandanan yang mirip dengan Kristen Stewart, Teresa Palmer menokohkan Julie dengan lugas, berani dan mau berjuang untuk sesuatu yang diyakininya. Saya menyukai Corddry dan Tipton sebagai sidekick di sini. Sedangkan Malkovich masih terlalu stereotype sebagai ayah Julie yang tak kenal kompromi. 

Warm Bodies adalah tontonan alternatif yang menyenangkan. Karakter-karakternya meski tak terlalu dikembangkan maksimal tetap mampu menghangatkan hati penonton. Semua bumbu satir sosialnya ditakar secara pas, romansanya tidak menye-menye, komedinya enggan berlebihan dan horornya juga tak sampai berdarah-darah. Twist manis nan kreatif diselipkan di akhir kisah. Kunci untuk menikmati produksi Summit Entertainment ini adalah percaya dan open-minded. Yakinlah bahwa segala sesuatu yang sudah hancur masih dapat diperbaiki. Yes, this witty quirky one is skeptically good zom-com!

Durasi:
98
menit

U.S. Box Office:
$58.243.441
till Feb 2013

Overall:
8 out of 10

Movie-meter:

Jumat, 01 Maret 2013

AH BOYS TO MEN : Neo Comedy Revealing Singapore Army


Tagline:
The ‘Keng’ Evolution of An “Ah Boy” to A Man.

Nice-to-know:
Film yang didistribusikan oleh Golden Village Pictures dan Clover Films ini sudah rilis di Singapura pada tanggal 8 November 2012 yang lalu.

Cast:
Joshua Tan sebagai Ken Chow
Wang Wei Liang sebagai Lobang
Noah Yap sebagai I.P. Man
Maxi Lim sebagai Aloysius Jing Sia-lan
Richard Low sebagai Ayah
Irene Ang sebagai Ibu
Qiu Qiu sebagai Amy

Director:
Merupakan film ke-14 bagi Jack Neo yang pertama dikenal lewat I Not Stupid (2002).

W For Words:
Wajib militer merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh masyarakat, pemuda pada khususnya. Tujuannya tentu untuk mempersiapkan mereka dalam membela negara bilamana dibutuhkan. Film yang diprakarsai oleh Jack Neo ini secara cerdas mengangkat isu tersebut. Bujet produksi dua seri sebesar 3 juta dollar Singapore sebagian besar dihabiskan demi menciptakan opening yang meyakinkan. Lihat bagaimana serbuan teroris yang menghancurkan berbagai ikon negara tetangga tersebut seperti Merlion Park dan Esplanade hingga menelan banyak korban jiwa. 

Pemuda kaya nan manja, Ken Chow bertekad meneruskan studinya di Kanada bersama kekasihnya, Amy. Sayangnya panggilan Wajib Militer menghalanginya. Ibu dan neneknya yang selalu memanjakannya mengupayakan berbagai cara agar Ken lolos dari kewajiban. Namun tidak dengan ayahnya yang mendukung penuh program tersebut. Akhirnya Ken berangkat dan menjalani segala bentuk pelatihan. Di sana ia berkenalan dengan sahabat-sahabat barunya, I.P. Man, Lobang, Aloysius Jing dll sebelum menghadapi tantangan yang lebih besar lagi.

Skrip yang ditulis oleh Jack Neo dan Link Sng ini memang seakan memiliki mata pisau dua sisi. Satu, mendukung program Pemerintah dalam memupuk semangat nasionalisme sekaligus melatih ketahanan mental generasi penerus bangsa. Dua, menertawakan semua kegiatan Wajib Militer yang tak jarang lebih dilandasi kepentingan pribadi para personilnya tersebut. Apapun itu tergantung sudut pandang pribadi anda. Saya menyukai ide yang digelorakan walaupun ‘konflik utama’nya tentang cinta yang klise itu kerapkali membuat kening berkerut.

Jack Neo di kursi sutradara harus diakui terampil meramu bumbu-bumbu komedi dengan pas. Sosok ibu overprotektif yang ditampilkan berseberangan dengan ayah disipliner. Belum lagi teman-teman Ken dalam ragam dan sifat yang berbeda-beda. Tokoh-tokoh inilah yang menjadi nyawa film karena berpijak kuat pada permasalahan yang diangkat. Malangnya, paruh pertama yang begitu apik bertutur didegradasi sedemikian rupa di paruh kedua yang terkesan cheesy dan mengada-ada. Toh, Jack tetap berhasil merajut kembali apa yang mau disampaikannya sebagai penutup episode pertama ini.

Keseluruhan cast utamanya merupakan pendatang baru. Jack memoles akting mereka sedemikian rupa sampai terlihat meyakinkan. Joshua Tan terasa believable sebagai putra konglomerat yang terbiasa hidup bergelimang harta. Transformasi Ken Chow menjadi pria yang lebih dewasa dan bertanggungjawab cukup terbentuk. Penampilan Maxi Lim juga pantas dipuji. Aloysius di tangannya tergolong lugu tetapi ambisius. Richard Low dan Irene Ang sebagai ayah ibu Ken tipikal karikatural dengan perangai bawaan masing-masing. Mungkin hanya Qiu Qiu yang lumayan mengganggu di mata saya.

Ah Boys To Men merupakan karya kedua Jack Neo yang saya saksikan setelah I Not Stupid (2002). Jangan bandingkan konsep boot camp citarasa Asia ini dengan suguhan Hollywood yang sudah-sudah. Ciri khas nya belum hilang dimana aspek sosial ekonomi yang kali ini dikombinasikan dengan politik dalam format komedi ini tak hanya sukses mengajak penonton tertawa, melainkan merenung lewat cara yang paling sederhana sekalipun. Keegoisan tidak akan pernah menghasilkan apa-apa. Sebaliknya hak dan kewajiban patut dijaga keseimbangannya agar tercipta kehidupan yang sinergis.

Durasi:
108
menit

Asian Box Office:
S$6,180,000
till Mar 2013 in Singapore

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter: