XL #PerempuanHebat for Kartini Day
THE RING(S) : A short movie specially made for Valentine's Day
Senin, 28 Februari 2011
DEATH BELL 2 : Permainan Maut Siswa-Siswi Bermasalah
Pass the test or die!
Storyline:
Seorang guru muda, Eun-Soo ditugaskan mengajar sebuah kelas SMU. Tidak mudah menangani murid-murid nakal di sekolah ini apalagi geng JK yang pernah tidak naik kelas. Salah satu cara terbaik adalah memberikan tugas yang cukup sulit walaupun hari Jumat sore. Namun tak lama kemudian, satu demi satu kematian misterius terjadi pada siswa-siswi tersebut. Apa yang sesungguhnya terjadi? Adakah kaitannya dengan Tae Yeon yang meninggal beberapa waktu lalu?
Nice-to-know:
Diberikan subtitle Bloody Camp, film ini didistribusikan oleh Next Entertainment World.
Cast:
Park Ji-Yeon sebagai Se-Hee
Hwang Jung-Eum sebagai Eun-Soo
Yoon Si-Yoon sebagai Kwan-Moo
Son Ho-Jun sebagai Jung-Bum
Yoon Seung-Ah sebagai Tae-Yeon
Kwon Hyeon-Sang sebagai JK
Choi Ah-Jin sebagai Ji-Yoon
Director:
Yu Seun-Dong sebelum ini menggarap film pertamanya, Quiz King di tahun 2005.
Comment:
Bukan rahasia lagi jika sebuah film sukses akan diikuti sekuel/prekuelnya termasuk dari genre thriller ataupun horor. Namun jika semuanya sama persis hanya diganti nama pemeran dan formula kematiannya saja, apakah kualitas akhir dapat dipertanggung jawabkan? Tanyakan itu pada sutradara Yu yang seperti tidak mau bersusah-susah menyajikan ide baru yang lebih kreatif!
Terus terang saya lumayan menyukai Gosa (dalam bahasa Korea) yang menurut saya cukup inovatif sebagai tontonan serupa SAW versi Asia apalagi tokoh dan settingnya diubah menjadi siswa-siswi di SMU. Hal serupa ditampilkan disini dengan elemen yang lebih dari 80% tidak berbeda yaitu balas dendam, pembunuhan dan sekelebat kejadian supernatural yang mendasarinya. Maaf tidak bermaksud spoiler!
Jika pada episode pertamanya, beberapa karakter cukup kuat secara personal maka pada episode keduanya ini, nyaris semua karakter tidak memiliki basis kepribadian yang baik. Anda akan dengan mudah menemukan fakta bahwa siswa-siswi ini memang pantas mati karena perbuatan mereka di masa lampau. Hanya saja caranya yang ditunggu-tunggu walau mungkin tidak akan terlalu penting bagi anda karena empati terhadap mereka tidak terbangun samasekali sejak menit awal film bergulir.
Jika anda belum menyaksikan Death Bell, bisa jadi beranggapan Death Bell 2 ini memiliki daya tarik. Namun jika sudah, lebih baik urungkan niat anda untuk menyaksikan sekuelnya sehingga penilaian anda tidak akan berubah. Dan mari berharap tidak akan ada lagi kelanjutannya beberapa tahun mendatang sehingga siksaan atas sesuatu yang tidak berdasar dapat dihindari.
Durasi:
80 menit
Overall:
6.5 out of 10
Movie-meter:
Minggu, 27 Februari 2011
ANIMALS UNITED : Persatuan Binatang Tuntaskan Kekeringan
Sekelompok hewan dari berbagai jenis menantikan hujan deras yang diandalkan untuk menjadi pasokan makanan dan minuman mereka demi menyambung hidup. Namun hal tersebut tidak kunjung datang. Penyebabnya adalah manusia yang menghancurkan habitat mereka untuk membangun bendungan demi kepentingan resort mewah. Dipimpin oleh Billy dan Socrates, mereka mulai mencari cara untuk mengembalikan apa yang menjadi milik mereka sebelum semua benar-benar hancur tak bersisa.
Nice-to-know:
Berjudul asli Konferenz der Tiere dan didistribusikan di Indonesia lewat Cipta Mutu.
Voice:
Billy Beach sebagai Vulture 2
Jim Broadbent sebagai Winston
James Corden sebagai Billy
Stephen Fry sebagai Socrates
Nicola Devico Mamone sebagai Büffel Chino
Marc Diraison sebagai Cook
Omid Djalili sebagai Bongo
Jason Donovan sebagai Toby
Dawn French sebagai Angie
Thomas Fritsch sebagai Löwe Sokrates
Michael Glover sebagai Mr. Smith
Oliver Green sebagai The Koala Bear 'Ken'
Jason Griffith sebagai The Chimpanzee ' Toto'
Director:
Kerjasama ketiga bagi Reinhard Klooss dan Holger Tappe sejauh ini setelah diawali dengan Urmel aus dem Eis (2006).
Comment:
Harus diakui ide untuk mengimpor animasi Jerman ini ke jaringan bioskop Blitzmegaplex cukup berani, mungkin mengikuti jejak 21Cineplex yang mendatangkan Sammy’s Adventure dari Belgia beberapa waktu lalu. Keduanya sama-sama produksi Eropa dan kebetulan juga mengemban misi yang sama yakni penyampaian pesan perusakan lingkungan yang kerap dilakukan manusia.
Plot cerita Konferenz bisa dikatakan tidak ada. Konferensi yang dilakukan para hewan itulah yang menjadi benang merah disini. Selebihnya frame kamera berpindah-pindah dari satu scene ke scene lain yang menyuguhkan karakter masing-masing hewan tersebut. Tidak sulit diterka karena disajikan dengan gaya anak-anak sepenuhnya yakni komedi teramat ringan. Mungkin agak membosankan bagi para penonton dewasa tapi tidak ada salahnya mendampingi putra-putri anda sambil memberikan pengertian secukupnya.
Semua tokoh hewan disuarakan oleh aktor-aktor Inggris. Mungkin dimaksudkan agar lebih berkesan universal bagi pasaran internasional film ini. Namun saya pikir tidak akan banyak pengaruhnya dikarenakan faktor terlalu banyaknya karakter seperti sudah saya sebutkan di atas. Yang menarik adalah improvisasi Broadbent dan Fry yang terasa maksimal sedangkan Corden yang juga memegang peran inti justru terasa terbebani akan konsistensi yang harus disandangnya.
Animals United memang menyajikan animasi berefek 3D yang cukup detail dengan persiapan yang cukup matang. Namun jangan coba bandingkan dengan keluaran Disney/Pixar ataupun hasil studio major lainnya. Terlepas dari kelemahan-kelemahan mendasar di atas, film ini sejujur-jujurnya memperingatkan manusia untuk tidak semena-mena terhadap alam ataupun bumi yang menjadi tempat makhluk hidup berpijak. Bukankah harus kita wariskan kepada anak cucu kita kelak?
Durasi:
90 menit
U.K. Box Office:
£2,133,051 till Jan 2011
Overall:
6.5 out of 10
Movie-meter:
Sabtu, 26 Februari 2011
THE LITTLE COMEDIAN : Kisah Krisis Humor Plus Puber Dewasa
“Will you love me, if I am not funny?”
Storyline:
Terlahir dalam keluarga comedian tiga generasi Pa-Plern yang dikepalai Plern, Tock diharapkan banyak orang untuk meneruskan hegemoni ayahnya itu. Sayangnya Tock tidak berbakat melucu samasekali meski sudah mendapat julukan 'Lor Tock', malah adiknya Mon lebih mampu membuat orang tertawa. Suatu hari Tock berkenalan dengan Preeya alias Dokter Ice yang bekerja di klinik perawatan wajah. Dalam waktu singkat, Tock jatuh cinta pada perempuan yang 12 tahun lebih tua tersebut apalagi Ice merupakan orang pertama yang menganggapnya lucu. Akankah masa puber pertama Tock akan berakhir dengan bahagia?
Nice-to-know:
Berjudul asli Baan Chan Talok Wai Gon dan sudah beredar di Thailand pada tanggal 11 Maret 2010 yang lalu.
Cast:
Chawin Likitjareonpong sebagai Tock
Paula Taylor sebagai Ice
Jaturong Pholaboon sebagai Plern
Nichapat Jaruratanawaree sebagai Mon
Ornanong Panyawong sebagai Ibu Tock
Kwanjit Sriprajun sebagai Nenek Tock
Director:
Vithaya Thongyuyong sebelumnya menggarap My Girl (2003) yang juga sukses itu.
Comment:
Seorang remaja pria belia yang jatuh cinta pada gadis yang jauh lebih tua rasanya sudah pernah anda saksikan sebelumnya. Contoh paling mudah diingat adalah Malena (2000) yang legendaris itu. Atau buatan lokal, Janda Kembang (2009) yang terinspirasi darinya Kini sineas Thailand mengangkat tema serupa yang dibumbui oleh unsur komedi yag kental. Bagaimana dengan hasil akhirnya?
Paruh pertama film dapat dikatakan kental dengan nuansa humor. Pintarnya film ini menggunakan sudut pandang Tock. Jika anda tertawa dengan sajian humornya itu bagus, tapi jika tidak maka sah-sah saja sebab Tock memang tidak pintar melawak. Berbagai gestur dan mimik wajah yang mengantar semburan kata-kata jenaka Plern dan kelompoknya memang terasa kentara sekali ciri khas Thai nya tapi rasanya penonton masih dapat mengikutinya.
Paruh kedua film memang terasa mellow, jelas bukan hasil dramatisasi. Pendekatan Tock terhadap Ice tidak dibumbui hasrat atau polosnya cinta monyet tetapi lebih pada ketulusan dan pengorbanan yang teramat tinggi nilainya. Hal ini sekaligus menjadi peristiwa teramat penting bagi proses kedewasaan seorang remaja pria. Kalau boleh jujur sedikit mengingatkan saya pada pengalaman pribadi bertahun-tahun silam.
Saya memuji Chawin yang berakting secara natural disini. Rasa optimis sekaligus depresifnya yang silih berganti ditampilkan tidak terkesan sok dewasa samasekali. Paula juga bermain memikat dengan senyum khas bidadarinya mewakili sosok wanita muda yang sempurna, cantik sekaligus pintar. Di luar mereka berdua, Jaturong dan Nichapat juga cukup mencuri perhatian dengan polah tingkah jenakanya.
Sutradara Vithaya dengan cermat memaksimalkan segala jengkal skrip dan setting film ini. Bagaimana setiap tempat bisa menjadi latar belakang cerita yang kuat dan bagaimana setiap detail skrip seakan bertutur dengan sendirinya secara wajar. Semua elemen tersebut menjadikan The Little Comedian sangat mengena dalam menyampaikan pesannya termasuk silih bergantinya rasa geli dan haru di hati anda. Thumbs up!
Durasi:
115 menit
Asian Box Office:
$1,311,519 in Thailand
Overall:
7.5 out of 10
Movie-meter:
Jumat, 25 Februari 2011
THE EAGLE : Pencarian Jati Diri dan Misteri Masa Lalu
Esca: How can a piece of metal mean so much to you?
Marcus Aquila: The eagle is not a piece of metal. The eagle is Rome.
Storyline:
Pada masa 140 SM, 20 puluh tahun setelah Legion Sembilan menghilang secara misterius di Pegunungan Skotlandia, pemimpin muda Marcus Aquila tiba dari Roma untuk memecahkan misteri tersebut. Konon ayahnya yang mengepalai Legion Sembilan juga lenyap tanpa kabar bersama dengan emblem emas, the Eagle of the Ninth. Ditemani budaknya Esca, perjalanan Marcus pun dimulai melintasi Hadrian's Wall hingga dataran Kaledonia. Akankah misinya berjalan lancar tanpa hambatan?
Nice-to-know:
Nama karakter utama disini adalah Marcus Aquila. Dalam bahasa Latin, Aquila berarti Elang.
Cast:
Pertama kali dikenal lewat episode salah satu serial sukses CSI: Miami (2004), Channing Tatum kali ini kebagian peran utama Marcus Aquila
Memulai debutnya sebagai “ballerina boy” dalam Billy Elliot (2000), Jamie Bell sebagai Esca
Donald Sutherland sebagai Uncle Aquila
Denis O'Hare sebagai Lutorius
Mark Strong sebagai Guern
Director:
Sutradara asal Skotlandia bernama Kevin Macdonald ini paling dikenal lewat The Last King of Scotland (2006) yang mengantarkan Forest Whitaker meraih gelar Aktor Terbaik dalam ajang Academy Awards 2007.
Comment:
Jika mengharapkan sebuah epik yang seru dan megah selayaknya Gladiator atau 300, bisa jadi anda kecewa dengan film ini. Sebab bujetnya hanya 25 juta dollar sehingga penggunaan spesial efek ataupun pendekatan kolosalnya terasa minimal. Tidak heran jika pada akhirnya hanya dijejali pengembangan cerita yang diutarakan lewat serangkaian dialog yang terkesan terlalu modern dan juga klise.
Namun sutradara Macdonald bukanlah orang sembarangan. Meski namanya belum banyak dikenal, ia telah memenangkan Piala Oscar kategori Best Documentary beberapa tahun silam. Macdonald menyiasati segalanya dengan adegan aksi yang terus bergerak maju walau kadang semua keterbatasan tersebut sangat terasa. Coba saja anda hitung scene pertarungan pasti tidak lebih dari 60 detik dan seringkali diselesaikan begitu saja.
Penunjukan Tatum sebagai Marcus cukup beresiko. Dia lebih dikenal dalam film-film komersil dengan supporting cast yang kuat. Namun kehadiran Bell sebagai Esca tampaknya mampu membangun chemistry yang pas diantara mereka. Kita akan mencium unsur “bro-mance” disini dari kedekatan karakter Marcus dan Esca di sepanjang perjalanan mereka. Tak jarang penonton akan berpikir adanya hubungan “khusus” yang tersirat diantara keduanya tapi memang tidak tercantum dalam skrip samasekali. Silakan anda sendiri yang mengasumsikannya terlebih endingnya yang sedikit liberal itu.
The Eagle sebagai sebuah drama petualangan memang cukup menjanjikan, lebih karena gaya penceritaan yang cukup solid dengan bumbu ketegangan yang sesekali masih berusaha diselipkan disana-sini. Selebihnya jangan bandingkan dengan film-film sejenis yang berbujet lebih besar sebab film ini nyatanya tidak terlalu ambisius. Rasanya anda akan cukup peduli pada kedua karakter utamanya sampai film berakhir, siapa tahu anda bisa belajar mengenai nilai-nilai kehormatan sekaligus persahabatan itu sendiri.
Durasi:
110 menit
U.S. Box Office:
$15,799,628 till mid Feb 2011
Overall:
7 out of 10
Movie-meter:
Kamis, 24 Februari 2011
RUMAH TANPA JENDELA : Sudut Pandang Anak Miskin dan Terbelakang
Rara mau punya rumah yang ada jendelanya, Mak!
Storyline:
Rara mendambakan jendela di rumahnya yang kumuh lewat gambar-gambarnya. Sayangnya ayahnya Raga hanya berjualan ikan hias keliling disamping harus membiayai si Mbok yang tinggal bersama mereka. Lewat satu kejadian, Rara berkenalan dengan Aldo yang memiliki keterbelakangan. Karena hal tersebut, Aldo sedikit merasa terasing di tengah keluarganya sendiri yang terlihat serba sempurna. Beruntung ia masih memiliki Nenek Aisyah yang menyayanginya. Suatu musibah menghanguskan rumah Rara dan menewaskan Raga. Dalam kalut, Rara ditampung sementara di rumah Aldo. Aldo sendiri semakin merasa terjepit saat kakaknya dan ibunya kerapkali memojokkan dirinya tanpa sengaja. Akankah persahabatan tulus di antara mereka dapat menjadi jalan keluar bagi masing-masing?
Nice-to-know:
Diproduksi oleh PT. Smaradhana Pro and Sanggar Ananda yang bekerjasama pula untuk kegiatan donasi yang ditujukan bagi yayasan yatim piatu.
Cast:
Emir Mahira sebagai Aldo
Dwi Tasya sebagai Rara
Aty Kanser sebagai Nenek Aisyah
Alicia Djohar sebagai Nyonya Ratna
Aswin Fabanyo sebagai Pak Syahri
Maudy Ayunda sebagai Andini
Varissa Camelia sebagai Ibu Alya
Ingrid Widjanarko sebagai Mbok
Director:
Merupakan kerjasama kedua Aditya Gumay dengan penerbit Asma Nadia setelah Emak Ingin Naik Haji (2009) yang lalu.
Comment:
Kegemilangan Emak Ingin Naik Haji menyajikan sebuah kisah yang membumi dan menyentuh membuat saya (dan tentunya para penikmat film lokal lainnya) sedikit menaruh harapan yang sama akan film ini. Namun kenyataannya tidak cukup mendekati. Jika kelas Emak sejajar dengan Ayat-Ayat Cinta, maka film ini diibaratkan Ketika Cinta Bertasbih yang sekelas di bawahnya meski sama-sama masih dapat dinikmati sebagai sebuah tontonan yang bermakna.
Satu hal yang kurang maksimal adalah fokus cerita. Entah mengapa saya lebih merasa ini adalah sinetron miniseri 10 episode yang dipadatkan menjadi sebuah film layar lebar. Itulah sebabnya konflik “kemiskinan” Rara di prolog film yang seharusnya menjadi benang merah cerita sesuai judul film ternyata menguap begitu saja setelah setengah jam berlalu. Setelah itu kisah bergulir seakan benar-benar baru dengan konflik “keterbelakangan” Aldo yang nyaris menyita dua pertiga durasinya. Memang disini masih ada Rara tetapi relevansi cerita patut dipertanyakan.
Konsep drama musikal anak-anak yang sempat diusung oleh sutradara Aditya juga masih terkesan tanggung, anak-anak itu hanya perform dalam 2-3 lagu saja dalam beberapa scene yang terkesan sedikit dipaksakan. Sutradara Aditya terkadang seperti kesulitan membagi rata porsi per karakternya. Apalagi cukup banyak dialog tempelan dari karakter-karakter numpang lewat yang dirasa tidak perlu.
Dari segi akting, Emir terlihat meyakinkan sebagai anak “aneh”, menarik melihatnya berimprovisasi disini. Sedangkan Tasya sudah cukup maksimal meski kegetirannya tidak sampai jatuh dalam kecengengan semu. Peran yang dimainkan Aty dan Ingrid sepertinya terbalik, jika anda tahu apa yang saya maksud. Raffi telah berusaha “tampil” sebagai kepala keluarga disini tapi perannya memang terbatas. Apalagi debut Yuni yang cuma 2-3 scene disini rasanya tidak akan berarti apa-apa.
Terlepas dari berbagai kekurangannya, Rumah Tanpa Jendela masih tetap harus diapresiasi karena sudah berusaha maksimal menampilkan isu kemiskinan dan keterbelakangan dari sudut pandang anak-anak. Beberapa momen diyakini cukup menyentuh untuk membangkitkan rasa haru-biru anda terlebih karenapermainan sinematografi dan musik latar yang cukup dominan di sepanjang durasi. Sebuah tontonan down-to-earth persembahan Asma Nadia Grup yang dijejali oleh nilai-nilai keluarga dan persahabatan sekaligus.
Durasi:
95 menit
Overall:
7.5 out of 10
Movie-meter:
Rabu, 23 Februari 2011
A CRAZY LITTLE THING CALLED LOVE : Manis Pahit Cinta Remaja Sekolah
Love conquers everything, especially fear..
Storyline:
Gadis remaja 14 tahun bernama Nam ini sangat biasa dari segi penampilan alias tidak menarik. Namun ia tetap percaya diri dalam menyukai siswa popular di sekolah yang juga seniornya, Chon. Segala cara dilakukan Nam untuk menarik minat Chon tapi selalu tidak berhasil. Saat pementasan drama Snow White, di luar dugaan Nam dipilih oleh Profesor In sebagai peran utama. Disitulah ia menjelma menjadi seorang siswi cantik menarik yang segera digilai cowok-cowok termasuk Top, sahabat karib Chon. Namun perasaan Nam tetap pada Chon hingga membuatnya terpacu untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Apakah semua itu cukup untuk membuat Chon menoleh padanya?
Nice-to-know:
Berjudul asli Sing Lek Lek Tee Riak Wa Ruk.
Cast:
Angkat nama lewat peran dalam The Love of Siam (2007), Mario Maurer yang kini berusia 21 tahun bermain sebagai Chon.
Pimchanok Leuwisetpaibul sebagai Nam
Peerawat Herabat
Sudarat Budtporm
Acharanat Ariyaritwikol
Director:
Putthiphong Promsakha dan Wasin Pokpong.
Comment:
Jika anda mulai menantikan film-film komedi romantis dari negeri Gajah Putih maka tidak ada yang salah dengan hal itu. Sebab berbagai judul yang dirilis 2-3 tahun belakangan ini memang cukup memuaskan. Stereotipe aktor tampan, aktris cantik, romansa yang menggemaskan dengan proses memang bumbu utama yang wajib ada dalam film bergenre serupa.
Bedanya sutradara Putthiphong dan Wasin menyajikan semua dari kacamata remaja belia dengan sangat realistis. Anda akan mengingat kembali masa-masa cinta monyet dahulu dimana anda menyimpan cinta tapi tidak berani mengungkapkannya hingga melihat sang pujaan hati saja berbunga-bunga setengah mati. Sinematografi cantik dominan warna cerah teduh ditampilkan dari setting sekolah hingga berbagai lanskap Thailand yang indah. Proses editing juga tergolong lancar sehingga lompatan tiap scenenya terasa mulus walaupun durasinya panjang.
Mario merupakan pilihan tepat untuk sosok Chon, ia terlihat cool, cute dan fresh, cocok sebagai idola para siswi di sekolah. Sedangkan Pimchanok membawakan tokoh Nam dengan kelembutan gadis belia yang feminine, kita akan dapat merasakan perasaannya yang campur aduk setiap menatap pujaannya dari kejauhan. Bukan hanya mereka berdua yang menjadi sorotan disini karena karakter guru dan teman-teman mereka memberikan corak warna tersendiri bagi unsur penokohan di film ini.
Elemen komedi yang cukup kental di paruh pertama film sepintas mengingatkan pada dorama Jepang tahun 90an dimana komedi situasional yang ditunjukkan terasa sangat dekat dengan keseharian kita. Hal ini sekaligus menjadi pemanasan bagi paruh kedua yang lebih memberi penekanan drama terutama dalam mencapai cita dan cinta. Acuhkan saja transformasi itik buruk rupa menjadi angsa cantik Nam yang sedemikian drastis, bukan hanya dari penampilan tetapi juga sikapnya secara keseluruhan. Bukankah wajar jika semua orang berkeinginan lebih baik dari sebelumnya demi hal-hal yang positif?
Jika anda tidak menyaksikan A Ctazy Little Thing Called Love dijamin akan kehilangan sebagian kecil waktu hidup anda yang dihabiskan untuk tertawa dan menangis dalam rasa hangat sambil bernostalgia kembali terhadap masa “puber” anda yang telah berlalu. Bisa jadi anda tergerak untuk mengalami kembali sekaligus memperbaiki semua yang tidak pernah selesai pada masa itu. Sebuah komedi romantik yang tidak hanya mengajarkan seluk-beluk cinta tetapi juga arti persahabatan dan motivasi dalam menjalani hidup itu sendiri.
Durasi:
115 menit
Overall:
8 out of 10
Movie-meter:
Selasa, 22 Februari 2011
BLACK DEATH : Misteri Wabah Pro Anti Kristiani
Dark haired woman: Are you shy?
Mold:I am ugly, and I am Christian. And that is not a good combination in here, hm? Piss off.
Storyline:
Pada tahun 1348, Inggris dihancurkan oleh wabah Bubonic yang menyebabkan kematian massal di segala penjuru. Pendeta muda Osmund mengajak kekasihnya Averill untuk melintas desa terpencil di dekat Hutan Dentwich Forest yang belum dilalui wabah. Namun nasib kemudian memisahkan mereka. Osmund bergabung dengan perkumpulan Staveley Monastery yang beranggotakan Ulric dkk melewati hutan dan rawa tersebut sambil mendengar desas-desus bahwa ada suatu kekuatan yang melindungi orang-orang untuk selamat dari wabah. Apa yang mereka temukan kemudian terlebih pemimpin desa Hob dan penyihir Langiva tidak menerima mereka secara baik-baik.
Nice-to-know:
Awalnya peran Langiva sempat diberikan pada Lena Headey ataupun Famke Janssen sebelum Carice van Houten mendapatkannya.
Cast:
Mengawali karir aktornya dari serial televisi The Bill (1984), Sean Bean disini bermain sebagai Ulric.
Pernah mendukung The Other Boleyn Girl (2008), Eddie Redmayne sebagai Osmund
David Warner sebagai The Abbot
Carice van Houten sebagai Langiva
Kimberley Nixon sebagai Averill
Director:
Pria kelahiran Inggris bernama Christopher Smith ini sebelumnya menyutradarai Triangle (2009) yang ironisnya masih dalam jadwal tayang di Indonesia.
Comment:
Mengambil setting lanskap Jerman mulai dari Kastil Blankenburg hingga Querfurt, film Inggris menceritakan kurun waktu tahun 1300an dengan cukup meyakinkan. Sutradara Smith berhasil mengemas plot dan temponya dalam bercerita secara runut walaupun masih terdapat berbagai kekosongan.
Casting disini merupakan nilai kuat. Sebabnya para aktor Bean maupun Redmayne dan kawan-kawan bukanlah tipikal aktor Hollywood berwajah rupawan. Mereka terlihat kasar dan bengis selayaknya para prajurit yang sedang menempuh perjalanan. Sayangnya dari sisi para aktris terasa kurang maksimal dimana karakter yang dimainkan Nixon ataupun van Houten tidak memiliki kedalaman yang cukup.
Black Death juga diyakini akan memicu kontroversi disebabkan polemik antar kepercayaan yang dibahasnya dalam hal ini kaum Kristiani. Perdebatan pro dan kontra lebih banyak dipicu dari sisi kemanusiaan dan cara hidup mereka sehari-hari. Terasa masuk akal sebab pada masa itu, religion bukanlah hal utama yang dapat menjadi pedoman hidup manusia.
Cukup disesalkan endingnya yang terasa dipercepat dalam menit-menit terakhir. Seakan sketsa hasil coret-coretan yang belum selesai langsung diterjemahkan begitu saja menjadi bahasa gambar kosong yang dibantu narasi suara John Lynch. Namun berbagai adegan brutal yang miris untuk disaksikan rasanya cukup berbicara banyak dalam film yang bertemakan era Middle Ages ini.
Durasi:
95 menit
U.K. Box Office:
£128,668 till July 2010
Overall:
7 out of 10
Movie-meter:
Senin, 21 Februari 2011
POCONG NGESOT : Ketika Pocong Tak Lagi Loncat
Kenapa sih tuh pocong ngesot? Tau deh, tanya sendiri sama yang bersangkutan..
Keseleo kali!
Storyline:
Asep nekad pergi ke kota untuk mencari penghidupan yang layak demi menikahi kekasihnya di desa, Lilis. Di Jakarta, Asep malah tinggal di sebuah kontrakan bersama-sama Kubil, Bonar dan Wanda sekaligus mengenal Pretty dan Devina di kampus yang sesekali mengenalkannya pada kehidupan metropolitan. Kecemasan Asep akan Lilis yang mungkin dipersunting pengusaha kaya membuatnya bertekad mencari dukun pelet yang manjur. Lewat serangkaian prosesi yang melibatkan sesajen lengkap di sebuah pohon keramat trembesi, Asep dkk malah diganggu penampakan pocong ngesot. Akankah tujuannya berhasil pada akhirnya?
Nice to know:
Diproduksi oleh Rapi Films dan press conferencenya dilangsungkan di fX Platinum XXI tanggal 21 Februari 2011.
Cast:
Aziz Gagap sebagai Panda
Rozie Mahally sebagai Asep
Keira Shabira sebagai Lilis
Leylarey Lesesne sebagai Devina
Fero Walandouw
Director:
Nayato menggarap film keduanya yang dalam judulnya mengandung kata “Pocong” setelah Pocong Jumat Kliwon (2010).
Comment:
Bagi anda para penggemar OVJ tentu tidak asing lagi dengan nama Aziz Gagap. Namun debut aktingnya di film layar lebar ternyata sebagai pria kemayu. Tokoh Panda yang dimainkannya sukses mencuri “perhatian” terutama karena kostum yang mengganggu pandangan ataupun kegagapan ala bencongnya. Bersama aktor-aktor lain yang tidak perlu saya sebutkan namanya, mereka bahu-membahu mempertahankan film ini agar tetap dalam rel komedi meski terseok-seok oleh konsep jayus dan norak sekalipun.
Sedangkan para aktris yang mendukung film ini sungguh tidak berkontribusi apa-apa selain menjual tampang dan tubuh yang tidak terlalu penting itu. Jika peran mereka dihilangkan, niscaya karakterisasi film ini tidak akan terlalu melebar selain faktor nilai dari teramat sangat hancur menjadi teramat hancur saja. Namun rupanya Nayato merasa masih perlu membayar mereka supaya filmnya masih mendapat label uniseks.
Dari segi cerita, tidak ada yang baru samasekali. Anda akan luar biasa familiar dengan sekuensi adegan demi adegannya. Tidak perlu benang merah lagi toh semua sudah tertutupi dengan celotehan konyol basi ataupun adegan slapstick norak di sepanjang durasinya yang seperti memaksakan penonton tertawa di mulut tetapi meringis di hati.
Bagaimana dengan nasib sang pocong? Sekali lagi ia dipermainkan sekejam-kejamnya disini mulai dari ditampol, ditimpuk, dikemplang sampai dijorokin hingga terjungkal, semua dilengkapi dengan sound effect. Setidaknya itu yang berhasil saya ingat di luar segala perlakuan nista lain terhadapnya. Namun tidak ada yang lebih kejam saat jenis kelaminnya ditukar-tukar begitu saja. Lewat serangkaian flashback dikatakan bahwa pocong tersebut wanita tetapi malah dianggap pria dengan sebutan Pak Mahmud?
Pocong Ngesot alhasil hanya berusaha menjual komedi mengerikan dan horor menggelikan. Mungkin setelah menonton film ini, anda akan tertarik mengundang sang pocong untuk ngesot di rumah anda sekaligus mengepel lantai dengan kain kafannya yang masih putih polos itu? Oops, mudah-mudahan tidak terpikirkan sekalipun. Cukup terjadi di dunia sinema saja yang kini tengah krisis film impor tersebut.
Durasi:
80 menit
Overall:
6 out of 10
Minggu, 20 Februari 2011
THE KING’S SPEECH : Mengatasi Masalah Berpidato Raja Inggris
It takes leadership to confront a nation's fear. It takes friendship to conquer your own.
Storyline:
Sebuah biopic mengenai King George VI yang merupakan ayah dari Queen Elizabeth II saat ini. Trauma semasa kecilnya di usia 4-5 tahun, Prince Albert yang dikenal dengan sebutan Bertie mengalami masalah gagap dalam menyampaikan pidato termasuk dalam penutupan eksibisi Commonwealth di London pada tahun 1925. Istrinya Elizabeth menyarankan Bertie untuk menjalani terapi tapi selama bertahun-tahun tidak ada yang pas untuknya. Hingga pada suatu hari, Bertie bertemu dengan Lionel Logue yang mulai memberinya titik cerah. Aknkah kerjasama mereka akan membuahkan hasil manis?
Nice-to-know:
Semula peran King George VI dimaksudkan untuk Paul Bettany tetapi ybs menolak dengan alasan ingin menghabiskan waktu lebih bersama keluarga dan kemudian menyesali keputusannya.
Cast:
Baru saja tahun lalu dinominasikan Aktor Terbaik lewat A Single Man (2009) dalam ajang Oscar, Colin Firth disini berperan sebagai King George VI.
Terkenal di Indonesia lewat peran komersil dalam Pirates of the Caribbean, Geoffrey Rush kali ini bermain sebagai Lionel Logue.
Helena Bonham Carter sebagai Queen Elizabeth
Director:
Sejauh ini baru film ketiga Tom Hooper yang banyak berpengalaman di film televisi termasuk Elizabeth I (2005) yang juga bertemakan keluarga kerajaan Inggris.
Comment:
Didasarkan pada pengalaman pribadinya semasa kecil dan kemudian meminta ijin pada Ibu Ratu untuk membuat skrip dengan pengalaman serupa yang kebetulan menimpa Sang Raja, David Seidler jelas tidak main-main dalam mengerjakan proyek ini. Gagap ataupun kegugupan yang menyerang saat harus berpidato di depan orang banyak bisa jadi masalah yang dihadapi nyaris seluruh orang awam sekalipun.
Meski belum banyak berpengalaman menggarap film layar lebar, sutradara Hooper mampu menerjemahkan naskah Seidler tersebut ke dalam film berdurasi nyaris 2 jam ini. Demi menyiasati rasa jemu yang mungkin hinggap pada penonton, Hooper juga menyuguhkan berbagai subplot menarik yang melibatkan kiprah Raja Edward ataupun Hitler di Jerman yang sangat berpengaruh pada waktu itu.
Rasanya tidak salah menempatkan Firth sebagai favorit Aktor Terbaik pada ajang Oscar tahun ini setelah tahun lalu gagal. Anda dijamin terpukau pada kemampuannya merapal kata demi kata secara tidak biasa kalau tidak mau disebut aneh.Bagaimana kepercayaan dirinya sempat jatuh akibat hal tersebut walaupun tidak menghilangkan kesan bahwa ia petinggi yang memiliki hati yang baik dan berjuang bagi orang-orang yang selama ini mendukungnya.
Dua aktor aktris kawakan Inggris, Rush dan Bonham Carter juga menunjukkan performa terbaiknya disini. Menyenangkan melihat Bonham Carter “terlihat” normal disini sebagai arakter istri setia yang selalu mendampingi suaminya di saat susah senang dan juga seorang ibu yang menyayangi anak-anaknya. Sedangkan Rush yang humoris keras hati mampu menciptakan simbiosis mutualisma yang luar biasa dengan Firth terutama saat pertukaran dialog dan gesture di antara keduanya.
Bukan tidak mungkin The King’s Speech akan merajai Academy Awards 2011 ini dengan 12 nominasi yang diraihnya. Duet Bertie-Lionel mungkin salah satu kerjasama terbaik yang pernah ada dan tidak ada salahnya anda menjadi saksi bahwa film bertemakan Kerajaan Inggris masih menyimpan potensi besar jika tergarap dengan maksimal. Anda akan belajar bagaimana memberikan kepercayaan pada seseorang untuk masuk dalam kehidupannya, untuk mengatasi krisis percaya dirinya demi orang lain yang mempercayainya. Sekali-kali percayalah akan konsep persahabatan murni yang tulus antara dua insan.
Durasi:
115 menit
U.S. Box Office:
$93,675,761 till mid Feb 2011
Overall:
8 out of 10
Movie-meter:
Sabtu, 19 Februari 2011
THE FIGHTER : Pertarungan Tinju Problematika Keluarga
Mickey Ward: I'm the one who's fighting. Not you, not you, and not you.
Storyline:
Dickie Ecklund pernah menjadi petinju kebanggaan Massachussets. Hal tersebut yang memberatkan Micky Ward sebagai saudara sekaligus sparring partnernya. Namun Dickie terjatuh dalam kecanduan dan kekerasan yang menjebloskannya ke penjara. Saat itulah, Micky meminta Sal untuk melatihnya dan mengantarnya meraih berbagai kemenangan. Dukungan dari sang kekasih Charlene dan keluarganya akhirnya membawa Micky ke partai puncak perebutan gelar juara dunia melawan Shea Neary. Bertepatan dengan kebebasan Dickie yang juga bertekad membantu Micky menang. Akankah tim yang juga satu keluarga ini mampu keluar sebagai jawara pada akhirnya?
Nice-to-know:
Menggantikan Matt Damon dan Brad Pitt yang sempat menjadi kandidat, Christian Bale dikabarkan kehilangan berat badan untuk menggambarkan sosok Dickie Ecklund yang sangat kurus dengan cara makan sangat sedikit.
Cast:
Mark Wahlberg memulai debutnya dengan nama Marky Mark dalam serial televisi The Substitute (1993). Kali ini ia bermain sebagai Micky Ward.
Menguruskan badan demi peran Dickie Ecklund, Christian Bale pernah melakukan hal serupa dalam The Machinist (2004).
Amy Adams sebagai Charlene Fleming.
Melissa Leo sebagai Alice Ward
Jack McGee sebagai George Ward
Director:
Karya perdana David O’Russell adalah feature film Spanking the Monkey di tahun 1994 yang lalu.
Comment:
Jika anda menyebutkan Rocky atau Million Dollar Baby sebagai film bertemakan tinju sebagai favorit, maka kita memiliki pendapat yang sama. Keduanya mewakili gender yang berlawanan tetapi dikemas sebagai tontonan yang sangat manusiawi dimana perjuangan mencapai cita-cita memang tidak mudah termasuk bagi mereka yang menekuni salah satu cabang olahraga.
Kali ini gaya penyutradaraan Russell bolehlah diacungi jempol. Bagaimana teknik kameranya bergerak bebas, lepas selayaknya kamera tangan tetapi tetap menghasilkan kualitas gambar yang mumpuni. Setiap scene yang direkam seperti menangkap energi dan atmosfer yang disuguhkan film. Skrip yang disusun oleh Scott Silver, Paul Tamasy dan Eric Johnson juga diterjemahkannya dengan baik menciptakan layer demi layer yang mampu mengedepankan kekuatan para karakternya.
Rasanya Bale akan mampu menggenggam Piala Oscar tahun ini lewat peran Dickie disini. Ia adalah seorang aktor bertotalitas tinggi dan bahasa tubuhnya yang cukup “aneh” sudah cukup berbicara banyak apalagi penampilan fisiknya yang dipoles sedemikian rupa. Sedangkan Wahlberg lumayan tampil maksimal sebagai Micky dimana gaya bertarungnya sebagai petinju amatir yang baru bersinar di usia yang tidak muda lagi cukup meyakinkan ditambah dengan permainan emosi yang terasa wajar.
Penonton tidak akan ditipu mentah-mentah dari segi teknik bertinju disini. Tidak ada shot yang terlalu lama dalam satu pertandingan tetapi sudah cukup menampilkan aroma persaingan yang demikian kental. Saya lebih suka seperti ini dibandingkan harus mendramatisasi ataupun terlalu berusaha menyuguhkan sesuatu yang kelewat professional. Penempatan kamera di berbagai sudut berhasil menangkap keseluruhan termasuk spontanitas maupun kesalahan yang terjadi. Toh hal ini malah terkesan realistis yang sangat positif.
The Fighter mungkin berkisah biasa-biasa saja tetapi tidak diceritakan secara biasa. Kekuatan utama terletak pada penyutradaraan dan castingnya. Menarik melihat semua tokoh di film ini bergantian mengambil alih scene dengan adu argumen di antara Micky, Dickie, Charlene, Alice, George dsb yang rata-rata sangat umum terjadi dalam kehidupan lingkungan keluarga sehari-hari. Anda akan merasakannya!
Durasi:
110 menit
U.S. Box Office:
$85,632,024 till mid Feb 2011
Overall:
8 out of 10
Movie-meter:
Jumat, 18 Februari 2011
THE RITE : Pengusiran Roh Jahat Libatkan Masa Lalu Kelam
You can only defeat it when you believe.
Storyline:
Seorang pemuda yang mengalami krisis keimanan bernama Michael Kovak dikirim ke Vatikan untuk belajar exorcism yaitu pengusiran roh jahat dari tubuh seseorang. Disana ia berjumpa Pastor Lucas yang terkenal ahli dalam hal tersebut. Keduanya pun langsung menangani kasus Rosaria, seorang wanita yang sepintas normal tetapi disusupi roh tak dikenal itu. Perlahan-lahan Michael mulai belajar tapi masa lalunya yang kelam dalam kompleksitas keluarga sedikit membuatnya ragu bahwa keyakinan terhadap Tuhan mampu mengatasi kekuatan gelap yang dihadapinya.
Nice-to-know:
Trailer pertama film ini menampilkan musik latar Wojciech Kilar dari film Dracula (1992) yang juga dibintangi oleh Anthony Hopkins.
Cast:
Memulai karirnya di usia 28 tahun pada serial televisi The Man in Room 17 (1965), Anthony Hopkins disini kebagian karakter Father Lucas Trevant yang senior dan harus menghadapi dirinya sendiri.
Angkat nama lewat serial televisi The Clinic (2006-2008), Colin O'Donoghue bermain sebagai Michael Kovak, pendeta Amerika yang menjalani proses pembelajaran baru.
Alice Braga sebagai Angeline
Ciarán Hinds sebagai Father Xavier
Toby Jones sebagai Father Matthew
Rutger Hauer sebagai Istvan Kovak
Marta Gastini sebagai Rosaria
Director:
Mikael Håfström memulai debut penyutradaraan via film televisi Terrorns Finger di tahun 1989.
Comment:
Genre horor berbau unsur reliji dari sudut pandang kaum Protestan pada umumnya bercerita mengenai pengusiran setan alias exorcism. Dan hal tersebut pernah sangat populer di tahun 70an tanpa perlu saya sebutkan satu persatu. Rasanya tema serupa sudah cukup sulit untuk dikembangkan di jaman yang semakin modern ini walau sempat dicoba dengan gaya mockumentary beberapa waktu lalu. Tapi tidak ada salahnya menyaksikan yang satu ini karena bisa jadi visi anda berubah.
Prolog film dibawakan dengan cukup lambat. Pengenalan tokoh demi tokoh dilakukan secara detail. Namun seiring berjalannya film, anda akan diajak mengikuti kegelapan yang konon diilhami dari berbagai kejadian nyata ini. Memang sedikit berbeda dari apa yang sudah-sudah karena fokusnya bukan hanya pada proses exorcism itu sendiri, melainkan penyelaman karakter terdalam dua karakter utamanya yang notabene orang suci tersebut.
Tidak ada yang lebih mengasyikkan melihat Hopkins kembali pada acting terbaiknya. Jika anda pernah melihat betapa menakutkannya ia sebagai seorang psikopat dalam The Silence of the Lambs maka kali ini anda akan setuju dengan saya bagaimana mengerikannya sosok Father yang dibawakannya. Meski bukan sentralisasi utama cerita, karakter Father Lucas mampu bersinar di setiap scene yang memunculkan dirinya. Sedangkan peran utama dipercayakan pada O’Donoghue yang masih sangat miskin pengalaman di dunia film layar lebar. Walau demikian ia berusaha dengan maksimal, tidak luar biasa tetapi cukup untuk menjembatani penonton dengan jendela jiwa seorang Pendeta bernama Martin Kovak ini.
Sutradara Håfström menyajikan sinematografi yang mumpuni. Kesan suram nan gelap dipertahankan dalam berbagai ritme setting yang disuguhkan terutama dominasi kondisi hujan yang sangat kuat. Yang juga menarik adalah kinerja kamera yang kerapkali berganti-ganti menyorot dari atas ke bawah ataupun sebaliknya sehingga terasa mengambil sudut pandang pribadi penonton terhadap para tokoh di film ini. Menarik!
The Rite mungkin tidak akan membekas lama dalam ingatan anda tetapi cukup untuk membangkitkan bulu kuduk anda selama menontonnya ataupun beberapa saat setelahnya. Jangan bosan dengan sekuens halusinasi ataupun mimpi yang banyak disorot disini tetapi nikmatilah rollercoaster pengalaman spiritual itu sendiri. Sebuah contoh konkrit bagaimana keyakinan yang kuat dapat mengatasi segala kesulitan anda, sekaligus menutup kemungkinan akan adanya sekuel horor yang biasa terjadi.
Durasi:
110 menit
U.S. Box Office:
$23,701,534 till early Feb 2011
Overall:
7.5 out of 10
Movie-meter:
Kamis, 17 Februari 2011
JENGLOT PANTAI SELATAN : Teror Muda-Mudi Luar Logika
Empat sekawan, Randy, Temmi, Denisa dan Josh sepakat menghabiskan liburan di Pantai Perawan yang baru dikembangkan sebagai tempat tujuan wisata. Dan mereka tidak sendiri karena banyak muda-mudi lainnya yang juga bersenang-senang disana. Namun perlahan-lahan sukacita tersebut berubah menjadi ketakutan saat makhluk aneh setempat yang disebut jenglot mulai menyerang mereka satu persatu secara ganas. Benarkah pantai selatan harus tetap bersih tanpa campur tangan manusia? Lantas akankah ada yang selamat dari teror tersebut?
Nice to know:
Diproduksi oleh Maxima Pictures dan press conferencenya dilakukan di fX Platinum XXI tanggal 16 Februari 2011.
Cast:
Temmy Rahadi sebagai Randy
Debby Ayu sebagai Tammy
Wichita Satari sebagai Denisa
Framli Nainggolan sebagai Josh
Febriyanie Ferdzilla
Zidni Adam
Director:
Rizal Mantovani mengawali karirnya sebagai sutradara video musik di tahun 1992.
Comment:
Entah mengapa saya menemukan nuansa remake Piranha karya Alexandre Aja dalam film ini. Mulai dari setting hingga teror yang menyergap para karakternya satu persatu. Apakah disengaja oleh penulis Alim Sudio atau sutradara Rizal Mantovani? Sulit dikatakan. Yang pasti anda harus menurunkan IQ terlebih dahulu sebelum memutuskan menonton film ini.
Plot ceritanya sungguh dangkal. Tidak jelas berapa jumlah jenglot yang mampu menyerang kawanan manusia sampai mati tersebut. Senjatanya hanyalah gigi yang mengoyak anggota tubuh dan ekor panjang yang membelit leher. Dan jika mau menggunakan akal sehat, rasanya manusia masih mampu melawan atau setidaknya menghindar dari makhluk yang hanya berukuran sepersekiannya itu.
Rizal seperti biasa menyajikan gambar-gambar yang enak dipandang tetapi tidak enak diterima logika. Seberapa kerasnya ia berusaha meyakinkan penonton dengan membuat segalanya tampak wajar malah semakin menggelikan seiring menit demi menit berjalan. Penampakan jenglot itu sendiri sebetulnya cukup kreatif. Namun di beberapa scene sangat terlihat efek pembesaran/pengecilan kamera untuk menyiasati ukurannya. Hm, nice try!
Para cast yang mengisi film ini juga tidak memberikan kontribusi apa-apa. Temmy, Debby, Wichita, Framlie, Febri, Zidni hanya bertukar dialog-dialog puitis murahan. Terkadang saya tak kuasa menahan senyum terpaksa saat dijejali kata demi kata yang sungguh absurd yang bertujuan memperpanjang durasinya saja. Belum lagi kemunculan aktor-aktris Indo (baca: bule) sekelebat hanya untuk menjadi korban. Penting?
Kesimpulannya, Jenglot Pantai Selatan pun sukses saya tahbiskan sebagai film terburuk tahun 2011 sejauh ini terutama dikarenakan penipuan intelejensi. Bukan kesuksesan yang positif tetapi negatif dimana saya harus menahan diri untuk tidak meninggalkan bangku bioskop demi menulis review ini. Andai saya kebelet pipis pada saat itu, maka dipastikan saya tidak akan bertahan. Percayalah bagi anda para penonton regular film lokal, selepas 5 menit pertama diperkirakan sudah dapat menerka keseluruhan isi film yang ingin disampaikan.
Durasi:
80 menit
Overall:
6 out of 10
Movie-meter:
Selasa, 15 Februari 2011
TENG NONG JIWON BIN : Pertapa dan Pebisnis Bertualang Pertahankan Peti
Seorang pebisnis bernama Nong terbang ke Tibet untuk menjemput seorang biksu bernama Teng. Namun saat perjalanan kembali, pesawat pribadi mereka dibajak oleh segerombolan bandit yang mengincar peti yang dilindungi nomor kombinasi. Teng pun harus mengulur waktu untuk bisa selamat sekaligus meyakinkan para penjahat itu untuk kembali ke jalan yang benar. Apa sesungguhnya isi peti yang menjadi rebutan tersebut?
Nice-to-know:
Diproduksi oleh Sahamongkol Film International dan merupakan installment ketiga duet Teng dan Nong.
Cast:
Chusak Aiemsuk sebagai Nong
Khom Chuan Chuen
Pongsak Pongsuwan sebagai Teng
Somchai Khemklad
Somchai Sakdikul
Director:
Pongsak Pongsuwan
Comment:
Harus diakui duet Chusak dan Pongsak kali ini sangat berhasil menciptakan dua karakteristik yang bertolak belakang. Dan semua itu disajikan dalam unsur komedi yang hilarious! Tokoh Nong merupakan pebisnis ambisius yang menjengkelkan karena merasa dapat memiliki apapun yang dia mau tanpa perhitungan yang cermat. Sedangkan tokoh Teng merupakan pertapa suci yang lugu sekaligus tenang dengan ilmu kebatinan yang dimilikinya. Beberapa karakter hitam dan putih disini juga mampu menghadirkan nuansa yang kaya warna.
Pongsak yang juga bertindak sebagai sutradara tidak dinyana memang memposisikan dirinya sebagai sentralisasi cerita. Namun aura petualangan dalam film garapannya ini tetap terasa kentara dimana anda seakan diajak mengikuti rollercoaster yang penuh ketegangan ataupun humor yang menjurus slapstick walau tidak jarang sedikit memaksa anda untuk tertawa lebar-lebar.
Berbagai unsur komedi yang over-the-top ini mungkin akan mengingatkan penonton pada performa Warkop DKI alias Dono Kasino Indro yang saling cela dengan kebodohan satu sama lain tetapi tidak kehilangan respek masing-masing di tahun 90an. Tidak lupa spesial efek yang sengaja digunakan untuk meningkatkan tensi terasa “believeable” walaupun cenderung terlihat kasar di beberapa bagian.
Teng Nong Jiwon Bin merupakan sebuah komedi petualangan yang unik dan kental akan nuansa Thai movie. Sebelumnya saya peringatkan satu hal, jika anda tidak bisa menerima konsep seorang tokoh agamais yang kerapkali jadi bahan olok-olok, maka dipastikan anda tidak dapat menikmatinya. Namun terlepas dari itu semua, film ini masih memiliki berbagai pesan moral yang diselipkan secara tegas.
Durasi:
90 menit
Overall:
7 out of 10
Movie-meter:
Minggu, 13 Februari 2011
22 BULLETS : Keabadian Kebal Peluru Tumpaskan Dendam
Spilled blood never dries.
Storyline:
Saat mengantar putranya, Charly Mattei ditembak secara membabi-buta oleh sekawanan orang di sebuah basement gedung. Tiga tahun sudah ia pension dari dunia hitam dan hidup damai bersama istri dan kedua anaknya. Namun kini sekitar 22 peluru bersarang di tubuhnya tapi ajaibnya ia masih dapat bertahan hidup setelah menjalani perawatan intensif di sebuah rumah sakit. Kesembuhan Charly membuatnya mendapat julukan Sang Abadi dan ia siap membalas dendam terhadap orang-orang yang pernah mengincar nyawanya itu.
Nice-to-know:
Film berjudul asli L'immortel ini menghabiskan waktu 14 minggu untuk proses syutingnya.
Cast:
Pernah meraih penghargaan Outstanding European Achievement in World Cinema dalam European Film Awards di tahun 2000, Jean Reno disini berperan sebagai Charly Matteï yang dijuluki Sang Abadi.
Marina Foïs sebagai Marie Goldman
Kad Merad sebagai Tony Zacchia
Gabriella Wright sebagai Yasmina Telaa
Richard Berry sebagai Aurelio Rampoli
Daniel Lundh sebagai Malek Telaa
Fani Kolarova sebagai Christelle Mattei
Director:
Richard Berry lebih terkenal sebagai aktor daripada sutradara karena baru menghasilkan 3 film lepas dan 1 film televisi.
Comment:
Film ini cukup menjanjikan di awal dimana scene penembakan 22 kali terhadap karakter utama yang secara mengejutkan masih selamat bisa jadi mengingatkan anda pada salah satu scene dalam The Godfather. Bagaimana ia dapat melanjutkan hidup untuk kemudian membalaskan dendamnya menjadi premis yang menarik disini. Bedanya adalah ini buatan Perancis sehingga agak berbeda dengan buatan Amerika pada umumnya.
Sutradara Berry yang juga turut mengisi peran kecil disini menampilkan lanskap Marseille yang indah sebagai latar belakang adegan aksi yang dominan dengan kejar-kejaran seru. Plotnya harus diakui cukup membingungkan karena hanya menyisakan sedikit waktu bagi penonton untuk mencerna apalagi mengenali motif masing-masing karakternya satu persatu.
Jean Reno seperti biasa bermain keras sebagai Charly. Dikarenakan kisah masa lalunya yang diceritakan di awal, anda dipastikan berpihak padanya dan terus diajak mengikuti kiprahnya menuntaskan misi sekaligus melindungi orang-orang terdekatnya. Sedangkan aktor-aktris Perancis lainnya yang mendukung film ini rasanya tidak akan dikenali tapi tetap mewakili orang-orang dunia hitam yang harus saling bunuh untuk mempertahankan eksistensinya sendiri.
Sebagian besar aksi brutal yang ditunjukkan bisa jadi membuat anda muak bahkan hingga scene penutup, anda akan kesulitan mencari benang merah yang masuk akal untuk dapat menyimpulkan segalanya. Namun 22 Bullets merupakan tontonan yang setia pada pakem action sejati tanpa banyak kreatifitas ataupun improvisasi mengejutkan di dalamnya. Jelas bukan film yang buruk tetapi sayangnya bumbu serupa sudah pernah anda saksikan berpuluh-puluh kali sebelumnya.
Durasi:
115 menit
Europe Box Office:
€4,769,868 till Apr 2010 in France
Overall:
7 out of 10
Movie-meter:
Jumat, 11 Februari 2011
RINDU PURNAMA : Keasingan Berbagi Perhatian Kekeluargaan
Rindu yang tengah mencari sesuap nasi di jalanan bersama teman-teman sebayanya harus pontang-panting dikejar aparat Kamtib. Akibatnya ia tertabrak mobil Surya yang dikendarai Pak Pur hingga dilarikan ke rumah sakit. Pak Pur yang iba membawa Rindu untuk tinggal di rumah Surya sekeluarnya ia dari rumah sakit. Namun Surya yang gila kerja itu tidak mengijinkannya. Surya tidak ingin fokusnya terganggu apalagi Pak Roy, sang Presdir menugaskan ia mendampingi putrinya, Monique untuk menangani proyek pusat perbelanjaan yang baru. Monique yang menaruh hati pada Surya menghalalkan segala cara untuk mendapat perhatiannya dan berujung pada penggusuran lingkungan kumuh tempat tinggal Rindu yang sesungguhnya. Bagaimana akhir dari polemik ini?
Nice to know:
Diproduksi oleh Mizan Productions dan gala premiere sekaligus press conferencenya dilakukan di fX Platinum XXI tanggal 8 Februari 2011.
Cast:
Salma Paramitha sebagai Rindu
Tengku Firmansyah sebagai Surya
Ririn Ekawati sebagai Sarah
Titi Sjuman sebagai Monique
Landung Simatupang sebagai Pak Pur
Pietrajaya Burnama sebagai Pak Roy
Ratna Riantiarno
Edwin
Jhody
Director:
Setelah berkarir sebagai aktor selama lebih dari 30 tahun, Mathias Muchus akhirnya menyempurnakan resumenya sebagai sutradara debutan dalam film yang diangkat dari novel ini.
Comment:
Coba anda ingat berapa lama sudah anda menantikan sebuah film keluarga lokal yang sederhana tapi mampu menyentuh sanubari anda? Tidak perlu berlama-lama memikirkannya dan langsung saja pergi ke bioskop terdekat anda untuk menyaksikan film yang satu ini. Garapan perdana aktor senior Mathias Muchus yang di luar dugaan melebihi ekspektasi saya.
Sutradara debutan ini berhasil memperhatikan hal-hal detail sekalipun. Sinematografinya yang konsisten dengan warna-warna teduh dengan nuansa depresif sepanjang film. Seakan berpihak penuh pada nasib anak-anak jalanan yang kurang beruntung tersebut. Berbagai efek stop-motion juga digunakan secara pas tanpa ada kesan mendramatisir. Setting perkampungan kumuh hingga rumah dan perkantoran menengah ke atas silih berganti ditampilkan.
Sebagai Purnama alias Rindu, Salma Paramitha memperlihatkan akting yang mumpuni. Meski terkadang tidak banyak berkata-kata, rasanya sorot mata pilu dan lugunya mampu mewakili perasaan hatinya. Duet Tengku dan Ririn juga menghadirkan chemistry yang pas walau tidak banyak “proses” yang terjadi di antara mereka. Sedangkan karakter menyebalkan putri bos yang manja, ambisius dan posesif dihidupkan oleh aktris berbakat, Titi Sjuman.
Sedikit kekurangan film ini adalah transkripsi dari novel ke naskah film yang dilakukan Ifa Isfansyah bersama Mathias Muchus memang dipastikan telah menghilangkan beberapa elemen yang ada. Sedangkan dalam filmnya, justru ada berbagai subplot tambahan (diwakili oleh adegan selayang pandang) yang sebetulnya tidak perlu ditunjukkan. Dua hal tersebut tidaklah mengejutkan jika mempengaruhi durasi film yang tergolong panjang ini.
Sebagai sebuah tontonan drama sarat makna, Rindu Purnama belumlah sempurna. Namun saya yakin semua kerja keras yang dilakukan tim film ini sangat layak diapresiasi. Bagaimana konsistensi dan dedikasi seorang senior bernama Mathias Muchus mampu menerbitkan rasa bangga dan haru bagi para penikmat film lokal sekaligus menyuguhkan potret realita anak-anak jalanan yang sering luput dari perhatian kita bersama.
Durasi:
110 menit
Overall:
7.5 out of 10
Movie-meter:
Kamis, 10 Februari 2011
ARWAH GOYANG KARAWANG : Perseteruan Jaipong Striptis Hantu Masa Lalu
Kesulitan ekonomi rumah tangga membuat Lilis nekad kembali menjadi penari jaipong Goyang Karawang. Adji sempat menentang rencana istrinya itu tetapi tidak berdaya karena ia sendiri pengangguran setelah diputuskan hubungan kerja. Perlahan Lilis menapaki tangga kesuksesan kembali hingga menarik minat Pak Awal untuk mempekerjakan Lilis di pub miliknya, Bintang Kejora. Hal ini mengundang perhatian sengit Neneng yang semula primadona setempat dengan asistennya yang banci, Iyus. Sejak kemunculan Lilis di pub, hal-hal mistis pun mulai terjadi dan satu persatu korban berjatuhan. Apa yang sesungguhnya terjadi di masa lalu Lilis?
Nice to know:
Diproduksi oleh Sentra Mega Kreasi dan gala premierenya dilangsungkan di Planet Hollywood tanggal 8 Februari 2011.
Cast:
Julia Perez sebagai Lilis
Dewi Perssik sebagai Neneng
Erlandho sebagai Adji
Ajeng Kraton
Bembi Zaenal
Director:
Helfi Kardit terakhir menciptakan euphoria sendiri dalam Setan Facebook yang sukses mengabaikan logika cerita itu.
Comment:
Kembali lagi sebuah naskah hasil tambal sulam karya Team Bintang Timur yang bahkan tidak berani menyebutkan nama-nama anggotanya. Jangan salah tanggap. Sebetulnya saya harus akui plotnya cukup menarik andaikata diberikan penekanan fokus cerita yang berbeda dan penambahan subplot yang berfungsi sebagai penopang cerita pula. Sayangnya hal itu tidak terjadi karena produser rasanya sudah cukup pede dengan duet maut aktris utamanya.
Siapa tidak kenal Julia Perez dan Dewi Perssik yang selain jago berdangdut dan bergoyang juga ahli mempertontonkan kemolekan tubuh mereka. Keduanya pun seringkali terlibat dalam produksi film lokal walau tidak pernah berbagi panggung bersama. Saat terjadi untuk pertama kalinya, malah dicemari dengan berita perseteruan antar Jupe dan Depe di lokasi syuting. Entah sungguhan atau demi publikasi luas rasanya tidak berdampak apa-apa terhadap kualitas filmnya sendiri.
Sutradara Helfi rupanya belum bosan menampilkan sosok hantu old-fashioned yaitu rambut panjang dengan make-up putih tebal. Namun sayangnya si hantu tidak mendapat porsi yang memadai untuk benar-benar ditakuti oleh penonton selain suara harimau yang kerapkali terdengar saat kemunculannya. Teror yang dilakukannya juga cuma sebatas sekelebat adegan-adegan bersimbah darah. Terkadang saya sendiri bingung apa sesungguhnya motif si hantu dalam menghabisi para korbannya? Then it’s more like a arcade movie and you know who the winner is.
Arwah Goyang Karawang memang tampaknya menyia-nyiakan potensi yang dimilikinya dengan detail-detail yang tidak penting dan terkesan murahan. Tidak heran jika protes pun berdatangan dari masyarakat tertentu yang ingin memboikot film ini. Namun setidaknya anda bisa menyaksikan Jupe dan Depe “bersaing” lewat kata dan goyang tubuh di layar lebar bukan? Terlepas dari porsi horor yang hanya menjadi penyedap belaka seperti dibutuhkan tetapi tidak dipakai dengan tepat.
Durasi:
80 menit
Overall:
6 out of 10
Movie-meter: