Quotes:
Pakis: Kemana angin-angin itu membawa kabar Bapak? Aku tidak mengerti..
Storyline:
Gadis kecil berusia 12 tahun bernama Pakis kerapkali menantikan kepulangan ayahnya yang hilang saat melaut. Ia melakukan ritual suku Bajo dengan membawa-bawa cermin kemanapun pergi yang dipercaya bisa menampilkan bayangan ayahnya itu. Sayangnya sang ibu, Tayung sudah putus asa dan beranggapan suaminya telah meninggal sehingga menghardik kebiasaan putri semata wayangnya itu. Datanglah Tudo, seorang peneliti lumba-lumba yang juga mengajar di sekolah Pakis dan Lumo. Kehadiran Tudo dari kota besar Jakarta itu membawa pengalaman baru tersendiri bagi Tayung ataupun Pakis dan kawan-kawannya. Akankah keempat manusia dengan kompleksitas masing-masing ini dapat menemukan jawaban mengenai jati diri masing-masing?
Nice-to-know:
Diproduksi oleh SET Film and WWF Indonesia dan gala premierenya dilangsungkan di Djakarta XXI pada tanggal 29 April 2011.
Cast:
Atiqah Hasiholan sebagai Tayung
Reza Rahadian sebagai Tudo
Gita Lovalista sebagai Pakis
Eko sebagai Lumo
Zainal
Halwiyah
Darsono
Director:
Debut pertama penyutradaraan layar lebar bagi Kamila Andini setelah sebelumnya menangani video musik Slank dan beberapa serial televisi.
Comment:
Kapan terakhir kali sebuah film lokal mampu menjual sebuah lokasi dengan begitu indahnya menjadi background cerita yang kuat? Judul pertama yang terlintas di kepala saya adalah Laskar Pelangi (2008) yang mengedepankan Propinsi Bangka Belitung. Kini hadir sebuah film yang juga disponsori WWF yang tentunya mengusung juga semboyan pelestarian alam pada umumnya dan hewan-hewan yang dilindungi pada khususnya.
Sutradara Kamila yang pernah tinggal langsung 20 hari di Kabupaten Wakatobi dengan jeli memfilmkan kehidupan suku Bajo yang nyaris sebagian besar aktifitasnya dilakukan di atas air. Shoot panjang dan pendek terhadap lanskap yang begitu indah tergolong berhasil menciptakan sinematografi yang dinamis dan variatif. Beberapa kali saya justru “tersentuh” dengan gambar-gambar yang begitu hidup dan memanjakan mata.
Berbagai adat istiadat setempat juga disinggung disini. Semisal penggunaan masker wajah bagi wanita janda (yang tengah menunggu kepulangan suami yang entah hilang/meninggal), konsep pernikahan massal yang unik dan meriah, penangkapan ikan dengan bantuan lumba-lumba, penggunaan cermin untuk mencari orang yang hilang dsb. Kesemuanya itu akan membuat anda tersenyum sekaligus takjub melihat kebiasaan orang-orang Bajo dari tua maupun muda.
Sentralisasi peran memang dipercayakan kepada Gita dan Eko. Sulit memang untuk menerjemahkan karakter Pakis dan Lumo tapi kedua remaja belia itu berhasil melakukannya dengan sangat natural. Bagaimana mereka berinteraksi satu sama lain di dalam ruangan (sekolah, rumah) ataupun di luar ruangan (padang rumput, laut) memberikan nuansa yang berbeda-beda. Jangan lupakan juga karakter Zainal sebagai teman Lumo yang mencuri perhatian dengan nyanyian spontan berlirik “nendang” itu.
Kwalitet akting seorang Atiqah Hasiholan dan Reza Rahadian memang tidak diragukan lagi terlebih Atiqah mampu beraksen Sulawesi dengan lancar. Namun kehadiran keduanya disini lebih merupakan supporting casts yang matang dan dianggap menjual. Sebetulnya saya mengharapkan tokoh Tayung dapat memberikan nilai yang lebih sebagai single parent, ataupun tokoh Tudo bisa menjadi inspirasi tersendiri sebagai pengajar sekaligus peneliti bagi murid-murid didikannya. Pada akhirnya keduanya malah terasa “dilepas” begitu saja dari konklusi cerita. Cukup disayangkan.
Keunggulan The Mirror Never Lies memang dari bahasa gambar Kepulauan Wakatobi yang berbicara banyak plus potret kehidupan warga Sulawesi Tenggara sehari-harinya. Meskipun bertempo lambat dan runut dalam bercerita, anda tetap antusias dan terkagum-kagum menyaksikannya. Di saat credit title menggulung layar, saya jamin pikiran anda sudah melayang pada nikmatnya makanan khas kazuami dan bergegas merencanakan perjalanan ke Kabupaten yang beribukota Wangi-Wangi tersebut.
Durasi:
95 menit
Overall:
8 out of 10
Movie-meter:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar