Quotes:
Meimei: Teman datang dan pergi tetapi teman-teman sejati selalu di hati
Storyline:
Delapan tahun berlalu, kini Sakti, Meimei, Andien nyaris menginjak usia 40 tahun. Sakti telah berpisah dengan Nino dimana keduanya sudah memiliki hubungan yang baru masing-masing dengan om Gerry dan brondong glamor Octa. Andien yang ditinggal mati suaminya serta Meimei yang bercerai mulai menyibukkan diri dengan kegiatan ibu-ibu sosialita Jakarta, di antaranya ada dokter Joy dengan asisten keuangannya Ara serta kritikus Yayuk Asmara. Belum lagi Lita yang terus membayangi kehidupan Sakti dan Nino sambil menekuni profesi pengacara hukum. Perkenalan Meimei dengan healer Tom dan bartender Moli mulai memberikan perspektif baru dalam hidupnya terutama rahasia besar yang disimpannya rapat-rapat. Bagaimana mereka mengartikan makna persahabatan panjang yang telah dilalui bertahun-tahun pada akhirnya?
Nice-to-know:
Diproduksi oleh Kalyana Shira Films, Mra Media Group, Ezy Productions dan Add Word Productions, gala premierenya diselenggarakan secara megah di Plaza Senayan XXI pada tanggal 24 November 2011.
Cast:
Tora Sudiro sebagai Sakti
Cut Mini sebagai Meimei
Rachel Maryam sebagai Lita
Aida Nurmala sebagai Andien
Surya Saputra sebagai Nino
Pong Harjatmo sebagai Gerry
Rio Dewanto sebagai Octa
Sarah Sechan sebagai Joy
Atiqah Hasiholan sebagai Ara
Adinia Wirasti sebagai Moli
Edward Gunawan sebagai Tom
Ria Irawan sebagai Yayuk Asmara
Director:
Merupakan feature film keempat bagi Nia Dinata yang lebih banyak bertindak sebagai produser dalam film-film produksi Kalyana Shira Films.
Comment:
Delapan tahun lalu ada sebuah film drama komedi metropolitan yang menghentak dunia perfilman nasional karena mengangkat tema yang cukup “berani”. Adalah Nia Dinata, wanita di balik layar Arisan! (2003) yang mencapai kesuksesan fenomenal itu baik dari raihan jumlah penonton ataupun gaung yang masih sering dibicarakan hingga detik ini (kita bisa pinjam istilah cult untuk penggambarannya). Tepat pada bulan Mei 2011 yang lalu, Kalyana Shira Films sepakat merilis 1000 keping DVD original dalam kemasan yang baru untuk menjawab permintaan pasar yang masih cukup tinggi.
Keputusan tersebut sangat tepat untuk menjadi koleksi penonton lama sekaligus pemanasan penonton baru. Sebab Teh Nia samasekali tidak berbasa-basi untuk memulai sekuelnya ini karena penonton dianggap sudah mengerti akan karakter-karakternya. Meimei, Sakti, Lita, Andien, Nino pun tanpa tedeng aling langsung melanjutkan fase hidup mereka di akhir usia 30an menjelang 40an dimana problematika penuaan,eksistensi, rumah tangga, keturunan dsb mulai menghinggapi mereka.
Sakti & Nino
Tora dan Surya masih “asyik” melebur dalam peran pasangan gay yang memilih jalannya masing-masing setelah sekian lama berkomitmen. Di antara keduanya hadirlah Rio Dewanto dan Pong Harjatmo yang di luar dugaan tampil menggigit. Rio sebagai brondong “super” memang annoying dengan kelakuan sok selebnya sedangkan Pong sebagai sugar daddy sangat diskrit menjaga keutuhan rumah tangganya dengan berbagai pengaturan disana-sini.
Meimei
Kegelisahan Cut Mini di sepanjang film tertangkap kamera dengan baik lewat ekspresi dan bahasa tubuhnya. Kemunculan Edward dan Adinia sedikit banyak mengalihkan perhatiannya. Saya suka interaksi ketiga tokoh ini satu sama lain, permainan fokus kamera yang kerapkali menyorot anggota tubuh tertentu terasa amat personal plus penggunaan bahasa gambar yang ambigu membuat penonton berimajinasi sendiri. Konklusinya pun diserahkan pada pemahaman masing-masing. Dewasa!
Lita & Andien
Aida dan Rachel meneruskan mulut tajam mereka dari Arisan! Sebelumnya. Rachel terlihat lebih matang dengan kesibukan sebagai single parent tak jarang mengurusi abangnya juga. Celotehan-celotehannya dalam bahasa Batak masih mampu mengundang tawa. Aida secara gamblang menjiwai peran wanita yang takut gejala penuaan, hingga membuat karakter-karakter “ramai” yang dimainkan Sarah, Ria, Atiqah bisa masuk secara wajar dalam kehidupan sosialita mereka.
Tiga segmentasi tersebut dicampur adukkan oleh Teh Nia ke dalam drama ensemble dengan banyak babak yang masing-masing memberikan nuansa berbeda. Panorama dari berbagai lokasi syuting juga menguatkan kesan tersebut, mulai dari Jakarta, Magelang (Candi Borobudur) hingga Lombok (Gili Trawangan). Sayangnya ketidak konsistensian jarak pandang yang diambil terkadang mengganggu sinematografi film secara keseluruhan. Belum lagi penempatan scoring music ataupun tembang yang tidak sedinamis prekuelnya.
Konflik-konflik rumit yang melanda setiap tokohnya dalam durasi yang lumayan panjang tiba-tiba diselesaikan begitu saja di menit-menit akhir ending yang agak terkesan antiklimaks. Tidak ada proses yang cukup matang bagi penonton untuk bisa menelusuri jiwa-jiwa galau mereka secara emosional kecuali segmen Meimei yang memang mendapat sorotan lebih. Semudah membalikkan telapak tangan, kesemua karakternya pada akhirnya ditempatkan pada posisi yang happy ending. That’s it!
Jika harus membandingkan; Arisan! (2003) menurut saya adalah film yang smart, simple, witty and fun to watch. Sedangkan Arisan! 2 (2011) ini lebih mencerminkan sisi glam, mature, complex and spiritual. Kedua episode memiliki kelebihan dan kekurangan yang saling melengkapi. Namun ternyata ada yang jauh lebih penting dari sekadar “eksis” di dunia nyata (party, holiday) dan dunia maya (Twitter, Facebook) bagi kaum hedon metropolitan tersebut yaitu persahabatan jangka panjang melewati suka dan duka. Itulah yang ingin digarisbawahi oleh Teh Nia lewat sajian dialog berbobot nan menohok.
Durasi:
119 menit
Overall:
8 out of 10
Movie-meter:
XL #PerempuanHebat for Kartini Day
THE RING(S) : A short movie specially made for Valentine's Day
Rabu, 30 November 2011
Selasa, 29 November 2011
BRUC, THE MANHUNT : Perburuan Hidup Mati Penabuh Gendang Perancis
Storyline:
Berkisah mengenai tokoh legendaris Spanyol bernama Bruc, seorang pemuda yang gebukan drumnya berhasil menundukkan ratusan tentara Napoleon selama Perang Kemerdekaan Spanyol di tahun 1808. Napoleon kemudian menugaskan pembunuh berbahaya Maravel dan antek-anteknya untuk memburu Bruc atas bertanggungjawab termasuk dengan menculik Gloria, gadis yang dicintainya.
Nice-to-know:
Film yang berjudul asli Bruc. La llegenda ini rilis di negara asalnya, Spanyol pada tanggal 22 Desember 2010 yang lalu.
Cast:
Juan José Ballesta sebagai Bruc
Vincent Perez sebagai Maraval
Astrid Bergès-Frisbey sebagai Gloria
Santi Millán sebagai De la Mata
Nicolas Giraud sebagai Nouaille
Director:
Daniel Benmayor sebelumnya menggarap Paintball (2009).
Comment:
Skrip yang ditulis oleh Jordi Gasull dan Patxi Amezcua ini berusaha keras menampilkan epik kepahlawanan seorang Bruc. Harus diakui Juan José berakting cukup apik sebagai pemuda lugu yang harus menyaksikan keluarganya dibunuh atau menyebabkan wanita yang dicintainya berada dalam bahaya. Luapan emosi yang terpendam berhasil ditumpahkan lewat perjuangan berani mati satu lawan sekian dengan mengandalkan perhitungan dan kecerdasannya. Namun kalah cemerlang dari penjiwaan Perez sebagai antagonis yang menyuguhkan kebengisan ala manusia.
Sutradara Benmayor menyuguhkan visualisasi yang cukup indah lewat latar belakang lanskap pegunungan Spanyol yang berbatu-batu, hutan yang berlika-liku serta gua tak berujung itu. Permainan orkestra dari Xavier Capellas yang dibekali dengan berbagai instrumen musik itu berhasil menciptakan atmosfer tersendiri di sela-sela perburuan ala kucing tikus tersebut yang tak jarang berujung pada adegan gory yang diharapkan dari film bergenre sejenis.
Bujet rendah merupakan isu tersendiri disini. Tidak heran jika spesial efek yang diharapkan terasa kurang maksimal. Contoh paling nyata adalah saat Bruc menabuh drum untuk membuat longsoran batu berjatuhan menimpa para tentara Napoleon tersebut seakan dilakukan oleh kamera yang digoyang-goyang sedemikian rupa saja. Setidaknya itu yang terlintas dalam kepala saya. Selebihnya memang tidak terlalu kentara palsunya.
Kejar-kejaran yang terjadi antara Bruc dan Maraval di sepanjang film memang terkesan melelahkan karena berdurasi satu setengah jam tanpa kedalaman cerita ataupun kekuatan karakterisasinya sama sekali. Ketegangan yang berusaha dibangun pun masih di bawah standar yang diinginkan sehingga penonton bisa jadi sulit bertahan di kursinya. Bruc, The Manhunt sebetulnya memiliki potensi untuk lebih realistis dan inspiratif tetapi pada akhirnya serba datar dan membosankan.
Durasi:
95 menit
Overall:
6 out of 10
Movie-meter:
Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
Senin, 28 November 2011
DESI BOYZ : Dua Sahabat Samaran Penari Pria
Storyline:
Nick dan Jerry sudah bersahabat lama selama belasan tahun. Keduanya tinggal di London tetapi memiliki nasib yang berbeda. Nick adalah broker sukses sedangkan Jerry adalah pengangguran setelah pekerjaannya sebagai security mall berakhir tragis. Krisis ekonomi melanda Eropa, Nick dipecat dan kebingungan berterus terang pada kekasihnya Radhika yang glamour itu. Akhirnya Nick sepakat mengikuti jejak Jerry menjadi penari striptis pria di klub Desi Boyz milik Mr. Smith. Reputasi keduanya menanjak tajam tapi apakah mereka dapat melarikan diri dari kenyataan dunia yang sebenarnya?
Nice-to-know:
Film yang diproduksi oleh Desi Boyz Productions dan Eros Entertainment ini dirilis di India pada tanggal 25 November 2011 yaitu terpaut sehari dari jadwal Blitzmegaplex.
Cast:
John Abraham sebagai Nick Mathur / Hunter
Akshay Kumar sebagai Jerry Patel / Rocco
Deepika Padukone sebagai Radhika Awasthi
Chitrangda Singh sebagai Tanya
Peter Brown sebagai Mr. Smith
Anupam Kher sebagai Suresh
Director:
Merupakan debut penyutradaraan Rohit Dhawan yang sebelumnya hanya menjadi asisten sutradara.
Comment:
Siapa yang masih mengingat The Full Monty (1997) dimana Robert Carlyle dan Tom Wilkinson terpaksa “mencari uang” dengan menjadi penari striptis pria? Premis film India yang satu ini kurang lebih mirip apalagi lokasi syutingnya sama yaitu London, UK. Rohit Dhawan yang juga mengerjakan skripnya dibantu oleh Renuka Kunzru dan Milap Zaveri mengetengahkan persahabatan jangka panjang dua orang pria dalam mengarungi hidupnya masing-masing.
Akshay memiliki basis karakter yang cukup kuat disini. Jerry adalah mahasiswa dropout yang seumur hidupnya seakan ditakdirkan menjadi pecundang. Sulit mendapat pekerjaan hingga harus menjadi tanggungan sahabatnya sendiri. Satu-satunya yang dapat ia banggakan adalah menjadi ayah angkat dari Veer. Menarik melihat Akshay menjiwai peranannya dengan penuh warna disini, ia seakan tahu kapan harus tampil fun, kapan harus serius sesuai ritme karakterisasinya.
John tampil sebagaimana peran biasanya. Nick adalah penasihat keuangan yang sukses sebelum kehilangan segala-galanya karena krisis ekonomi termasuk kekasihnya Radhika yang high maintenance itu. Bertekad membantu sahabatnya hingga terjerumus melakukan kesalahan fatal, Nick mesti memenangkan hati Radhika kembali sambil berpikir apakah gadis tersebut memang jodoh sejatinya. Seperti biasa, John amat mengandalkan otot-ototnya untuk memperkuat screen presencenya. Hmm..
Sutradara Rohit tampaknya masih terbebani dengan kapasitas film pertamanya ini. Banyak sekali potensi konflik drama yang tidak terbangun secara maksimal, terlebih adegan pengadilan di akhir cerita yang terkesan sebagai tambahan belaka. Adegan panggung musikal khas India berkali-kali juga terasa putus sambung dengan narasi yang sedang berjalan walaupun original score milik Pritam Chakraborty ini masih mampu menghentak dengan ilustrasi musik ala Pitbull.
Desi Boyz mungkin tidak sesuai dengan harapan anda. Poster gemerlap dan premis yang tampak menjanjikan “atraksi panas” duet Akshay-John nyatanya tidak terjadi secara frekuentif, bahkan hanya beberapa menit saja melalui short clip tembang catchy, Make Some Noise For The Desi Boyz dari K.K & Bob itu. Alih-alih tampil fun mengocok perut yang sempat tercetus di paruh pertamanya, komedi yang satu ini berakhir sibuk menyuguhkan drama klise mengenai kehidupan saat kedua tokoh utamanya memutuskan memilih jalan masing-masing. Over-qualified or under-qualified? You decide!
Durasi:
120 menit
Overall:
7 out of 10
Movie-meter:
Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
Minggu, 27 November 2011
SECTOR 7 : Misi Pengeboran Minyak Berujung Malapetaka
Tagline:
Something awaits 8,000 feet under the sea off the southern tip of Jeju Island.
Storyline:
Kapten Jeong-man dikirim untuk mengevakuasi anggota kru Sector 7. Namun saat Hae-jun bersikeras bahwa mereka akan menemukan sumber minyak, proses menjadi ditunda setelah satu usaha terakhir. Sayangnya ketika badai melanda, komunikasi dengan kantor pusat menjadi terputus. Belum lagi dikejutkan dengan tewasnya ilmuwan Kim secara misterius. Para kru mulai mencurigai adanya makhluk buas yang mengincar nyawa mereka. Apa yang sesungguhnya terjadi di sana? Bagaimana bertahan hidup dari serangan maut bertubi-tubi di tengah-tengah lautan luas?
Nice-to-know:
Film yang berjudul asli Chilgwanggu ini sudah beredar di negara asalnya pada tanggal 4 Agustus 2011 yang lalu.
Cast:
Ha Ji-won sebagai Cha / Hae-jun
Ahn Sung-kee sebagai Jeong Man
Oh Ji-ho sebagai Kim / Dong-soo
Cha Ae-ryeon sebagai Scientist Kim
Lee Han-wi sebagai Medic
Park Cheol-min
Song Sae-byeok
Director:
Merupakan film ketiga Kim Ji Hun yang diawali lewat Mokpo the Harbor (2004).
Comment:
Korea adalah salah satu pelopor genre sains fiksi dalam industri perfilman Asia. Salah satunya adalah The Host (2006) yang hingga saat ini masih mencatatkan diri sebagai film lokal berpendapatan tertinggi di negeri ginseng tersebut di samping Avatar (2009) sebagai film non-lokalnya. Harus diakui kinerja CGI mereka tergolong maju dan mulai mengejar Hollywood, jangan bandingkan dengan Indonesia yang mencoba saja belum berani.
Yun Je-Gyun yang pernah menggarap naskah berbagai genre sebelumnya kali ini mengambil pendekatan dasar thriller sains fiksi yaitu permainan kucing tikus antara monster dan manusia. Sah-sah saja untuk membangun ketegangan yang diinginkan tetapi penonton tentunya juga masih peduli dengan drama yang melatarbelakanginya. Satu hal krusial yang gagal dijelaskan Yun adalah mengapa sang monster demikian ngotot memangsa manusia dengan tentakel-tentakelnya?
Harus diakui Ha Ji-won memang tampil keren di film ini. Superioritas “manusia biasa”nya bahkan melebihi heroine. Lihat bagaimana ia berlari tunggang langgang atau bermanuver mengendarai motor di atas geladak berlumurkan minyak. Saya sampai berpikir, “Kok staminanya gak habis-habis ya? Luar biasa!” Namun sayangnya tidak ada eksplorasi karakter Hae-jun yang mengembalikannya ke bumi terutama soal hubungan cintanya dengan Dong-soo yang seakan tanpa proses itu.
Aktor senior Ahn Sung-kee masih memperlihatkan akting yang mumpuni terlebih karakter Jeong Man merupakan salah satu kunci disini tapi sayangnya flashback yang menjelaskan semua itu terasa datar saja. Cha Ae-ryeon dan Oh Ji-ho juga malah terkesan numpang lewat saja. Padahal tokoh-tokoh dalam film ini tidak terlalu banyak dan seharusnya bisa mendapat porsi yang lebih memadai untuk ditelaah masing-masing daripada menyuguhkan dialog-dialog singkat kurang bermakna.
Sutradara Kim semestinya memanfaatkan modal awal yang bagus yaitu Sector 7 itu sendiri yang terlihat terasing dan terapung sendirian di tengah lautan. Suatu production value yang amat berharga sebagai sebuah setting film, tinggal bagaimana mengolahnya ke dalam sebuah tontonan spektakuler. Efek 3D dan IMAX nya tidak terlalu menjual, jauh lebih menarik adalah visualisasi sang monster itu sendiri meskipun saya merasakan perbedaan ukurannya ketika scene indoor dan outdoornya.
Jika anda berniat menyaksikan Sector 7 sebaiknya buang jauh-jauh ekspektasi tinggi. Nikmati saja sajian menit per menit tanpa berpikir terlalu ilmiah sambil bersorak mengikuti perjalanan karakter simpatisan anda yang syukur-syukur selamat hingga akhir. Endingnya bisa jadi mengerutkan kening audiens karena banyaknya aksi tanpa alasan serta terlalu berusaha mengulang pencapaian Sigourney Weaver dalam Alien (1978). Well, CJ Entertainment sepertinya lupa bahwa sekarang sudah memasuki tahun 2011. Let the classic alone!
Durasi:
104 menit
Overall:
7 out of 10
Movie-meter:
Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
Something awaits 8,000 feet under the sea off the southern tip of Jeju Island.
Storyline:
Kapten Jeong-man dikirim untuk mengevakuasi anggota kru Sector 7. Namun saat Hae-jun bersikeras bahwa mereka akan menemukan sumber minyak, proses menjadi ditunda setelah satu usaha terakhir. Sayangnya ketika badai melanda, komunikasi dengan kantor pusat menjadi terputus. Belum lagi dikejutkan dengan tewasnya ilmuwan Kim secara misterius. Para kru mulai mencurigai adanya makhluk buas yang mengincar nyawa mereka. Apa yang sesungguhnya terjadi di sana? Bagaimana bertahan hidup dari serangan maut bertubi-tubi di tengah-tengah lautan luas?
Nice-to-know:
Film yang berjudul asli Chilgwanggu ini sudah beredar di negara asalnya pada tanggal 4 Agustus 2011 yang lalu.
Cast:
Ha Ji-won sebagai Cha / Hae-jun
Ahn Sung-kee sebagai Jeong Man
Oh Ji-ho sebagai Kim / Dong-soo
Cha Ae-ryeon sebagai Scientist Kim
Lee Han-wi sebagai Medic
Park Cheol-min
Song Sae-byeok
Director:
Merupakan film ketiga Kim Ji Hun yang diawali lewat Mokpo the Harbor (2004).
Comment:
Korea adalah salah satu pelopor genre sains fiksi dalam industri perfilman Asia. Salah satunya adalah The Host (2006) yang hingga saat ini masih mencatatkan diri sebagai film lokal berpendapatan tertinggi di negeri ginseng tersebut di samping Avatar (2009) sebagai film non-lokalnya. Harus diakui kinerja CGI mereka tergolong maju dan mulai mengejar Hollywood, jangan bandingkan dengan Indonesia yang mencoba saja belum berani.
Yun Je-Gyun yang pernah menggarap naskah berbagai genre sebelumnya kali ini mengambil pendekatan dasar thriller sains fiksi yaitu permainan kucing tikus antara monster dan manusia. Sah-sah saja untuk membangun ketegangan yang diinginkan tetapi penonton tentunya juga masih peduli dengan drama yang melatarbelakanginya. Satu hal krusial yang gagal dijelaskan Yun adalah mengapa sang monster demikian ngotot memangsa manusia dengan tentakel-tentakelnya?
Harus diakui Ha Ji-won memang tampil keren di film ini. Superioritas “manusia biasa”nya bahkan melebihi heroine. Lihat bagaimana ia berlari tunggang langgang atau bermanuver mengendarai motor di atas geladak berlumurkan minyak. Saya sampai berpikir, “Kok staminanya gak habis-habis ya? Luar biasa!” Namun sayangnya tidak ada eksplorasi karakter Hae-jun yang mengembalikannya ke bumi terutama soal hubungan cintanya dengan Dong-soo yang seakan tanpa proses itu.
Aktor senior Ahn Sung-kee masih memperlihatkan akting yang mumpuni terlebih karakter Jeong Man merupakan salah satu kunci disini tapi sayangnya flashback yang menjelaskan semua itu terasa datar saja. Cha Ae-ryeon dan Oh Ji-ho juga malah terkesan numpang lewat saja. Padahal tokoh-tokoh dalam film ini tidak terlalu banyak dan seharusnya bisa mendapat porsi yang lebih memadai untuk ditelaah masing-masing daripada menyuguhkan dialog-dialog singkat kurang bermakna.
Sutradara Kim semestinya memanfaatkan modal awal yang bagus yaitu Sector 7 itu sendiri yang terlihat terasing dan terapung sendirian di tengah lautan. Suatu production value yang amat berharga sebagai sebuah setting film, tinggal bagaimana mengolahnya ke dalam sebuah tontonan spektakuler. Efek 3D dan IMAX nya tidak terlalu menjual, jauh lebih menarik adalah visualisasi sang monster itu sendiri meskipun saya merasakan perbedaan ukurannya ketika scene indoor dan outdoornya.
Jika anda berniat menyaksikan Sector 7 sebaiknya buang jauh-jauh ekspektasi tinggi. Nikmati saja sajian menit per menit tanpa berpikir terlalu ilmiah sambil bersorak mengikuti perjalanan karakter simpatisan anda yang syukur-syukur selamat hingga akhir. Endingnya bisa jadi mengerutkan kening audiens karena banyaknya aksi tanpa alasan serta terlalu berusaha mengulang pencapaian Sigourney Weaver dalam Alien (1978). Well, CJ Entertainment sepertinya lupa bahwa sekarang sudah memasuki tahun 2011. Let the classic alone!
Durasi:
104 menit
Overall:
7 out of 10
Movie-meter:
Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
Sabtu, 26 November 2011
PUSS IN BOOTS : Kiprah Kucing Petualang Legenda Kacang Ajaib
Unexpected cool in Latino style. Zorro-alike transforms into cutie fierce cat with its own natural instincts. Fun meows!
Quotes:
Jill: [dangles Puss over a canyon] Is it true a cat always lands on its feet?
Puss in Boots: No! That is just a rumour, spread by dogs!
Storyline:
Puss adalah seekor kucing yatim piatu yang dibesarkan di sebuah panti asuhan bersama si kepala telur bernama Humpty Dumpty. Oleh karena suatu insiden, keduanya yang bersahabat erat harus terpisah. Beberapa tahun kemudian, Puss yang dikenal sebagai kucing bersepatu boot jago pedang ini diajak Kitty Softpaws bertemu kembali dengan Humpty yangmenawarkannya kerjasama melacak jejak kacang ajaib milik duet penjahat Jack dan Jill. Benarkah legenda istana awan dan angsa bertelur emas yang menjadi ambisi Humpty sejak kecil itu benar-benar ada?
Nice-to-know:
Film yang awalnya direncanakan Dreamworks untuk rilis langsung dalam format DVD ini menandakan reuni ke-5 Antonio Banderas dan Salma Hayek.
Voice:
Baru saja menyelesaikan Spy Kids: All the Time in the World in 4D tanpa mencantumkan namanya dalam credit title, Antonio Banderas melanjutkan penyulihan karakter Puss in Boots
Merupakan pemanasan sebelum bermain dalam The Muppets, Zach Galifianakis mengisi suara Humpty Dumpty
Salma Hayek sebagai Kitty Softpaws
Billy Bob Thornton sebagai Jack
Amy Sedaris sebagai Jill
Guillermo del Toro sebagai Komandan / Moustache Man
Director:
Film animasi kedua bagi Chris Miller setelah Shrek The Third (2007).
Comment:
Paska kesuksesan luar biasa franchise Shrek yang telah menelurkan empat film itu dalam jangka waktu satu dekade, Dreamworks Studio memang berupaya keras menciptakan film animasi baru yang setidaknya diyakini dapat dijual di pasaran internasional. Maka muncullah ide untuk membuat spin-off nya yaitu Puss In Boots, tokoh kucing bersepatu boot ahli pedang yang mulai mencuri perhatian sejak Shrek 2 (2004) tersebut.
Karakter yang diciptakan Charles Perrault itu kemudian dikembangkan dalam kisahnya sendiri yang skripnya dikerjakan keroyokan oleh Will Davies, Brian Lynch, David H. Steinberg, Tom Wheeler dan Jon Zack. Plotnya sendiri berkisah mengenai jati diri Puss mulai dari asal usulnya hingga interaksinya dengan tokoh-tokoh yang mempengaruhi jalan hidupnya itu, ditambah dengan penggabungan dongeng legendaris kacang ajaib sampai angsa bertelur emas.
Antonio Banderas masih terpilih melanjutkan Puss dalam aksen Latin yang kental. Karakter Zorro jelas menjadi panutan Puss mulai dari kostum, kelakuan sampai bahasa tubuhnya dan bukan kebetulan Banderas pernah memerankannya beberapa kali dalam live action movie sebelumnya. Selain jago pedang, Puss juga memiliki kemampuan berdansa yang sama baiknya. Tanpa lupa menyebut hipnotis pandangan mata memelasnya yang meluluhkan hati siapapun yang melihatnya.
Zach Galifianakis seperti biasa “juara” dalam menjiwai karakter yang berdiri di antara dua sisi yaitu simpatik sekaligus menyebalkan. Itulah sebabnya Humpty Dumpty amat mencuri perhatian dengan rollercoaster nasibnya yang bisa membuat penonton bingung apakah harus berpihak padanya atau tidak. Salma Hayek memberikan kontribusi tersendiri dengan suara seksinya dalam wujud si cantik Kitty yang bercakar lembut dan panjang akal itu.
Sutradara Miller sangat bergantung pada imej berskala besar. Itulah sebabnya banyak adegan close-up yang menampilkan para karakternya secara detil. Tak jarang, kamera bergerak dinamis memotong layar dalam beberapa bagian sebelum dipersatukan lagi untuk mempermainkan sudut pandang penonton. Efek 3D nya juga cukup menjual dimana syut panjang khusus aksi seru seakan membawa mata audiens ikut “terbang” mengikutinya. Penempatan scoring musik ala salsa dari Henry Jackman juga menjadi nilai tambah spesial mengiringi setiap scene yang disuguhkan.
Puss In Boots tetap setia menampilkan insting alami seekor kucing sebagai humor pintar disana-sini yang mudah sekali memancing tawa dalam komedi situasi, sebut saja mengejar cahaya, meminum susu plus mengeong dalam berbagai ekspresi spontan nan menggemaskan. Terlepas dari gabungan ide orisinil yang menawarkan sedikit kejutan, aksi Puss sebagai petarung dan pecinta ulung tidak boleh dilewatkan begitu saja. Cocok untuk anak-anak dan dewasa sekalipun dimana pesan moral mengenai pengampunan dan kesetiakawanan juga dibebatkan secara pas. Ready for Mexican “aristocat” MEOW, anyone?
Durasi:
90 menit
U.S. Box Office:
$122,391,873 till mid Nov 2011
Overall:
7.5 out of 10
Movie-meter:
Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
Quotes:
Jill: [dangles Puss over a canyon] Is it true a cat always lands on its feet?
Puss in Boots: No! That is just a rumour, spread by dogs!
Storyline:
Puss adalah seekor kucing yatim piatu yang dibesarkan di sebuah panti asuhan bersama si kepala telur bernama Humpty Dumpty. Oleh karena suatu insiden, keduanya yang bersahabat erat harus terpisah. Beberapa tahun kemudian, Puss yang dikenal sebagai kucing bersepatu boot jago pedang ini diajak Kitty Softpaws bertemu kembali dengan Humpty yangmenawarkannya kerjasama melacak jejak kacang ajaib milik duet penjahat Jack dan Jill. Benarkah legenda istana awan dan angsa bertelur emas yang menjadi ambisi Humpty sejak kecil itu benar-benar ada?
Nice-to-know:
Film yang awalnya direncanakan Dreamworks untuk rilis langsung dalam format DVD ini menandakan reuni ke-5 Antonio Banderas dan Salma Hayek.
Voice:
Baru saja menyelesaikan Spy Kids: All the Time in the World in 4D tanpa mencantumkan namanya dalam credit title, Antonio Banderas melanjutkan penyulihan karakter Puss in Boots
Merupakan pemanasan sebelum bermain dalam The Muppets, Zach Galifianakis mengisi suara Humpty Dumpty
Salma Hayek sebagai Kitty Softpaws
Billy Bob Thornton sebagai Jack
Amy Sedaris sebagai Jill
Guillermo del Toro sebagai Komandan / Moustache Man
Director:
Film animasi kedua bagi Chris Miller setelah Shrek The Third (2007).
Comment:
Paska kesuksesan luar biasa franchise Shrek yang telah menelurkan empat film itu dalam jangka waktu satu dekade, Dreamworks Studio memang berupaya keras menciptakan film animasi baru yang setidaknya diyakini dapat dijual di pasaran internasional. Maka muncullah ide untuk membuat spin-off nya yaitu Puss In Boots, tokoh kucing bersepatu boot ahli pedang yang mulai mencuri perhatian sejak Shrek 2 (2004) tersebut.
Karakter yang diciptakan Charles Perrault itu kemudian dikembangkan dalam kisahnya sendiri yang skripnya dikerjakan keroyokan oleh Will Davies, Brian Lynch, David H. Steinberg, Tom Wheeler dan Jon Zack. Plotnya sendiri berkisah mengenai jati diri Puss mulai dari asal usulnya hingga interaksinya dengan tokoh-tokoh yang mempengaruhi jalan hidupnya itu, ditambah dengan penggabungan dongeng legendaris kacang ajaib sampai angsa bertelur emas.
Antonio Banderas masih terpilih melanjutkan Puss dalam aksen Latin yang kental. Karakter Zorro jelas menjadi panutan Puss mulai dari kostum, kelakuan sampai bahasa tubuhnya dan bukan kebetulan Banderas pernah memerankannya beberapa kali dalam live action movie sebelumnya. Selain jago pedang, Puss juga memiliki kemampuan berdansa yang sama baiknya. Tanpa lupa menyebut hipnotis pandangan mata memelasnya yang meluluhkan hati siapapun yang melihatnya.
Zach Galifianakis seperti biasa “juara” dalam menjiwai karakter yang berdiri di antara dua sisi yaitu simpatik sekaligus menyebalkan. Itulah sebabnya Humpty Dumpty amat mencuri perhatian dengan rollercoaster nasibnya yang bisa membuat penonton bingung apakah harus berpihak padanya atau tidak. Salma Hayek memberikan kontribusi tersendiri dengan suara seksinya dalam wujud si cantik Kitty yang bercakar lembut dan panjang akal itu.
Sutradara Miller sangat bergantung pada imej berskala besar. Itulah sebabnya banyak adegan close-up yang menampilkan para karakternya secara detil. Tak jarang, kamera bergerak dinamis memotong layar dalam beberapa bagian sebelum dipersatukan lagi untuk mempermainkan sudut pandang penonton. Efek 3D nya juga cukup menjual dimana syut panjang khusus aksi seru seakan membawa mata audiens ikut “terbang” mengikutinya. Penempatan scoring musik ala salsa dari Henry Jackman juga menjadi nilai tambah spesial mengiringi setiap scene yang disuguhkan.
Puss In Boots tetap setia menampilkan insting alami seekor kucing sebagai humor pintar disana-sini yang mudah sekali memancing tawa dalam komedi situasi, sebut saja mengejar cahaya, meminum susu plus mengeong dalam berbagai ekspresi spontan nan menggemaskan. Terlepas dari gabungan ide orisinil yang menawarkan sedikit kejutan, aksi Puss sebagai petarung dan pecinta ulung tidak boleh dilewatkan begitu saja. Cocok untuk anak-anak dan dewasa sekalipun dimana pesan moral mengenai pengampunan dan kesetiakawanan juga dibebatkan secara pas. Ready for Mexican “aristocat” MEOW, anyone?
Durasi:
90 menit
U.S. Box Office:
$122,391,873 till mid Nov 2011
Overall:
7.5 out of 10
Movie-meter:
Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
Jumat, 25 November 2011
THE CAT : Gadis Penyayang Kucing Pembawa Malapetaka
Storyline:
Pernah mengalami klastrofobia di masa kecilnya, So-Yeon bekerja sebagai perawat binatang di sebuah pet shop. Pada suatu hati, seekor kucing bernama Bidanyi datang dan di hari berikutnya, ibu pemiliknya teas secara misterius di dalam lift apartemen. So-Yeon pun menawarkan diri untuk merawat Bidanyi pada polisi Joon-Suk yang menangani kasus misterius ini. Lambat laun, kehadiran Bidanyi malah membawa maut bagi orang-orang di sekitar So-Yeon. Apa sesungguhnya yang terjadi di masa lalu terhadap arwah gadis kecil yang selalu membayangi So-Yeon dan Bidanyi tersebut?
Nice-to-know:
Berjudul asli Go-hyang-i: Jook-eum-eul Bo-neun Doo Gae-eui Noon, film ini sudah beredar di negara asalnya pada tanggal 7 Juli 2011 yang lalu.
Cast:
Park Min-Young sebagai So-hee
Kim Dong-woo sebagai Joon-Suk
Kim Ye-ron sebagai Hee-Jin
Sin Da-eun sebagai Bo-hee
Kim Min-jae
Director:
Merupakan film kedua Byeon Seung-wook setelah Solace (2006).
Comment:
Bagi anda penyuka horor dari negeri ginseng Korea, tentunya sudah tidak asing lagi dengan formula yang digunakannya yaitu tempo lambat dan kedetailan cerita yang keseluruhannya melibatkan sang tokoh utama. Film yang sempat diputar dalam ajang Indonesia International Fantastic Film Festival 2011 ini tidak jauh berbeda dengan yang sudah-sudah dimana sentralisasi plot berada pada seekor kucing Persia menggemaskan berwarna putih.
Byeon Seung-wook yang bertindak sebagai penulis skrip sekaligus sutradara ini masih memakai pelbagai trik lama untuk menakuti penonton. Kemunculan tiba-tiba gadis kecil bermata kucing dan bermake-up zombie untuk membuat anda terlonjak dari kursi, untungnya tidak berambut panjang seperti tipikal hantu perempuan Asia. Permainan cahaya dari kamera dan suara berisik memekakkan telinga juga tak ketinggalan dihadirkan, bukankah seorang Nayato juga telah melakukannya?
Para aktor-aktris yang bermain disini juga melakukan sedikit sumbangsih karena lemahnya karakterisasi yang dibebankan pada mereka. Pengangkatan konflik untuk bisa mencapai puncak yang diharapkan pun gagal dilakukan karena terlalu banyaknya repetisi “teror” yang akhirnya termasuk dalam kategori mengganggu. Klimaks yang ditunggu-tunggu mengenai motif pembunuhan yang sesungguhnya ternyata dijelaskan begitu saja tanpa twist kreatif yang sedianya mampu menyelamatkan film.
The Cat mungkin cukup menarik bagi anda para pecinta kucing yang menginginkan tontonan yang berbeda dari biasanya. Terlebih ada fakta bahwa kucing adalah hewan para penyihir yang mampu mendeteksi kehadiran makhluk “dunia lain”, entah benar atau tidak tapi saya mempercayainya. Bagi para penggemar horor, karya yang terjemahan internasionalnya berjudul Cat: Two Eyes That See Death ini rasanya tak lebih dari sebuah film pendek yang ditarik ulur sedemikian rupa menjadi feature film yang amat membosankan.
Durasi:
108 menit
Overall:
6.5 out of 10
Movie-meter:
Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
Kamis, 24 November 2011
POCONGGG JUGA POCONG : Cinta Galaunya Pocong Moved On
Romantic teenage love potion, funny "pocong unyu" formula. Fresh mixed ideas that eliminate 2 different worlds' concept!
Quotes:
Poconggg: Hidup itu selalu ada yang pertama. Pertama mulai bisa bicara, pertama mulai bisa berjalan, pertama masuk sekolah, pertama jatuh cinta..
Storyline:
Remaja SMU bernama Dimas memang sudah lama menyimpan rasa bagi Sheila. Sayangnya kencan mereka berakhir dengan tragis. Dimas terbangun dalam wujud pocong. Ya ia telah meninggal dan kini hidup berseberangan alam dengan gadis pujaannya itu. Biar bagaimanapun, Dimas wajib mengikuti kodratnya dan mendapat bimbingan Kunti yang bersimpati ataupun cobaan Anjaw dan kawan-kawan yang sirik padanya. Di sisi lain, Sheila mulai didekati seniornya Adit yang hobi fotografi. Akankah pada akhirnya Dimas alias Poconggg mampu merelakan Sheila bahagia?
Nice-to-know:
Diproduksi oleh Maxima Pictures dimana media screeningnya diadakan di fX Platinum XXI pada tanggal 23 November 2011.
Cast:
Ajun Perwira sebagai Dimas / Poconggg
Nycta Gina sebagai Kunti
Saphira Indah sebagai Sheila
Rizky Mocil sebagai Anjaw
Guntur Triyoga sebagai Adit
Director:
Merupakan film keempat bagi Chiska Doppert sekaligus yang ketiga di tahun 2011 ini setelah Pocong Minta Kawin.
Comment:
Novel remaja Poconggg juga Pocong termasuk fenomenal karena sudah dicetak ratusan ribu. Kok tau? Soalnya saya baca juga! Meski masih banyak terpengaruh oleh gaya komedik Raditya Dika, Arief Muhammad berhasil menggunakan sudut pandang barunya sendiri, yang belum terpikirkan sebelumnya. Itulah sebabnya subjudul “Bukan Setan Biasa, Setannn!!!” digunakan dan memang amat menggambarkan kontennya yang unik itu.
Tak heran jika Maxima Pictures bekerjasama dengan Universitas Trisakti melihat peluang itu dan mengutus Arief bersama Haqi Achmad mengerjakan skrip filmnya. Hasilnya? Sebagai pembaca novelnya, saya puas. Chapter-chapter dalam novel yang tidak runut itu berhasil dirangkai menjadi sebuah kisah linier yang sarat pengalaman hidup. Mulai dari masa SMU Dimas yang penuh cinta dan keriaan berganti menjadi periode paska kematian Pocong yang galau dan krisis identitas. Semua berjalan saling mengisi dimana penempatan momen-momen penting dalam novel juga tergolong tepat mengintrusi cerita.
Sayangnya sutradara Chiska masih memiliki sedikit masalah dalam hal editing yang membuat pergerakan scene dari satu babak ke babak berikutnya terkesan kurang mulus. Beruntung sinematografi yang disuguhkan masih tergolong memikat walaupun keterbatasan setting lokasi, yang disinyalir demi menekan biaya produksi, tidak dapat dipungkiri. Poin plus lain adalah Joseph S Djafar yang menghadirkan ilustrasi musik yang apik terlebih dengan kehadiran J-Rocks mengisi soundtracknya dengan tembang Ya Aku yang ear-catchy itu.
Penunjukkan Ajun Perwira sebagai aktor utama Dimas memang agak beresiko. Kemampuan aktingnya untuk format layar lebar samasekali belum terasah. Dominannya penggunaan narasi “pikiran” dibandingkan berdialog langsung dengan lawan mainnya sedikit banyak menutupi kekurangan tersebut. Tentunya selain faktor wajah tampan kiyutnya yang tampaknya sangat ampuh menyihir gadis-gadis ABG untuk histeris menyaksikannya. He looks fresh on the big screen, dibandingkan harus menggunakan aktor yang itu-itu saja.
Tampang Saphira mengingatkan saya akan Joanna Alexandra! Peran gadis seumuran Sheila dilakoninya dengan wajar dimana kebahagiaan dan kesedihan silih berganti mengisi hari-harinya. Nycta yang kondang dengan karakter Jeng Kellin ini sukses menerjemahkan figur Kunti cerewet yang tutur kata dan ekspresinya mudah sekali memancing tawa penonton. Guntur kebagian tokoh Adit yang cool, spontan dan sangat mencintai fotografi memang tidak terlalu banyak porsinya tetapi cukup krusial. Meskipun kehadiran Rizky Mocil membosankan toh kesediaannya melawak dengan suara sengau dalam balutan kain kafan patut diapresiasi.
Poconggg Juga Pocong adalah satu-satunya komedi romantis ala remaja lokal yang formulanya "bener" di sepanjang 2011 ini. Kita akan melihat proses jatuh cinta ABG, utarakan isi hati (tolak/terima), bergalau ria sampai ke proses moved-on yang teramat berat itu. Rasa senang dan haru akan mewarnai film yang saya belum tahu apakah akan sukses di pasaran atau tidak (prediksi minimal lima ratus ribu penonton) tetapi rasanya jargon-jargon yang digunakan akan semakin populer seperti cinta yang diibaratkan kentut ataupun naik angkot. Tidak ada alasan takut jatuh untuk sesuatu yang memang layak diperjuangkan. Maka dari itu, melompatlah terus, cong!
Durasi:
78 menit
Overall:
7.5 out of 10
Movie-meter:
Quotes:
Poconggg: Hidup itu selalu ada yang pertama. Pertama mulai bisa bicara, pertama mulai bisa berjalan, pertama masuk sekolah, pertama jatuh cinta..
Storyline:
Remaja SMU bernama Dimas memang sudah lama menyimpan rasa bagi Sheila. Sayangnya kencan mereka berakhir dengan tragis. Dimas terbangun dalam wujud pocong. Ya ia telah meninggal dan kini hidup berseberangan alam dengan gadis pujaannya itu. Biar bagaimanapun, Dimas wajib mengikuti kodratnya dan mendapat bimbingan Kunti yang bersimpati ataupun cobaan Anjaw dan kawan-kawan yang sirik padanya. Di sisi lain, Sheila mulai didekati seniornya Adit yang hobi fotografi. Akankah pada akhirnya Dimas alias Poconggg mampu merelakan Sheila bahagia?
Nice-to-know:
Diproduksi oleh Maxima Pictures dimana media screeningnya diadakan di fX Platinum XXI pada tanggal 23 November 2011.
Cast:
Ajun Perwira sebagai Dimas / Poconggg
Nycta Gina sebagai Kunti
Saphira Indah sebagai Sheila
Rizky Mocil sebagai Anjaw
Guntur Triyoga sebagai Adit
Director:
Merupakan film keempat bagi Chiska Doppert sekaligus yang ketiga di tahun 2011 ini setelah Pocong Minta Kawin.
Comment:
Novel remaja Poconggg juga Pocong termasuk fenomenal karena sudah dicetak ratusan ribu. Kok tau? Soalnya saya baca juga! Meski masih banyak terpengaruh oleh gaya komedik Raditya Dika, Arief Muhammad berhasil menggunakan sudut pandang barunya sendiri, yang belum terpikirkan sebelumnya. Itulah sebabnya subjudul “Bukan Setan Biasa, Setannn!!!” digunakan dan memang amat menggambarkan kontennya yang unik itu.
Tak heran jika Maxima Pictures bekerjasama dengan Universitas Trisakti melihat peluang itu dan mengutus Arief bersama Haqi Achmad mengerjakan skrip filmnya. Hasilnya? Sebagai pembaca novelnya, saya puas. Chapter-chapter dalam novel yang tidak runut itu berhasil dirangkai menjadi sebuah kisah linier yang sarat pengalaman hidup. Mulai dari masa SMU Dimas yang penuh cinta dan keriaan berganti menjadi periode paska kematian Pocong yang galau dan krisis identitas. Semua berjalan saling mengisi dimana penempatan momen-momen penting dalam novel juga tergolong tepat mengintrusi cerita.
Sayangnya sutradara Chiska masih memiliki sedikit masalah dalam hal editing yang membuat pergerakan scene dari satu babak ke babak berikutnya terkesan kurang mulus. Beruntung sinematografi yang disuguhkan masih tergolong memikat walaupun keterbatasan setting lokasi, yang disinyalir demi menekan biaya produksi, tidak dapat dipungkiri. Poin plus lain adalah Joseph S Djafar yang menghadirkan ilustrasi musik yang apik terlebih dengan kehadiran J-Rocks mengisi soundtracknya dengan tembang Ya Aku yang ear-catchy itu.
Penunjukkan Ajun Perwira sebagai aktor utama Dimas memang agak beresiko. Kemampuan aktingnya untuk format layar lebar samasekali belum terasah. Dominannya penggunaan narasi “pikiran” dibandingkan berdialog langsung dengan lawan mainnya sedikit banyak menutupi kekurangan tersebut. Tentunya selain faktor wajah tampan kiyutnya yang tampaknya sangat ampuh menyihir gadis-gadis ABG untuk histeris menyaksikannya. He looks fresh on the big screen, dibandingkan harus menggunakan aktor yang itu-itu saja.
Tampang Saphira mengingatkan saya akan Joanna Alexandra! Peran gadis seumuran Sheila dilakoninya dengan wajar dimana kebahagiaan dan kesedihan silih berganti mengisi hari-harinya. Nycta yang kondang dengan karakter Jeng Kellin ini sukses menerjemahkan figur Kunti cerewet yang tutur kata dan ekspresinya mudah sekali memancing tawa penonton. Guntur kebagian tokoh Adit yang cool, spontan dan sangat mencintai fotografi memang tidak terlalu banyak porsinya tetapi cukup krusial. Meskipun kehadiran Rizky Mocil membosankan toh kesediaannya melawak dengan suara sengau dalam balutan kain kafan patut diapresiasi.
Poconggg Juga Pocong adalah satu-satunya komedi romantis ala remaja lokal yang formulanya "bener" di sepanjang 2011 ini. Kita akan melihat proses jatuh cinta ABG, utarakan isi hati (tolak/terima), bergalau ria sampai ke proses moved-on yang teramat berat itu. Rasa senang dan haru akan mewarnai film yang saya belum tahu apakah akan sukses di pasaran atau tidak (prediksi minimal lima ratus ribu penonton) tetapi rasanya jargon-jargon yang digunakan akan semakin populer seperti cinta yang diibaratkan kentut ataupun naik angkot. Tidak ada alasan takut jatuh untuk sesuatu yang memang layak diperjuangkan. Maka dari itu, melompatlah terus, cong!
Durasi:
78 menit
Overall:
7.5 out of 10
Movie-meter:
Rabu, 23 November 2011
SHARK NIGHT 3D : Liburan Pelarian Serangan Hiu Lapar
Effect looks cheap. The sharks seem unreal. Without gore and nudism as expected, there won't be too much left to watch!
Tagline:
Terror runs deep.
Storyline:
Tiga tahun terakhir sejak kepulangannya di rumah danau Louisiana Gulf, Sara mengajak kawan-kawannya Nick, Beth, Blake, Malik dan Maya untuk menghabiskan akhir pecan. Disana mereka bertemu Sherif Sabin dan juga mantan kekasih Sara, Dennis dengan kawannya yang cabul, Red. Keceriaan semula berganti menjadi tragedi saat Malik disambar hiu ketika sedang berselancar air. Teror berikutnya pun tak menunggu lama untuk terjadi. Siapa yang bisa bertahan hingga akhir?
Nice-to-know:
Sutradara David R. Ellis awalnya menggunakan judul "Untitled 3D Shark Thriller" bagi film yang tidak dipertunjukkan lebih awal untuk media screening ini.
Cast:
Angkat nama lewat Aquamarine (2006), Sara Paxton berperan sebagai Sara
Dustin Milligan sebagai Nick
Chris Carmack sebagai Dennis
Katharine McPhee sebagai Beth
Chris Zylka sebagai Blake
Sinqua Walls sebagai Malik
Joshua Leonard sebagai Red
Director:
David R. Ellis terakhir menggarap The Final Destination, franchise keempat yang kebetulan juga berformat 3D.
Comment:
Masih terbayang dalam ingatan bagaimana Alexandre Aja mengemas Piranha 3D (2010) menjadi sebuah tontonan yang fun dan gory. Melihat kemunculan “serangan ikan” lainnya yang lebih besar dalam format serupa, tentunya harapan anda adalah tontonan yang lebih seru dan berdarah-darah. Nanti dulu! Estimasi bujet yang tidak jauh berbeda yaitu 24 juta U.S. dollar untuk yang lawas dan 25 juta U.S. dollar untuk yang gres ini ternyata kualitasnya jauh berbeda.
Will Hayes dan Jesse Studenberg yang mengerjakan skripnya sepertinya lupa untuk “bermain-main” dengan predator paling ganas di lautan itu. Alih-alih menyajikan hiu sebagai momok pembunuh mematikan, keduanya malah tetap memakai manusia sebagai sosok antagonisnya. Idenya memang orisinil tetapi menilik judul, rasanya premis tersebut sulit mengharapkan untuk diterima penonton. Apalagi tokoh-tokoh protagonisnya tidak melakukan sesuatu yang spesial disini.
Jebolan American Idol, Kat McPhee dan Chris Zylka adalah dua nama yang setidaknya bermain lumayan terlepas dari minoritas karakter mereka disini. Paxton yang sedianya memimpin casts malah tampil di bawah standar karena tokoh Sara di tangannya terkesan kurang kuat. Lemahnya karakterisasi dapat ditimpakan pada kualitas skenario yang sama buruknya. Tak heran berbagai konflik yang dituangkan malah seperti sinetron televisi. Sebagai bukti, lihat saja pasangan Sara-Dennis ataupun Malik-Maya yang overdramatisasi itu.
Sutradara Ellis juga gagal menjaga intensitas yang diinginkan sejak menit-menit awal. Bahkan hingga ending pun tidak ada improvisasi yang berarti untuk menyuguhkan tontonan yang menggigit. Belum lagi spesial efek yang “cupu” disana-sini. Adegan maut saat hiu menyerang pun tidak ditampilkan secara eksplisit, hanya cipratan darah atau genangan air yang memerah. Untuk apa membicarakan 36 jenis hiu jika hanya ditampilkan beberapa dalam hitungan sebelah jari tangan saja!
Efek 3D yang dibebatkan ke dalam film hanya bekerja dengan baik di bawah air, seakan membawa penonton menelusuri sebuah akuarium raksasa. Selebihnya cuma pemborosan uang belaka. Alhasil Shark Night 3D tidak lebih baik dari film-film kelas B atau C pengisi saluran televisi anda di malam hari. Mudah sekali ditebak arahnya. Jika memang penasaran, tontonlah dengan ekspektasi serendah mungkin dan anggap saja sebuah film serius non hewan predator. Namun jangan harapkan adegan gore atau nudis terjadi disini karena yang ada hanyalah sirip hiu dalam lighting temaram mencoba membangun ketakutan yang amat minim.
Durasi:
91 menit
U.S. Box Office:
$18,860,403 till Nov 2011
Overall:
6.5 out of 10
Movie-meter:
Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
Tagline:
Terror runs deep.
Storyline:
Tiga tahun terakhir sejak kepulangannya di rumah danau Louisiana Gulf, Sara mengajak kawan-kawannya Nick, Beth, Blake, Malik dan Maya untuk menghabiskan akhir pecan. Disana mereka bertemu Sherif Sabin dan juga mantan kekasih Sara, Dennis dengan kawannya yang cabul, Red. Keceriaan semula berganti menjadi tragedi saat Malik disambar hiu ketika sedang berselancar air. Teror berikutnya pun tak menunggu lama untuk terjadi. Siapa yang bisa bertahan hingga akhir?
Nice-to-know:
Sutradara David R. Ellis awalnya menggunakan judul "Untitled 3D Shark Thriller" bagi film yang tidak dipertunjukkan lebih awal untuk media screening ini.
Cast:
Angkat nama lewat Aquamarine (2006), Sara Paxton berperan sebagai Sara
Dustin Milligan sebagai Nick
Chris Carmack sebagai Dennis
Katharine McPhee sebagai Beth
Chris Zylka sebagai Blake
Sinqua Walls sebagai Malik
Joshua Leonard sebagai Red
Director:
David R. Ellis terakhir menggarap The Final Destination, franchise keempat yang kebetulan juga berformat 3D.
Comment:
Masih terbayang dalam ingatan bagaimana Alexandre Aja mengemas Piranha 3D (2010) menjadi sebuah tontonan yang fun dan gory. Melihat kemunculan “serangan ikan” lainnya yang lebih besar dalam format serupa, tentunya harapan anda adalah tontonan yang lebih seru dan berdarah-darah. Nanti dulu! Estimasi bujet yang tidak jauh berbeda yaitu 24 juta U.S. dollar untuk yang lawas dan 25 juta U.S. dollar untuk yang gres ini ternyata kualitasnya jauh berbeda.
Will Hayes dan Jesse Studenberg yang mengerjakan skripnya sepertinya lupa untuk “bermain-main” dengan predator paling ganas di lautan itu. Alih-alih menyajikan hiu sebagai momok pembunuh mematikan, keduanya malah tetap memakai manusia sebagai sosok antagonisnya. Idenya memang orisinil tetapi menilik judul, rasanya premis tersebut sulit mengharapkan untuk diterima penonton. Apalagi tokoh-tokoh protagonisnya tidak melakukan sesuatu yang spesial disini.
Jebolan American Idol, Kat McPhee dan Chris Zylka adalah dua nama yang setidaknya bermain lumayan terlepas dari minoritas karakter mereka disini. Paxton yang sedianya memimpin casts malah tampil di bawah standar karena tokoh Sara di tangannya terkesan kurang kuat. Lemahnya karakterisasi dapat ditimpakan pada kualitas skenario yang sama buruknya. Tak heran berbagai konflik yang dituangkan malah seperti sinetron televisi. Sebagai bukti, lihat saja pasangan Sara-Dennis ataupun Malik-Maya yang overdramatisasi itu.
Sutradara Ellis juga gagal menjaga intensitas yang diinginkan sejak menit-menit awal. Bahkan hingga ending pun tidak ada improvisasi yang berarti untuk menyuguhkan tontonan yang menggigit. Belum lagi spesial efek yang “cupu” disana-sini. Adegan maut saat hiu menyerang pun tidak ditampilkan secara eksplisit, hanya cipratan darah atau genangan air yang memerah. Untuk apa membicarakan 36 jenis hiu jika hanya ditampilkan beberapa dalam hitungan sebelah jari tangan saja!
Efek 3D yang dibebatkan ke dalam film hanya bekerja dengan baik di bawah air, seakan membawa penonton menelusuri sebuah akuarium raksasa. Selebihnya cuma pemborosan uang belaka. Alhasil Shark Night 3D tidak lebih baik dari film-film kelas B atau C pengisi saluran televisi anda di malam hari. Mudah sekali ditebak arahnya. Jika memang penasaran, tontonlah dengan ekspektasi serendah mungkin dan anggap saja sebuah film serius non hewan predator. Namun jangan harapkan adegan gore atau nudis terjadi disini karena yang ada hanyalah sirip hiu dalam lighting temaram mencoba membangun ketakutan yang amat minim.
Durasi:
91 menit
U.S. Box Office:
$18,860,403 till Nov 2011
Overall:
6.5 out of 10
Movie-meter:
Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
Selasa, 22 November 2011
FISFIC VOL. 1 : Enam Teror Omnibus Urban Lokal
@film_bioskop bekerjasama dengan akun @film_Indonesia membuka jalur khusus pemesanan DVD yang layak dikoleksi. Caranya mudah, cukup mention salah satu akun tersebut perihal ketertarikan judul yang diminati. Lalu kirimkan email ke official.filmIndonesia@gmail.com / official.filmbioskop@gmail.com yang menyertakan nama, alamat dan nomor telepon/ponsel yang dapat kami hubungi.
Untuk penawaran akhir bulan November ini ada "FISFiC Vol.1", sebuah film omnibus bergenre horor/thriller/fantasi yang baru saja diputar @iNAFFF pertengahan November 2011 lalu.
Agar lebih meyakinkan anda akan menariknya 6 film pendek garapan filmmaker masa depan Indonesia tersebut, silakan baca ulasan Database Film berikut:
Overview:
MEALTIME (20 min) by Ian Salim
”Surprising hidden agenda keeps u guessin. Consistent tone color added with good artistic. Catchy scoring music as well!”
Ian adalah sutradara yang pandai menyatukan konsep terlepas dari segala keterbatasan yang ada. Konsistensi warna yang digunakan menutupi kekurangan fokus kinerja kamera yang terkadang terlihat terlalu wide. Beruntung scoring music dari Albert Juwono berhasil menciptakan dinamika tersendiri untuk mempertahankan intensitas film.
Abimana Arya memang terlihat paling menonjol sebagai sipir bernama Sutisna dimana ekspresi kalutnya tertangkap dengan baik. Sayangnya terdapat beberapa pemotongan adegan yang menyebabkan eksplorasi hubungan antar karakternya menjadi sedikit terganggu. Satu sama lain terasa berakting sendiri-sendiri sesuai porsinya.
Khusus sobat saya, Josep Alexander. Pengalaman pertama ini patut disyukuri tetapi rasanya belum bisa dinilai banyak karena terlalu sedikitnya porsi yang diberikan dalam sebuah film pendek. Ada baiknya melatih mimik muka dan intonasi suara di kemudian hari karena amat kentara jika harus syut close-up scenes agar tidak terkesan datar.
Mealtime dengan misteri sipir-narapidana yang terjaga hingga akhir walau twistnya tidak luar biasa menempati peringkat 4 dalam Fisfic Vol. 1 versi Databasefilm.
RENGASDENGKLOK (19 min) by Dion Widhi Putra
“Rengasdengklok Interesting animation concept opens unimagineable thriller. Laughable till the end in a fun way experiment. “
Ide Yonathan Lim menyuguhkan sesuatu yang berbau nasionalisme jelas memiliki added value tersendiri apalagi dikaitkan dengan perjuangan kemerdekaan. Eksekusi Dion yang membuka thriller ini dengan sekelumit animasi kreatif juga patut diacungi jempol selain fakta bahwa penggunaan efek kamera lawas memang relevan dalam menghadirkan keotentikan gambar-gambar “tempo doeloe”.
Hosea Aryo, Surja, Ari dkk menyuguhkan akting seadanya tetapi tetap fun to watch, berulang kali membangkitkan senyum ataupun tawa penonton melihat wajah-wajah muda mereka dalam balutan kostum hijau tersebut. Make-up dan body language zombie-zombie ala Jepang di tengah hutan itu juga sedikit “tidak biasa” sebagai suguhan maut.
Rengasdengklok adalah terobosan peristiwa rahasia yang harus terjaga, fiktif tetapi provokatif menjadikannya ranking 5 dalam Fisfic Vol. 1 versi Databasefilm.
THE RECKONING (22 min) by Zavero G. Idris
“Has some very good editing and cinematography, not to mention the acts. I wish it was subtitles added.”
Zavero tampaknya terinspirasi dari gaya thriller penyanderaan bergaya documenter yang banyak digarap oleh sineas Hollywood. Demi melokalkan film pendeknya ini, maka digunakan sinematografi “hitam putih” ala Jonathan Hoo yang digabungkan dengan original score berbau musik tradisional dari Bhismo Kunokini. Pergerakan kameranya yang dinamis menyorot segala sisi ruang dalam sebuah rumah mewah ini memang menjadi kelebihan tersendiri.
Emil Kusumo mungkin mengingatkan anda akan Yama Carlos. Akting yang belum terlalu matang tetapi usahanya cukup terlihat maksimal. Nicole Jiawen Lee yang berwajah oriental terasa pas mengisi peran istri terabaikan yang seakan terpenjara dalam status rumah tangga belaka. Sebaliknya Katharina Vassar yang berwajah Indo itu teramat fasih berbahasa Inggris dan menjadikan dirinya villain yang unik.
The Reckoning cukup layak tonton dengan kinerja DoP yang ciamik menghadirkan teror metropolitan beresensikan perjanjian “tradisional” ini. Sayangnya penerjemahan konflik yang dirasa terlalu berlarut-larut membuat posisinya berada di urutan terbawah versi Database Film.
RUMAH BABI (22 min) by Alim Sudio
“Chinese horror style creates the perfect atmosphere. Great angles with sudden turns provide u memorable goosebumps!”
Alim adalah nama yang sudah mulai dikenal oleh pecinta film Indonesia karena keterlibatannya dalam beberapa proyek layar lebar sebelum ini. Oleh karena itu, cukup mengejutkan melihatnya muncul dalam kompetisi FISFiC yang notabene diperuntukkan bagi para pemula ini. Meski demikian, gaya dokumenter yang dikombinasikannya dengan horor amat berhasil membangun atmosfir menyeramkan yang dibangun oleh unsur gore dari manusia dan binatang itu sendiri.
Anwari Natari yang berpengalaman di panggung teater lumayan berhasil menghidupkan tokoh Darto, filmmaker ambisius yang mengabaikan hati nurani. Debut menarik Nala Amrytha yang bermain sebagai sang “korban” A Hun dengan kostum dan make-up yang amat mendukung perannya bahkan menyanyikan sendiri lagu berbahasa Mandarin gubahan Ng Su Chen yang kerapkali mendirikan bulu kuduk tersebut.
Rumah Babi yang sesungguhnya mengingatkan kita akan tragedi 1998 yang melibatkan etnis Cina itu secara konsisten mengajak penonton untuk benar-benar masuk ke dalam rumah kuno tersebut sambil menikmati sebagian kejutan tak terduga yang memantapkannya pada posisi teratas versi Database Film.
EFFECT (20 min) by Adriano Rudiman
“Nicely done from action to reaction sequential. Very urban characterization and storytelling. Sympathy for guilty feeling! “
Adriano Rudiman adalah salah satu nama yang patut ditunggu gebrakannya di masa depan. Citarasa filmmaker masa kini yang dimilikinya benar-benar terasa dalam short movie yang bergaya urban ini terutama dari kinerja kamera yang efisien dengan syut jauh dekatnya. Sekuensi cerita disuguhkan secara dinamis dimana scene demi scene tersusun rapi menggiring penonton untuk mengikuti hingga akhir.
Sita Nursanti menjiwai peran “killer boss” dengan meyakinkan lewat serangkaian bahasa tubuh, sorot mata sampai intonasi suara yang tegas. Sedangkan Tabitha menampilkan karakter wanita karir modern yang bercita-cita meningkatkan taraf hidupnya dengan kenaikan jabatan yang sudah berada di pelupuk matanya itu. Berbagai tokoh pendukung lain juga sukses menekankan arti “kerjasama” yang kompak satu sama lainnya.
Effect mencerminkan thriller mystery yang stylish mengenai isu dunia kerja yang seringkali tidak ramah bagi para profesional itu dengan sudut pandang yang memikat dan tidak biasa. Amat layak menaruhnya pada anak tangga ketiga versi Database Film.
TAKSI (16 min) by Arianjie AZ
“Horrifying incident with unpredicted twists. True engaging from start to finish. Again Shareefa rocks! “
Nadia Yuliani tampaknya memahami kesulitan kaum wanita saat sendirian dalam belantara ibukota di malam hari sehingga terciptalah sebuah skrip menarik bergaya feminis. Arianjie berhasil memanfaatkan ruang sempit di dalam sebuah kendaraan yang tengah berjalan dengan ciamik untuk menarasikan cerita dengan begitu alami. Bukan kebetulan juga jika setting lokasinya teramat familiar karena dekat dengan area perkantoran saya.
Shareefa sekali lagi membuktikan dirinya sebagai aktris spesialis thriller. Lihat bagaimana teraniayanya dia dalam situasi yang paling tidak diinginkannya. Tak kalah cemerlang adalah tiga pemeran pria yang berlaku sebagai “subyek” kali ini yaitu Hendra Louis, Manahan Hutauruk dan Alex Loppies dimana mereka benar-benar terlihat begundal dengan agenda tersembunyinya masing-masing.
Taksi menunjukkan apa arti intensitas tinggi yang dibutuhkan oleh sebuah film pendek untuk menyampaikan sesuatu terlepas dari sedikitnya waktu yang diberikan. Twist yang begitu mengejutkan menghadiahinya predikat nomor dua versi Database Film.
Durasi:
119 menit
Overall:
7.5 out of 10
Movie-meter:
Senin, 21 November 2011
FACES IN THE CROWD : Trauma Pengenalan Wajah Pembunuh Serial
Tagline:
She saw the killer's face, but it keeps changing...
Storyline:
Guru SD, Anna Marchant tinggal bersama kekasihnya, Bryce di sebuah apartemen nyaman. Saat sedang pulang minum-minum dengan dua sahabat karibnya Francine dan Nina, Anna tanpa sengaja memergoki seorang pembunuh serial Tearful Jack tengah menghabisi korbannya. SIalnya Anna yang menjadi target serangan Jack terjatuh dari dermaga dan mengalami shock ringan. Akibat paling fatal adalah ia mengalami symptom gangguan pengenalan wajah seseorang. Suatu hal yang beresiko dimana sang pembunuh masih ada di luar sana dan mungkin mengancam nyawanya sebagai saksi hidup!
Nice-to-know:
Diproduksi dengan bujet 15 juta dollar dan edar di Indonesia lewat jaringan bioskop Blitzmegaplex.
Cast:
Baru saja muncul dalam film remake arahan suaminya yaitu The Three Musketeers, Milla Jovovich berperan sebagai Anna Marchant
Terakhir mendukung RED (2010), Julian McMahon bermain sebagai Sam Kerrest
Michael Shanks sebagai Bryce
Sarah Wayne Callies sebagai Francine
Marianne Faithfull sebagai Dr. Langenkamp
Director:
Feature film kedua bagi Julien Magnat setelah Bloody Mallory (2002).
Comment:
Saya harus akui skrip yang dikembangkan oleh Julien Magnat dan Kelly Smith ini memiliki premis yang brilian. Sebab belum banyak orang yang tahu mengenai Prosopagnosia yaitu kesulitan mengenali wajah seseorang karena terjadinya gangguan stimulus pada otak. Lantas yang ada dalam benak saya adalah sebuah thriller cerdas dengan banyak tikungan disana-sini sebelum ditutup dengan twist yang sulit diduga. Benarkah begitu?
Permasalahannya adalah eksekusi sang sutradara Magnat terasa begitu menyiksa. Openingnya cukup menjanjikan, kemudian diseret sedemikian rupa dengan berbagai subplot tambahan dan eksploitasi karakter pendukung yang tidak perlu. Terlebih satu karakter bisa memiliki seribu wajah yang diblurkan layaknya potongan-potongan hologram. Anda tidak perlu sulit mencari bukti, tinggal lihat section cast dimana terdapat Nina 1, Nina 2, Bryce 1, Bryce 2, Bryce 3, dst. Siap-siaplah untuk bingung!
Jovovich adalah salah satu jaminan nama yang dianggap mampu mengangkat film ini. Terbukti tokoh Anna di tangannya cukup meyakinkan dimana ketakutan, sikap paranoid, kebingungan terpancar jelas dari bahasa tubuhnya. Begitu pula dengan McMahon yang meski tidak luar biasa tetapi lumayan menjiwai peranan detektif dengan baik. Hanya saja menurut hemat saya, ide untuk menyelipkan “sesuatu” di antara keduanya justru sedikit memperlemah kekuatan cerita.
Menilik plot yang diusungnya, rasanya memang lebih cocok sebagai sebuah novel fiksi thriller dimana segala intrik yang terdapat di dalamnya lebih bisa bermain dengan imajinasi pembaca. Coba bandingkan jika dieksekusi ke film, sulit menempatkan posisi seseorang dalam banyak wajah sehingga cenderung membingungkan. Alih-alih membangun suspense, penonton keburu kesal karena kesulitan mengikuti pola pikir “njelimet” sang filmmaker.
Faces In The Crowd sebetulnya berpotensi menjadi sebuah thriller tingkat tinggi jika skripnya digarap dengan baik dan disutradarai secara lebih maksimal. Akhirnya predikat “direct-to-dvd” menjadi tidak terhindarkan karena mayoritas unsur medioker di dalamnya. Endingnya sendiri tidaklah seburuk itu karena logika penonton masih coba dipermainkan dengan flashback maju mundur demi penyelesaian teka-teki yang ditunggu-tunggu. Film ini hanya diperuntukkan bagi anda yang suka menerka serta menyukai Milla.
Durasi:
97 menit
Overall:
7 out of 10
Movie-meter:
Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
She saw the killer's face, but it keeps changing...
Storyline:
Guru SD, Anna Marchant tinggal bersama kekasihnya, Bryce di sebuah apartemen nyaman. Saat sedang pulang minum-minum dengan dua sahabat karibnya Francine dan Nina, Anna tanpa sengaja memergoki seorang pembunuh serial Tearful Jack tengah menghabisi korbannya. SIalnya Anna yang menjadi target serangan Jack terjatuh dari dermaga dan mengalami shock ringan. Akibat paling fatal adalah ia mengalami symptom gangguan pengenalan wajah seseorang. Suatu hal yang beresiko dimana sang pembunuh masih ada di luar sana dan mungkin mengancam nyawanya sebagai saksi hidup!
Nice-to-know:
Diproduksi dengan bujet 15 juta dollar dan edar di Indonesia lewat jaringan bioskop Blitzmegaplex.
Cast:
Baru saja muncul dalam film remake arahan suaminya yaitu The Three Musketeers, Milla Jovovich berperan sebagai Anna Marchant
Terakhir mendukung RED (2010), Julian McMahon bermain sebagai Sam Kerrest
Michael Shanks sebagai Bryce
Sarah Wayne Callies sebagai Francine
Marianne Faithfull sebagai Dr. Langenkamp
Director:
Feature film kedua bagi Julien Magnat setelah Bloody Mallory (2002).
Comment:
Saya harus akui skrip yang dikembangkan oleh Julien Magnat dan Kelly Smith ini memiliki premis yang brilian. Sebab belum banyak orang yang tahu mengenai Prosopagnosia yaitu kesulitan mengenali wajah seseorang karena terjadinya gangguan stimulus pada otak. Lantas yang ada dalam benak saya adalah sebuah thriller cerdas dengan banyak tikungan disana-sini sebelum ditutup dengan twist yang sulit diduga. Benarkah begitu?
Permasalahannya adalah eksekusi sang sutradara Magnat terasa begitu menyiksa. Openingnya cukup menjanjikan, kemudian diseret sedemikian rupa dengan berbagai subplot tambahan dan eksploitasi karakter pendukung yang tidak perlu. Terlebih satu karakter bisa memiliki seribu wajah yang diblurkan layaknya potongan-potongan hologram. Anda tidak perlu sulit mencari bukti, tinggal lihat section cast dimana terdapat Nina 1, Nina 2, Bryce 1, Bryce 2, Bryce 3, dst. Siap-siaplah untuk bingung!
Jovovich adalah salah satu jaminan nama yang dianggap mampu mengangkat film ini. Terbukti tokoh Anna di tangannya cukup meyakinkan dimana ketakutan, sikap paranoid, kebingungan terpancar jelas dari bahasa tubuhnya. Begitu pula dengan McMahon yang meski tidak luar biasa tetapi lumayan menjiwai peranan detektif dengan baik. Hanya saja menurut hemat saya, ide untuk menyelipkan “sesuatu” di antara keduanya justru sedikit memperlemah kekuatan cerita.
Menilik plot yang diusungnya, rasanya memang lebih cocok sebagai sebuah novel fiksi thriller dimana segala intrik yang terdapat di dalamnya lebih bisa bermain dengan imajinasi pembaca. Coba bandingkan jika dieksekusi ke film, sulit menempatkan posisi seseorang dalam banyak wajah sehingga cenderung membingungkan. Alih-alih membangun suspense, penonton keburu kesal karena kesulitan mengikuti pola pikir “njelimet” sang filmmaker.
Faces In The Crowd sebetulnya berpotensi menjadi sebuah thriller tingkat tinggi jika skripnya digarap dengan baik dan disutradarai secara lebih maksimal. Akhirnya predikat “direct-to-dvd” menjadi tidak terhindarkan karena mayoritas unsur medioker di dalamnya. Endingnya sendiri tidaklah seburuk itu karena logika penonton masih coba dipermainkan dengan flashback maju mundur demi penyelesaian teka-teki yang ditunggu-tunggu. Film ini hanya diperuntukkan bagi anda yang suka menerka serta menyukai Milla.
Durasi:
97 menit
Overall:
7 out of 10
Movie-meter:
Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
Minggu, 20 November 2011
CLOSING INAFFF11 – INDONESIA INTERNATIONAL FANTASTIC FILM FESTIVAL 2011
Tanpa terasa sudah 10 hari penyelenggaraan iNAFFF11 Jakarta yang ditutup tepat pada tanggal 20-11-2011. Itu artinya pemutaran 57 show telah dituntaskan di bioskop Blitzmegaplex Grand Indonesia yang rata-rata dibanjiri penonton dengan antusiasme yang sangat tinggi, terutama dari kalangan pecinta horror dan thriller sejati.
Salah satu highlight tahun ini adalah FISFiC alias Fantastic Indonesian Short Film Competition yang awalnya diikuti oleh lebih dari 400 peserta lalu dipilih menjadi 25 besar sebelum disaring kembali menjadi 6 terbaik saja sebagai berikut:
- Meal Time (Ian Salim & Elvira Kusno)
- Rengasdengklok (Dion Widhi Putra & Yonathan Lim)
- The Reckoning (Zavero G. Idris & Katharina Vassar)
- Rumah Babi (Alim Sudio & Harry Setiawan)
- Effect (Adriano Rudiman & Leila Safira)
- Taksi (Arianjie AZ, Nadia Yuliani & Titis Sapto)
Di luar dugaan, sambutan media dan khalayak umum begitu tinggi terhadap 6 film pendek tersebut, terbukti 3x pemutaran tanggal 14, 15, 19 November tidak ada bangku kosong yang tertinggal! Setelah melalui penjurian ketat oleh Joko Anwar, The Mo Brothers, Gareth Evans, Lala Timothy, Ekky Imanjaya dan Rusli Eddy maka diputuskan Taksi sebagai pemenangnya dan Rumah Babi sebagai special mention. Itu artinya Arianjie, Nadia dan Titis berhak mendapatkan kesempatan menggarap sebuah film pendek yang akan diproduseri oleh Lifelike Pictures untuk konsumsi publik periode 2012 mendatang.
Film penutup iNAFFF11 ini adalah The Raid yang bercerita mengenai misi sekelompok tim SWAT yang berusaha membekuk raja bisnis narkoba dalam sebuah bangunan “tak tersentuh” yang dijaga ketat oleh kawanan preman tangguh di setiap lantainya.
Kredibilitas Gareth Evans dalam menggarap The Raid membuat film ini sukses meraih penghargaan Midnight Madness Award dalam ajang Toronto International Film Festival 2011 yang diadakan di Kanada beberapa waktu lalu. Bahkan hak edar dan remakenya sudah dibeli oleh Sony Pictures sejak dini. Publik Indonesia baru berkesempatan menyaksikan The Raid pada medio April 2012. Harap bersabar menunggu kehadirannya di ranah negeri sendiri.
Malam penutupan berlangsung meriah apalagi dihadiri oleh sederetan tokoh negara maupun selebritis tanah air. Applause panjang pun mengiringi kemunculan credit title The Raid yang juga menandakan kepuasan penonton akan kualitas film yang dibintangi oleh Iko Uwais, Ray Sahetapy, Joe Taslim, Donny Alamsyah, Yayan Ruhian ini. Bagi publik Bandung, silakan cek website http://www.inafff.com dan meriahkan eforia iNAFFF11 di kota anda 25-27 November mendatang!
Sabtu, 19 November 2011
BREAKING DAWN PART 1 : Eksploitasi Pernikahan Bulan Madu Kehamilan
Quotes:
Edward Cullen: No measure of time with you will be long enough. But we'll start with forever.
Storyline:
Kaum Quileute dan Volturi akhirnya menjadi saksi pernikahan Edward Cullen dan Bella Swan yang dinanti-nanti. Prosesi berlangsung sakral yang dilanjutkan dengan bulan madu romantis di sebuah villa yang menghadap pantai. Tanpa diduga, Bella mengandung dengan cepat dimana sang bayi dikhawatirkan Sam dkk akan menjadi ancaman bagi pihak manusia, vampir dan serigala itu sendiri di masa mendatang. Kini yang terpenting adalah keputusan Bella untuk mempertahankan bayi tersebut sekalipun mengorbankan nyawanya sendiri.
Nice-to-know:
Awalnya Sofia Coppola tertarik menggarap film ini dalam satu bagian saja tetapi Summit Entertainment bersikeras membaginya dalam dua bagian.
Cast:
Memulai debut aktingnya dalam The Flintstones in Viva Rock Vegas (2000), Kristen Stewart melanjutkan peran Bella Swan
Sempat membintangi Water For Elephants di tahun ini, Robert Pattinson meneruskan karakter Edward Cullen
Nikki Reed sebagai Rosalie Hale
Ashley Greene sebagai Alice Cullen
Peter Facinelli sebagai Dr. Carlisle Cullen
Billy Burke sebagai Charlie Swan
Kellan Lutz sebagai Emmett Cullen
Director:
Bill Condon terakhir menggarap Dreamgirls (2006) yang mendapat banyak pujian itu.
Comment:
Sebuah lanjutan franchise yang sudah sangat memiliki fanbase di seluruh dunia. Yes, IMO Twilight is great, New Moon is bored to death, Eclipse is quite standard with few glimpses. Lantas bagaimana dengan yang satu ini? Dimana anda harus bersabar selama sekitar satu tahun untuk menyaksikan adaptasi “setengah buku” lagi. Jelas hanya diperuntukkan bagi mereka yang benar-benar menggemari cinta segitiga Edward-Bella-Jacob tersebut.
Melissa Rosenberg yang mengerjakan skripnya berdasarkan novel karangan Stephenie Meyer ini mengetengahkan empat bagian inti yaitu persiapan pernikahan, pernikahan itu sendiri, masa bulan madu hingga periode mengandung. Kesemuanya seharusnya menjadi chapter terakhir hubungan Edward dan Bella tetapi sebegitu pentingnya kah mengambil waktu hingga nyaris 2 jam hanya untuk bercerita hal-hal mendasar dan pribadi tersebut?
Jika anda penonton wanita, bisa jadi jawabannya iya. Namun jika penonton pria, rasanya tidak. Pra-wedding diperlihatkan kegalauan Bella dan kegusaran Jacob, tersaji secara cepat. Wedding itu sendiri berlangsung sakral dan indah, tanpa lupa mengapresiasi musik gubahan Carter Burwell yang sukses membangun mood. Honeymoon amat memperlihatkan “keintiman” Bella-Edward hingga sisi yang paling personal sekalipun. Sedangkan pregnancy sebagai pamungkas lumayan intens dengan sajian “berdarah” yang ditutup dengan perseteruan kaum serigala dan vampir.
Beban berat ditanggung oleh sutradara Condon yang sebetulnya berbakat ini. Terbukti ia banyak mendapat hujatan karena Part 1 ini dirasakan kurang visioner dan tidak memberikan pengembangan karakterisasi yang cukup untuk dapat mencapai konflik yang antiklimaks. Nuansa dark yang harusnya muncul justru terlihat tanggung bahkan semakin dirusak dengan dialog-dialog yang cheesy dan tidak bermakna samasekali.
Stewart mungkin satu-satunya yang berakting gemilang disini. Transformasi Bella Swan dari remaja menjadi wanita muda yang hidupnya lengkap dengan pernikahan dan kehamilan terasa mulus menyiratkan kedewasaan. Di sisi lain, Pattinson dan Lautner tidak memberikan perubahan akting yang signifikan selain menunjukkan kasih sayang, pengorbanan dan keikhlasan yang hakiki terhadap wanita yang mereka cintai lewat interpretasi tokoh Edward dan Jacob.
Breaking Dawn Part 1 begitu bertele-tele dalam penyajian kisahnya yang menye-menye hingga anda berkali-kali melirik jam untuk menghitung menit-menit yang hilang di dalam bioskop. Pihak produser tidak seharusnya mencari keuntungan dengan membagi buku terakhir dalam dua film apalagi memaksakan rating Remaja untuk pengalaman bersinema yang sedemikian dewasa itu. Adegan pernikahan, malam pertama, melahirkan adalah scene terbaik yang perlu saya lihat disini dan rasanya hanya butuh sekitar 15 menit untuk kesemuanya itu. I wish someone would lend me a remote control, so i could fast-forward here and there!
Durasi:
117 menit
Overall:
7 out of 10
Movie-meter:
Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
Edward Cullen: No measure of time with you will be long enough. But we'll start with forever.
Storyline:
Kaum Quileute dan Volturi akhirnya menjadi saksi pernikahan Edward Cullen dan Bella Swan yang dinanti-nanti. Prosesi berlangsung sakral yang dilanjutkan dengan bulan madu romantis di sebuah villa yang menghadap pantai. Tanpa diduga, Bella mengandung dengan cepat dimana sang bayi dikhawatirkan Sam dkk akan menjadi ancaman bagi pihak manusia, vampir dan serigala itu sendiri di masa mendatang. Kini yang terpenting adalah keputusan Bella untuk mempertahankan bayi tersebut sekalipun mengorbankan nyawanya sendiri.
Nice-to-know:
Awalnya Sofia Coppola tertarik menggarap film ini dalam satu bagian saja tetapi Summit Entertainment bersikeras membaginya dalam dua bagian.
Cast:
Memulai debut aktingnya dalam The Flintstones in Viva Rock Vegas (2000), Kristen Stewart melanjutkan peran Bella Swan
Sempat membintangi Water For Elephants di tahun ini, Robert Pattinson meneruskan karakter Edward Cullen
Nikki Reed sebagai Rosalie Hale
Ashley Greene sebagai Alice Cullen
Peter Facinelli sebagai Dr. Carlisle Cullen
Billy Burke sebagai Charlie Swan
Kellan Lutz sebagai Emmett Cullen
Director:
Bill Condon terakhir menggarap Dreamgirls (2006) yang mendapat banyak pujian itu.
Comment:
Sebuah lanjutan franchise yang sudah sangat memiliki fanbase di seluruh dunia. Yes, IMO Twilight is great, New Moon is bored to death, Eclipse is quite standard with few glimpses. Lantas bagaimana dengan yang satu ini? Dimana anda harus bersabar selama sekitar satu tahun untuk menyaksikan adaptasi “setengah buku” lagi. Jelas hanya diperuntukkan bagi mereka yang benar-benar menggemari cinta segitiga Edward-Bella-Jacob tersebut.
Melissa Rosenberg yang mengerjakan skripnya berdasarkan novel karangan Stephenie Meyer ini mengetengahkan empat bagian inti yaitu persiapan pernikahan, pernikahan itu sendiri, masa bulan madu hingga periode mengandung. Kesemuanya seharusnya menjadi chapter terakhir hubungan Edward dan Bella tetapi sebegitu pentingnya kah mengambil waktu hingga nyaris 2 jam hanya untuk bercerita hal-hal mendasar dan pribadi tersebut?
Jika anda penonton wanita, bisa jadi jawabannya iya. Namun jika penonton pria, rasanya tidak. Pra-wedding diperlihatkan kegalauan Bella dan kegusaran Jacob, tersaji secara cepat. Wedding itu sendiri berlangsung sakral dan indah, tanpa lupa mengapresiasi musik gubahan Carter Burwell yang sukses membangun mood. Honeymoon amat memperlihatkan “keintiman” Bella-Edward hingga sisi yang paling personal sekalipun. Sedangkan pregnancy sebagai pamungkas lumayan intens dengan sajian “berdarah” yang ditutup dengan perseteruan kaum serigala dan vampir.
Beban berat ditanggung oleh sutradara Condon yang sebetulnya berbakat ini. Terbukti ia banyak mendapat hujatan karena Part 1 ini dirasakan kurang visioner dan tidak memberikan pengembangan karakterisasi yang cukup untuk dapat mencapai konflik yang antiklimaks. Nuansa dark yang harusnya muncul justru terlihat tanggung bahkan semakin dirusak dengan dialog-dialog yang cheesy dan tidak bermakna samasekali.
Stewart mungkin satu-satunya yang berakting gemilang disini. Transformasi Bella Swan dari remaja menjadi wanita muda yang hidupnya lengkap dengan pernikahan dan kehamilan terasa mulus menyiratkan kedewasaan. Di sisi lain, Pattinson dan Lautner tidak memberikan perubahan akting yang signifikan selain menunjukkan kasih sayang, pengorbanan dan keikhlasan yang hakiki terhadap wanita yang mereka cintai lewat interpretasi tokoh Edward dan Jacob.
Breaking Dawn Part 1 begitu bertele-tele dalam penyajian kisahnya yang menye-menye hingga anda berkali-kali melirik jam untuk menghitung menit-menit yang hilang di dalam bioskop. Pihak produser tidak seharusnya mencari keuntungan dengan membagi buku terakhir dalam dua film apalagi memaksakan rating Remaja untuk pengalaman bersinema yang sedemikian dewasa itu. Adegan pernikahan, malam pertama, melahirkan adalah scene terbaik yang perlu saya lihat disini dan rasanya hanya butuh sekitar 15 menit untuk kesemuanya itu. I wish someone would lend me a remote control, so i could fast-forward here and there!
Durasi:
117 menit
Overall:
7 out of 10
Movie-meter:
Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
Langganan:
Postingan (Atom)