XL #PerempuanHebat for Kartini Day

THE RING(S) : A short movie specially made for Valentine's Day

Sabtu, 30 April 2011

LULLA MAN : Balada Tiga Playboy Takut Istri

Storyline:
Tan, Joon dan Tu sudah bersahabat sejak lama. Hal yang mempersatukan mereka adalah kebiasaan berselingkuh walaupun telah terikat dengan Bow, Rohm dan Noyna. Berbohong dan bersilat lidah kerapkali menyelamatkan mereka dari amukan istri masing-masing. Hingga pada suatu ketika, Tan yang ditugaskan bosnya untuk mencari model mulai tertarik pada wanita cantik bernama Suzie yang ditemuinya di sebuah pusat perbelanjaan. Padahal Suzie sendiri telah bersuamikan gangster yang berbahaya. Akankah ketiganya bisa menyadari kekhilafannya pada akhirnya?

Nice-to-know:
Diedarkan di Indonesia oleh Parkit Film dan baru dirilis di Thailand sendiri pada tanggal 9 Desember 2010 yang lalu.

Cast:
Terakhir sempat membintangi My Best Bodyguard, Chakrit Yamnam bermain sebagai Tan
Ussanee Wattana sebagai Suzie
Passorn Bunyakiet sebagai Rohm
Jeab Chern-Yim
Petchtai Wongkamlao (Mum Jokmok)

Director:
Tunya Potiwijit.

Comment:
Banyak referensi yang menyebutkan bahwa premis film ini merupakan gabungan dua komedi situasi sukses Indonesia yaitu Suami-Suami Takut Istri dan Warkop DKI. Tidak salah memang jika anda juga berpendapat begitu karena nyaris semua elemen yang pernah ditampilkan disana terbukti masih ampuh untuk memancing tawa. Apalagi disajikan dengan fresh di tengah-tengah kelesuan industri bioskop beberapa bulan terakhir ini.

Sutradara Tunya sepertinya memang tidak memiliki storyline yang baku dalam mengarahkan film ini, terkesan free flowing saja. Beruntung situasi yang dihadirkan memang sangat dekat dengan tingkah laku keseharian kaum pria secara umum dan para suami secara khususnya. Jika anda berjenis kelamin laki-laki maka akuilah kebenarannya sedangkan jika anda perempuan bisa jadi merasakan hal yang sama dari pasangan anda masing-masing.









Saya pernah menyaksikan kiprah Chakrit sebelumnya dalam My Ex (horor) dan remake Bangkok Dangerous (action). Menarik mengetahui bahwa aktor yang satu ini ternyata bisa bermain komedi dengan mengandalkan wajah tampan (yang dibuat lugu) dan tutur kata manisnya (yang terdengar gombal). Bersama tokoh Joon dan juga Tu, Chakrit sebagai Tan sukses menciptakan chemistry persahabatan yang kuat dan sama bejadnya.

Secara khusus saya ingin mengomentari penampilan “komedik” para aktris disini yang sangat bervariasi. Tidak ada yang meragukan kecantikan Ussanee sebagai Suzie yang seksi anggun menggoda, mengingatkan kita pada sosok Angelina Jolie. Sedangkan karakter para istri digambarkan beragam, Bow yang sabar dan kalem, Rohm yang galak dan spontan hingga Noyna yang cerewet dan lincah. Kasihan rasanya melihat mereka diperlakukan sedemikian rupa tapi pada akhirnya selalu memberi maaf. Bukankah kaum wanita pada dasarnya memang arif dan bijaksana? Untuk yang satu ini, mari kita berdiskusi privat untuk membahasnya.








Meski arah ceritanya sudah dapat ditebak sedari awal, Lulla Man sangatlah direkomendasikan bagi anda yang mencari hiburan belaka tanpa harus berpikir dengan logika sekalipun. Ambillah jeda dalam tertawa agar mulut anda tidak kaku dan gigi anda tidak kering dibuatnya karena konsep slapstik nan komikal yang tiada henti-hentinya sepanjang 95 menit. Sekalipun endingnya agak dipaksakan, rasanya penonton (pria) tetap dapat meninggalkan bioskop dengan senyum mengembang sambil berpikir untuk pulang kembali pada istri masing-masing.

Durasi:
95 menit

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:

Jumat, 29 April 2011

THE DEATHS OF IAN STONE : Kematian Berulang Selamatkan Gadis Tercinta

Tagline:
Live everyday like it's your last.

Storyline:
Ian Stone seringkali kehilangan mood dalam bekerja karena teringat hal-hal kecil menyangkut masa lalunya. Ia merupakan seorang pebisnis Amerika yang sering bepergian ke Inggris untuk menyelesaikan urusannya. Tak lama kemudian, Ian terjebak dalam kenyataan yang aneh, bahwa ia terbunuh setiap harinya oleh sosok misterius dalam cara yang berbeda-beda. Terbangun dari kematiannya sendiri berkali-kali membuat Ian bertekad untuk menguak misteri sekaligus menuntaskan semuanya.

Nice-to-know:
Diproduksi secara keroyokan oleh Odyssey Entertainment, Isle of Man Film dan Stan Winston Productions.

Cast:
Tahun lalu sempat mendukung remake populer Poseidon (2006), Mike Vogel berperan sebagai Ian Stone
Jaime Murray sebagai Medea
Christina Cole sebagai Jenny Walker
Michael Feast sebagai Gray

Director:
Sejauh ini merupakan karya ketiga bagi Dario Piana setelah film Italia berjudul Sotto il vestito niente 2 di tahun 1988.

Comment:
Premis film ini dapat dikatakan original. Maka dari itu semakin sedikit anda mengetahuinya, bisa jadi akan lebih excited dalam menyaksikannya. Bayangkan hal berikut, seorang pria yang terbunuh berkali-kali dalam cara yang berbeda-beda setiap harinya tanpa menyadari apa yang berjalan salah dalam hidupnya. Anda akan dibiarkan mereka-reka seperti halnya tokoh utama disini.


Meski belum bisa disebut kaliber, Vogel justru memerankan Ian dengan cukup kreatif. Berbagai profesi yang dilakoninya berikut interpretasinya tergolong menarik untuk disaksikan. Sedangkan Murray selaku antagonis bergantian wujudnya antara wanita seksi dan makhluk misterius bernama Medea. Di luar mereka, aktor-aktris lain rasanya belum banyak dikenal termasuk Cole yang bermain sebagai Jenny yang selalu ada di sekitar hidup Ian Stone.





Sutradara Piana berusaha menerjemahkan skrip karya Brendan Hood dengan maksimal. Sayangnya paruh pertama film yang menjanjikan tidak diikuti paruh kedua yang cukup membosankan layaknya sebuah film televisi di tengah malam. Hal ini bukan disebabkan oleh bujet rendah karena terbukti setting lokasi dapat dimanfaatkan dengan baik disertai dengan ilustrasi musik horor yang disesuaikan dengan scene-scene tertentu.

Nuansa keren gerombolan “harvester” di awal film berganti dengan tampilan “monster” CGI ala Stan Winston di akhir. Tidak terlalu menyenangkan melihat sebentuk makhluk hitam tanpa wujud dengan topeng yang dikenakannya dan harus bertarung satu sama lain dalam kecepatan kasat mata. Berusaha menegaskan konsep supernatural yang diusungnya? Seharusnya tidak perlu terlebih beberapa adegan gore sudah cukup memanjakan mata bagi anda penikmat genre sejenis.





The Deaths Of Ian Stone memang menawarkan konsep horor thriller baru tetapi banyak menyisakan lubang di dalam penceritaannya. Banyak sekali pertanyaan sebab akibat yang tidak terjelaskan, sebanding dengan permainan logika yang terus membuat anda bertanya-tanya hingga sampai di penghujung durasi. Dan jangan kecewa jika anda tidak mendapatkan jawabannya apalagi diharuskan menarik kesimpulan sendiri.

Durasi:
85 menit

Asian Box Office:
PHP 5,639,850 till Jul 2009 in Philippines

Overall:
6.5 out of 10

Movie-meter:

Kamis, 28 April 2011

127 HOURS : Pengalaman Hidup Terjebak Di Canyon Terisolir

Quotes:
Aron Ralston: Hey there, Aron! Is it true that you didn't tell anyone where you were going?

Storyline:
Diangkat dari kisah nyata mengenai seorang pendaki gunung bernama Aron Ralston. Petualangan liarnya di Utah Canyon yang terisolasi berubah menjadi mimpi buruk saat ia terjatuh dalam lipatan gunung dengan tangan terhimpit batu besar. Aron berusaha bertahan hidup dengan berbagai cara selama lebih dari 5 hari tanpa lupa mengingat pengalaman hidupnya bersama orangtua, saudara, kekasih, teman-teman sampai dua gadis yang ditemuinya dalam perjalanan sebelum kecelakaan terjadi. Akankah ini menjadi akhir hidupnya di saat tidak seorangpun tahu keberadaannya?

Nice-to-know:
Aron Ralston menangis selama sesi tanya jawab di Toronto International Film Festival setelah seorang audiens menanyakan opininya mengenai kinerja Franco dalam film ini. Ralston berkata bahwa itu sangat menantang setelah ditenangkan oleh aktor-aktor di sampingnya.

Cast:
Mengawali karir aktornya dalam serial televisi Pacific Blue (1997), James Franco mendapat tantangan terbesar sebagai Aron Ralston
Kate Mara sebagai Kristi
Amber Tamblyn sebagai Megan
Sean Bott sebagai Aron's Friend
Koleman Stinger sebagai Aron Age 5
Treat Williams sebagai Aron's Dad
Kate Burton sebagai Aron's Mom

Director:
Danny Boyle memenangkan Oscar kategori Sutradara Terbaik lewat Slumdog Millionaire (2009).

Comment:
Nyaris tayang di bioskop Indonesia beberapa hari lagi, film ini batal rilis karena polemik pajak film impor yang tiba-tiba muncul. Sungguh disayangkan mengingat film ini adalah salah satu nominator kuat Academy Awards 2011. Oke saya tidak akan membahas hal yang satu itu lagi sebab kisah nyata Aron Ralston ini terlalu menarik untuk dilewatkan, tidak peduli anda yang sudah pernah membaca bukunya atau belum.

Danny Boyle yang mengerjakan skripnya bersama Simon Beaufoy berhasil melakukan pendekatan sedetail mungkin akan apa yang dialami Aron sepenuhnya walau sudah tertuang dalam buku berjudul "Between a Rock and a Hard Place". Penonton jelas butuh visualisasi daripada harus berimajinasi dan tugas tersebut memang tidak mudah karena memerlukan seorang aktor kuat yang dituntut berjuang sendirian sepanjang durasinya.








Tantangan tersebut dijawab oleh Franco dengan luar biasa dalam sebuah konsep one man show. Penampilan fisiknya dibuat semirip mungkin dengan sosok asli Aron. Transformasi karakternya dapat kita rasakan bersama, mulai dari awal sebagai seorang pendaki gunung yang arogan dan kurang berhati-hati hingga menjadi seorang pejuang sekarat yang putus asa dan bingung akan semua yang telah dialami selama hidupnya. Franco berhasil mengundang simpati audiens untuk tetap bersamanya melewati 5 hari 7 jam yang penuh pengharapan.

Sutradara Boyle kembali mempertontonkan kebolehannya meracik semua elemen drama dalam film yang sebetulnya bergaya dokumenter ini. Kenangan masa kecil dan kesenangan masa lampau menjadi bias dengan gambaran masa depan yang belum jelas. Dan hal ini didukung juga oleh sinematografi dan music score yang luar biasa sehingga Utah Canyon menjadi sebuah panggung pertunjukkan yang memukau sekaligus mengerikan.







127 Hours bukanlah sekadar film. Ini adalah sebuah pengalaman emosional! Anda seakan diajak merasakan sakit, lapar, haus, klastrofobia, kehilangan asa hingga akhirnya bersikap nekad untuk menentukan nasib sendiri selayaknya yang Aron alami. Tidak perlu merasa minder untuk memalingkan muka sejenak pada saat endingnya karena nyaris semua orang akan melakukan hal yang sama. Jangan ragu untuk menyaksikan suguhan akting legendaris Franco dan kinerja sempurna Boyle dengan rasa kemanusiaan yang tinggi.

Durasi:
90 menit

U.S. Box Office:
$18,329,466 till Apr 2011

Overall:
8 out of 10

Movie-meter:

Rabu, 27 April 2011

THE DRAGON PEARL : Rebutan Pusaka Mutiara Naga Ajaib

Tagline:
Finding courage when no one believes.

Storyline:
Dua remaja belia, Josh dan Ling tidak sengaja bertemu saat menghabiskan liburan bersama orangtua mereka yaitu Chris dan Dr. Li yang berprofesi sebagai arkeologis di China. Ketika tengah berjalan-jalan di lokasi penggalian, Ling kerapkali mendengar suara seruling yang diyakini penjaga kuil setempat, Wu Dong bahwa ia adalah yang terpilih. Hal itu tidak diragukan ketika Ling berhasil membuka pintu menuju dasar bumi yang konon mengarah pada mutiara naga yang hilang. Namun asisten Chris, Philip tidak tinggal diam dan berusaha menguasai penemuan itu sendiri. Josh dan Ling harus berjibaku untuk mengamankan pusaka tersebut saat orangtua mereka sekalipun tidak mempercayainya.

Nice-to-know:
Film yang bersyuting di Hengdian World Studios, China ini diproduksi secara joinan oleh Hengdian World Studios, AMPCO Films dan Best FX (Boom Sound).

Cast:
Sam Neill sebagai Chris Chase
Sebelumnya sempat membintangi Charlotte’s Web (2006), Louis Corbett bermain sebagai Josh
Li Lin Jin sebagai Ling Li
Wang Ji sebagai Dr. Li
Robert Mammone sebagai Philip Dukas
Jordan Chan sebagai Wu Dong

Director:

Pria asli Australia bernama Mario Andreacchio yang bertanggal lahir sama dengan saya ini sebelumnya menggarap Elephant Tales (2006).

Comment:
Sebuah film produksi Australia yang berusaha mengawinkan elemen Asia dan Amerika dalam tradisi pencarian harta karun. Bukan sesuatu yang baru juga karena mengingatkan saya pada produksi Hongkong beberapa tahun silam yakni The Touch (2002) yang dibintangi oleh Michelle Yeoh dan Ben Chaplin. Namun segmentasi film ini memang ditujukan bagi anak-anak sehingga kontennya tidak berat samasekali.
Skrip yang ditulis oleh Mario Andreacchio, John Armstrong, Philip Dalkin dan Ron Saunders ini mengambil latar belakang legenda mutiara naga pada masa silam, untuk kemudian berpindah pada masa kini dengan sentralisasi dua remaja berlawanan jenis. Opening film yang sebetulnya tidak terlalu meyakinkan karena berjalan lambat dimana hanya berputar-putar pada masalah percaya legenda atau tidak.
Memasuki pertengahan durasi barulah berjalan sedikit menarik walaupun fakta bahwa ceritanya sangat predictable tidak dapat dipungkiri. Apalagi karakterisasi good guy, bad guy dan pihak di antaranya juga tidak ada pengembangan berarti, sangat tipikal film sejenis yang bahkan sudah dilakukan sejak tahun 80an. Bahkan seorang Jordan Chan harus bergaya seperti Jackie Chan disini, suatu hal yang tidak perlu karena sebetulnya ia memiliki style tersendiri.
Sutradara Andreacchio berusaha menyiasati adegan perkelahian dengan trik kamera yang masih amatir. Penonton akan dengan mudah memperhatikan kelemahan yang satu ini. Belum lagi miskinnya editing dan storytelling yang disebabkan oleh bujet minim untuk menghadirkan sesuatu yang lebih believable. Beruntung animasi naga yang dihadirkan di beberapa bagian masih tergolong lumayan dengan pergerakan dan tekstur yang cukup natural.
Terlepas dari keklisean dan kekurangan yang telah disebutkan, The Dragon Pearl setidaknya tidak berambisi untuk menjadi “wah” di segala aspeknya. Walaupun sebetulnya saya sempat berharap “kekuatan” mutiara naga yang ditunjukkan di ending akan menjadi penutup yang dahsyat. Yah setidaknya setiap orangtua yang mengajak anak-anaknya menyaksikan film yang satu ini tetap dapat puas meninggalkan gedung bioskop di sore akhir pekan yang tidak padat aktifitas.

Durasi:
85 menit

Overall:
6.5 out of 10

Movie-meter:

Selasa, 26 April 2011

POCONG MANDI GOYANG PINGGUL : Setan, Pocong dan Long Distance Relationship Misterius

Tagline:
Sebuah tragedi tak terlupakan...

Ketika malam suro datang dan kran air terbuka...Pocong juga datang!!


Storyline:
Ferdi yang berprofesi sebagai seorang DJ klub malam mengalami kecelakaan mobil yang cukup fatal di jalan raya pada suatu malam. Beruntung tidak ada cedera yang serius sehingga dalam kurun waktu sebulan ia bisa beraktifitas kembali, tentunya setelah didorong oleh sohib sekaligus asisten pribadinya, Dennis yang pintar-pintar bodoh itu. Terkadang Ferdi dihantui sosok perempuan berjubah putih misterius di sela-sela hubungan jarak jauhnya yang intens dengan seorang gadis bule cantik seksi bernama Sasha itu. Siapa sesungguhnya Sasha yang segera diselidiki ibu dan adik perempuan Ferdi itu?

Nice-to-know:
Diproduksi oleh K2K Production dan gala premierenya dilangsungkan di Plaza Indonesia XXI pada tanggal 26 April 2011.


Cast:
Sasha Grey

Chand Kelvin
sebagai Ferdi
Tatang Gepeng sebagai Dennis
Sheza Idris
Baby Margaretha
Tata Dado
Annisa Bahar

Mpok Nori

Ucok Baba

Andreano Phillip


Director:
Meski baru empat bulan meninggalkan tahun 2011, Yoyok Dumprink maju terus dengan film ketiganya ini.

Comment:

Harus diakui saya sangat mengenal nama “besar” Sasha Grey semasa akil baliq beberapa tahun silam. Dan pertama kali mendengar K2K Productions akan mengajaknya bermain film, komentar yang terlintas pertama kali dalam pikiran adalah “WTF?” dibandingkan “Woow, it’s gonna be awesome!”. Sebab kita semua sudah tahu kualitas film-film yang dihasilkan rumah produksi tersebut seperti apa.


Sang produser KK Dheeraj bersikap seperti biasanya, alih-alih menerima dan menanggapi kritik, ia seringkali menantang balik pihak yang mengkritiknya. Tidak bisa disalahkan karena filmnya toh masih dapat dijual di negara tercinta ini. Dan untuk proyek terbarunya, ia menutup rapat-rapat proses syuting ataupun jalan ceritanya sampai menjelang hari H nya. Tak lupa sebelum prolog film bergulir, ia menyelipkan “kata-kata mutiara” yang intinya menegaskan bahwa filmnya hanyalah hiburan belaka dan syukur-syukur bisa memancing tawa. Well..

Penulis skrip bernama Melonys itu kembali mempertunjukkan kebolehannya dalam memutar-balikkan intelejensi penonton dengan forward-backward alur cerita. Hanya saja kali ini diperhalus dengan unsur komedi dibandingkan dengan kemunculan setan yang secara mengejutkan cuma 2-3 scene saja. Tanpa lupa menyebutkan beberapa adegan syur di luar kepentingan storyline sekalipun yang dijamin membuat jantung para pria berdesir.






Dimana posisi seorang Sasha Grey? Ia tidak datang ke Indonesia karena menjalani porsi syutingnya di Amerika. Itupun lebih banyak via webcam yang juga terlihat jelas satu arah (alias rekaman) dimana ia hanya menyebutkan dialog-dialog pendek seperti miss you, bye ditutup dengan kecupan dalam satu tiupan tangan, berulang-ulang-ulang! Bagian ini selayaknya memperlakukan segenap audiens dalam kasta murid sekolah dasar. Come on! We want more, at least Japanese pornstars do better than you with their giggles and innocences all the time in front of camera.


Debut Chand Kelvin tidak mengecewakan samasekali. Ia berakting natural seperti menjadi dirinya sendiri di sebagian besar scene yang memang didominasinya. Jika saja ada karakterisasi yang lebih, tentunya akan lebih menantang lagi baginya. Interaksi tokoh Ferdi dan Dennis sepanjang film mengingatkan saya pada duet Tom & Jerry dengan ilustrasi musik komedi. Sedangkan karakter yang dimainkan Baby dan Sheza nyaris tidak terlalu penting alias tempelan belaka. Apalagi Andreano, Ucok Baba, Anissa Bahar, Mpok Nori yang selayang pandang saja termasuk Tata Dado yang mengumbar istilah P-O-Cong dan PocoCi, please jangan tanya pada saya kepanjangannya.


Pocong Mandi Goyang Pinggul memang terang-terangan menjual seorang Sasha Grey dengan penggunaan judul aneh binti gajebo yang disinyalir hasil semedi di atas kuburan pada malam satu suro. Plot cerita seadanya yang diperpanjang dengan pita warna-warni pengganti pita seluloid ini akhirnya ditutup dengan kesimpulan “brilian” yang melibatkan seorang Detektif L.A.P.D di sebuah tempat bernama HOLLYWOOD! Sayapun berniat menutup 75 menit yang absurd ini dengan mandi kembang tujuh rupa di rumah menggunakan gayung merah dengan poster Sasha Grey di dinding. Ooohhh!


Durasi:
75 menit


Overall:
6.5 out of 10

Movie-meter:

Senin, 25 April 2011

SUCK SEED : Napak Tilas Romantika Band Remaja

Storyline:
Ped dan Koong bersahabat sejak SD. Dan pada satu ketika di kelas menyanyi, Ped menyadari bahwa ia jatuh cinta pada Ern yang mengenalkannya pada musik. Sayangnya Ern kemudian melanjutkan sekolah di Bangkok. Beberapa tahun berlalu, Ped beranjak remaja dan membentuk band bersama Koong dan Ex. Hal ini lebih karena kecemburuan Koong pada saudara kembarnya, Kay yang popular dengan band “Arena”. Tak disangka, Ern ternyata kembali dalam hidup Ped dan menginspirasinya untuk menciptakan lagu yang akan diikut sertakan dalam kompetisi band nasional. Ped tidak sendiri karena Koong mulai menyukai Ern juga. Kini semua tergantung Ped apakah bisa jujur dengan hatinya sendiri?

Nice-to-know:
Diproduksi oleh GTH dan baru dirilis di Thailand sendiri pada tanggal 17 Maret 2011 yang lalu.

Cast:
Jirayu Laongmanee sebagai Ped
Natcha Nuanjam sebagai Ern
Pashorn Jiratiwat
Thawat Pornrattanaprasert

Director:
Merupakan debut penyutradaraan pertama bagi Chayanop Boonprakob yang sebelumnya dikenal sebagai composer itu.

Comment:
Rasanya tidak henti-hentinya sineas Thailand menggarap film remaja yang memang ujung-ujungnya terbukti sukses. Berbagai tema sudah disodorkan yang berakhir pada satu problema yaitu cinta. Film yang satu ini juga bermuara ke sana, hanya saja dibalut dengan semangat bermusik anak-anak band yang memulainya sejak dini dan sama-sama bermimpi untuk sukses.

Sutradara Chayanop memang tergolong konsisten dalam mengedepankan tema musik. Mulai dari pengenalan anak-anak sekolah dasar yang mengikuti kelas bernyanyi di bagian pembuka, lalu memasuki masa remaja yang gandrung dengan kegiatan band di bagian tengah hingga pilihan hidup untuk menjadi pemusik sejati di bagian akhir. Beberapa tembang yang juga dikomposerinya memang terbilang berlirik simpel tetapi cukup ear catchy untuk menjaga mood penonton.








Saya mengagumi talenta Natcha yang menguasai gitar dengan baik di samping bersuara merdu, belum lagi wajah manisnya sehingga karakter Ern memang sangat loveable. Sedangkan Jirayu memang kelewat lugu dan kalem, tak jarang karakter Ped di tangannya membuat kita gemas akan keengganannya berinisiatif. Pashorn dan Thawat juga cukup konsisten dengan peranan masing-masing yang kebetulan sama-sama tidak beruntung dalam cinta (monyet).

Kekurangan film ini yang paling mencolok adalah durasi yang kelewat panjang. Sebagian dihabiskan untuk membahas konflik cinta remaja yang bertele-tele tetapi pada akhirnya diselesaikan begitu mudahnya tanpa ada lompatan emosi yang diharapkan. Selain itu berbagai “turning point” yang harusnya dapat dimaksimalkan malah cenderung datar, seperti pada semifinal kompetisi band nasional yang lumayan krusial maknanya.








Suck Seed memang belum sempurna sebagai sebuah film, tapi dianggap cukup pas dan realistis dalam menyorot kehidupan dunia remaja yang menggilai musik. Komedi yang seringkali terlalu komikal rasanya masih dapat dimaafkan karena pangsa film ini terbilang jelas. Pada akhirnya cita, cinta dan persahabatan memang tidak bisa dipisahkan, bukan? Dan saya berani bertaruh bahwa anda pasti menyadari kenyataan tersebut sejak memasuki bangku sekolah menengah.

Durasi:
120 menit

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:

Minggu, 24 April 2011

6:66 DEATH HAPPENS : Misteri Kematian Terkoreksi Massal

Tagline:
When the dead won’t stay dead, there’ll be hell to pay

Storyline:
Reporter kejahatan, Dao harus menangani kasus aneh dalam waktu 24 jam dimana terjadi berbagai kecelakaan yang tidak menewaskan para korbannya. Kemudian Dao menerima kabar dari rumah sakit bahwa ayahnya secara ajaib terbangun dari kematian setelah 15 tahun komba! Dibantu sahabatnya yang juga seorang polisi Wut, Dao mulai menelusuri catatan ayahnya yang akrab dipanggil Profesor Din. Terungkap bahwa Prof Din berhasil menebak tanggal kematian seseorang dan mulai mengacaukan siklus kehidupan itu sendiri. Kini Dao harus memerangi maut yang juga merintanginya sebelum terlambat..

Nice-to-know:
Sudah dirilis di Thailand medio 30 Juli 2009 yang lalu.

Cast:
Susira Angelina Nanna sebagai Dao
Yodchai Meksuwan sebagai Prof Din
Jason Young sebagai Wut
Sakda Kaewbuadee

Director:
Takeaw Ruengratana sebelumnya berpengalaman menggarap komedi Teng Nong yang cukup hit itu.

Comment:
Film ini jelas memanfaatkan angka magis 666 yang sering diibaratkan dengan iblis. Namun hal tersebut tidak akan muncul disini. Konsep siklus Buddhis yang berisikan kelahiran, kematian, kelahiran kembali disajikan berulang-ulang tanpa henti. Bisa bayangkan jika seseorang tidak dapat mati, tidak dapat lahir apapun kondisinya? Coba anda imajinasikan terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk menyaksikannya.
Penampilan Susira sebagai Dao dapat diterima walau tidak terlalu mengesankan. Penonton rasanya dapat bersimpati padanya dan akan tetap penasaran mengikuti perjalanan Dao menelusuri dunia “aneh” yang ia hadapi. Tidak banyak yang bisa ditunjukkan oleh aktor senior Yodchai yang sebagian besar berakting dalam “tidur” nya. Belum lagi Jason yang timbul tenggelam sepanjang film tanpa diberi karakterisasi yang berarti.






Sutradara Takeaw banyak bermain dengan scene-scene mengerikan dari segi supernatural ataupun medis sekalipun. Bagaimana kecelakaan yang tidak sampai menewaskan korbannya kadang hanya menyisakan potongan-potongan tubuh tertentu. Atau kemunculan arwah-arwah orang yang telah meninggal di sekeliling tokoh utama disertai dengan ilustrasi musik yang mendirikan bulu kuduk. Potongan flashback juga tidak luput dihadirkan demi menyatukan kepingan-kepingan utuh yang baru terjawab di penghujung cerita.
6:66 Death Happens memang menarik secara konsep tetapi tidak didukung oleh penceritaan yang baik ataupun skrip yang lebih matang lagi. Sebuah drama thriller yang cukup kompeten apalagi didukung dengan spesial efek yang baik termasuk adegan melahirkan yang memorable itu. Endingnya dirasa terlalu cepat berakhir dan akan menyisakan banyak pertanyaan dalam benak penonton mengenai apa yang sesungguhnya dikerjakan Profesor Din untuk memutar-balikkan peristiwa alam semesta yang semestinya sudah digariskan tersebut.

Durasi:
76 menit

Overall:
6.5 out of 10

Movie-meter:

Sabtu, 23 April 2011

BREACH : Siasat Officer Muda Melucuti Atasan

Quotes:
Eric O'Neill: My name is Eric.
Robert Hanssen: No, your name is Clerk. And my name is Sir, or Boss, if you can manage.
Eric O'Neill: Yes, sir.
Robert Hanssen: And if I ever catch you in my office again, you're gonna be pissin' purple for a week.

Storyline:
Spesialis computer Eric O’Neill bercita-cita menjadi agen FBI handal. Kesempatan itu datang saat ia menjadi seorang officer yang juga asisten dari Robert Hanssen, agen FBI senior yang telah mengabdi selama 25 tahun. Sebetulnya Eric ditugaskan langsung oleh Kate Burroughs dan Rich Garches untuk mengawasi tindak tanduk Robert yang disinyalir menjual data rahasia ke pihak Soviet secara diam-diam. Tidak mudah bagi Eric untuk mendapatkan kepercayaan Robert yang juga mulai mengganggu hubungannya dengan istrinya yang berbeda agama, Juliana. Kini Eric pun harus beradu otak untuk menyelesaikan misi sulit ini sekaligus membekuk Robert yang licik itu.

Nice-to-know:
Dalam film digambarkan karakter yang diperankan Chris Cooper terobsesi dengan Catherine Zeta-Jones. Pada kenyataannya, Cooper dan Zeta-Jones memenangkan gelar Aktor/Aktris Pendukung Terbaik pada ajang Academy Awards 2003.

Cast:
Pernah memenangkan gelar Aktor Pendukung Terbaik dalam ajang Oscar 2003 lewat Adaptation (2002), Chris Cooper bermain sebagai Robert Hanssen
Karir aktornya diawali lewat miniseri televisi berjudul The Secrets of Lake Success (1993), Ryan Phillippe berperan sebagai Eric O'Neill
Laura Linney sebagai Kate Burroughs
Caroline Dhavernas sebagai Juliana O'Neill
Gary Cole sebagai Rich Garces
Bruce Davison sebagai John O'Neill

Director:
Sejauh ini merupakan karya kedua bagi Billy Ray setelah Shattered Glass (2003).

Comment:
Jika anda berpikir film yang satu ini bermuatan berat maka salah besar. Anda tidak perlu membekali diri dengan pengetahuan mengenai FBI, cukup duduk tenang di bangku dan fokuslah pada apa yang akan anda saksikan. Niscaya segala seluk beluk yang tertuang dalam skrip cerdas yang ditulis oleh trio Adam Mazer, William Rotko dan Billy Ray ini dapat dimengerti.
Seringkali penonton salah kaprah mengenai status Eric O’Neill yang dianggap agen baru FBI padahal ia hanya sebagai officer sekaligus asisten dari Robert Hanssen yang berkedudukan sangat tinggi di atasnya. Phillippe menuntaskan tugasnya dengan baik sebagai O’Neill yang panjang akal dan pantang menyerah meskipun sempat disepelekan bosnya di awal dan lagi harus menghadapi problem rumah tangga dengan istrinya. Saya nilai ini adalah penampilan terbaiknya dalam sebuah film!








Siapa yang meragukan kualitas akting aktor sekaliber Cooper? Lihat caranya menginterpretasikan tokoh Hanssen yang penuh kecurigaan dan licin seperti belut. Intonasinya yang jelas menegaskan nama besarnya sebagai seorang senior di FBI. Belum lagi kemampuannya mengatur segala sesuatu sesuai standarnya sendiri sesulit apapun juga termasuk integritas pribadi dan keluarganya.
Saya juga mengagumi sosok Linney yang bermain dingin sebagai Burroughs yang sebetulnya kesepian dan tidak memiliki sesuatu untuk diperhatikan di luar pekerjaannya. Dhavernas yang belum banyak dikenal orang juga memberikan aksen lembut dan rapuh ke dalam tokoh Juliana yang diperankannya. Kontribusi juga disumbangkan Davison, Cole, Haysbert dan lain-lain sebagai karakter pendukung yang tak kalah pentingnya.








Sutradara Ray meskipun baru menghasilkan satu film sebelumnya berlaku selayaknya seorang veteran. Ia tidak membekali film spy ini dengan adegan aksi berbujet besar dengan musik latar yang berlebihan selayaknya film Hollywood. Namun sesederhana sebuah drama spionase yang sangat kaya dari segi karakteristiknya hingga jalinan konflik terbangun dengan begitu rapi. Tempo yang pas begitu asyik membuka scene demi scene yang penuh kejadian penting.
Saya berani katakan Breach yang diinspirasi dari kejadian nyata ini nyaris sempurna sebagai sebuah film. Contoh konkrit bagaimana kegigihan bisa mengatasi hal-hal yang terlihat tidak mungkin sekalipun. Meskipun produksi lama, jangan ragu untuk menyaksikannya di bioskop Ibukota. Nikmatilah permainan kucing tikus yang dramatis ini, turut serta dalam ketegangan saat waktu yang sempit harus dapat digunakan secara maksimal untuk kemenangan besar di akhir. Kesuksesan dan kegagalan memang kadang ditentukan oleh kompleksitas pemikiran dan tindakan manusia itu sendiri selain kesempatan dan takdir yang telah digariskan.

Durasi:
110 menit

U.S. Box Office:
$32,791,865 till Apr 2007

Overall:
8 out of 10

Movie-meter:

Jumat, 22 April 2011

BATTLE FOR TERRA : Perseteruan Perebutan Planet Tempat Tinggal

Tagline:
Their world is mankind's only hope for survival.

Storyline:
Ketenangan planet Terra mendadak terganggu oleh kedatangan pesawat-pesawat asing. Adalah gadis pemberani bernama Mala yang berang saat mengetahui ayahnya diculik oleh salah satu pesawat tersebut. Inisiatif serangan tersebut ternyata berasal dari para manusia penduduk Bumi yang bertekad mencari tempat tinggal baru dipimpin oleh Jenderal Hemmer. Tanpa sengaja Mala malah menolong pilot pesawat tempur bernama Jim Stanton yang cedera parah dalam insiden itu. Kini eksistensi planet Terra menjadi terancam ketika Jenderal Hemmer memutuskan untuk meluncurkan Terraformer yang akan mengubah udara menjadi oksigen manusia. Berhasilkah Mala Senn dkk melakukan serangan balik?

Nice-to-know:
Diproduksi oleh MeniThings LLC dan Snoot Entertainment.

Voice:
Luke Wilson sebagai Jim Stanton
Evan Rachel Wood sebagai Mala
Justin Long sebagai Senn
David Cross sebagai Giddy
Chris Evans sebagai Stewart Stanton
Brian Cox sebagai Jenderal Hemmer
Dennis Quaid sebagai Roven
Danny Trejo sebagai Elder Barum

Director:
Nama Aristomenis Tsirbas mungkin masih agak asing karena ia lebih banyak menangani spesial efek dan digital artist sebelumnya termasuk dalam Titanic (1997).

Comment:
Sayang sekali film ini harus menunda penayangan selama bertahun-tahun di Indonesia, bahkan jauh setelah Avatar (2009) yang dapat dikatakan versi human action nya dengan penyempurnaan di berbagai lini. Jadi bagi anda yang sudah menyaksikan Avatar maka disarankan dengan sangat untuk menonton yang satu ini juga. Tujuannya hanya sebagai komparasi atau mungkin malah membuka cakrawala tersendiri mengenai konsep film animasi. Anda yang menentukan!
Penulis dan sutradara Tsirbas di luar dugaan malah mendobrak pakem film animasi belakangan ini yang kental dengan nuansa komedi. Ia bekerjasama dengan Evan Spiliotopoulos yang mengerjakan skenarionya untuk menghadirkan konsep drama konvensional yang dibalut dengan pesan-pesan moral yang kuat untuk berbagai lapisan umur.









Premis sains fiksi yang diusungnya dapat dikatakan diputar balik 360 derajat. Planet asing yang digambarkan indah dan kontras dengan efek 3D yang dibebatkannya, tipikal alien yang biasanya seram malah terlihat menggemaskan dan sangat bersahabat, kaum manusia yang umumnya menjadi pahlawan justru sebagai pihak penyerang disini. Kelemahannya bisa jadi dari segi keseimbangan teknologi dua pihak yang bertikai terasa jomplang tetapi diselesaikan begitu saja di akhir cerita.
Para pengisi suara melakukan tugasnya dengan baik sesuai dengan wajah animasinya yang juga kaya ekspresi. Saya mencermati karakter Jenderal Hemmer yang paling berhasil dengan kebengisan dan sikap otoriternya sedangkan Mala mewakili kelembutan dan keberanian seorang gadis. Nama-nama tenar akan anda temukan di dalamnya seperti Wilson, Quaid, Long, Cox, Rachel Wood, Evans, Cross, Trejo dan lain-lain.









Animasinya tergolong mumpuni sehingga anda benar-benar seperti berada di dalam planet Terra yang ajaib. Elemen 3D disini tidak akan memunculkan benda-benda ke hadapan anda tapi lebih memanfaatkan kedalaman obyek terhadap persepsi mata anda. Battle For Terra akan mengajarkan anda mengenai perjuangan hidup, keberanian mempertahankan apa yang anda yakini dan yang terpenting adalah perdamaian yang harus dijaga bangsa manapun juga di dunia untuk menghindari perpecahan.


Durasi:
80 menit

U.S. Box Office:
$1,647,083 till Sept 2009

Overall:
8 out of 10

Movie-meter:

Kamis, 21 April 2011

SUSTER KERAMAS 2 : Terjebak Di Rumah Sakit Penuh Misteri

Quotes:
(Menyelimuti mayat) Gak usah rapi-rapi amat lah.. Gak dinilai ini..

Storyline:
Tiga sohib masing-masing Jack, Tando dan Shelly memiliki hobi yang sama yaitu balap motor di jalan raya. Hingga pada suatu malam, Shelly mengalami kecelakaan yang cukup fatal. Jack dan Tando pun membawanya ke rumah sakit terdekat. Di lain kesempatan, Cakil yang mengantar seorang gadis Jepang mengalami cedera parah karena jari-jarinya terjepit pintu mobil. Kedua grup tersebut bertemu di rumah sakit saat menunggu dokter bertugas. Sayangnya tidak lama kemudian, berbagai kejadian supernatural menghantui mereka yang berujung pada satu konklusi yang tidak pernah terduga sebelumnya.

Nice-to-know:
Diproduksi oleh Maxima Pictures dan screening terbatas diadakan di fX Platinum XXI pada tanggal 19 April 2011.

Cast:
Ricky Harun sebagai Jack
Zidni Adam sebagai Tando
Marcell Darwin sebagai Cakil
Violenzia Jeanette sebagai Shelly
Sola Aoi
Eva Asmarani
Tasya Djerly Emor

Director:
Film pertama Findo Purwono HW di tahun 2011 ini setelah sebelumnya Love In Perth di penghujung 2010 lalu.

Comment:
Saat pertama menyaksikan trailernya, saya sungguh merasa miris dengan konten seperti apa yang kira-kira akan disajikan. Sebab aksi semua jenis hantu dan musik hingar-bingar mengisi preview selama kurang lebih satu menit tersebut, samasekali tidak ada kesan menyembunyikan daya tarik yang sesungguhnya. Untuk hal ini jelas memang urusan produser apapun alasannya.
Pertama saya ingatkan bahwa sekuel ini tidak ada hubungannya dengan Suster Keramas (2009) meskipun masih digawangi penulis yang sama yakni Abbe Ac. Plot ceritanya benar-benar baru dan entah disengaja atau tidak, justru terdapat beberapa kemiripan dengan film-film Thai/Hongkong seperti Phobia 2 ataupun The Eye. Tidak perlu saya sebutkan bagian mana karena anda mungkin bisa menebaknya sendiri jika rajin mengamati.
Comebacknya Marcell Darwin ternyata belum memberikan perubahan yang signifikan, bisa jadi karena ia harus “berbagi” Sola Aoi dengan Ricky Harun. Keduanya silih berganti berakting pintar-pintar bodoh termasuk berkali-kali mengarahkan mata ke belahan dada. Tidak heran karena setiap pria pasti akan melakukan hal serupa! Zidni Adam yang satu-satunya pernah mendukung prekuelnya justru kebagian bermain dengan suster-suster dan penjaga kamar mayat. Dan ia tampak cukup “menghayati” terlebih saat berpura-pura sebagai orang buta.
Saya cukup mengagumi keberanian aktris-aktris yang terlibat disini mempertontonkan tubuh mereka masing-masing. Rasanya di rumah sakit manapun tidak ada suster-suster yang demikian seronok dan nekad mencopot seragam mereka di WC kamar mandi. Imajinasi tersebut hanya terdapat disini. Di sisi lain, Sola Aoi tidaklah selugas Maria Ozawa dalam berekspresi lugu dan berdialog spontan. Saya heran adegan topless yang hanya ditutupi rambut panjangnya bisa lolos gunting sensor begitu saja. Hmm..
Usaha Abbe Ac untuk menyajikan sebuah twist ending “kreatif” itu patut diapresiasi. Namun memasuki pertengahan seharusnya tidak terlalu sulit diduga terlebih karena terdapat banyak kelemahan yang tidak dapat ditutupi. Sutradara Findo juga kurang mampu mengeksplorasi suasana rumah sakit yang sunyi dari unsur psikologisnya. Ia malah lebih percaya pada trik-trik lama yang sudah basi dan tidak inovatif.
Suster Keramas 2 merupakan panggung pertemuan manusia dengan segala jenis hantu dalam nuansa komedi dan horor sekaligus. Sebagian berhasil membuat ngeri/tertawa tapi justru lebih banyak gagalnya. Repetisi selama kurang lebih 80 menit yang melelahkan akhirnya ditutup dengan theme song yang menyayat perasaan dengan lirik dan musiknya. Semoga tidak ada episode ketiganya!!!

Durasi:
80 menit

Overall:
6 out of 10

Movie-meter:

Rabu, 20 April 2011

CREEK : Manusia Ilmu Hitam Jaman Hitler

Tagline:
Richard Wirth: The whole world will speak German in a matter of years.

Storyline:
Tahun 1936, keluarga Jerman bermarga Wollners hidup di pedalaman Morgan County, West Virginia dihubungi oleh Pihak Ketiga untuk menerima Professor Richard Wirth yang sedang mengembangkan proyek rahasia. 71 tahun kemudian, Evan Marshall diajak oleh kakaknya Victor yang sering menghilang secara misterius dekat perkemahan Town Creek untuk membalas dendam terhadap seseorang. Perjalanan ditempuh bersama dan saat bertemu keluarga Wollners, keberanian sekaligus nyawa mereka mungkin diuji oleh kekuatan hitam yang misterius.

Nice-to-know:
Henry Cavill menggantikan Jesse Metcalfe sekaligus Chris Klein yang sempat dikabarkan akan bergabung disini.

Cast:
Baru saja mendukung Stardust (2007), Henry Cavill bermain sebagai Evan Marshall
Satu-satunya film layar lebar yang pernah dibintanginya adalah Clubland (2007). Kali ini Emma Booth berperan sebagai Liese Wollner
Dominic Purcell sebagai Victor Alan Marshall
Michael Fassbender sebagai Richard Wirth
Shea Whigham sebagai Luke Benny

Director:
Sutradara papan atas Hollywood bernama Joel Schumacher ini terakhir menggarap The Number 23 (2007) yang sayangnya kurang sukses itu.

Comment:
Lagi-lagi sebuah propaganda jaringan bioskop nomor satu di negeri ini untuk menghadirkan film lawas dengan judul baru. Bermaksud menipu? Mungkin saja tidak sebab film yang satu ini nyatanya belum jelas apakah rilis internasional atau direct-to-dvd. Pihak Lionsgate lah yang akan memutuskan nanti dimana judulnya sendiri masih bisa berubah-ubah.
Mengambil setting waktu 1930an, prolog film ini terasa bias. Penonton disuguhi legenda batu bertulis dari jaman Viking, potongan video klip Adolf Hitler di jaman Nazi yang pada akhirnya mengarah pada sosok dukun gaib berumur abadi yang mampu membangkitkan yang mati mulai dari manusia hingga hewan. Sekitar 30-45 menit berlalu, saya tak kunjung bisa menebak arah film mau dibawa kemana.
Dari jajaran cast, permainan akting Cavill, Purcell, Fassbender, Booth dkk memang tidak mengecewakan terlebih dalam menjaga ketegangan yang merambat di setiap menit durasinya. Namun karakterisasi mereka memang kurang mendapat eksplorasi yang memadai. Seakan penulis David Kajganich tidak mau bersusah payah dan hanya memberikan dialog linier sesuai dengan scene masing-masing.







Tentunya kita semua percaya akan nama besar sutradara Schumacher yang pernah menghasilkan film-film berkualitas dari berbagai genre. Dan kali ini nampaknya ia bermain mix-genres dalam film yang bersemangatkan kelas B. Saya katakan demikian karena banyaknya adegan kekerasan dan kesadisan yang tidak butuh penjelasan serta dikonsep dengan bujet terbatas.
Terlepas dari inkonsistensi plot cerita, Creek menawarkan horor flick bergaya baru yang mengasyikkan bagi pecinta film genre ini. Tempo cepat yang diusungnya lumayan efektif dalam menambal banyaknya lubang yang menganga. Tontonlah tanpa ekspektasi apapun dan anda akan terhanyut dalam permainan vampire Jerman yang maut dan pikirkanlah cara untuk menghentikan titisan neraka ini. Menurut saya endingnya cukup provokatif. Bagaimana menurut anda?

Durasi:
90 menit

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:

Selasa, 19 April 2011

SI ANAK KAMPOENG : Perjalanan Masa Kecil Sang Guru Bangsa

Quotes:
Awak akan terus berjalan, sampai mimpi dapat tergapai dengan sendirinya..

Storyline:
Syafii Maarif terlahir dari keluarga Sumatera Barat yang masih menganut paham matriarkat. Sayangnya ibunya Fathiyah sudah meninggalkannya sejak kecil hingga ia tumbuh bersama ayahnya Ma’rifah yang terus membekalinya dengan ilmu pengetahuan. Kesulitan belajar mulai dirasakan Syafii hingga ia bertemu Onga Sanusi, seorang tokoh dan pengajar Muhammadiyah yang mulai membuka pikirannya. Syafii memutuskan untuk merantau suatu saat nanti hingga kelak menjadi Buya Syafii Maarif yang juga dikenal sebagai Guru Bangsa.

Nice to know:
Diproduksi oleh Maarif Production dan Damien Dematra Production dimana premierenya dilangsungkan di Epicentrum XXI pada tanggal 19 April 2011.

Cast:
Radhit Syam sebagai Syafii/Pi’i
Pong Hardjatmo sebagai Onga Sanusi
Lucky Moniaga sebagai Ma'rifah
Virda Anggraini sebagai Fathiyah
Ayu Azhari
Maya Ayu Permata Sari
Ingrid Widjanarko
Elmendy
Mohammad Firman
Ayu Gumay

Director:
Damien Dematra terakhir menggarap Obama Anak Menteng (2010).

Comment:
Jika di kuartal terakhir 2010 lalu ada Sang Pencerah maka di kuartal kedua 2011 ini ada Si Anak Kampoeng yang kebetulan sama-sama mengangkat tokoh cendekiawan Islam. Kali ini adalah Buya Syafii Maarif yang menghabiskan masa kecilnya di Desa Calau, sebuah kampung terpencil di Minangkabau. Jangan coba membandingkan sebab karya tiap orang tentunya bercitarasa berbeda.
Bagi pengarang Damien Dematra seharusnya tidak terlalu sulit menerjemahkan tulisannya sendiri ke dalam format film. Begitu banyak peran yang dilakoninya dalam film ini termasuk penggarapan musik dan lirik nya yang sangat bernuansakan Sumatera Barat tersebut. Dan saya mengagumi apa yang dilakukannya dalam ini terlepas dari berbagai kekurangan di beberapa departemen.








Saat prolog bergulir sampai dengan setengah durasi film, saya tidak menemukan esensi apapun dari penyajian scene demi scene yang mengetengahkan profil Syafii di usia 3 tahun dan kemudian melompat ke umur 7 tahun. Damien tidak mampu memanfaatkan start awal untuk mengajak penonton bersinergi dengan sebuah film biografi yang sedang mereka saksikan.
Sedangkan paruh kedua film hingga penutupan, pembahasan konflik yang terjadi mengalami perbaikan dimana relasi Syafii dengan gurunya, ayahnya, sahabatnya, saudaranya mulai meruncing. Namun lagi-lagi Damien mencampur adukkan perasaan penonton tanpa maksud yang jelas dengan adegan sukacita dan dukacita yang silih berganti dihadirkan.
Radhit Syam bermain cukup maksimal sebagai Syafii kecil terutama saat berpidato di depan publik yang dilakukannya lumayan inspiratif. Sedikit fakta yang mengganggu adalah usia Radhit yang sesungguhnya terlihat jauh di atas tokoh Syafii kecil. Aktor kawakan Pong berakting agak di bawah kinerja terbaiknya meski karakter Onga Sanusi di tangannya masih terlihat arif dan berwibawa. Sayangnya Inggrid dan Ayu hanya kebagian 2 scene saja padahal kontribusi mereka seharusnya bisa lebih tinggi lagi.








Kebetulan sekali saya menyaksikan film ini bersama sahabat yang juga berasal dari Sumatera Barat sehingga banyak menemukan kesalahan referensi yang cukup fatal. Paling mendasar adalah penggunaan bahasa yang tidak seharusnya dan pemakaian beberapa properti syuting yang tidak semestinya ada dalam setting daerah sekitar. Rentang waktu yang dihadirkan di era 1930-1940an juga masih terasa kurang meyakinkan karena tidak dilengkapi dengan faktor-faktor pendukung.
Si Anak Kampoeng bukanlah karya di atas rata-rata seperti yang banyak diharapkan banyak orang. Emosi turun naik dan pengeksekusian yang cenderung flat tanpa gejolak menjadi kelemahan utamanya sehingga gagal menuntun audiens untuk berempati pada jalinan kisahnya. Meski demikian saya menghargai usaha Damien yang tampaknya sudah berupaya maksimal untuk menyajikan kisah Syafii kecil ini dengan sefaktual mungkin. Mudah-mudahan saja jika dilanjutkan sekuelnya akan ada perencanaan yang lebih matang lagi.

Durasi:
110 menit

Overall:
6.5 out of 10

Movie-meter: