XL #PerempuanHebat for Kartini Day

THE RING(S) : A short movie specially made for Valentine's Day

Jumat, 30 November 2012

THE POSSESSION : Speedless Exorcism With Thin Connections


Tagline:
Fear The Demon That Doesn't Fear God.

Nice-to-know: 

Awalnya MPAA memberikan rating Dewasa untuk kekerasan, terror dan gambar yang mengganggu sebelum akhirnya diubah menjadi Remaja.

Cast: 

Jeffrey Dean Morgan sebagai Clyde
Natasha Calis sebagai Em
Kyra Sedgwick sebagai Stephanie
Jay Brazeau sebagai Professor McMannis
Madison Davenport sebagai Hannah
Matisyahu sebagai Tzadok
Grant Show sebagai Brett


Director: 
Merupakan film ketujuh bagi Ole Bornedal yang mulai dikenal luas sejak Nightwatch (1997) yang merupakan remake Nattevagten (1994).

W For Words: 
Nyaris setengah abad sudah sejak kemunculan pertama kali “leluhur” film-film kesurupan dalam titel The Exorcist (1973) yang melejitkan nama Ellen Burstyn, Max von Sydow dan Linda Blair pada masanya. Film produksi Ghost House Pictures dan North Box Productions ini memang tidak sepenuhnya berjalan pada template yang sama meski terjadi kemiripan disana-sini. Ilham utamanya berasal dari artikel “Jinx in a Box” milik Leslie Gornstein yang kemudian digubah dalam bentuk skrip oleh Juliet Snowden dan Stiles White. Penasaran? Saya iya, apalagi desain posternya yang unik itu.

Pasutri Brenek yaitu Clyde dan Stephanie sepakat bercerai. Kedua putrinya  yaitu Hannah dan Em ikut ibu mereka dan sesekali meluangkan waktu bersama ayah di akhir pekan. Saat mengunjungi cuci gudang tetangga, Em memilih sebuah kotak misterius dengan tulisan Hebrew. Usaha keras untuk membuka ternyata tidak dibarengi dengan hasil, tidak ada yang berarti di dalamnya. Lambat laun perilaku Em mulai berubah ganjil mengarah kekerasan. Awalnya Clyde mengira hal tersebut karena perpisahan orangtua tapi ada sesuatu lebih gelap dari itu dimana cuma Rabbi Tzadok yang dapat menjawabnya.

Campur tangan produser Sam Raimi yang juga spesialis horor masih terasa meskipun tampuk sutradara ada pada Bornedal. Paruh pertama film terus terang lebih menakutkan bagi saya, kengerian yang merambat perlahan dengan scoring music minim sambil sesekali dikejutkan dengan sound effect. Belum lagi serbuan ribuan serangga misterius sejenis kupu-kupu di kamar tidur Em yang juga temaram bermandikan sinar bulan yang masuk dari jendela. Paruh kedua memang menawarkan tempo lebih cepat tapi tidak dibarengi oleh rasionalitas yang diharapkan terutama pada proses pengusiran roh itu sendiri.

Banyak sekali pertanyaan tak terjawab. SPOILER ALERT! Pertama, tetangga Clyde dalam perban yang tampak ketakutan melihat Em memegang kotak itu. Kedua, Brett yang kehilangan giginya tatkala mendekati Em. Ketiga, guru Em yang menemui ajalnya karena menahan kotak. Keempat, roh Abyzou yang sempat terlihat pada scan MRI tidak menimbulkan reaksi apa-apa dari dokter atau suster. Kelima, tangan Clyde yang ditusuk garpu tidak memberikan indikasi apapun pada adegan berikut. Terakhir, kegaduhan di lantai 6 rumah sakit saat exorcism berlangsung tidak mengundang perhatian samasekali.

Dean Morgan menyuguhkan penampilan terbaiknya di sini. Lakon Clyde mampu mengundang simpati sebagai suami yang masih menghargai istri sekaligus ayah yang menyayangi anaknya. Sayang, isu child abuse yang dituduhkan mantan istrinya tidak tereksploitasi dengan baik. Sama halnya dengan karakter yang dimainkan Sedwick dan Davenport yang timbul tenggelam. Upaya Calis pantas diapresiasi. Transformasinya dari bocah perempuan manis dan santun menjadi anak iblis yang menyeramkan. Tak lupa rasa takut dan kebingungannya menjadi transisi yang cukup believable.

The Possession dikatakan sebagai terinspirasi dari kisah nyata dengan sedikit latar belakang Yahudi yang tak cukup kuat menyokong faktualnya. Kelemahan yang paling kentara adalah berbagai subplot yang digulirkan memberi koneksi tipis terhadap plot utamanya kalau tidak mau disebut tempelan belaka. Setidaknya kombinasi drama keluarga dan horor kerasukan ini masih menyimpan genuine creepy moments yang predictable, terlebih bagi anda yang memilii banyak referensi film-film sejenis tetapi masih senang mendapatkan pengalaman serupa.

Durasi: 
92 menit 

U.S. Box Office: 

$49,122,319 till Nov 2012 

Overall: 

7.5 out of 10

Movie-meter:

Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Kamis, 29 November 2012

ADA HANTU DI VIETNAM : Dubbing Buruk Dan Pengingkaran Kreatifitas


Quotes: 
Ramon: Itu tuyul tuh?
Aziz: Bukan, kecebong anyut!

Nice-to-know: 
Produksi pertama TS Media.

Cast: 
Guntur Triyoga sebagai Jordan
Cinta Dewi sebagai Bianca
Uli Auliani sebagai Nayya
Roger Danuarta sebagai Ruben
Aziz Gagap sebagai Aziz
Reymon Knuliqh sebagai Ramon
Nguyen Ngoc Thuy Diem
Kenny Chiem
Nguyen Thi Tuet Prang
Bui Minh Hoang
Thai Thi Teuclina

Director: 
Merupakan film ke-9 bagi Koya Pagayo di tahun 2012 setelah Dendam Dari Kuburan.

W For Words: 
Jika tahun lalu Nayato Fio Nuala atau Koya Pagayo nekad syuting “colongan” di Hongkong untuk film aksi berjudul Tarung, maka tahun ini ia berani syuting “resmi” di Vietnam. Keduanya sama-sama dibintangi oleh trio bintang langganannya yaitu Guntur Triyoga, Cinta Dewi dan Reymon Knuligh, perbedaannya kali ini adalah genre horor yang sayangnya belum/tidak menggunakan template baru. Judulnya pun sederhana saja, lengkap dengan embel-embel negaranya untuk memperjelas daya jual. Ah mau saja rumah produksi TS Media ini dibohongi untuk film debutannya. Kasihan!

Bianca berencana menjenguk kakak Bianca yang baru saja melahirkan di Vietnam. Ia mengajak Jordan dan Nayya untuk menemaninya  sedangkan Ramon dan Aziz memilih tidak pergi karena takut naik pesawat. Lokasi yang tak kunjung ketemu membuat ketiganya harus mencari penginapan. Ruben yang dijumpai di jalan membantu mereka sekaligus memperkenalkan pada pasangan warga Vietnam yakni John dan Lucy. Rumah milik pasutri konyol akhirnya jadi pilihan. Sayangnya gangguan hantu cantik bernama Jasmine tak dapat dihindari.

Skrip yang ditulis Aurellia Amani Salsabila (saya ragukan orangnya ada) ini memiliki bloopers dan kontinuitas yang berantakan. Satu, hantu perempuan Vietnam yang katanya ikut ke Jakarta nyatanya digantikan dengan yang mirip saja. Dua, hantu ini jelas memiliki kesaktian tingkat tinggi karena bisa muncul di siang dan malam hari sekaligus, bahkan bisa travelling tanpa paspor. Tiga, kehadiran dukun Vietnam pengusir hantu tanpa diundang, tanpa hasil pula. Empat, background story hantu itu meninggal tak ada hubungannya samasekali dengan Bianca dkk atau penghuni rumah Vietnam samasekali. Sementara empat saja, jika ada waktu lagi akan saya tambahkan.

Andaikata Koya mau lebih serius seharusnya penggunaan bahasa asli dari aktor-aktris Vietnam yang terlibat tetap dipertahankan dengan tambahan subtitle Indonesia, bukan DUBBING ala film televisi atau sandiwara radio! Serius bung, anda malas sekali kreatif berupaya? Keotentikan itu padahal bisa jadi identitas unik sekaligus nilai tambah yang tidak dimiliki film lain. Permasalahannya bukan di dubbing aktor-aktris asing saja tetapi juga cast lokal kita sendiri terutama adegan di jalan-jalan Vietnam. Perhatikan gerak bibir yang tidak sinkron atau voice over tanpa memperlihatkan wajah pemain. Duh!

Duet Aziz Gagap dan Reymon Knuligh di pembuka dan penutup sangat tidak penting. Lelucon mereka basi dan tidak mampu mengangkat film lagi. Saya penasaran apakah Reymon menerima kontrak mati dari Nayato? Masih tak ada perubahan akting yang berarti dari Guntur dan Cinta. Lupakan Uli Auliani yang tampil dengan model dan warna rambut baru atau kembalinya Roger Danuarta di kancah perfilman layar lebar, aktor-aktris asli Vietnam setidaknya masih lebih sedap dipandang walaupun tidak diberikan porsi memadai untuk berbuat lebih baik dalam perannya masing-masing.

Ada Hantu Di Vietnam terbukti berkualitas buruk setengah hidup. Syuting kebutan tanpa formula anyar ini nyatanya cuma menghamburkan biaya produksi yang dikeluarkan untuk perjalanan Vietnam-Jakarta. Setting rumah berhantu tidak memberikan nuansa horor yang relatif baru. Sama halnya dengan shot jalanan atau kota Ho Chi Minh dalam aksara Vietnam yang juga tidak istimewa. Semuanya tempelan belaka! Layaknya “predikat” yang sudah menempel pada Nayato/Koya whatever his name is, ia tak lagi ambil peduli. Show me the money. So, the show must go on!

Durasi: 

79 menit

Overall: 
6 out of 10

Movie-meter:

Rabu, 28 November 2012

HELLO GOODBYE : Menafsirkan Pertemuan dan Perpisahan Cinta


Quotes: 
Indah: Memaki perpisahan sama saja kamu mengutuk pertemuan.

Nice-to-know: 
Film yang diproduksi oleh Falcon Pictures ini mengadakan press screening dan gala premierenya sekaligus di Djakarta XXI eX pada tanggal 22 November 2012.

Cast: 
Atiqah Hasiholan sebagai Indah
Rio Dewanto sebagai Abi
Kenes Andari
Sapto Soetarjo
Khiva Iskak
Verdi Solaiman
Eru

Director: 
Merupakan debut penyutradaraan Titien Wattimena yang selama ini dikenal sebagai penata skrip.

W For Words: Demam Korea telah melanda publik Indonesia sejak serial Autumn In My Heart (dikenal pula dengan Endless Love) yang dibintangi trio Song Seung Hun, Song Hye Kyo dan Won Bin diputar di stasiun televisi pada tahun 2000. Lantas menyusul puluhan judul lain yang juga berhasil mencuri perhatian pemirsa. Melihat hype tersebut rasanya tinggal menunggu waktu sebuah produksi film Indonesia bisa dilakukan disana, menyusul apa yang dilakukan negeri tetangga Thailand lewat Hello Stranger (2010). Adalah Falcon Pictures yang mewujudkan angan-angan tersebut di tahun 2012 dengan dukungan nama-nama kondang di belakangnya. 

Siapa yang tidak mengenal nama Titien Wattimena? Setelah menangani sekitar 25 skrip film semenjak Mengejar Matahari dan Tentang Dia di tahun 2004, ia akhirnya berani "naik tingkat" sebagai sutradara. Berbagai titik lokasi populer di Korea Selatan disulap menjadi panggung bertutur yang mampu memberikan pengalaman baru. Setidaknya anda yang belum pernah mengunjungi negeri ginseng itu bisa jadi terpana melihat hasil sinematografi Yunus Pasolang. Lantunan suara merdu Eru dalam tembang kian menghangatkan suasana sendu nan syahdu.

Staf KBRI Busan, Indah bersua dengan pelaut asal Indonesia juga, Abi yang mengalami serangan jantung. Atasan Indah menugaskannya menjaga Abi hingga sembuh. Itulah sebabnya Indah mau bersusah payah bolak-balik rumah sakit untuk mengontrol keadaan Abi. Sayangnya penerimaan Abi tidaklah seperti yang diharapkan karena ia cenderung antipati. Perbedaan cara pandang hidup yang berbeda menjadi kendala yang harus dihadapi sebelumnya keduanya sepakat untuk berbagi kisah bersama, Indah dengan konsep tujuan sedangkan Abi lebih menitikberatkan pada perjalanan.

Skrip film ini terbukti sesederhana sosok dua orang yang tergambar jelas di posternya. Sepanjang film tidak ada subplot berarti yang dapat mengalihkan perhatian dari Rio dan Atiqah. Padahal jika ada riak lebih niscaya mampu memperkuat sisi penceritaan dengan rentang yang lebih luas lagi. Itulah sebabnya karakter-karakter yang dimainkan oleh Verdi, Kenes, Sapto, Khiva secara timbul tenggelam di layar tidak sampai memberi persinggungan berarti kalau tidak mau dikatakan pelengkap belaka, tidak terkecuali sang “Prince of Ballad” yang menyumbangkan hit berjudul Black Glasses.

Rio dan Atiqah memang pasangan resmi di luar film. Penjiwaan mereka sebagai pasangan di dalam film dengan karakteristik berbeda tentu patut diacungi jempol. Keduanya mampu menarik simpati penonton terlepas dari minimnya pengenalan terhadap pribadi masing-masing. Tidak pula digambarkan bentuk aktifitas macam apa yang dilakoni Atiqah sebagai staf KBRI atau rutinitas yang dijalani Rio sebagai pelaut. Kita diajak percaya terhadap profesi mereka hanya melalui narasi saja. Saya menyukai pertukaran dialog puitis sarkastik yang cukup memorable di antara keduanya sekaligus menjadi terjemahan konflik secara tidak langsung.

Hello Goodbye berhasil menutup agenda perfilman nasional di tahun 2012 dengan manis. Formula romantika yang sebetulnya klise dimana sepasang muda-mudi yang memulai hubungan dengan kecanggungan lambat laun berubah menjadi keselarasan. Perbedaannya adalah Titien menyuguhkan proses yang teramat wajar dan believable. Pertemuan memang sedianya diawali dengan "hi". Namun perjumpaan tak selamanya diakhiri dengan "bye". Semua tergantung pada tujuan masing-masing dimana perjalanan yang diambil tak selalu mengarah sama.


Durasi: 

99 menit

Overall: 
7.5 out of 10 

Movie-meter:

Senin, 26 November 2012

AMOUR : Haneke’s Love Beneath Ageing and Death

Quote:
Georges: You must think that you’re a burden for me.

Nice-to-know: 

Terpilih sebagai wakil resmi Austria pada 85th Academy Awards 2013 kategori Best Foreign Language mendatang.

Cast: 

Jean-Louis Trintignant sebagai Georges
Emmanuelle Riva sebagai Anne
Isabelle Huppert sebagai Eva
Alexandre Tharaud sebagai Alexandre
William Shimell sebagai Geoff

Director: 
Merupakan film ke-12 bagi Michael Haneke setelah The White Ribbon (2009).

W For Words: 
Berumah tangga hingga beranjak tua bersama. Penulis sekaligus sutradara kelahiran Munich berusia 70 tahun, Michael Haneke punya pandangan tersendiri mengenai hal itu yang lantas dituangkannya dalam bentuk skrip. Pada akhirnya prestasi yang dicetak juga tidak main-main, Palme d'Or, penghargaan tertinggi pada ajang Festival Film Cannes 2012 mampu direnggutnya. Suatu kredibilitas yang tidak perlu diragukan lagi oleh moviegeek manapun termasuk Indonesia dimana film Austria yang satu ini kebetulan mampir di Festival Film Eropa 2012 yang lebih dikenal dengan sebutan Europe On Screen.

Georges dan Anne telah berusia 80 tahunan, pensiun dari profesi pengajar musik untuk menghabiskan hari tua bersama di sebuah apartemen. Putri mereka, Eva yang juga musisi tinggal di luar negeri dengan suaminya yang berkebangsaan Inggris. Masalah muncul ketika mereka tengah sarapan bersama, Anne mematung dan melupakan segalanya. Ia terserang stroke yang secara perlahan mulai menggerogoti kesehatan dan kemampuannya. Meski demikian Georges tetap sabar merawat istrinya ketimbang memasukkannya ke rumah sakit. Namun ujian cinta yang sesungguhnya kemudian datang bertubi-tubi.

Jean-Louis Trintignant dan Emmanuelle Riva menyuguhkan akting luar biasa. Limitasi bahasa tubuh mereka benar-benar menggambarkan usia tua sesuai peranannya. Riva sebagai Anne tampil meyakinkan sebagai pesakitan tak berdaya yang perlahan memasuki fase “anak-anak” kembali. Lihat bagaimana labil dan sensitif dirinya yang masih ngotot mengerjakan segala sesuatunya sendiri. Trintignant juga tak kalah mencengangkan sebagai suami penyayang yang ketahanan mentalnya terus diuji. Lihat bagaimana ketakutannya begitu terpancar melihat wanita yang dicintainya mulai “menghilang”.

Hanya satu adegan yang disyut Haneke terjadi di luar apartemen. Selebihnya setiap ruangan bergaya Paris fully-furnished benar-benar dimaksimalkan untuk setting indoor yang tak jarang menciptakan unsur klastrofobia. Suasana sepi nan depresif juga dibangkitkan lewat minimnya scoring music sehingga yang tersisa hanyalah denting piano di satu dua bagian. Selebihnya adalah suara natural pemecah kesunyian seperti dering telepon, kucuran air kran, langkah kaki dsb. Tempo lambat juga memberikan kesempatan sebebas-bebasnya pada konflik untuk merambat perlahan meski akan sangat mengantuk atau membosankan bagi anda yang tak terbiasa.

Pelbagai metafora akan anda temui di sepanjang film. Setiap ruangan sempit dalam apartemen seakan melambangkan labirin pikiran penghuninya. Suasana mendung yang terus menyelimuti interior apartemen seperti menegaskan kemuraman hati Georges. Secercah sinar matahari yang menerobos masuk layaknya menyiratkan harapan hidup Anne yang tipis. Burung merpati yang tak sengaja masuk melalui jendela bagai simbolisasi penjara sekaligus kebebasan. Atau mimpi Georges yang terjebak di koridor banjir sambil diserang sosok tak dikenal sepatutnya mengggambarkan kekalutan jiwanya.

Kesabaran anda menonton Amour amat dibutuhkan layaknya kesabaran Georges memahami penderitaan Anne. Layaknya diajak mengamati aktifitas pasangan tua sehari-hari sekaligus menerka seberapa besar kadar cinta mereka terhadap satu sama lain lewat ujaran maaf atau terima kasih tanpa sungkan. Sesuatu yang pantas direnungkan, bagi yang memilih hidup melajang mampukah melewati hari tua seorang diri? Sedang bagi yang menikah bisakah menanggung (atau justru jadi tanggungan) beban pasangan? Kekhawatiran yang begitu mengusik dimana proses penuaan dan kematian adalah harga mati yang patut dibayar tiap manusia tanpa kecuali.

Durasi: 
127 menit 

Europe Box Office: 
€230,126 in Netherlands till Nov 2012 

Overall: 

8 out of 10

Movie-meter:

Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Minggu, 25 November 2012

SOAR INTO THE SUN : Brainless Korean’s Top Gun Entertainment


Quote: 
Tae-hun: Jangan teriak, kupingku sakit. Ini bukan korps militer! 

Nice-to-know: 

Film yang diproduksi oleh Zooomoney Entertainment, Red Muffler dan CJ Entertainment ini sudah rilis di Korea Selatan pada tanggal 15 Agustus 2012 yang lalu. 

Cast: 

Rain sebagai Jang Tae-hun
Shin Se-kyung sebagai Yu Se-yeong
Yoo Joon-sang sebagai Lee Cheol-hui
Kim Seong-su sebagai Dae-seo
Lee Ha-na sebagai Yu-jin
Lee Jong-Suk
Jeong Seok-won


Director: 

Merupakan film ketiga bagi Kim Dong-woon setelah Yugamseureoyun Doshi (2009).

W For Words:
Top Gun (1986) pada masanya telah mengubah peta perfilman yang bertemakan kesatuan angkatan udara hingga melejitkan nama Tom Cruise sebagai mega bintang sampai sekarang. Tak diduga seperempat abad kemudian, Ahn Sang-hoon dan Kim Dong-woon menyusun skrip dengan benang merah yang sama. Apakah industri perfilman Korea Selatan yang sedang berkembang pesat tengah kehabisan ide? Atau semata ingin membuat sebuah hiburan murni tanpa harus memutar otak untuk menikmatinya? Zooomoney Entertainment, Red Muffler, CJ Entertainment mungkin punya alasan sendiri.

Jang Tae-hun adalah pilot termuda Angkatan Udara elit Korea Selatan yang disebut skuad Black Eagle. Paska bencana yang disebabkannya, ia dipindahkan ke regu pesawat tempur 21 sebagai hukuman. Disanalah Tae-hun berjumpa dengan teman-teman lamanya, Yu-jin dan Dae-seo serta staf maintenance yang cantik, Se-yeong. Perseteruan dengan pimpinan Falcon, Jenderal Cheol-hui dalam kompetisi tempur F-15K berujung pada kekalahan Tae-hun. Ia lantas merencanakan pembalasan dengan merancang konstruksi pesawat jet yang lebih baik lagi. 
Durasinya yang nyaris mencapai dua jam memang membutuhkan kesabaran terlebih di paruh pertama menitikberatkan pada romantika Tae-hun dan Se-yeong yang tidak memberikan warna baru samasekali layaknya serial televisi melankolis. Belum lagi subplot yang melibatkan beberapa karakter pendukung lain yang juga tidak sampai memperkuat bangunan plot utama. Barulah di paruh kedua anda disuguhi dua klimaks yang mencengangkan yaitu pertempuran udara di atas kota Seoul dan pertarungan penentuan di atas daerah lautan/pegunungan yang sangat akrobatik.

Sutradara Dong-woon menyuguhkan sinematografi, art direction, set dan lighting yang nyaris sempurna, lengkap dalam balutan musik hip-hop yang enerjik. Birokrasi angkatan udara dan urusan teknis pesawat jet juga tertata dengan rapi, bukan sekadar tempelan belaka. Manuver-manuver yang dilakukan seakan mengindahkan teknik pengambilan gambar standar sehingga pengalaman menontonnya benar-benar terasa beda di layar lebar bioskop kesayangan. Kekurangannya adalah tempo film yang cenderung turun naik tanpa substansi memadai.

Semua karakter dalam film ini berjalan dalam satu dimensi. Layaknya Tom Cruise, Rain amat predictable dengan sifat emosional dan percaya diri cenderung angkuh dalam sosok pilot keren penakluk wanita.  Para penggemarnya bisa jadi kecewa melihat wajah tampan pria yang akan menjalani wajib militer ini lebih sering tersembunyi di balik helm. Pendatang baru Se-kyung memang cantik tapi ia hanyalah seorang love interest yang tak banyak berpengaruh pada konstruksi cerita. Menarik melihat Jong-seok dalam wujud pilot debutan yang dipercaya dalam misi besar pamungkas.

Sulit bagi saya untuk betul-betul merekomendasikan Soar Into The Sun sebagai tontonan memikat dikarenakan dramatisasi konflik nan cheesy yang mudah diterka arahnya. Tentunya kita tahu bujet besar dikucurkan produksi film yang juga dikenal dengan judul R2B: Return to Base ini habis di departemen spesial efek demi memenuhi standar Hollywood. Mungkin itulah satu-satunya alasan tepat bagi anda yang datang ke bioskop hanya untuk menghabiskan waktu berharga dengan mindless entertainment semacam ini yang setidaknya terlihat mahal dan eksklusif.

Durasi: 
113 menit 

Asian Box Office: 
$7,706,110 in Korea till Nov 2012 

Overall: 

7 out of 10

Movie-meter:


Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent


Sabtu, 24 November 2012

HOTEL TRANSYLVANIA : More Gags But Less Heartfelt Quirky Animation


Quote: 
Jonathan: Are these monster gonna kill me?
Dracula: Not as long as they think you're a monster.
Jonathan: That's kinda racist.


Nice-to-know: 

Film yang diproduksi oleh Columbia Pictures dan Sony Pictures Animation ini dirilis bertepatan dengan peringatan Hari Rabies Sedunia yaitu 28 September 2012. 

Cast: 

Adam Sandler sebagai Dracula
Andy Samberg sebagai Jonathan
Selena Gomez sebagai Mavis
Kevin James sebagai Frankenstein
Fran Drescher sebagai Eunice
Steve Buscemi sebagai Wayne


Director: 
Merupakan debut Genndy Tartakovsky yang sebelumnya lebih berpengalaman menyutradarai serial animasi televisi kondang termasuk The Powerpuff Girls, Star Wars : Clone Wars dsb.

W For Words: 
Transylvania adalah nama daerah hutan dan pegunungan yang terletak di Romania tengah. Novel fiksi bergenre gothic horror mengenai Dracula dari Bram Stoker di tahun 1897 menjadikan Transylvania dikenal sebagai daratan misteri yang penuh magis sebelum diasosiasikan dengan kehidupan vampir. Animasi terbaru ini setia dengan gambaran tersebut dan bisa jadi merupakan perwujudan imajinatif dari apa yang selama ini ada dalam benak anda. Setidaknya itulah asumsi yang muncul ketika pertama kali saya membaca premisnya yang berlanjut dengan melihat trailernya.

Count Dracula terus berupaya meyakinkan putrinya Mavis bahwa manusia adalah makhluk berbahaya. Untuk itulah selama 118 tahun, mereka hidup dalam kastil megah mewah yang hanya diperuntukkan untuk para monster dan keluarganya. Mavis sendiri sesungguhnya telah bosan dengan perayaan ulang tahun yang begitu-begitu saja setiap tahunnya hingga datanglah seorang pemuda backpacker bernama Jonathan yang di luar dugaan mampu menemukan tempat itu. Tak dinyana, Jonathan membawa perubahan besar hingga Dracula sepakat menyingkirkannya demi kelangsungan hidup kaumnya.
Skrip yang ditulis oleh Todd Durham, Dan Hageman dan Kevin Hageman ini sesungguhnya memiliki konsep menarik tentang cinta, hubungan ayah anak, perbedaan jenis hingga pencarian identitas. Sayangnya suguhan over-the-top humor secara simultan di sepanjang durasinya kerap kali mengambil waktu penonton untuk bisa benar-benar memaknai niat baik yang ingin disampaikan. Serentetan slapstick yang tak jarang menyerempet kekerasan dan dialog one-liner yang membuat mata melotot adalah kendala utama yang harus anda maklumi jika ingin menikmati animasi yang satu ini.

Sutradara Tartakovsky terbilang sukses menciptakan setting variatif yang kaya warna. Visual yang rasanya cukup bisa dinikmati dalam format 2D tanpa harus merogoh kocek lebih untuk versi 3D nya. Animasinya tajam dimana penampakan tokoh-tokohnya merupakan paduan gaya lawas dan anyar. Tidak sepenuhnya baru tapi kesan familiar jelas perlu agar penonton merasa lebih dekat. Balutan musik shuffle dari LMFAO (Sorry for Party Rocking), Becky Gomez, Will.I.Am, Traci L. berhasil menghadirkan riuh rendah pesta menggantikan kemonotonan suasana.

Sandler mengubah sedikit aksennya untuk menghidupkan karakter Dracula. He did well! Gomez juga terbilang tepat untuk “meremajakan” karakter Mavis. Sedangkan Samberg tampak sedikit meleset dalam menghadirkan karakter Jonathan yang sudah inkonsisten.  Seorang backpacker umumnya berjiwa bebas dan petualang, tidak ada alasan yang cukup logis untuk membuatnya jatuh cinta pada Mavis atau tertarik pada kehidupan para monster di tempat yang terisolasi. Berbagai nama kondang seperti Buscemi, Shannon, James, Spade, Lovitz tak terlalu memberikan dampak yang signifikan.

Sejauh ini Hotel Transylvania tergolong disukai di Amerika Serikat terbukti dengan raupan dollar yang tidak sedikit hingga sekuelnya sudah direncanakan muncul di tahun 2015 mendatang. Kabar buruk bagi anda (mayoritas penonton dewasa) yang tidak menyukainya. Pengalaman sinematik yang hiperaktif ini rasanya lebih bersahabat pada penonton anak-anak, tentunya dengan bimbingan orangtua. Saya sendiri menganggapnya tidak memorable tapi jelas tidak buruk juga meskipun gagasan akan cinta sejati dan penerimaan diri apa adanya belum mampu menyentuh titik maksimum yang diharapkan.

Durasi: 
91 menit 

U.S. Box Office: 
$142,734,519 till Nov 2012 

Overall: 

7.5 out of 10

Movie-meter:

Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Jumat, 23 November 2012

LANGIT KE-7 : Suratan Takdir Berujung Temuan Cinta


Quotes: 
Dania: Gua tuh mau punya pacar sekali tapi yang berkualitas. Ngapain punya banyak pacar tapi kacangan semua gitu.

Nice-to-know: 
Film yang diproduksi oleh Reload Pictures dan Sanca International ini melangsungkan press screening dan gala premierenya sekaligus di Studio XXI eX pada tanggal 20 November 2012.

Cast:
Taskya Namya sebagai Dania
Aryadila Yarosairy sebagai Denan
Nikki Frazetta sebagai Pio
Bonita Lauwoie sebagai Lintang
Atika Noviasti sebagai Indira
Rechelle Rumawas sebagai Visi
Maureen Irwinsyah sebagai Angel
Pong Hardjatmo sebagai Sutoro
Sandra Dewi sebagai Dokter Ira

Director: 
Merupakan film ke-22 bagi Rudi Soedjarwo setelah terakhir Batas, Lima Elang dan Garuda Di Dadaku 2 di tahun 2011 lalu.

W For Words: 
Rudi Soedjarwo selama ini dikenal sebagai sutradara bertangan dingin dalam menangani bintang-bintang baru dalam filmnya. Kelima gadis pemenang ajang tahunan CLEAR Hair Model 2012 yang digagas oleh PT Unilever Indonesia Tbk tersebut nampaknya cukup beruntung mendapat kesempatan emas itu. Sebuah drama romantis dengan segmentasi remaja yang tak hanya bertutur mengenai cinta tetapi juga keluarga dan persahabatan ini dipersembahkan oleh duet produser handal Kemal Arsjad dan Faby Tsui ke hadapan masyarakat Indonesia yang sudah rindu akan tontonan bergenre sejenis.

Dania tengah dijodohkan ayahnya Sutoro yang mulai sakit-sakitan dengan putra kerabat dekatnya meski ia belum berpikir untuk menikah. Ia lantas mengajak sahabat-sahabatnya berlibur ke Bali sekaligus menghibur Visi yang baru saja diselingkuhi pacarnya Pio. Momen menyenangkan itu dirusak oleh kehadiran dua paparazzi yang mengejar Dania kemanapun. Malang saat sendiri, ia mengalami kecelakaan hingga koma dan ditangani langsung oleh Dokter Ira. Di luar dugaan, rohnya yang berjalan-jalan hanya bisa dilihat dan didengar oleh Denan yang akhirnya setuju untuk membantunya kembali.

Skrip yang ditulis oleh Virra Dewi ini mayoritasnya harus diakui mirip sekali dengan Just Like Heaven (2005). Perjodohan keluarga, mati suri, komunikasi gaib, keyakinan diri hingga jatuh cinta itu elemen-elemen yang tertata lurus dari awal sampai akhir. Perbedaan minor hanya pada obyek pelengkap saja.
Sayangnya semua karakter dalam film ini tereksploitasi secara datar terlepas dari banyaknya waktu tersedia. Kesalahan fatal yang akhirnya membuat alasan ini-itunya menjadi kurang kuat yang turut mempengaruhi keberpihakan penonton pada nasib tokoh-tokohnya. Pertentangan baik melawan jahat layaknya sinetron yang sempat menjadi konflik utama pun lantas hilang tanpa bekas.

Sutradara Rudi bahkan memasukkan template Ada Apa Dengan Cinta (2002) setiap kali Dania, Visi, Angel, Lintang dan Indira berkumpul walau belum dibekali dengan chemistry yang sama. Ketajaman visinya tak berkurang samasekali, terbukti setting lokasi Jakarta dan Bali mampu dimaksimalkan sebagai panggung berlanskap indah plus sinematografi bawah laut yang sangat memanjakan mata. Scoring musik dari Andi Rianto berhasil memberi nyawa pada film termasuk lantunan suara merdu biduan muda Nathan Hartono dalam hit lawas yang didaur ulang oleh Andi Rianto, Layu Sebelum Berkembang.

Saya menghargai usaha Taskya dan Aryadila dalam menghadirkan chemistry yang cukup memadai. Taskya yang berwajah eksotis memperlihatkan talentanya dimana karakter Dania dituntut untuk senang, marah hingga putus asa. Meski tak terlalu eye candy, Arya justru menunjukkan penjiwaan natural dengan ekspresi lugu dan mata lebarnya yang tak jarang membuat penonton tersenyum. Menarik melihat debut Nikki sebagai playboy cool menyebalkan, begitu pula dengan kuartet Bonita, Atika, Maureen, Rechelle yang lumayan kompak sebagai bff. Kembalinya Sandra Dewi ke layar lebar lewat peran dokter cantik menjadi nilai tambah tersendiri. Sangat disayangkan aktor sekelas Donny Damara tidak dimaksimalkan sebagaimana mestinya.

Langit Ke-7 merupakan angin segar bagi kancah perfilman lokal yang masih kekurangan stok drama romantis yang “benar”. Jika dicermati memang tak ada korelasi judul dengan isi cerita yang ingin disampaikan. Satu-satunya penghubung menurut saya adalah angka 7 di kamar Denan yang penuh lukisan watermark tersebut. Kesampingkanlah faktor minimnya jam terbang bintang-bintang anyar ini karena kerja keras mereka dalam menghadirkan “momen-momen” yang dibutuhkan masih terasa. Untuk sesaat biarkan anda terhanyut dalam permainan takdir yang tak jarang berlabuh pada penemuan cinta.

Durasi: 
92 menit

Overall: 
7.5 out of 10

Movie-meter:

Kamis, 22 November 2012

HANTU BUDEG : Komedi Horor Dendam Penunggu Hotel


Tagline:
Ditulikan oleh dendam, dibunuh oleh nafsu..

Nice-to-know: 
Film yang diproduksi oleh Sentra Films ini mengadakan pemutaran perdananya di Hollywood XXI pada tanggal 14 November 2012 yang lalu.

Cast: 
Tyas Mirasih sebagai Magda
Keith Foo sebagai Bram
Amel Alvie sebagai Ira
Awang Sogi sebagai Royce
Febriyanie sebagai Inge
Zidni Adam sebagai Kojek
Anie Klaus sebagai Ayu

Director: 
Merupakan film kedua bagi Findo Purwono Hw di tahun 2012 setelah Fallin’ In Love.

W For Words: 
Formula horor Indonesia saat ini memang sudah bergeser ke komedi seks. Bukan hanya aktris seksi berbikini tetapi juga aktor topless yang biasanya diakhiri dengan adegan berhubungan intim. Momok horor yang muncul biasanya berupa pocong dan/atau kuntilanak yang sedianya hanya jadi pelengkap. Tidak masalah jika skripnya digarap dengan rapi layaknya beberapa produksi Korea atau Thailand sehingga kualitasnya dapat dipertanggungjawabkan. Karya terbaru Findo dari Sentra Films ini tak jauh berbeda dari yang sudah-sudah termasuk film terdahulunya Setan Budeg (2009) dari Maxima Pictures.

Kojek baru saja diputus pacarnya Ira karena terlalu pelit. Ia lantas diyakinkan kawan-kawannya Magda, Inge, Royce dan Bram untuk membiayai rekreasi demi memulihkan sakit hati. Mobil butut dan penginapan murah bernama hotel Cempaka pun disewanya sehingga memancing protes. Mereka berlima akhirnya sepakat pindah ke hotel yang lebih bagus sebelum diganggu oleh pocong dan kuntilanak. Mau tak mau Kojek, Bram, Royce, Inge dan Magda kembali ke hotel Cempaka untuk mencari ketenangan dimana teror hantu budeg dengan tusuk konde telah menanti.

Skrip yang ditulis oleh Midhu Laksana ini berisikan setiap elemen klise yang ada di sebuah film horor sebut saja foto berpenampakan, penginapan berhantu lengkap dengan kuntilanak bermuka pucat dan pocong berwajah bubur. Namun tidak adanya logika memadai yang melatarbelakangi membuat semuanya berantakan seperti motif perjalanan yang mengada-ada, reaksi atas kejadian yang tidak relevan dsb. Kesemua itu membuat kepedulian anda terhadap karakter-karakternya menjadi nol, tidak akan melihat lagi betapa menariknya penampilan fisik mereka di layar lebar.

Sutradara Findo tak berupaya menjadikannya lebih watchable lagi. Pengulangan formula dari judul-judul yang ditanganinya kembali dimasukkan. Momok hantu budeg itu sendiri yang seharusnya kuat tak lagi istimewa. Permainan kamera shaky untuk menegaskan teror suara yang membuat seseorang budeg samasekali tidak inspiratif kalau tidak mau dibilang konyol. Ya ya ya, saya tahu kalau hantu yang membunuh manusia dengan cara menusuk telinganya itu memang inovatif tapi belum cukup untuk menghadirkan unsur kengerian yang diharapkan.

Saya katakan Hantu Budeg adalah repetisi formula Setan Budeg dalam bentuk lain tapi tidak ditunjang oleh kualitas yang lebih baik. Akting predictable dari Tyas dan Keith tak mampu ditutupi terlepas dari sensualnya adegan intim yang mereka lakukan. Lagi-lagi sebuah horor komedi yang akan segera anda lupakan dalam hitungan detik begitu meninggalkan gedung bioskop. Kualitas skrip yang memadai tampaknya masih menjadi masalah utama yang dihadapi industri perfilman Indonesia layaknya sebuah masakan yang tidak akan enak rasanya jika tak ditunjang oleh bahan dan bumbu yang tepat. Sampai kapan mereka (atau kita) akan pura-pura “tuli” mendengar kritik serupa?

Durasi: 
88 menit

Overall: 
6.5 out of 10

Movie-meter:

Rabu, 21 November 2012

THE CAMPAIGN : Good Political Satire For Expected Laughs


Quote: 
Mitch: What's it all about?
Cam Brady: America, Jesus, freedom.

 
Nice-to-know: 

Meskipun poster memperlihatkan dua tokoh utamanya berhadapan dari Capitol Hill di Washington, D.C., keseluruhan film bersetting di North Carolina dimana Cam dan Marty tinggal dan berkampanye.

Cast: 

Will Ferrell sebagai Cam Brady
Zach Galifianakis sebagai Marty Huggins
Jason Sudeikis sebagai Mitch
Dylan McDermott sebagai Tim Wattley
Katherine LaNasa sebagai Rose Brady
Sarah Baker sebagai Mitzi Huggins
John Lithgow sebagai Glenn Motch
Dan Aykroyd sebagai Wade Motch
Brian Cox sebagai Raymond Huggins


Director: 

Merupakan feature film kesembilan bagi Jay Roach yang angkat nama lewat Austin Powers : International Man of Mystery (1997).

W For Words: 
Awalnya sulit bagi saya menemukan alasan untuk menonton film ini. Faktor utama, saya tidak pernah menyukai seorang Will Ferrell yang sisi komediknya tak pernah berhasil membuat saya tersenyum apalagi tertawa, setidaknya tergambar dari beberapa judul film doi yang pernah ditonton sebelumnya. Namun melihat nama Zach Galifianakis sebagai kompetitornya dan juga Jay Roach di kursi sutradara, saya memutuskan untuk memberi kesempatan. Trailernya sendiri selama ini hanya terlihat wara-wiri di jaringan bioskop Blitzmegaplex, bukan 21 Cineplex. Heran!

Cam Brady adalah anggota kongres North Carolina yang telah berulang kali terpilih. Ketika dua pebisnis licik yakni Glenn dan Wade Motch mencalonkan Marty Huggins dalam pemilihan dengan motif tertentu, suara publik mulai terbagi. Selama ini Cam berada di atas angin dengan kampanye ternamanya “Family, Jesus and Freedom” meski tidak dibarengi usahanya memperbaiki sarana umum. Namun Marty yang mengandalkan kepeduliannya terhadap komunitas kemudian mencuat menjadi kandidat terlebih polesan Tim Wattley terhadap figurnya. Siapa yang akan menang pada akhirnya?

Premis film ini sendiri digagas oleh tiga orang termasuk Adam McKay, sedangkan dua lagi yaitu Chris Henchy dan Shawn Harwell turut mengembangkannya menjadi skenario. Penggambaran wakil partai Demokrat dan Republik seakan dibalik stereotype nya.  Cam dari Demokrat cenderung lebih radikal sedangkan Marty dari Republik malah lebih liberal. Konflik yang kemudian terbangun di sepanjang film hanyalah upaya keduanya untuk saling mengungguli di segala bidang hingga masuk ke area personal masing-masing yaitu keluarga.

Sutradara Roach memiliki jam terbang yang tinggi di genre komedi. Ranah politik modern America mulai dirambahnya sejak serial televisi Recount (2008) dan Game Change (2012). Kombinasi yang akhirnya cukup efektif untuk membangun satire dan slapstick secara simultan mulai dari yang ringan hingga yang paling ekstrim, sebagian besar berhasil dan sebagian kecil mungkin tidak. Misi Roach untuk membangun karakteristik secara seimbang setidaknya sukses. Karakter-karakter lain di luar kedua tokoh utama terbukti tak kalah menarik untuk disimak terlepas dari porsi yang lebih minim.
Ferrell dan Galifianakis disini bagaikan yin yang. Ferrell bahkan melakukan impersonifikasi George W. Bush dalam sosok Cam lengkap dengan skandal seksnya yang menjadi rahasia publik. Menarik melihat transformasi Galifianakis dalam sosok Marty yang pemalu dan tidak percaya diri menjadi optimis dan oportunis. Harus diakui mereka bermain satu dimensi dan tensinya sedikit menurun di paruh kedua. Beruntung di saat itu, Sudeikis, LaNasa, Baker, McDermott datang mengisi frame dengan keunikan masing-masing. Sumbangsih Cox, Lithgow, Aykroyd sebagai karakter-karakter senior berperan kunci juga tak bisa dikesampingkan begitu saja.

The Campaign mempunyai premis yang menarik dimana problematika politikus, rasisme, bisnis kotor, praktek korupsi, terorisme dihadirkan lewat visual eksplisit dan bahasa keras menggigit. Memang tidak sepenuhnya fresh tapi masih tetap relevan menggugah tawa dan menggalang rasa penonton sekaligus cukup peduli untuk berpihak pada salah satunya. Kesiapan mental anda untuk menerima komedi sejenis ini amat menentukan seberapa jauh anda akan menikmatinya sebagai hiburan belaka. Bagi saya tak ada salahnya menertawakan persaingan politikus Amerika apalagi menilik sejarah dan motivasi masing-masing yang berbeda-beda.

Durasi: 
85 menit 

U.S. Box Office: 

$96,744,503 till Nov 2012 

Overall: 

7.5 out of 10

Movie-meter:

Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Selasa, 20 November 2012

MY NAME IS LOVE : Sweet and Sour Cupid Love Stories


Quote: 
Que: Mengapa dewa cinta tidak memiliki keajaiban?
Uncle Tom: Sebab cinta sudah merupakan keajaiban itu sendiri?


Nice-to-know: 

Film yang diproduksi oleh M Pictures dan Independent Film ini sudah rilis di Thailand pada tanggal 11 Oktober 2012 yang lalu. 

Cast: 

Arak Amornsupasiri sebagai Que
Thanyasupang Jirapreechanon sebagai Ger
Jas Chuanchuen sebagai Odd
Kom Chuanchuen sebagai Uncle Tom
Pongpicth Preechabarisuthkul sebagai Jo
Jiraprapha Marayart sebagai Mew


Director: 

Wasin Pokpon sebelumnya menangani A Crazy Little Thing Called Love (2010).

W For Words: 
Mencintai dan dicintai jelas merupakan hak semua orang di dunia tanpa kecuali. Namun sayangnya tidak semua dapat saling berbalas. Untuk itu mungkin dibutuhkan dewa cinta alias cupid untuk membantu. Kira-kira begitulah premis komedi romantis terbaru Thailand ini yang lahir dari tangan dingin Wasin Pokpon yang sebelumnya sukses luar biasa mengarahkan Mario Maurer dan Pimchanok Leuwisetpaiboon. Temanya mungkin familiar dengan judul-judul lawas (maafkan kemalasan saya berpikir) tetapi tentunya sudah disesuaikan dengan kekhasan budaya lokal yang ada.

Siswa populer Que dengan kejam menolak cinta siswi gemuk berkacamata tebal Ger. Roda nasib berputar, Ger tumbuh dewasa menjadi gadis cantik sedangkan Que menjadi pecundang yang bekerja pada Big yang sewaktu kecil sering dikerjainya. Meski demikian, Que tak pantang menyerah mengusir setiap pria yang berusaha mendekati Ger. Suatu ketika, situs MyNameIsLove.com mengubah Que menjadi cupid yang bertugas mempersatukan dua orang yang tengah kasmaran. Ia tak boleh mengatakan apapun mengenai hal itu sampai menunaikan misinya tepat waktu. 

Saya bersyukur bahwa elemen komedi dan drama berjalan seimbang di skrip ini. Sempilan adegan masa lalu mampu menjadi pondasi bercerita yang lumayan kuat dimana hukum karma seakan diberlakukan. Banyaknya karakter hilir mudik memang tidak mendapatkan cukup waktu untuk berkembang tapi mengingat ini adalah multi tugas cupid yang bukan hanya seorang tapi beberapa orang jelas hal itu bisa dimaklumi. Tak lupa bumbu humor slapstick yang tercetus dari dialog ataupun bahasa tubuh turut mengiringi dimana sebagian besar di antaranya berhasil mengundang tawa riuh.

Wasin sebagai sutradara belum kehilangan sentuhan magisnya dalam menyajikan romantika yang manis dan menyejukkan hati. Ujaran “Oh..” atau “Wow..” mungkin secara spontan akan meluncur dari bibir anda menyaksikan adegan-adegan unyu tak terduga. Durasi yang panjang memang agaknya berpengaruh terhadap tempo film. Beruntung hal tersebut dimanfaatkannya untuk bereksplorasi, merangkai plot dan subplot untuk dapat bersinergi dengan utuh dalam membangun konflik persuasif. Sederetan lokasi syuting yang variatif menjadikan feel nya dinamis.

Terus terang, saya tidak pernah suka Arak terlibat dalam komedi romantis. Namun kali ini ia sukses menampilkan sosok Que yang clueless, desperate tapi pantang menyerah sehingga anda akan tersenyum sekaligus terharu melihat perjuangannya menemukan arti hidup dan mengejar gadis impiannya. Thanyasupang pada dasarnya tidak melakukan apa-apa selain menokohkan Ger yang cantik, lembut nan berbakat. Paling mencuri perhatian adalah Jas dan Kom yang amat karikatural sebagai Odd dan Tom yang bertolakbelakang. Lain lagi dengan Pongpicth dan Jiraprapha sebagai pasangan on-off Jo dan Mew.

Keunggulan My Name Is Love ada pada timing sehingga kebetulan-kebetulannya terasa believable. Takaran rasa di tiap scene nya terbilang pas, tidak berlebihan. Unsur itulah yang membuat anda bisa memaafkan sebagian minus yang terkandung di dalamnya. Lagi-lagi sebuah suguhan fresh dari tema yang sebenarnya telah usang dari negeri gajah putih mengenai kiprah dewa cinta di muka bumi dan proses pencarian belahan hati itu sendiri. Film berjudul asli Kao Riak Pom Wa Kam Rak ini dapat dinikmati semua kalangan umur layaknya cinta yang bersifat universal dan selalu ada dalam diri kita masing-masing.

Durasi: 
129 menit 

Asian Box Office: 
$600,000 in Thailand till Nov 2012 

Overall: 

7.5 out of 10

Movie-meter:

Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Minggu, 18 November 2012

NOW IS GOOD : Interpersonal Realities Teen Cancer Tearjerker


Tagline:
Live every moment, love every minute 

Nice-to-know: 

Karakter Tessa digambarkan memiliki rambut coklat di novel tetapi berganti menjadi pirang di film. Olivia Williams yang memerankan ibu Tessa menggunakan wig pirang untuk penyesuaiannya.

Cast: 

Dakota Fanning sebagai Tessa Scott
Kaya Scodelario sebagai Zoey
Olivia Williams sebagai Mother
Rose Leslie sebagai Fiona
Jeremy Irvine sebagai Adam
Paddy Considine sebagai Father


Director: 

Merupakan karya kedua bagi Ol Parker setelah Imagine Me & You (2005).

W For Words: 
Novel Inggris, “Before I Die” setebal 336 halaman telah diterbitkan oleh David Fickling Books di tahun 2007 bahkan sempat memenangkan Branford Boase Award 2008. Kini di tahun 2012, kolaborasi Goldcrest Pictures, BBC Films, Blueprint Pictures, Lipsync Productions, UK Film Council sepakat mengadaptasinya ke layar lebar dengan bintang utama Dakota Fanning, peraih nominasi termuda Screen Actors Guild Awards sepanjang masa di usia 7 tahun lewat I Am Sam (2001). Menarik bukan? Untuk itu kesampingkanlah premis serupa yang pernah muncul di film-film sebelumnya.

Gadis muda berusia 17 tahun bernama Tessa mengidap leukemia. Ia menolak semua proses pengobatan dan kemoterapi yang menyiksa demi mempercepat babak hidupnya. Ayahnya yang kuatir terus memantau perkembangan putrinya itu sambil sesekali dibantu mantan istrinya. Sahabat karib Tessa, Zoey membantunya menyelesaikan daftar hal-hal yang harus dilakukan sebelum mati. Keadaan mulai berubah saat tetangga barunya, pemuda tampan bernama Adam masuk ke dalam kehidupan Tessa yang secara perlahan membuatnya kembali bersemangat.

Hal pertama yang harus anda tolerir dari skrip demi bersikap obyektif adalah kecenderungan Tessa melawan orangtuanya sendiri. Bagian ini dapat dikatakan berjudi apakah sang tokoh utama mampu memenangkan simpati penonton. Saya maklum karena fakta yang terjadi memang demikian, pertentangan anak yang menginjak dewasa dengan orangtuanya kerap terjadi. Mari lihat dari sisi lain, Tessa adalah gadis pemberani yang tidak mau dikasihani oleh siapapun juga dan hanya ingin menjalani proses hidup yang mungkin tidak akan pernah sempat dilaluinya. Let’s try to fit ourselves in her shoes!

Dakota Fanning kembali bersinar dimana aksen British nya cukup meyakinkan. Tak peduli jika anda sebal pada Tessa di beberapa bagian, empati anda akan terbangun dengan sendirinya lewat sorot mata sayu dan sikap spontannya. Interaksinya dengan ayah, ibu, adik, kekasih, sahabat, dokter, suster terasa believable terlepas dari keklisean disana-sini. Karisma Irvine cukup mengimbangi lewat peran Adam yang tampan simpatik, lihat aksinya membuat snow angel di tanah bersalju. Kredit terbesar pantas diberikan pada Considine yang sukses menokohkan ayah yang tidak mau menerima kenyataan bahwa putrinya bernasib malang. Air mata saya jatuh melihat “kehancuran”nya kala bertengkar dengan Fanning.

Penulis skrip sekaligus sutradara Parker banyak mengandalkan one-liners yang mudah diingat semacam ‘Never have casual sex’, ‘Always try your hardest’ atau dialog jujur dari adik Tessa dan sarkastis dari Tessa terhadap orang-orang yang sesungguhnya menyayanginya itu. Fokus film memang ada pada substansi hubungan interpersonal walau harus mengabaikan degradasi penampilan penderita kanker dari waktu ke waktu. Gaya penyutradaraannya tergolong stylish terlepas dari beberapa kontinuitas yang patut dipertanyakan semisal, bagaimana Tessa kembali dari pantai dengan berjalan kaki setelah perginya bermotor?

Now Is Good adalah film remaja bertemakan leukemia dengan pendekatan realistis. Bagaimana reaksi seseorang dalam menghadapi situasi kritis tak selalu sesempurna dengan apa yang diharapkan. Sebagian besar dari anda jika ditempatkan di situasi yang Tessa hadapi, saya yakini akan menempuh jalan yang sama daripada harus terus menerus berdiam diri di atas tempat tidur dan pasrah menjalani segala macam pengobatan yang mungkin. Penguras air mata secara natural ini mengingatkan kita bahwa hidup hanyalah sekumpulan momen berharga, yang akan selalu datang dan pergi seiring berjalannya waktu.

Durasi: 
103 menit 

Overall: 

8 out of 10

Movie-meter:

Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent