XL #PerempuanHebat for Kartini Day

THE RING(S) : A short movie specially made for Valentine's Day

Selasa, 08 Desember 2015

MIDNIGHT SHOW : Unravel Mystery In Bloody Theatre

Quote:
Johan: Ya meskipun satu penonton tetap harus kita layani.

Nice-to-know:
Sutradara Ginanti Rona sempat diganggu dimana saat take, earphone nya terdengar suara berisik dan tawa wanita padahal semua kru dan pemain sedang tidak bersuara.

Cast:
Gandhi Fernando sebagai Juna
Acha Septriasa sebagai Naya
Ratu Felisha sebagai Sarah
Ganindra Bimo sebagai Tama
Boy Harsya sebagai Ikhsan
Gesata Stella sebagai Lusi
Arthur Tobing sebagai Seno
Ronny P. Tjandra sebagai Johan
Daniel Topan sebagai Allan
Ade Firman Hakim sebagai Guntur
Rangga Djoned sebagai Heru
Citra Prima sebagai Yuli
Rayhand Khan sebagai Bagas Film
Neny Aggraeni sebagai Desi
Yayu Aw Unru sebagai Purno
Zack Lee


Director:
Merupakan feature debut bagi Ginanti Rona Tembang Asri setelah menjadi astrada dalam The Raid: Redemption (2011).

W For Words:
Siapa nyana duet G bertekad menyuguhkan tontonan berdarah-darah bagi penikmat film Indonesia di awal tahun 2016 mendatang? Mereka adalah Gandhi Fernando dan Ginanti Rona Tembang Asri. Satunya adalah pelakon dan juga pionir dari Renee Pictures yang sudah menelurkan tiga film berbeda genre sejauh ini. Sedangkan yang lainnya sudah berpengalaman sebagai astrada bagi famous Indonesian genre directors yaitu Gareth Evans dan The Mo Brothers selain menggarap secara koperatif sebuah film kecil lima tahun silam. Seperti apa hasil kolaborasi produser dan sutradara ini memang layak ditunggu.

Pengusaha bioskop Johan sedang menunggui anak buahnya berjaga untuk pertunjukan midnight, sebuah film baru berjudul “Bocah” yang konon diinspirasi dari kisah nyata. Satpam Allan yang sudah mengantuk, penjaga loket Naya yang harus menggantikan tugas Lusi yang pulang lebih awal karena sakit dan juga projectionist merangkap penjual snack Juna yang usil. Beberapa penonton pun berdatangan mulai dari pasangan Ikhsan dan Sarah, pria tua Seno serta pria misterius Guntur. Mereka tidak menyadari jika ada sosok bertopeng yang tidak menyukai pemutaran film itu sedang mengintai. 

















Husein M. Atmodjo yang menggarap skenario berdasarkan ide cerita Gandhi ini bertekad memberikan pondasi yang kokoh bagi karakter-karakternya sebelum beranjak dengan konflik yang diusung. Simak saja bagaimana flashback mencengangkan sebagai appetizer yang menggugah rasa. Namun usaha Husein memang belum sepenuhnya berhasil karena adanya kekhawatiran membuka ‘kedok’ terlalu dini. Layer demi layer yang tersingkap seiring waktu akan terus memberi petunjuk bagi anda untuk menebak siapa pelaku sesungguhnya di akhir cerita. Tidak sulit bagi mereka yang mengaku slasher fans.

Ginanti sebagai sutradara tampak menguasai betul panggung bermainnya. Sebuah bioskop tua dengan studio lawas, ruang gelap maupun lorong sempit memang terasa sempurna sebagai arena kejar-kejaran yang menegangkan. Tidak lupa segala gimmick autentiknya mulai dari karcis sobek, poster film non digital hingga loket kaca menambah sisi artistik sekaligus menunjukkan kecintaan pembuatnya terhadap sinema sejak usia dini. Sinematografi dengan low key lighting dari Joel F. Zola sukses menghadirkan suasana mencekam di sepanjang film.














Menarik melihat Acha mengambil peran yang berbeda dari biasanya karena Naya adalah sosok heroine yang jelas akan anda pedulikan nasibnya di sepanjang film. Gandhi memberikan penampilan yang lebih baik dari sebelumnya lewat karakter Juna yang usil tapi tak kenal takut. Kembalinya Ratu Felisha ke layar lebar lewat genre horor thriller pantas diapresiasi sebagai Sarah yang annoying. Sederetan aktor aktris muda yang turut mendukung sukses menghadirkan ‘distraksi’ yang dibutuhkan. Kemunculan sekilas tak lantas mengurangi nilai akting Ronny dan Gesata yang kian matang.

Terlepas dari pace yang sedikit naik turun dan juga flashback yang agak overexposed pada third act nya, Midnight Show merupakan slasher psikologis dengan kajian character study yang pantas diapresiasi karena tidak banyak filmmaker yang mau bersusah-payah melakukan effort serupa untuk genre sejenis. Sebuah film bisa dikatakan berhasil jika mampu melayangkan imajinasi penonton untuk sejenak membayangkan ada dalam situasi yang tengah dialami para tokohnya. If that’s the case then i’d be anywhere else but Podium theatre. Who’s the killer? It’s your task to uncover the mask.

Durasi:
100 menit

Movie-meter:

Senin, 23 November 2015

A COPY OF MY MIND : Gritty Love Within Political Sphere


Quote:
Alek: Loe kalo mau nyari yang bagus, loe cari yang asli lah. Bajakan masa loe protes.

Nice-to-know:
Diproduksi oleh Lo-Fi Flicks dan CJ Entertainment yang juga menjadi distributornya.

Cast:
Tara Basro sebagai Sari
Chicco Jerikho sebagai Alek
Maera Panigoro sebagai Ny Mirna
Paul Agusta sebagai Bandi
Ario Bayu sebagai Hitman
Tony Setiaji sebagai Penjual DVD
Ronny P Tjandra sebagai Pak Ronny

Director:
Merupakan feature film kelima bagi Joko Anwar setelah Modus Anomali (2012).

W For Words:
Dua belas tahun sudah filmmaker bertalenta tinggi yang mengawali karirnya sebagai jurnalis film ini menggeluti industri film Indonesia baik sebagai pelakon, penata skrip ataupun sutradara. Untuk pertama kalinya menjabat sebagai produser eksekutif selain menulis skenario dan menyutradarainya, Joko Anwar berhasil meraih legitimasi tertinggi dalam negeri yakni Piala Citra sebagai sutradara terbaik melalui A Copy Of My Mind yang juga diputar pada berbagai festival luar seperti 2015 Venice International Film Festival, Toronto International Film Festival, Busan International Film Festival ini.

Dua insan kelas bawah metropolitan yaitu Sari, pekerja facial salon kecantikan yang kerap menutup harinya dengan menonton DVD bajakan di kamar kosnya dan Alek, pembuat teks terjemahan yang selalu menghabiskan harinya dengan bekerja di dalam rumah seorang nenek sebatang kara yang dirawatnya. Keduanya lantas dipertemukan oleh ‘film’ dan segera bertautan karena kesamaan hobi. Namun sebuah ‘kesempatan’ yang datang bersamaan dengan riuh rendahnya kampanye calon presiden negeri ini justru mengancam masa depan hubungan mereka.
Pembajakan adalah musuh utama sang kreatifitas yang lumrah dihadapi oleh industri film di negara manapun juga. Joko dengan cerdas mengambil tema ini melalui sudut pandang ‘produsen’ dan ‘konsumen’ yang (bukan kebetulan) saling jatuh hati. Proses pengerjaan hingga distribusi langsung secara detil digambarkan di paruh pertama. Sedangkan paruh kedua diisi oleh gejolak sosial politik yang acapkali memihak kepentingan elite harus bersinggungan dengan masyarakat yang tidak memiliki banyak pilihan selain mengikuti arus sambil mencoba bertahan hidup.

Pendekatan indie memang terasa dilakukan Joko melalui panggung Jakarta yang digambarkan ‘kumuh’ seperti kos padat penghuni, rumah gang, warteg sederhana, jalan sempit dsb yang tak jarang berkesan temaram. Namun jangan ragukan sinematografi Ical Tanjung yang efektif menangkap setiap sudut metropolitan yang terlupakan. Alur lambat tetapi konsisten di setiap babaknya dijamin memberikan waktu yang cukup bagi anda untuk mengenal semua karakternya sekaligus mengikuti konflik yang menjalar perlahan sebelum mencapai titik kulminasi.
Chicco membangun tokoh Alek dari tampilan fisiknya yang tegap dan kumal tapi berhati lembut dan meyakini apa yang dianggapnya benar. Tara menjiwai peran Sari dengan kepercayaan diri tinggi terlepas dari keterbatasan yang dimilikinya dan sentiasa mencari pembenaran dari segala tindakannya. Chemistry mereka yang bermula dari nafsu mulai berkembang menjadi saling membutuhkan dengan semua upaya kompromi yang terlihat jelas. Maera mampu mencuri perhatian di atas limitasi screen time sebagai Ny Mirna yang tegas dan oportunis. Sementara Paul menunjukkan sisi antagonis yang dibutuhkan sebagai Bandi.

A Copy Of My Mind, yang lahir dari kecintaan seorang Joko Anwar sejak belia terhadap film itu sendiri, lebih merupakan sebuah drama kontemporer dengan character study dan conflict relevance yang kental. Sentuhan thriller yang coba dihadirkan di penghujung cerita memang tidak sampai mengubah ‘haluan‘ tetapi dirasa sudah cukup untuk meninggalkan kesan menetap, bahkan setelah anda meninggalkan bioskop. Your mind will be blown by a pair of helpless lovers in seeking of their own entertainment and testament.

Durasi:
118 menit

Overall:
8.5 out of 10

Movie-meter:

Jumat, 25 September 2015

MONSTER HUNT : Seamless Animation That Breaking Barriers


Tagline:
Some people are not what you see. Some monsters are not what you think. Some adventures are not what you expect.

Nice-to-know:
Aktor muda dari You Are The Apple Of My Eye (2011), Kai Ko sempat memerankan Song Tianyin sebelum terlibat kasus narkoba hingga diganti oleh Jing Boran.

Cast:
Bai Baihe sebagai Huo Xiaolan
Jing Boran sebagai Song Tianyin
Wu Jiang sebagai Luo Gang
Tang Wei sebagai Dealer
Eric Tsang sebagai Zhu Gao
Chen Yao sebagai Cook
Wallace Chung sebagai Boss
Yan Ni sebagai Madam Zheng
Guo Xiaodong sebagai Song Daitian
Elaine Jin sebagai Grandma
Sandra Ng sebagai Pang Ying

Director:
Merupakan feature debut Raman Hui setelah Shrek The Third (2007) bersama Chris Miller.

W For Words:
Tidak banyak yang mengenal nama Raman Hui, pria kelahiran Hongkong 52 tahun silam. Karirnya di dunia film berawal dari Pacific Data Images di tahun 1989 yang kemudian diakuisisi oleh Dreamworks  Animation. Dua short movienya Sleepy Guy (1995) dan Fat Cat on a Diet (2000) memang belum mendunia. Namun kesempatan emasnya bekerjasama dengan Chris Miller menyutradarai Shrek The Third (2007) tidak disia-siakan. Puncaknya adalah ide pembuatan Monster Hunt yang muncul sejak tahun 2005 akhirnya direalisasikan tahun 2013 meskipun menyisakan berbagai hambatan lagi mulai dari pendanaan hingga pergantian pemain yang menyebabkan reshoot nyaris 70%.
Pecundang Tianyin yang sebetulnya keturunan pendekar dari desa Yongning tanpa sengaja dititipkan benih keturunan raja monster di dalam perutnya. Pemburu monster haus uang, Xiaolan harus mengikutinya kemanapun hingga ‘persalinan’ tiba. Bayi menggemaskan yang kemudian dinamakan Wuba itu menjadi incaran banyak pihak mulai dari pemilik kios jagal hingga koki ahli yang tengah mempersiapkan hidangan istimewanya. Kini Tianyin dan Xiaolan yang diam-diam tertarik satu sama lain harus menyelamatkan Wuba dan mengembalikan ke habitat asalnya.














Alan Yuen yang dikenal sebagai penulis skenario, produser dan sutradara ini mengambil inspirasi dari literatur Cina klasik yang berjudul " The Classic of Mountains and Seas." yang mirip dengan National Geographic dimana pembahasan berkisar tentang kawanan monster yang tinggal di pegunungan. Oleh karena itu tercipta varian karakter yang beragam dengan plot device yang terbilang umum. Mungkin sebagian besar penonton akan menyebutkan Kungfu Panda atau Shrek sebagai referensinya. Tidak masalah karena originalitas secara keseluruhan masih dapat dipertanggungjawabkan.

Hui mempertaruhkan budget besar yang awalnya tidak mendapat sokongan Pemerintahan China demi menciptakan fantasy comedy yang secara grafis nyaris tanpa cela. Tekad kuat dan kerja kerasnya terganjar dengan predikat film Mandarin terlaris sepanjang masa sekaligus menyingkirkan film-film box office Hollywood. Desainer produksi Yohei Tanada memasukkan sedikit unsur animasi Jepang. Musik Leon Ko juga mampu menciptakan ambience yang dibutuhkan. Jangan lupakan editing Cheung Ka-Fai yang ketat demi flow storytelling yang dinamis.













Boran mengambil tampuk yang tanpa sengaja ditinggalkan Kai Ko dengan gemilang. Tokoh Tianyin yang polos dan canggung tapi simpatik itu terasa hidup di tangannya. Baihe juga berhasil menerjemahkan karakter Xiaolan yang culas dan serakah menjadi lembut dan penyayang. Simak keterampilan Wu Jiang mempertontonkan jurus silatnya sebagai antagonis Luo Gang. Tak terhitung sumbangsih Eric Tsang dan Sandra Ng yang membuka film ini dengan brilian atau Elaine Jin yang mengocok tawa sebagai nenek pikun. Penampilan cameo Tang Wei dan Chen Yao mungkin tidak akan meninggalkan impresi tetapi jelas cukup penting untuk kebutuhan cerita.

Monster Hunt setidaknya membuktikan, sukses adalah milik sebuah pionir, bukan pengekor. Standar animasi tinggi untuk perfilman Asia telah ditetapkannya, bahkan dipadu-padankan dengan kisah moral sederhana mengenai bagaimana menghargai perbedaan yang ada, menyikapi toleransi antar sesama selain tentunya menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan.
Some adventures are not what you expect. Be prepare for pure entertainment you shouldn’t miss for any reasons. Adorable Wuba is like the cherry on top of the cake you’ll craving for more.

Durasi:
121 menit

China Box Office:
$
360,000,000 till September 2015

Overall:
8.5 out of 10

Movie-meter:

Jumat, 07 Agustus 2015

MISSION : IMPOSSIBLE - ROGUE NATION Accomplished Continuation For The Franchise

Quote:
Benji Dunn: Let me guess. Presumed dead?
Ethan Hunt: Well tonight, I just made it official.


Nice-to-know:
Adegan dimana Hunt memanjat pesawat Airbus A400M yang sedang terbang 1,5 km di atas tanah dilakoni sendiri oleh Tom Cruise tanpa spesial efek dan stuntman.

Cast:
Tom Cruise sebagai Ethan Hunt
Jeremy Renner sebagai William Brandt
Simon Pegg sebagai Benji Dunn
Rebecca Ferguson sebagai Ilsa Faust
Ving Rhames sebagai Luther Stickell
Sean Harris sebagai Solomon Lane
Simon McBurney sebagai Atlee
Zhang Jingchu sebagai Lauren
Tom Hollander sebagai Prime Minister
Jens Hultén sebagai Janik Vinter
Alec Baldwin sebagai Alan Hunley

Director:
Merupakan film ketiga bagi Christopher McQuarrie setelah Jack Reacher (2012).

W For Words:
19 tahun sudah semenjak Tom Cruise membangkitkan kembali franchise yang dimulai dari inisiatif Bruce Geller lewat serial televisinya pada tahun 1966. Sosok Ethan Hunt mungkin dapat diasosiasikan dengan James Bond, tokoh agen rahasia Inggris dengan skill yang lebih kurang mirip. Tidak salah karena masing-masing masih memiliki keistimewaan sendiri. Lantas apa lagi yang ingin dibuktikan Cruise, superstar Hollywood yang sudah berusia 53 tahun ini, melalui misi-misi mustahil berbahaya? Well, it’s not up to me or even you to answer that. Let’s just sit and enjoy the show like any other viewers.

Ketika tengah menyelidiki Syndicate yang diduga menjadi dalang kekacauan internasional karena berisikan teroris-teroris terlatih, Hunt tertangkap dan menjalani penyiksaan. Di luar dugaan, anggota organisasi rahasia tersebut, Ilsa malah membantunya melarikan diri. Hunt pun menjadi buronan CIA yang menyangkal keberadaannya. Boss IMF, Brandt tanpa sepengetahuan Direktur CIA, Hunley menugaskan Benji dan Luther untuk menemukannya lebih dulu. Permainan kucing tikus penuh tipu daya itu lantas berujung pada penangkapan Perdana Menteri Inggris di London.













Nama McQuarrie sebagai penulis skrip handal mulai diperbincangkan usai menyabet Oscar dalam The Usual Suspect (1995). Skrip yang dikembangkan dari gagasan dirinya bersama Drew Pearce ini memang terbilang brilian dengan three-act structure yang cukup efektif. Setup-setup familiar dalam setiap misi Hunt muncul kembali, hanya saja beberapa puntiran cerdas menjadikannya fresh dan tidak mudah ditebak begitu saja. Pendalaman setiap karakter baru (maupun lama) dalam film ini justru terjadi di tengah-tengah, seakan penonton diberi nafas usai disuguhi opening yang breathtaking tersebut.

McQuarrie sebagai sutradara tidak berupaya menjadikan installment kelima ini another globe trotting spy action movie. Setting dari Malaysia, Austria, Morocco hingga UK masih tergolong sesuai dengan kebutuhan cerita tanpa harus overexposed. Teknologi mutakhir lewat gadget-gadget canggih memang ada tapi tidak sampai terkesan spektakuler seperti sebelumnya. Sekuens aksi berpacu dengan waktu dan kebut-kebutan di jalan masih dipertahankan demi menjaga adrenaline anda. Adegan paling memorable buat saja adalah di gedung opera Vienna. Who can resist classical orchestra?















Fisik yang tidak seprima dulu membuat Cruise harus pandai-pandai mengatur segala jenis aksi yang dilakukannya. Well, he succeeded on and off the screen. Untungnya dominasi karakter Hunt tidak sampai mengesankan one man show dalam storytelling nya. Sang femme fatale, Ferguson jelas paling standout dalam jajaran cast sekuel ini. Betapa tidak, kecantikan dan kemolekan tubuhnya juga dibarengi dengan pesona akting dan fighting yang mumpuni. Pegg masih mempertahankan trademark komedinya yang spontan dan natural itu. Harris menunjukkan kelasnya sebagai villain berdarah dingin meski tanpa aksi faktual. Sedangkan Renner, Rhames dan Baldwin menempati posisi supporting masing-masing dengan pas.

Mission: Impossible – Rogue Nation sukses menjaga level ketegangan dan keingintahuan hingga akhir yang dibutuhkan oleh espionage thriller yang baik sambil mempertontonkan aksi-aksi mustahil di luar nalar yang sebelumnya sudah dicapai oleh sutradara-sutradara besar lainnya. Satu pencapaian McQuarrie yang patut mendapat acungan jempol adalah kembalinya kesan klasik nan elegan tanpa campur tangan CGI yang berlebihan di sini. All credit still goes to Cruise though. As we all agree to give him another impossible mission in the next two years!

Durasi:
131 menit

U.S. Box Office:
$74,743,725 till August 2015

Movie-meter:

Rabu, 05 Agustus 2015

DRISHYAM : When Right Versus Wrong Couldn’t Get Any Better


Tagline:
Visuals can be deceptive.

Nice-to-know:
Merupakan remake dari film Malayalam terlaris sepanjang masa berjudul sama.

Cast:
Ajay Devgn sebagai Vijay Salgaocar
Tabu sebagai Meera Deshmukh
Kamlesh Sawant sebagai Gaitonde
Shriya Saran sebagai Nandhani Vijay Salgaonkar
Rajat Kapoor sebagai Mahesh Deshmukh
Ishita Dutta sebagai Anju
Mrinal Jadhav sebagai Anu
Rishab Chaddha sebagai Sameer Deshmukh

Director:
Merupakan feature film keenam bagi Nishikant Kamat setelah Lai Bhaari (2014).

W For Words:
Jeethu Joseph adalah tokoh di balik suksesnya film Malayalam berjudul Drishyam (2013) yang kemudian dibuat ulang dalam versi Tamil berjudul Papanasam (Destruction of sins) dua tahun kemudian dimana Kamal Haasan dan Gauthami berupaya mengikuti jejak Mohanlal dan Meena. Pada waktu bersamaan, Nishikant Kamat mengerjakan remake yang persis sama dengan harapan melampaui pencapaian box-office sekaligus jumlah penonton. Tentu saja mengandalkan nama besar Ajay Devgn dan Tabu yang sedianya lebih dikenal luas baik regional maupun internasional.

Pengusaha jaringan teve kabel di desa terpencil Goa yang juga yatim piatu dan berpendidikan rendah, Vijay memiliki kecintaan tinggi terhadap film. Ia hidup bahagia bersama istrinya Nandhini dan kedua putri mereka Anju dan Anu. Saat remaja Sam yang juga putra dari Inspektur berdarah dingin Meera Deshmukh menghilang, keluarga Salgaonkar menjadi tersangka hingga harus menjalani proses interogasi panjang di bawah pengawasan polisi korup Gaitonde. Mampukah Vijay melindungi orang-orang tercintanya dari penguasa kejam? 














Skenario yang digagas oleh Upendra Sidhaye sedianya hanyalah pemendekan durasi dari versi originalnya. Pengenalan terhadap keluarga Salgaonkar dilakukan secara lebih cepat. Keyakinan penonton diarahkan untuk memihak kepada mereka apapun yang terjadi sehingga beberapa logika yang mengganggu tidak akan terlalu dihiraukan. Secara kontradiktif, pihak kepolisian dibuat demikian negatif di sini. Layer demi layer misteri yang terbuka harus diakui menarik untuk disimak walau harus menempatkan kebenaran di atas kesalahan sekalipun.

Devgn mungkin salah satu weakest link. Superioritas dirinya sebagai seorang superstar jelas mempengaruhinya untuk dapat sepenuhnya masuk ke dalam karakter Vijay yang membumi dan putus asa. Namun kita bisa melihat upaya maksimalnya. Saran sebagai istrinya hanya terlihat lebih tua beberapa tahun dari Dutta yang menjadi putrinya. Miscast? Sedangkan Sawant jelas paling berhasil memancing emosi penonton lewat sikap buruk dan ignorant Gaitonde. Tabu juga menunjukkan penampilan gemilang melalui tokoh Meera yang multi-layer tersebut, tegas dan rapuh secara bersamaan. 














Sutradara Kamat memang sedikit kedodoran di paruh pertama film yang berjalan cukup lambat tanpa penekanan titik petunjuk yang berarti.  Paska interval barulah pace nya meningkat dimana karakter-karakter kunci mulai memegang teguh pada posisinya masing-masing. Setidaknya elemen penting dalam sebuah thriller adalah how mystery unfolds. Bagaimana kenyataan yang sesungguhnya mungkin tidak seperti apa yang terlihat. Twist dan turns yang silih berganti hadir akan menantang anda untuk terus menebak hingga akhir.

Lupakan sejenak Kahaani atau Talaash yang memuncaki daftar film favorit anda di tahun 2012 silam, Drishyam adalah drama suspense thriller yang bisa dikatakan berhasil bagi mereka yang belum pernah menonton versi aslinya. Sebuah adaptasi bebas dari kisah nyata seorang pria biasa dengan tekad dan keberanian luar biasa meskipun menghadapi dilema besar. Is it worth suffering for in the end? I believe yes. A gripping story that will keep you on the edge of your seat. Just watch the proceedings till the final scene blows us off!

Durasi:
163 menit

Movie-meter:

Kamis, 30 Juli 2015

LITTLE BIG MASTER : Moving Story Of Extraordinary Teacher

Original title:
Ng Gor Siu Haai Dik Haau Cheung


Nice-to-know:
Film yang rilis di Hongkong pada 19 Maret 2015 yang lalu ini menjadi #2 box office di bawah Furious 7

Cast:
Miriam Chin Wah Yeung sebagai Prinicipal Lui
Louis Koo sebagai Tung Tung
Richard Ng
Yuen Yee Ng
Philip Keung
Shui-Fan Fung
Man-Wai Wong               
Sammy Leung   
Mimi Chi Yan Kung
Winnie Ho
sebagai Siu-suet
Zaha Fathima sebagai Kitty
Khan Nayab sebagai Jennie
Keira Wang sebagai Chu-chu
Fu Shun-ying sebagai Ka-ka

Director:
Merupakan feature film kedelapan bagi Adrian Kwan setelah Team of Miracle: We Will Rock You (2009).

W For Words:
Jika Indonesia memiliki sosok Butet Manurung yang gigih menjelajahi pedalaman hutan Jambi demi memberikan pendidikan bagi anak-anak rimba dalam Sokola Rimba (2013), maka Hongkong mempunyai Lillian Lui Lai-hung yang rela melepas karir di sekolah bergengsi demi menyelamatkan sekolah terpencil yang terancam ditutup. Yes, you’re in for humanist story! Film yang mencatat box-office 33 juta HKD selama peredaran seminggu pertama di Hongkong pada April silam ini tentu tidak boleh dilewatkan begitu saja. Thanks to Feat Pictures who brought this to us via Cinemaxx and CGV Blitzmegaplex!

Akibat perbedaan prinsip, Kepsek Lui keluar dari sekolah elit bertepatan dengan mundurnya sang suami sebagai kurator musium. Niat keduanya untuk bersantai dan keliling dunia batal setelah mendengar TK di desa Yuen Long akan diganti menjadi tempat pembuangan sampah. Lima murid tersisa, Siu-suet yang membantu ayahnya yang pincang, Chu-chu yang kehilangan orangtuanya dalam kecelakaan dan tinggal bersama bibinya, Ka-ka yang jadi saksi pertengkaran ayah ibunya yang menjadi korban kontraktor, dua bersaudari Pakistan yakni Kitty dan Jennie yang dilarang ayahnya bersekolah harus bekerjasama mencari murid baru demi kelangsungan sekolah mereka.














Skrip yang ditulis oleh Adrian Kwan dan Hannah Chang ini memang menekankan pada kisah orang-orang biasa (kelas menengah ke bawah) dengan segala permasalahan nyata dalam keseharian mereka. Berbagai kritik sosial turut menyertai, seperti sikap sinis, apatis dan pesimis masyarakat masa kini dalam menyikapi hampir semuanya. Belum lagi kasus bullying dalam segala bentuk yang kian marak. Bagaimana pihak yang kurang beruntung akan semakin ditekan. Keseluruhan problem tersebut secara gemilang mampu terangkai dalam satu bingkai yakni pendidikan sebagai dasar utama akhlak manusia. 

Yeung berhasil menyalurkan emosi sebagai pribadi yang tidak mementingkan diri sendiri meski harus berjuang secara fisik sekalipun. Koo sukses menghidupkan sosok suami yang berpendirian teguh dan mencintai dengan cara yang unik. Chemistry keduanya mungkin tidak begitu nyata terlihat tapi terasa natural dan belieavable. Ho, Fu, Wang, Fathima dan Nayab merupakan bintang dalam film ini. Penampilan individual maupun saat berinteraksi dengan keluarga masing-masing  akan menawan hati anda hingga tanpa sadar menitikkan air mata dibuatnya.














Produser Benny Chan yang sudah banyak makan asam garam berusaha menjawab tantangan dimana film yang diangkat dari kisah nyata biasanya sulit berbicara di pasar. Saya tidak tahu metode yang digunakan Kwan, selama ini dikenal sebagai sutradara ‘Kristen’ lewat karya-karyanya, dalam menggali potensi kelima gadis cilik yang sebetulnya bukan aktris untuk merajut sisi emosional yang begitu pas. Sinematografi Anthony Pun terasa ciamik menangkap setiap detil shot yang berisi. Musik Wong Kin-wai memberi nyawa melodrama yang kuat. Sedangkan editing Curran Pang semestinya bisa lebih cepat sehingga lebih efektif dalam bercerita.

Produksi kolaborasi One Cool Film Production, Sil-Metropole Organisation, Sirius Pictures International dan Sun Entertainment Culture ini diyakini akan menuai banyak penghargaan di festival film internasional. Selain didedikasikan untuk semua pengajar di seluruh dunia, Little Big Master adalah sebuah upaya untuk mengerti suka dan duka kehidupan itu sendiri dari kacamata anak-anak. Suatu peringatan dimana kita yang bertumbuh dewasa kerap lupa untuk menjaga optimisme sambil tetap bermimpi akan tujuan yang ingin dicapai. Passions will drive you forward, no matter what challenge you might face.

Durasi:
112 menit

Movie-meter:

Rabu, 22 Juli 2015

BAJRANGI BHAIJAAN : Crossing Borders With A Heart

Quote:
Pawan: I don’t have a passport or a visa. But i promise, i’ll take Munni home myself. 

Nice-to-know:
Merupakan film keempat Salman khan dengan Kareena Kapoor.

Cast:
Salman Khan sebagai Pawan Kumar Chaturvedi / Bajrangi Bhaijan
Kareena Kapoor sebagai Rasika
Harshaali Malhotra sebagai Shahida / Munni
Nawazuddin Siddiqui sebagai Chand Nawab
Sharat Saxena sebagai Dayanand             
Najeem Khan

Director:
Merupakan feature film keempat bagi Kabir Khan setelah Ek Tha Tiger (2012).

W For Words:
Sama seperti Indonesia, Bollywood memiliki tradisi merilis film-film unggulan untuk menyambut Idul Fitri yang biasanya dibintangi oleh aktor besar. Kali ini giliran Salman Khan yang sudah berusia setengah abad untuk unjuk gigi paska pemenjaraan dirinya yang tertunda akibat kasus pembunuhan seorang pria tuna wisma. Well, we won’t talk further about that except his latest movie produced by Eros International, Kabir Khan Films, Rockline Entertainment and Salman Khan Films which collected 100 crore in just four days release. Amazing!












Seorang gadis cilik tuna wicara Pakistan berusia 6 tahun, Shahida tanpa sengaja terpisah dari keluarganya dan terdampar di India. Adalah mantan pegulat, Pawan yang tinggal di rumah kerabat ayahnya Dayanand, menemukannya dan kemudian menamakannya Munni. Pawan yang berniat menikahi Rasika menyanggupi tantangan untuk memulangkan Munni ke rumah asalnya walaupun harus melintasi perbatasan tanpa visa dan paspor. Pawan malah dituduh sebagai mata-mata dan jadi buronan. Wartawan lokal Chand membantunya dan menyebarkan kisahnya kepada publik.

Skrip yang digagas Prasad bersama Khan, Shaikh dan Hussain ini mesti diakui memang memiliki setup-setup kemanusiaan yang potensial mengetuk hati penontonnya. Modal yang kemudian didukung juga oleh directing skills mumpuni dari Khan yang begitu cekatan menangani setting sederhana hingga kompleks dengan grande. Karakter demi karakter diperkenalkan secara detail di paruh pertama sebelum pembahasan konflik antar negara yang mulai mencuat di paruh kedua. Toh film ini tidak berbicara politik bilateral melainkan perpaduan drama dan komedi dalam takaran yang pas tanpa harus terkesan preachy.
















Tidak seperti biasanya yang lebih mengandalkan otot, Salman di sini sukses menampilkan sisi rapuh selain kepolosan dan keteguhan hati seorang Bhaijaan. Si kecil Harshaali juga berhasil mencuri perhatian anda lewat sorot mata, ekspresi dan gesture yang sudah berbicara dengan sendirinya. Penampilan menawan Nawazuddin yang baru muncul setelah intermission mampu menghadirkan tawa lewat polah tingkah nya yang canggung tapi berhati baik. Sedangkan si cantik Kareena rasanya lebih berfungsi sebagai cameo dengan jumlah scene yang masih terbilang memadai.

Bajrangi Bhaijaan patut mendapat applause karena mengusung elemen patriotisme, cinta, kekeluargaan dan persaudaraan yang begitu emosional di atas segala batas yang ada. Terima kasih pada kontribusi musik Julius Packiam dan hits Pritam yang mendukung storytelling. Sekuens opening dan ending di pegunungan Kashmir bukan hanya indah tapi juga membuka dan menutup film secara brilian. Tak ayal, sajian blockbuster yang satu ini akan memenangkan hati banyak orang yang tak akan sungkan menitikkan air matanya. A hero with a heart? Definitely Salman’s best role to date!

Durasi:
154 menit

Overall:
8 out of 10

Movie-meter:

Rabu, 01 Juli 2015

ANY BODY CAN DANCE 2 : Bigger Deal But Less Value Exuberant Sequel

Quote:
Suresh: Sir, u r superb sir, outstanding, sir i salute u sir.

Vishnu: I know men, shut up & get lost.


Nice-to-know:
Demi memperdalam penjiwaan karakter Suresh, Varun Dhawan menato Michael Jackson di tangan kanannya.


Cast:
Varun Dhawan sebagai Suresh
Shraddha Kapoor
sebagai VinniePrabhudheva sebagai Vishnu
Sushant Pujari sebagai Vernon
Punit Pathak sebagai Vinod
Lauren Gottlieb sebagai Olive
Pooja Batra sebagai Puja Kohli

Director:
Merupakan film ketiga bagi Remo setelah prekuelnya ABCD (2013).

W For Words:
Rasanya industri Bollywood yang identik dengan musik dan tari sudah tidak lagi membutuhkan dance movie selayaknya yang dilakukan Hollywood dari masa ke masa. Namun di awal tahun 2013 yang lalu, UTV Spotboy membuat sebuah gebrakan dengan ABCD (Any Body Can Dance) yang memiliki banyak persamaan dengan franchise Step Up. Tidak salah karena masih mengakar dengan budaya India hingga akhirnya mencapai kesuksesan yang lumayan. Dua tahun kemudian, sekuelnya pun diproduksi. Tidak tanggung-tanggung, IX Faces Pictures dan UTV Motion Pictures langsung menggandeng Disney. We knew it’s gonna be huge!

Mumbai Stunners gagal dalam pertunjukan televisi nasional hingga mereka dicap sebagai peniru. Suresh yang bekerja di bar pamannya lantas berkenalan dengan Vishnu, guru tari yang handal tapi hobi mabuk-mabukan. Lewat perjuangan bujuk rayu yang intens, Vishnu akhirnya setuju melatih Suresh, Vinnie dkk. Nama kelompok yang berganti menjadi Indian Stunners tersebut mulai mencari anggota baru demi mewujudkan mimpi mereka bersama yakni tampil dalam World Dance Competition di Las Vegas sekaligus keikutsertaan negara India untuk pertama kalinya.

Skenario yang ditulis oleh Remo dibantu oleh Mayur Puri dalam penyusunan dialognya ini terinspirasi dari perjuangan nyata Nalasopara boys yang menempatkan India pada peta dunia hiphop saat memenangkan kejuaraan dunia di Las Vegas pada tahun 2012 lalu. Namun segalanya dalam film dibuat dalam skala yang lebih besar dimana passion tampak begitu mudah mengalahkan segala hambatan. Berbagai karakter kunci memang masih mengalami struggling tetapi turning point konfliknya masih terkesan dipaksakan dan tak jarang penyelesaiannya berlalu begitu saja.

Ambisi Remo yang tinggi untungnya masih dibarengi dengan directing skills yang memadai. Trik-trik patriotisme yang juga kental dengan nilai-nilai keagamaan terbilang sulit untuk tidak mengundang empati penonton. Koreografi tari baik individual maupun kelompok sukses ditampilkan secara memikat dari awal hingga akhir. Balutan musik hiphop yang digagas oleh Jigar, Mayur Puri dan Sachin akan dengan mudah menstimulasi indera pendengaran anda. Durasi yang masih terlalu panjang menjadi isu krusial, terlebih paruh pertama yang terasa lamban sebelum berakhir dengan eksplorasi kota judi tersebut.
Varun dan Sraddha mungkin bisa dimaafkan jika menyangkut performa dance. Perhatikan saja group performance yang tidak pernah menempatkan mereka di posisi sentral. Namun harus diakui kharisma keduanya sebagai leading memang memukau. Banyak wajah baru yang berfungsi sebaliknya, lemah di akting tapi kuat di dancing. Meski demikian, kekayaan karakteristik para underdog yang berbeda latar belakang tersebut niscaya masih menarik untuk disimak. Tokoh Sir Prabudheva yang dominan pada prekuelnya kali ini hanya bertugas sebagai guard yang memiliki hidden agenda.

Terlepas dari format 3D yang diembannya, ABCD 2 merupakan ‘upgrade’ dari segi teknis dan style. Plot nya tidak banyak berubah selain mengganti spirit can-do yang sederhana dengan believe in hardworking yang cukup kompleks. Lupakan kedalaman cerita yang sedikit menguap karena kompensasi dancing sequences akan menawan perhatian anda. Just feel the energetic perfomances in stages full of energy. Dance freaks or not, you might love the cinematic experience with better feeling guaranteed after you walk out of the cinemas!

Durasi:
152 menit

Movie-meter:

Senin, 29 Juni 2015

SPL 2 : A TIME FOR CONSEQUENCES No-Holds-Barred For Action Fanfare

Original title:
Saat po long 2

Nice-to-know:
Bukan merupakan prekuel ataupun sekuel walaupun masih dibintangi Wu Jing dan Simon Yam dengan karakter yang juga berbeda.

Cast:
Tony Jaa sebagai Chai
Jacky Wu sebagai Kit
Max Zhang sebagai Ko
Simon Yam sebagai Wah
Louis Koo sebagai Hung
Unda Kunteera Thordchanng sebagai Sa
Jun Kung sebagai Bill

Director:
Merupakan film ke-13 bagi Cheang Pou-sui setelah The Monkey King (2014).

W For Words:
Para penikmat action Mandarin mungkin akan menyebutkan Saat po long alias Kill Zone (2005) jika ditanya salah satu film favoritnya sepanjang masa. Adalah Wilson Yip yang membesutnya jauh sebelum trilogy Ip Man yang legendaris tersebut. Satu dekade kemudian, 1618 Action Limited dan Abba Movies Co. Ltd. merilis sekuelnya meski tak lagi digawangi Yip dan juga sudah ditinggalkan oleh dua bintang besar Donnie Yen dan Sammo Hung. Jangan apatis dulu. Cobalah perlakukan film ini sebagai standalone. Reset mindset anda. Who knows you will love it even better.
Setelah penyamarannya terbongkar dalam sebuah misi human trafficking yang dilakukan oleh Hung, polisi Kit dijebloskan ke dalam penjara Thailand yang dijaga oleh sipir Chai. Kedua orang berbeda jalur hidup tersebut memiliki tujuan yang nyaris sama. Hung bertekad transplantasi jantung dari adiknya Bill demi melanjutkan hidup, sedangkan Ko berniat mencari donor sumsum tulang belakang untuk putrinya Sa yang menderita leukemia. Tak dinyana, kecocokan ada pada Kit yang sedang diupayakan bebas oleh pamannya Wah. Pertalian nasib itu kemudian harus dituntaskan dalam pertarungan klimaks berdarah.













Skenario Jill Leung dan Wong Ying ini terbilang ‘cheating’ dalam hal menjembatani komunikasi antar dua bangsa. Lihat bagaimana translator digital bahasa Mandarin dan Thailand yang begitu akurat. Atau pertukaran ‘emoji’ via ponsel yang di luar dugaan mampu memancing tawa penonton. Namun semua itu tertutupi dengan bangunan character arc yang solid dan variatif sehingga arah keberpihakan sudah jelas sejak menit awal tanpa harus dikacaukan dengan strukturisasi twist yang berlebihan. Setup berbagai adegan aksinya juga mulus dengan aksi reaksi yang wajar dari para tokohnya. 

Sutradara Cheang seakan naik kelas beberapa tingkat di sini setelah  The Monkey King (2014) yang mengecewakan itu. Plot demi plot terjahit sempurna demi menciptakan rangkaian emosi yang tidak pernah putus menuju konklusi epilog nya. Salute to editor David Richardson. Sekuens fighting nya begitu apik dengan varian lokasi yang tak kalah menarik, mulai dari penjara hingga gedung bertingkat mewah. Dukungan scoring music layaknya orkestra klasik sekaligus sumbangsih suara Xie Zhongjie dan Kayla Dawn kian memperkuat tone dan dramatisasi yang dibutuhkan.














Wu Jing yang dalam prekuelnya tidak mendapat spotlight memadai kali ini menunjukkan kharismanya sebagai martial arts star yang pantas dipuja. Sementara itu Tony Jaa yang sempat tenggelam usai kiprah cemerlangnya dalam Ong Bak (2003) seharusnya mendapatkan momentum kebangkitan lagi lewat peran Chai. Max Zhang memberikan impresi mendalam sebagai sipir Ko yang kejam dan tangguh. Sama halnya dengan Louis Koo yang mungkin tidak akan anda kenali di sini. Thordchanng sebagai Su yang bernasib malang justru tak jarang menjadi comic-relief. 

SPL 2 yang diberi subjudul A Time For Consequences ini masih setia pada elemen unggulan yang ada pada pendahulunya yaitu pertukaran jurus berenergi tinggi. Namun jelas tidaklah tabu jika sebuah film action turut dilengkapi dengan cerita emosional yang menampilkan beraneka ragam hubungan antar manusia nan kompleks lengkap dengan penjabaran sifat-sifat dasarnya. Tinggalkan sejenak logika anda untuk bisa lebih menikmati suguhan yang begitu kental dengan hukum sebab akibat ini. Definitely one of the best action movies in recent years you wouldn’t want to miss. Ready for high-octane tension and rollercoaster emotion? 

Durasi:
120 menit

Movie-meter:




Senin, 22 Juni 2015

THE POLTERGEIST : Classic Haunted House Tale Got Modernized

Quote:
Madison Bowen: They're here...


Nice-to-know:
Rosemarie Dewitt ingin membintangi reboot ini usai merasakan animo besar penonton gala premiere The Conjuring (2013) yang dibintangi suaminya Ron Livingston.

Cast:
Sam Rockwell sebagai Eric Bowen
Rosemarie DeWitt sebagai Amy Bowen
Saxon Sharbino sebagai Kendra Bowen
Kyle Catlett sebagai Griffin Bowen
Kennedi Clements sebagai Madison Bowen
Jared Harris sebagai Carrigan Burke
Jane Adams sebagai Dr. Brooke Powell
Susan Heyward sebagai
Sophie


Director:
Merupakan film kedua bagi Gil Kenan setelah City of Ember (2008).

W For Words:
Poltergeist (1982) merupakan salah satu contoh simbiosis mutualisme antara Tobe Hooper dan Steven Spielberg yang bertindak sebagai sutradara dan produser-penulis dalam menghasilkan film cult yang menjadi benchmark horor rumah berhantu selama beberapa waktu ke depan. Kini lebih dari tiga dekade kemudian, Sam Raimi yang sebetulnya salah satu nama handal di genre terkait, berniat merebootnya dengan berbagai penyesuaian. Sayangnya ia hanya bertindak sebagai produser dan akhirnya mempercayakan duet Gil Kenan dan David Lindsay-Abaire untuk mencoba mengekor kesuksesan duet yang tersebut di atas.

Karena resesi ekonomi dan terancam pailit, Eric Bowen mengajak istrinya Amy pindah ke kompleks perumahan anyar Berkeley Square yang dijual dengan harga murah karena dibangun di atas tanah bekas pemakaman. Anak-anak mereka yakni remaja putri Kendra, Griffin dan Madison harus menyesuaikan diri dengan kondisi rumah yang unik tersebut. Lambat laun mereka merasakan adanya entitas lain yang ‘hidup’ bersama mereka. Ketika Madison menghilang, pakar supernatural Dr. Brooke Powell pun dipanggil beserta mantan suaminya pengusir hantu ternama Carrigan untuk mengatasi masalah itu.















Sutradara Kenan memang berusaha setia dengan source originalnya hingga yang bisa dilakukannya (dengan cukup berhasil) adalah memaksimalkan setting rumah demi menciptakan klastrofobik dan juga tata kamera Javier Aguirresarobe yang dinamis menangkap setiap pergerakan obyek dan subyeknya sekaligus. Beberapa jump scares yang disiapkan terbilang inovatif dalam membangun ketakutan penonton, terlepas dari mood keseluruhan yang cenderung masih terlalu ‘light’. Terima kasih pada timing editing dan scoring music yang cukup efektif tersebut.

Rockwell dan DeWitt mampu menejermahkan peran orangtua dengan baik terlepas dari keterbatasan karakter mereka. Sama halnya dengan Sharbino dan Clements yang terasa begitu satu dimensi. Sebaliknya Catlett diberi keleluasaan lebih untuk menggali karakter Griffin dibandingkan pendahulunya. Pasangan Harris dan Adams jelas tidak berada pada kelas yang sama dengan The Warrens dalam The Conjuring (2013). Namun kehadiran keduanya di paruh kedua film berhasil mencuri perhatian dengan love-hate relationship nya yang tergambar jelas. 














Pada akhirnya harus diakui memang sulit untuk mengapreasi The Poltergeist secara utuh. Jika dibandingkan dengan originalnya, reboot ini jauh dari kata menyeramkan, meski masih bisa membuat anda deg-degan. Jika dibandingkan dengan horor kontemporer, horor yang satu ini terlalu ‘klasik’, walau berupaya relevan lewat penggunaan segala jenis gadget terbaru. Nampaknya perpaduan efek visual yang natural dengan kinerja CGI jadi salah satu kendala utama, terlebih beban teknologi 3D yang juga dibebatkan padanya. Then it’s up to you whether you want to visit this reboot or revisit the original one. Both still have fun haunted house experiences, something i believe that you just want to see on screen.


Durasi:
93 menit

U.S. Box Office:
$44,619,721 till Jun 2015

Movie-meter: