XL #PerempuanHebat for Kartini Day

THE RING(S) : A short movie specially made for Valentine's Day

Selasa, 29 Januari 2013

A Journey Has Begun..


Setelah empat tahun berjalan, blog ini telah membawa saya ke dunia baru yang tidak pernah terpikir untuk dimasuki, FILM-MAKING! Bukan apa-apa, saya hanyalah satu dari sekian penikmat film sekaligus pengunjung bioskop yang setia dengan tujuan mengisi waktu sekaligus melihat jendela kehidupan seseorang yang mungkin tidak akan pernah saya alami sendiri. Saya percaya sebuah film selalu memiliki sisi plus minus yang dapat dieksplorasi. Itu saja!

Tujuan awal membuat blog pun lebih untuk kepentingan pribadi yaitu mendokumentasikan opini saya sendiri terhadap sebuah film yang sudah saya tonton. Siapa yang bisa mengira jika hingga hari ini, ribuan orang per harinya mengakses Database Film sebagai referensi terpercaya mereka. Saya tidak jumawa melainkan bersyukur, tulisan saya ada yang baca dan setidaknya dirasa bermanfaat. Kerja keras saya begadang nyaris tiap malam menuangkan pikiran pun tidak sia-sia.

Saya bukanlah seorang moviesnob. Referensi film atau pengetahuan tentang film yang dimiliki mungkin tidak seluas rekan-rekan movieblogger atau moviereviewer lainnya. Kemampuan saya berdiskusi aktif dengan mereka bisa jadi kalah baik. Kerapkali saya butuh waktu untuk mencerna sebelum menuangkannya dalam bentuk tulisan Sebuah bentuk komunikasi yang selalu saya pilih sejak dahulu, mengingat kepribadian pemalu dan introvert yang memang sudah melekat dalam diri sejak usia dini.

Review pertama saya adalah Laskar Pelangi di bulan Oktober 2008, hanya satu paragraf dengan beberapa kalimat. Perlahan mulai mengembangkan rentang penilaian dari berbagai sisi karena saya menyadari, film memiliki banyak dimensi yang bisa ditelaah. Lambat laun, tulisan-tulisan saya khususnya film lokal membawa kesempatan bagi saya untuk mengenal secara pribadi para pelaku industri perfilman nasional mulai dari aktor, aktris, sutradara, produser dsb. Memang tidak semuanya terang-terangan bisa diajak bicara ataupun tatap muka, tapi saya selalu menghargai usaha mereka yang tidak kecil dalam berkarya.

Tak selamanya tulisan saya menyenangkan untuk dibaca, terkadang bisa pedas menyinggung. Saya selalu berusaha jujur, faktor mengenal atau tidak filmmakernya sebisa mungkin dikesampingkan demi obyektifitas murni. Satu pedoman yang selalu saya pegang, identifikasi lah film mana yang dibuat dengan hati dan niat baik. Jika sebuah film sudah dibuat dengan bumbu-bumbu di atas tapi hasil akhirnya masih kurang baik, bolehlah anda memberi masukan, tak melulu menghujat. Terkadang orang yang mau maju itu butuh input untuk memperbaiki. Peran kita sangat dibutuhkan di sini. Bukankah sesama manusia wajib saling mengingatkan?

Jumat, 25 Januari 2013

DREAM OBAMA : Kampanye Antik ‘Yes We Can’ Damien Dematra


Quote:
Kakek Hendra: Kamu harus berani, ga boleh nangis, ga boleh cengeng.

Nice-to-know:
Film yang diproduksi oleh Damien Dematra Production ini gala premierenya diadakan di Hollywood XXI pada tanggal 21 Januari 2013 yang lalu.

Cast:
Natasha Dematra
sebagai Margareth
Ayu Azhari sebagai Maryam, ibu Margareth
Pong Hardjatmo sebagai Hendra, kakek Margareth
Rahayu Saraswati sebagai Leticia
Radhit Syam sebagai Bintang
Azka Liansyah sebagai Willy
Steve Emmanuel sebagai Dokter
Ari Wibowo
Dorce Gamalama
Tracy Trinita

Director:
Merupakan film keempat yang disutradarai Damien Dematra.

W For Words:
Apa lagi yang sebenarnya ingin dibuktikan oleh seorang Damien Dematra dimana namanya sudah tercatat sebagai salah satu filmmaker lokal? Rekor pembuatan film tercepat yang diakui oleh Royal World Record lewat film ini yaitu 9 hari 17 jam dan 45 menit? Sebegitu pentingkah pencapaian-pencapaian tersebut baginya? Bukankah tujuan terpenting film hanyalah sesederhana media komunikasi antara pembuat dan penontonnya? Ajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut padanya. Bisa jadi anda akan tercengang mendengar jawaban diplomatisnya. Bisa jadi..

Hendra selalu terinspirasi oleh sosok Barack Obama, presiden Amerika Serikat yang baru saja terpilih kembali. Obama dream statue yang berada di sekolah Asisi juga memperkenalkan cucunya yang baru pindah, Margareth Kurniawan untuk pantang menyerah mengejar mimpinya. Tak sia-sia karena prestasi Margareth begitu memuaskan hingga membuat teman sekelasnya, Bintang dan Willy iri. Kecelakaan mobil membuat Hendra mengalami koma dan Margareth menderita kebutaan. Akankah ketidakmampuan itu menurunkan semangat Margareth?
 
Damien pernah mengeksplorasi sosok Obama kecil mengenyam pendidikan dalam skrip Obama Anak Menteng (2010). Sempat terjadi kontroversi yang akhirnya ‘hanya’ mengukuhkan nama John De Rantau seorang di kursi sutradara. Kali ini Damien kembali menulis skripnya sendiri yang sayangnya memulai dengan sesuatu yang salah. Kelas sekolah dibuka dengan pelajaran bahasa Indonesia dan Inggris antara anak lokal dan bule. Jika tujuannya untuk melucu, saya tidak melihat unsur jenakanya samasekali. Lantas dilanjutkan dengan ‘kompetisi’ aneh yang mulai dari ujian tertulis hingga balap karung antara siswa dan siswi? Nalar saya seakan berpindah ke bagian tubuh paling bawah.

Dramatisasi tak berkesudahan kemudian menjadi menu utama. Entah kenapa saya merasa sosok Natasha Dematra malah dieksploitasi sedemikian rupa di atas upaya aktingnya yang masih dapat dihargai. Margareth digambarkan seharusnya mengundang simpati orang-orang di sekitarnya maupun penonton yang menyaksikannya. Entah kenapa bangunan konflik yang terlalu instan dan tidak terjalin padu satu dengan lainnya membuat semuanya menjadi blur. Penyelesaian penderitaan melalui kematian seakan opsi satu-satunya agar pesan yang disampaikan bisa langsung menohok. Benarkah begitu?
 
Damien sebagai sutradara tampak kian menurunkan standar penggarapannya mulai dari Si Anak Kampung, L4Lupus hingga yang satu ini. Intrusi dialog kerapkali berlomba-lomba dengan gerak bibir cast. Pencantuman subtitel bahasa Inggris juga tidak terlalu membantu, mungkin berharap perhatian penonton sedikit teralihkan dari kekurangan-kekurangan yang tampak di depan mata mereka. Sinkronisasi musik latar untuk membangun suasana malah banyak yang tidak pas. Mungkin cuma Damien dan Tuhan yang tahu, seberapa keras usaha Virda Anggraini untuk menata gambarnya secara ‘wajar’.
    
Dream Obama tinggal menyisakan footage video Barack Obama sebagai satu-satunya part yang watchable. Selebihnya adalah siksaan batin tanpa landasan logika yang memaksakan setiap fungsi dalam film berjalan terseok-seok menuruti durasi film. Tampak wajah-wajah lega selepas meninggalkan gedung bioskop. Secara tidak langsung, ini adalah kampanye DD dalam menyuarakan semangat “Ayo, kita bisa!” dalam mengatasi setiap masalah yang menghadang, besar ataupun kecil walaupun bukan dengan cara yang istimewa sekalipun. Ia melupakan fakta jika penonton film nasional sudah lebih istimewa sekarang.

Durasi:
87 menit

Overall:
6 out of 10

Movie-meter:

Kamis, 24 Januari 2013

TIGA SEKAWAN : IIHH.. HANTU..!!! Persahabatan dan Eksplorasi Mahkluk Gaib

Quote:
Zee: Kita harus baca doa dulu, Jo. Supaya hantunya takut..

Nice-to-know:
Film yang diproduksi oleh Global Pictures ini tidak mengadakan press screening ataupun gala premiere.

Cast:
Rizky Black
sebagai Zee
Stefhani Zamora Husen sebagai Flo
Dandy Rainaldy sebagai Jo
Dede Yusuf Effendi
Rizky Hanggono
Virnie Ismail
Tike Priatna Kusumah

Director:
Merupakan debut penyutradaraan Ivan Alvameiz.

W For Words:
Tanpa gaung, tanpa iklan, tanpa promo, film anak-anak yang satu ini melenggang ke bioskop seluruh Nusantara. Sebegitu percaya dirikah produser Ferry Noerdin Lawadue? Atau justru ketiadaan bujet untuk melakukan itu semua? Saya jadi ingat kasus Keumala tahun lalu yang tiba-tiba muncul di hari Kamis tanggal 1 Maret. Mungkin hanya Tuhan dan mereka yang tahu. Kita sebagai penonton pun dibebaskan untuk membuat keputusan, tahu atau tidak tahu. Dua opsi yang pada akhirnya berujung pada nonton atau tidak nonton? Silakan tentukan pilihan anda sekarang juga.

Zee, Flo dan Jo belajar di sebuah sekolah negeri yang sama. Ketiganya bersahabat karib meski memiliki karakter dan status sosial yang berbeda satu sama lain. Organisasi kepramukaan merencanakan camping ke desa Jatinangor. Zee yang ketakutan terus menerus dibujuk kedua temannya. Bukan apa-apa, orangtua sejak awal digambarkan menggunakan momok hantu agar anak-anak tidak membangkang. Berbagai cara dilakukan Flo dan Jo termasuk membuat riset mengenai hantu hutan demi meyakinkan Zee. Benarkah hantu itu ada?

Skrip yang ditulis oleh Ivan Alvameiz ini samasekali mengabaikan strukturalisme sastra yang baku. Nyaris tak ada garis lurus yang dapat ditarik sejak menit pertama hingga terakhir. Jikapun menurutnya ada, keseluruhan sekuens alur sangatlah mengganggu. Ivan yang juga duduk di kursi sutradara tampak terlalu sibuk menerjemahkan ide-idenya sendiri tanpa peduli apakah daya tangkap penonton sama dengannya. Alhasil durasi yang sekian menit kurang dari dua jam ini begitu menyiksa dengan segala tetek bengek yang mengaburkan mana plot utama, mana subplot tambahan.
 
Peran orangtua dalam memberi pengertian pada anak-anaknya terutama yang menyangkut hal-hal mendasar amat diperlukan. Pertama, menstruasi yang dialami Flo, papa mamanya malah malu daripada menjelaskan secara benar. Kedua, sifat klenik yang dimiliki Jo, papa mamanya malah terbirit-birit dibanding menerangkan secara rasional. Tunggu, ada yang aneh, dalam dua scene itu orangtua sama-sama diperankan Rizky Hanggono. Apakah Flo dan Jo kakak beradik? Atau mereka hanya dua sahabat yang tinggal serumah? Mohon koreksi jika ada pembaca yang kebetulan lebih cermat dalam menonton.

Peran sekolah dalam memberi pendidikan pada siswa-siswinya tidak digambarkan secara detail. Kepala pembina yang dimainkan oleh Dede Yusuf Effendi cuma berpesan pada Zee, Flo dan Jo. Selebihnya? Mereka bertualang sendiri. Apakah aturan melarang murid membawa ponsel masih berlaku di jaman sekarang hingga Flo bersusah payah menyembunyikan di ketiaknya? Benarkah Zee yang katanya miskin sampai terkesan tidak pernah memegang ponsel sekalipun? Mengingat kedua temannya, Flo dan Jo justru sibuk ‘berinteraksi’ dengan gadget yang jauh lebih modern.

Pada end credit title tertera, “Nantikan petualangan selanjutnya.” Sebuah optimisme yang pantas diacungi jempol. Terus terang saya tidak mengerti dimana letak istimewanya penggunaan judul dan subjudul Tiga Sekawan : Iihh Hantu. Satu alasan yang mungkin mendasari adalah konsistensi pembahasan hantu di dalam konten filmnya meski lebih dominan dalam ranah tak berpati. Mengajak untuk tidak takut atau justru semakin takut? Arti persahabatan yang menjadi misi di sini pun terbilang dangkal sehingga tak banyak pesan yang dapat diambil kecuali teman tak saling meninggalkan.

Durasi:
116 menit

Overall:
6 out of 10

Movie-meter:


Sumber Foto: KapanLagi.com

Rabu, 23 Januari 2013

MATRU KI BIJLEE KA MANDOLA : Quirky Characters Underutilized Satire Comedy


Quotes:
Bijlee: Baru aku tau kenapa kau suka miras. Kebenaran tak akan terasa pahit jika kau sedang mabok.

Nice-to-know:
Film yang diproduksi oleh Vishal Bhardwaj Pictures dan Fox STAR Studios ini rilis di India pada tanggal 11 Januari 2013 yang lalu.

Cast:
Imran Khan sebagai Matru
Anushka Sharma sebagai Bijlee
Pankaj Kapur sebagai Mandola
Arya Babbar sebagai Badal
Shabana Azmi sebagai Deviji


Director:
Merupakan
feature film ketujuh bagi Vishal Bhardwaj setelah terakhir 7 Khoon Maaf (2011).

W For Words:
Sudah cukup lama rasanya saya absen menonton film India. Melihat rilis mendadak film ini di jaringan bioskop 21, perhatian saya langsung tertuju pada posternya yang unik plus nama Imran Khan dan Anushka Sharma, dua calon mega bintang Bollywood di masa mendatang. Kebetulan sekali, kawan movieblogger saya, Haris dari Medan yang sedang berkunjung ke Jakarta mau menemani. Setidaknya pertukaran opini dapat terjadi sekaligus memperkaya sudut pandang penilaian. Sesuatu yang tidak dapat dilakukan jika anda nonton seorang diri.

Desa Haryana secara tidak langsung dikuasai oleh penduduknya yang paling kaya raya, Harry Mandola yang berkonspirasi dengan politikus licik, Deviji dalam mengakali tanah pertanian milik warga miskin demi membangun lahan industri. Harry yang juga kecanduan alkohol memiliki putri cantik, Bijlee yang akan dijodohkan dengan putra Deviji, Baadal. Tangan kanan Harry, Matru yang diam-diam menyukai Bijlee berupaya membalikkan keadaan dengan menggunakan identitas palsu bernama Mao. Bagaimana akhir dari konflik yang saling terkait ini?

Vishal Bhardwaj yang menulis skrip bersama Abhishek Chaubey ini sesungguhnya memiliki ide yang brilian dengan nuansa politik satir yang kental. Sayangnya inkonsistensi fokus kerap mengambil minat penonton untuk tetap terjaga. Paruh pertamanya penuh dengan intrik dimana masing-masing tokohnya terlihat memiliki kepentingan. Namun paruh keduanya justru sibuk membongkar cinta segitiga yang tiada juntrungannya sebelum diakhiri dengan konklusi yang tidak terlalu memuaskan juga. Setidaknya saya menghargai ‘fakta putar balik’ seorang Mandola saat sadar atau mabuk. This is twisting!

Pankaj Kapur memang “bintang” nya kali ini. Mandola di tangannya terasa energik, berkeinginan kuat walau sulit diterka. Kapur juga berinteraksi secara hidup dengan Imran dan Anushka di setiap scene bersama. Sosok Bijlee dihidupkan Anushka dengan lugas, menggoda tapi tetap berpendirian. Tokoh Matru dilakoni Imran dengan cerdik, koperatif dan pantang menyerah. Aksen dan penggunaan bahasa dari aktor-aktris di sini terkadang sulit ditangkap. Beberapa terbantu oleh kemunculan subtitel untuk memahami dialognya.

Matru ki Bijlee ka Mandola mempunyai plot cerdas yang berlapis-lapis tapi tidak dikembangkan dengan maksimal dalam bertutur, cenderung menghabiskan durasi saja. Beruntung dukungan scoring musik berkali-kali mampu menghidupkan suasana terlebih ketika kemunculan kelompok penyanyi dan penari Zulu. Sebagai sebuah komedi, film ini berpijak di antara slapstick dan humor efektif, kerapkali gagal membangun tawa penonton yang tidak memahami dimana letak kelucuannya. Setidaknya ‘gaya bebas’ Bhardwaj dalam menyutradarai pantas diapresiasi, apalagi peringatan-peringatan yang diusungnya sebagai pembuka film. Ready to get drunk and meet pink buffalo?

Durasi:
145 menit

Overall:
7 out of 10 

Movie-meter:

Minggu, 20 Januari 2013

HOPE SPRINGS : Basic Ingredients For Marriage Reconnection


Quotes:
Dr. Feld: What about oral sex?
Kay: I wasn't... I wasn't comfortable with that.
Dr. Feld: Giving or receiving?
Kay: [pause] Huh?  


Nice-to-know: 

Film Perancis yang disaksikan Kay dan Arnold di bioskop adalah Le dîner de cons, yang diremake menjadi Dinner for Schmucks dengan bintang Steve Carell.

Cast: 
Meryl Streep sebagai Kay
Tommy Lee Jones sebagai Arnold
Steve Carell sebagai Dr. Feld
Jean Smart sebagai Eileen, Kay's Friend
Ben Rappaport sebagai Brad, Their Son
Marin Ireland sebagai Molly, Their Daughter


Director: 
Merupakan feature film kelima bagi David Frankel setelah terakhir The Big Year (2011).

W For Words: 
Hanya berselang dengan The Iron Lady (2011) yang mengantarnya kembali meraih Piala Oscar, Meryl Streep (63 tahun) bermain dalam drama roman komedi bersama lawan main yang sepantaran usianya. Jika Steve Martin (64 tahun) dan Alec Baldwin (51 tahun) sudah mengiringinya dalam It’s Complicated (2009) maka kali ini giliran Tommy Lee Jones (66 tahun) yang mendampinginya. Prolog saya ini tidak bermaksud membicarakan orang di usia lanjut karena menjadi tua adalah sebuah proses hidup. Duet Black dan Casady rupanya melihat konsep ini secara cermat hingga sepakat memproduserinya.

Paska peringatan hari jadi ke-31, Kay dan Arnold menyadari bahwa api cinta mereka mulai memudar, terlihat dari tidur berbeda kamar dan jarang melakukan kontak fisik. Kay yang putus asa menghubungi penulis buku sekaligus konselor pernikahan, Dr. Feld untuk menjadwalkan terapi baginya. Arnold awalnya menolak mentah-mentah tapi dengan berat hati menuruti kemauan istrinya itu. Perjalanan lintas kota pun dilakoni. Dr. Feld menelusuri akar pemasalahan dan menganjurkan sesi sepanjang minggu. Berhasilkah Kay dan Arnold menjalani semua proses tersebut dari awal?

Vanessa Taylor yang menulis skrip ini tampak memahami betul sensitifitas wanita berumah tangga. Ada satu mitos yang selalu saya benarkan, pria cenderung tertidur setelah orgasme sehingga wanitanya merasa diabaikan. I’m sure this happen to all of you. Okay, let’s get back to topic! Saya menikmati setiap tahap reconnect antara Kay dan Arnold di sini mulai dari yang biasa hingga paling ekstrim sekalipun. Tak lupa proses penuaan juga diterjemahkan dengan begitu baik dari bahasa tubuh maupun aktifitas keseharian yang perlahan-lahan bergeser.

Meryl Streep masih terlihat cantik dan seksi di usia sekarang ini. Auranya begitu kuat terpancar di setiap kemunculannya. Karakter Kay di tangannya begitu rapuh dan konvensional. Menarik melihat Tommy Lee Jones bermain dalam film semacam ini setelah sekian lama. Karakter Arnold digambarkan keras kepala dan berjiwa petualang tetapi takut untuk mengakuinya. Chemistry keduanya cukup kuat, tergambar dari kecanggungan intimacy yang believable. Anda tidak akan menemukan Steve Carell yang slapstick dan eksplosif disini melainkan sosok dokter intelek nan sabar. 

Pengalaman panjang David Frankel dalam menggarap serial televisi sukses Sex and the City (2001-2003) memang berpengaruh pada kesan episodik dari satu scene ke scene lain. Kinerja kamera repetitif memperlihatkan Kay memasak telor mata sapi beserta sosis dan Arnold tertidur menyaksikan acara golf semakin menegaskan kebosanan rutinitas di antara keduanya. Pertukaran dialog suami istri tersebut tergolong realistis tanpa harus didramatisir. Dukungan musik latar yang minim dan sederhana membuatnya terasa kian nyata.

Hope Springs mengajak penonton untuk menjadi pengamat sebelum memutuskan, tanpa bermaksud menguliahi. Kesimpulan yang akhirnya berujung pada penerimaan terhadap kekurangan dan kelebihan pasangan masing-masing selain penghargaan yang ditunjukkan melalui afeksi nyata. Cinta kerapkali terkikis oleh waktu yang tak jarang bermuara pada ketidak bahagiaan. Pada akhirnya kendali ada di tangan kita, mau memperbaharui cara memasak atau menambahkan bumbu baru? Bagi saya sih simpel, ingatlah saat pertama anda jatuh cinta kepadanya walau terkadang tanpa alasan spesifik.

Durasi: 
100 menit

U.S. Box Office: 
$63,536,011 till Oct 2012

Overall: 
8 out of 10

Movie-meter:

Sabtu, 19 Januari 2013

LES MISERABLES : Showcasing Sacrifice, Change, Hope In Live Adaptation


Quotes: 
Fantine: I had a dream my life would be so different from this hell I'm living!

Nice-to-know: 

Saat audisi, Anne Hathaway berhasil memukau semua orang hingga menangis haru.

Cast: 
Hugh Jackman sebagai Jean Valjean
Russell Crowe sebagai Javert
Anne Hathaway sebagai Fantine
Amanda Seyfried sebagai Cosette
Sacha Baron Cohen sebagai Thénardier
Helena Bonham Carter sebagai Madame Thénardier
Eddie Redmayne sebagai Marius
Aaron Tveit sebagai Enjolras
Samantha Barks sebagai Éponine


Director: 
Merupakan film keempat bagi Tom Hooper setelah karya terakhir The King’s Speech (2010) menganugerahinya Piala Oscar.

W For Words: 
Kita patut berterima kasih pada Victor Hugo yang secara brilian menulis novel pada tahun 1862 mengenai kekisruhan Perancis di abad 19. Karya yang pada akhirnya diadaptasi menjadi film ataupun pertunjukan dalam jumlah yang tak terhitung lagi di berbagai negara.  Adalah sutradara brilian Tom Hooper yang dipercayakan oleh jajaran produser untuk menghidupkan kisah ini sekali lagi dengan inovasi baru yaitu aktor aktrisnya diminta untuk menyanyikan seluruh dialog yang terkandung dalam buku karya Claude-Michel Schönberg dan Alain Boublil. Pertaruhan yang begitu berani!

19 tahun dipenjara karena mencuri roti untuk diberikan pada saudaranya, Jean Valjean akhirnya dibebaskan dalam pengawasan ketat penegak hukum Javert. Jean dipekerjakan oleh pendeta baik hati sampai berhasil menjadi pengusaha sukses dengan nama palsu. Nasib mempertemukannya dengan Fantine, mantan buruh pabrik yang terpaksa melacur demi menghidupi putrinya, Cosette yang dibesarkan oleh pasangan pencuri kejam Thénardier dan Madame Thénardier. Sepeninggal Fantine, Jean sepakat membesarkan Cosette sampai beranjak dewasa dan jatuh cinta pada Marius, pemberontak revolusi. Jalanan Perancis lantas jadi saksi pergulatan takdir melawan gejolak politik yang kian memanas. 

Pencapaian Hooper sebagai sutradara dalam film ini perlu diapresiasi tinggi. Ketajaman visinya menghidupkan suasana Perancis di masa lampau tidak hanya detail tetapi juga epik. Desain produksi termasuk tata rias dan tata kostum betul-betul diperhatikan unsur estetikanya. Kebulatan hatinya untuk tetap meminta aktor-aktrisnya bernyanyi live di lokasi syuting daripada merekam di studio paska produksi terbukti semakin mempertajam pengalaman musikal yang sinematik. Lihat bagaimana ia membuka dan menutup film dengan stylish dan memorable. Wonderful!

Penampilan terbaik menurut saya jatuh pada Hathaway dan Redmayne. Meskipun Fantine hanya kebagian porsi minor, ia seakan menyanyikan isi hatinya dengan begitu lugas. Upaya Jackman pantas dihargai karena penonton dapat merasakan emosinya dalam rentang waktu yang begitu panjang. Beberapa track favorit saya tentu saja Look Down, I Dreamed A Dream dan On My Own. Menarik melihat debut Samantha Barks dan pelakon cilik Daniel Huttlestone disini. Jangan lupakan juga sumbangsih Baren Cohen dan Bonham Carter sebagai pasangan antagonis tersebut.

Kekurangan yang cukup mencolok ada pada Crowe dengan kemampuan bernyanyi yang begitu terbatas tapi justru ini membuatnya believable. Lihat bagaimana Hooper banyak menyiasati ketika Javert menyanyi dengan tidak menyorot wajahnya melainkan scene panoramik yang megah. Seyfried sendiri tampak terlalu terbebani dengan peran Cosette yang krusial sehingga membuatnya kurang lepas dalam berakting. Secara keseluruhan, mereka saling mengisi dengan plus minus masing-masing, memberikan dimensi interpretasi karakter yang begitu emosional.

Les Misérables memang bukan film musikal biasa, bisa jadi luar biasa bagi anda yang sudah sangat familiar dengan cerita dan pertunjukannya. Namun bagi sebagian orang yang tidak terbiasa, mungkin akan menyiksa apalagi tidak semua unsur melodi dapat menyatu sempurna dengan pelafalan dialognya. Durasi nyaris tiga jam dengan total 49 lagu yang berkumandang jelas membutuhkan konsentrasi yang cukup tinggi agar tidak kehilangan esensinya di tengah-tengah. Kombinasi pengorbanan cinta, perubahan dunia, pengharapan tanpa batas membuatnya pantas menyandang status ‘istimewa’. I liked this but don’t think that second viewing is necessary to do.

Durasi: 
157 menit

U.S. Box Office: 
$118,723,185 till Jan 2012

Overall: 
8 out of 10

Movie-meter:

Jumat, 18 Januari 2013

CHINESE ZODIAC : You’ve Seen These Actions Before


Quote: 
Vulture: I can kick your ass without leaving this couch.
JC: Show me.  


Nice-to-know: 

Jackie Chan mencatatkan diri dalam Guinness World Record sebagai empunya kredit terbanyak dalam sebuah film yaitu 15, menumbangkan rekor sebelumnya yang dipegang Robert Rodriguez dengan 11.  

Cast: 
Jackie Chan sebagai Asian Hawk
Oliver Platt sebagai Lawrence Morgan
Laura Weissbecker sebagai Katherine
Caitlin Dechelle sebagai Katie
Emilie Guillot sebagai French Reporter
Rani Bheemuck sebagai Indian Reporter
Alaa Safi sebagai Vulture
Zhang Lanxin
Kwon Sang Woo
Liao Fan


Director: 
Merupakan film ke-16 yang disutradarai oleh Jackie Chan setelah terakhir 1911 (2011).

W For Words: 
Aksi akrobatik Jackie Chan tentu bukan hal baru lagi, terlebih bagi anda para penikmat film Mandarin sejak tahun 90an, atau bahkan 80an. Ayolah, tak perlu malu berbicara umur. JC saja di usia 57 tahun masih berani mempertontonkan kebolehannya yang fenomenal itu. Filmnya yang ke-101 ini diidentifikasikan oleh banyak pihak sebagai remake tak resmi dari Armor of God (1986) yang diikuti oleh sekuelnya Armor of God II : Operation Condor (1991). Bahkan di China sendiri beredar versi IMAX 3D nya meski sebetulnya cukup dinikmati dalam versi 2D saja.

Pebisnis kaya sekaligus pengumpul barang antik, Lawrence Morgan terobsesi mengumpulkan 12 artefak kepala shio hingga mengutus pemburu harta karun, JC dan mengganjarnya satu juta dollar untuk setiap temuannya. JC bersama timnya berangkat ke Paris demi bertemu Coco, wanita Cina yang bertekad mengembalikan semua peninggalan ke negerinya. Dalam perjalanan mencari Summer Palace yang juga diincar oleh banyak pihak, Duchess Katherine yang menanggung hutang kakek buyutnya menawarkan bantuan. 

Butuh empat orang untuk merampungkan skrip ini, masing-masing Frankie Chan, Jackie Chan, Edward Tang, Stanley Tong. Premisnya memang mirip dengan franchise cult Indiana Jones atau yang lebih baru National Treasure, ekspedisi harta karun yang melibatkan berbagai kelompok sebelum saling berseteru untuk jadi pemenang mutlak. Sayangnya chapter demi chapter dalam film ini terasa disconnected, perpindahannya tidak smooth dan terkesan dipaksakan. Konfliknya pun ditarik ulur sedemikian rupa sampai diakhiri dengan kurang logis. 

JC memang seorang yang berbakat sekaligus ambisius. Multitasking yang dilakukannya disini tak kurang dari 15! Tetap saja tugas terberat adalah produser, sutradara dan tentunya aktor. Jika anda sempat melihat behind the scene yang mengiringi end credit, beberapa adegan disyut dengan kamera otomatis. Luar biasa! Khusus akting, harus diakui faktor umur sudah melimitasinya walaupun kekerasan hati untuk masih melakukan sebagian besar adegan tanpa stuntman harus diacungi jempol. Namun keseluruhan aksinya itu nyaris tidak menawarkan hal baru. Predictable!

Sesungguhnya Chinese Zodiac memiliki pesan yang mulia, “Hargailah setiap peninggalan antik dengan mengembalikannya pada pihak yang memang berhak menyimpannya”. Hanya saja durasi dua jam dirasa terlalu panjang apalagi kebanyakan diisi dengan plot-plot tidak penting yang gagal menyunggingkan senyum atau memacu detak jantung. Berbagai tokoh dengan kebangsaan yang berbeda-beda juga mengganggu karena tidak semuanya fasih berbahasa Inggris. Saya berharap mudah-mudahan kemunculan “terakhir”nya dalam tipikalitas produksi Hongkong ini  masih mampu menghibur anda. Mind the story, just enjoy the action!

Durasi: 
120 menit

China Box Office: 
$127,000,000 till Jan 2013

Overall: 
7.5 out of 10

Movie-meter:

Kamis, 17 Januari 2013

SANG PIALANG : Drama Potensial Minus Ketajaman Konflik


Quotes:
Masalah saham itu hanya dua hal, insting atau timing. Itu aja.

Nice-to-know: 

Film yang diproduksi oleh Garuda Sinema Nusantara dan MP Entertainment ini gala premierenya diadakan di Epicentrum XXI pada tanggal 15 Desember 2012 yang lalu.

Cast: 
Abimana Aryasatya sebagai Mahesa
Christian Sugiono sebagai Kevin
Kamidia Radisti sebagai Analea
Pierre Gruno sebagai Rendra
Slamet Rahardjo sebagai Hadi
Alblen Filindo sebagai Gilang
Mario Irwinsyah sebagai Irfan


Director: 
Merupakan debut penyutradaraan Asad Amar yang sebelumnya lebih dikenal sebagai line producer.

W For Words: 
Bagaimana kehidupan para broker saham di Indonesia? Tidak banyak yang tahu jika anda tidak pernah menggeluti dunia investasi yang satu ini. Saya sendiri pernah menjalani hidup sebagai broker indeks meski hanya dalam hitungan hari saja. Well, it’s supposedly a secret, but for my loyal readers, i’ll let you know a bit. Jika Hollywood pernah menggarap Wall Street (1987) atau yang lebih baru Margin Call (2011) maka kita boleh berbangga jika pada akhirnya ada yang berinisiatif serupa. Hasil akhirnya bisa jadi tidak terlalu penting karena penilaian diserahkan pada masing-masing penonton.

Barata Sekuritas memiliki dua unit manajer handal yaitu Mahesa yang ‘lurus’ mengikuti aturan main dan Kevin yang spekulatif mendobrak pakem. Diam-diam Kevin memendam rasa iri pada Mahesa yang selalu dipuji ayahnya Rendra selaku pimpinan dan diberi perhatian istimewa Analea yang juga disukainya. Ambisi Kevin untuk memecundangi Mahesa dilakukan lewat cara-cara kotor termasuk menikung seorang bos gede bernama Gustom. Sementara itu Mahesa yang berhasil meyakinkan ayahnya Hadi untuk menanamkan sejumlah uang mulai kehilangan apa yang selama ini ia yakini.

Skrip yang ditulis oleh Titien Wattimena dan Anggoro Saronto ini tidak melulu berbicara mengenai saham. Ia hanya menjelaskan poin-poin dasar yang perlu diketahui khalayak umum. Selebihnya adalah presentasi gaya hedon ‘lima serangkai’ yang sibuk pesta pora, shopping, jajan, makan di tempat mahal dsb hingga nyaris menghabiskan satu jam durasinya. Mungkin sebagian besar penonton akan ‘iri’ pada mereka dan berharap menjadi salah satu di antaranya. Namun apakah semua itu sudah cukup untuk membangun simpati terhadap semua tokoh inti disini?

Menarik melihat Abimana dan Christian ditempatkan berseberangan walau keduanya tidak sampai menjadi protagonis dan antagonis. Setidaknya kita dibuat percaya akan karakteristik dasar dua pialang saham berbeda karakter. Mario dan Alblen tak lebih dari supporting role saja dalam susah maupun senang. Ingin sekali menyukai Kamidia yang tampil begitu cantik tapi kesan materialistisnya tak mampu disembunyikan. Slamet Rahardjo dan keluarga memang mengisyaratkan muslim sejati sekaligus memperkuat asumsi bahwa Mahesa adalah tokoh ‘putih’ di dunia yang serba abu-abu.

Upaya sutradara Asad menyajikan sebuah presentasi naratif yang cool dan stylish pantas diacungi jempol. Pilihan lokasi yang memanjakan mata dan serba wah kerap menyiratkan bahwa hidup itu teramat indah jika anda memiliki cukup uang. Editingnya cukup rapi terlebih dukungan soundtrack dari beberapa musisi baru turut membantu hidupkan suasana. Beragam karakter yang ditampilkan silih berganti mendapat porsinya masing-masing meski tidak semuanya berkontribusi secara kuat terhadap kelangsungan cerita. 

Sang Pialang adalah sebuah gebrakan yang cukup menjanjikan dalam memperkaya keragaman film nasional, ibarat Wall Street versi Indonesia menurut sebagian besar media yang mengulasnya. Sayangnya potensi yang ada justru tercoreng oleh gugatan berbagai konflik yang tidak pernah benar-benar menyentuh permukaan, sebut saja Kevin yang tak sampai menjalani masa hukumannya. Durasinya yang sedikit terlampau lama juga mengganggu karena penonton dibiarkan duduk berlarut-larut hanya untuk menanti ending yang let’s say friendly? Layak tonton jika anda penasaran dengan kehidupan para pelaku analisa keuangan ini. Siapa tau anda terinspirasi!

Durasi: 
117 menit

Overall: 
7.5 out of 10

Movie-meter:

Selasa, 15 Januari 2013

MIKA : Roman Apik Di Atas Pengabaian Modernisasi

Quote:
Indi: Aku percaya karena Mika bilang begitu.

Nice-to-know: 

Film yang diproduksi oleh IFI dan First Media ini gala premierenya diadakan di Epicentrum XXI pada tanggal 15 Desember 2012 yang lalu.

Cast: 
Vino G Bastian sebagai Mika
Velove Vexia sebagai Indi
Dallas Pratama
Iszur Mochtar sebagai Ayah Indi
Donna Harun sebagai Mama Indi
George Timothy sebagai Gerry
Henny Zulyani sebagai Mama Mika
Framly Nainggolan sebagai Fred

Director: 
Merupakan film kesembilan bagi Lasya Fauzia Susatyo setelah terakhir omnibus Kita Versus Korupsi (2012) yang tidak rilis di bioskop.

W For Words:
HIV AIDS merupakan penyakit yang menjadi momok paling menakutkan di belahan dunia manapun selama beberapa dekade terakhir dikarenakan belum ada penawarnya. Bukan hanya itu, film ini juga bertutur mengenai skoliosis yaitu kelainan pada rangka tubuh berupa kelengkungan tulang belakang yang dialami oleh penulisnya sendiri, Indi. Ya, drama roman yang diproduseri oleh Adiyanto Sumarjono ini merupakan adaptasi dari novel best seller terbitan tahun 2009, Waktu Aku Sama Mika. Penggantian judul yang dipersingkat justru baru dilakukan menjelang rilis filmnya.

Duduk di bangku SMP, Indi didiagnosa mengidap skoliosis hingga wajib mengenakan besi penyangga tubuh selama 23 jam setiap hari. Tak hanya itu, Indi juga seringkali diolok-olok karena dianggap aneh. Kekesalan itu dibawa sampai berlibur ke Jakarta hingga tanpa sengaja berkenalan dengan Mika yang ekstrovert. Sejak awal Mika sudah berterus terang kalau dirinya mengidap HIV AIDS. Namun Indi tak menjauh meski keluarganya menentang hubungan itu. Kedekatan keduanya justru saling mengisi dan melupakan sejenak penderitaan yang tengah dialami. 

Skrip yang ditulis oleh Indra Herlambang dan Mira Santika ini terbilang setia dengan novelnya. Hanya saja terdapat sebuah fakta yang sangat mengganggu, Mika digambarkan sebagai ODHA tapi masih menjalankan aktifitas sehari-hari layaknya pengidap HIV positif saja. Memang terdapat perbedaan mendasar yang bisa jadi belum diketahui orang banyak. Selama ini sayapun cuma tahu garis besarnya saja. Namun asumsi tersebut juga diperkuat oleh rekan movie reviewer yang juga seorang dokter di Medan, Daniel Irawan yang kerap mempertanyakan sisi medik dalam perfilman nasional.

Vino tampil sebagaimana biasanya yakni cool, bawel, cuek, eksentrik. Kondisi kesehatan Mika yang terus merosot dilakoninya untuk membangun empati. Velove memperlihatkan akting yang menarik sebagai Indi yang rapuh dan pendiam walau sebenarnya kuat dan periang. Keduanya berbagi chemistry secara kuat untuk saling mendukung. Penampilan sebagai remaja belasan tahun pun terbilang meyakinkan meski usia sungguhan mereka sudah tidak muda lagi. Kemunculan Donna Haron, Iszur Mochtar dan lain-lain hanya sebagai pelengkap belaka.

Sutradara Lasja menunjukkan upaya terbaiknya untuk membuat drama ini believable. Narasi yang dilakukannya terbilang smooth dari awal sampai akhir sehingga penonton dapat terhanyut dalam rangkaian kejadian yang disuguhkan. Satu yang cukup mengganggu buat saya adalah gangguan dari Dallas Pratama menjelang paruh terakhir yang seperti out of nowhere lengkap dengan musik cadas yang mengiringinya. Selebihnya presentasi dengan sinematografi cantik nan sederhana ini terbilang nyaman di mata dan enak diikuti.

Keapikan Mika sebagai sebuah film memang tercoreng dari fakta medis yang sudah saya sebutkan di atas. Belum lagi ketidaktahuan para tokohnya mengenai HIV AIDS bahkan yang paling dasar sekalipun membuat latar waktu yang diambil seakan mundur ke tahun 1990an. Sekarang sudah tahun 2013 dimana arus informasi sudah begitu mudah diakses baik di kota besar maupun kecil. Apabila ada makna yang bisa anda ambil adalah kekuatan besar untuk mau berubah, dari tidak bisa menjadi bisa. Kekuatan itu bernama cinta. As simple as that!

Durasi: 
101 menit

Overall: 
7 out of 10

Movie-meter:

Senin, 14 Januari 2013

GANGSTER SQUAD : Feel Good Noir Crime Drama


Tagline:
No names. No badges. No mercy.


Nice-to-know: 

Insiden penembakan 13 orang yang dilakukan empat gangster terhadap layar proyektor teater Aurora, Colorado Century yang dipenuhi pengunjung membuat Warner Bros melakukan syuting ulang yang mempengaruhi skrip dan tanggal perilisan film.

Cast:
Josh Brolin sebagai Sgt. John O'Mara
Ryan Gosling sebagai Sgt. Jerry Wooters
Emma Stone sebagai Grace Faraday
Nick Nolte sebagai Chief Parker
Sean Penn sebagai Mickey Cohen
Holt McCallany sebagai Karl Lennox
Jack McGee sebagai Lt. Quincannon
Mireille Enos sebagai Connie O'Mara


Director: 
Merupakan feature film ketiga bagi Ruben Fleischer setelah terakhir 30 Minutes or Less (2011).

W For Words: 
Saya ingat pernah berkata bahwa sebuah film yang berhasil menempatkan sosok protagonis dan antagonis secara seimbang itu akan menjadi sangat menarik untuk disaksikan sekaligus menebak-nebak siapa yang akan keluar sebagai pemenang pada akhirnya. Please reconsider, we want good prevails over evil, but it’s not always that way. Adaptasi buku berjudul sama karangan Paul Lieberman ini jelas tidak boleh dilewatkan begitu saja apalagi disajikan dalam format noir crime drama yang konon terinspirasi dari kisah nyata di masa lampau.

Kepala Polisi Bill Parker sepakat membentuk tim untuk menghancurkan jaringan kejahatan yang dipimpin oleh Mickey Cohen. Sersan John O’Mara dibantu istrinya Connie memilih Kapten Coleman Harris, Sersan Jerry Wooters, Detektf Conway Keeler, Detektif Navidad Ramirez dan Detektf Max Kennard yang masing-masing memiliki keahlian khusus dan alasan pribadi untuk bergabung. Gerakan mereka mulai menunjukkan hasil setelah menyadap kediaman Mickey. Namun Jerry yang jatuh cinta pada kekasih Mickey, Grace Faraday terancam mengacaukan segala rencana.

Sudah cukup lama seorang Sean Penn tidak tampil dalam peran menonjol. Ia memperoleh kesempatan itu dalam film ini. Tokoh Cohen di tangannya bukan hanya kejam tapi juga mengerikan seperti monster. Apa yang ada di kepalanya hanyalah memperluas daerah kekuasaan dengan menghalalkan segala cara termasuk menyuap polisi dan para petinggi untuk memperkuat posisinya. Penampilannya yang parlente dalam setelan jas lengkap dengan topi fedora semakin mempertajam raut muka keras dan kakunya. Setiap ia berhadapan dengan calon korbannya, anda sudah bisa membayangkan hal-hal mengerikan.

Baru kemarin saya menyaksikan Gosling ‘bersanding’ dengan Stone dalam Crazy, Stupid, Love (2011). Pertemuan awal keduanya berhasil menciptakan momen ‘wow’ yang mengundang senyum. Interpretasi Stone terhadap karakter Grace juga multi dimensi seperti saat ia mengatakan, “He’s not my type but i’m definitely his type”. Kharisma Gosling juga sulit dipungkiri. Jerry bukan hanya flamboyan tapi juga sensitif. Mereka bukan satu-satunya pasangan dalam film. Ada Brolin dan Enos yang tak kalah memikat chemistrynya sebagai pasutri yang bertekad menyelesaikan tugas terakhir sebelum dapat hidup tenang.

Sutradara Fleischer seakan membagi babak demi babak dalam narasinya layaknya zero, process, hero. Tampilan Los Angeles di tahun 40-50an yang meyakinkan mampu menjadi panggung baku tembak dan baku hantam yang mengasyikkan. Sayangnya tak semua tokoh dibekali karakteristik memadai, hanya satu kalimat one liner atau pertunjukan aksi yang dianggap cukup untuk menjelaskan siapa mereka. Beberapa kelemahan plot memang tak mampu ditutupi seperti pertukaran peluru jarak dekat yang tidak mengenai sasaran atau kelambanan geng Cohen dalam mengidentifikasi O’Mara dkk?

Meski demikian Gangster Squad tetaplah sebuah tontonan memukau bagi saya. Jajaran cast baik utama maupun pendukung mampu menjalin koneksi yang memadai satu sama lain. Hanya saja mungkin keseluruhan ide dalam film produksi Langley Park Productions, Lin Pictures, Village Roadshow Pictures ini sudah amat familiar bagi anda yang tumbuh dalam pengaruh The Untouchables (1987) atau mungkin Infernal Affairs (2002) bagi publik Asia. Bisa jadi bukan mob movie yang memorable bagi moviegoers tapi persinggungan penegak hukum melawan kriminal jelas akan selalu lestari, di dunia film atau nyata sekalipun.

Durasi: 
113 menit

U.S. Box Office: 
$17,070,347 till Jan 2013

Overall: 
8 out of 10

Movie-meter:

Minggu, 13 Januari 2013

GENDING SRIWIJAYA : Fiksi Kolosal Menjanjikan Tanpa Keakuratan Historis


Quote: 
Kita berjuang demi tanah ini dari kerakusan Dapunta.

Nice-to-know: 

Film yang diproduksi oleh Putaar Production dan Pemda Sumatra Selatan ini gala premierenya diadakan di Epicentrum XXI pada tanggal 9 Desember 2012 yang lalu.

Cast:
Agus Kuncoro sebagai Awang Kencana
Sahrul Gunawan 
sebagai Purnama Kelana

Julia Perez sebagai Malini
Slamet Rahardjo sebagai Dapunta Hyang Mahawangsa
Hafsary Thanial Dinoto sebagai Endang Wangi
Mathias Muchus
sebagai Ki Goblek

Oim Ibrahim sebagai Pati Duta
Jajang C Noer
sebagai Ratu Kalimanyang


Director: 
Merupakan karya ketujuh yang ditulis dan disutradarai Hanung Bramantyo setelah terakhir Sang Pencerah (2010).

W For Words:
Saya sudah lupa kapan terakhir ada sebuah film kolosal nasional dengan latar belakang sejarah daerah. Yang ada di ingatan cuma Saur Sepuh I-V (1987-1992) dan Tutur Tinular I-IV (1989-1992) dimana hanya bisa saya saksikan via televisi. Acungan jempol pantas diberikan pada Hanung Bramantyo atas inovasi dan keberaniannya mengerjakan proyek semacam ini tentunya dengan dukungan penuh dari Pemerintah Daerah Sumatra Selatan sehingga pemakaian Sriwijaya sebagai latar belakang setidaknya dapat ’disahkan’

Abad 16, Kedatuan Bukit Jerai adalah kerajaan kecil yang dipimpin Dapunta Hyang Mahawangsa dengan permaisuri Ratu Kalimanyang. Dua putranya, Awang Kencana dan Purnama Kelana memiliki karakter yang bertolak belakang. Saat Dapunta menunjuk Purnama yang mengandalkan intelektualitas sebagai penggantinya, Awang yang pandai bertarung marah bukan kepalang. Purnama difitnah membunuh Dapunta dan masuk penjara sebelum dinyatakan tewas saat pelariannya. Adalah Malini, puteri Ki Goblek pemimpin perampok yang membantu Purnama kembali dan menuntut balas pada Awang yang telah diangkat menjadi raja baru.

Jangan salah kaprah, film ini murni fiksi fantasi, jadi tidak perlu mengaitkan dengan fakta yang ada. Hanung yang menulis skripnya sendiri tak pernah menjelaskan tempat dan waktu kejadian. Penonton diajak menjadi pengamat sebuah perebutan kekuasaan yang lazim terjadi di masa apapun juga. Sayangnya durasi 138 menit mungkin terlampau panjang untuk sebuah feature film yang sebagian besar dihabiskan untuk pengenalan multi karakternya mulai dari yang agak penting hingga yang paling krusial demi membangun satu intrik tarik menarik yang mampu menjerat perhatian penonton.

Hanung sebagai sutradara juga begitu jeli memperhatikan setiap detail production value mulai dari set lokasi, tata kostum, tata rias, artistik sehingga terlihat meyakinkan. Penggunaan dialek Palembang terbilang konsisten di sepanjang film meski tak semuanya dilengkapi teks bahasa Indonesia baku. Akting para pemainnya pun berhasil ia poles sedemikian rupa sampai merasa nyaman meskipun harus menggunakan kostum yang tidak sesederhana kelihatannya tersebut. Memang sejak awal kabar mengenai film ini bergulir, banyak pihak yang mempertanyakan pemilhan casts nya.

Saya yakinkan pada anda bahwa penunjukan Julia Perez tidak salah pilih. Ia bermain total sebagai Malini yang heroine sejati. Kesan seksinya masih tertinggal walau kerap tertutup rias. Menarik melihat wanita-wanita (gending) lain yang berani memperjuangkan martabat sekaligus kebenaran melalui ilmu kanuragan tingkat tinggi. Agus Kuncoro berhasil membawakan sosok antagonis Awang Kencana yang begitu memancing emosi terutama di paruh terakhir film. Sebaliknya Sahrul Gunawan tampak begitu lugu dan innocence sebagai Purnama Kelana yang santun dan lemah lembut.

Gending Sriwijaya adalah babak lain dalam catatan prestasi seorang Hanung Bramantyo dalam kancah perfilman Indonesia. Intrik perang saudara, pengkhianatan, balas dendam, kebangkitan ditampilkan begitu hidup dalam jalinan kisah yang mudah diikuti. Adegan laga berikut koreografinya juga dieksploitasi dengan memikat. Memang sedikit tercoreng faktor historis yang sedikit terabaikan, tetapi keseriusan Hanung dalam penggarapannya jelas lebih pantas diapresiasi dibanding puluhan sinetron sejenis yang mengisi jam tayang utama stasiun televisi swasta kita selama bertahun-tahun.

Durasi: 
138 menit

Overall: 
7.5 out of 10

Movie-meter: