Storyline:
Dari Kalimantan dengan harapan menjadi penyanyi di ibukota, Ulin malah terjebak dalam prostitusi terselubung sebuah night club. Keadaan mau tidak mau membuatnya menjadi pelacur jalanan yang harus selalu siap melayani laki-laki manapun yang disodorkan maminya. Beruntung persahabatannya dengan Anissa dan Tiara menguatkan batinnya untuk menjalani hidup terutama setelah bertemu Albert, eksekutif muda sukses yang menaruh hati padanya.
Di lain kasus, bocah laki-laki bernama Fahmi yang dijuluki si Ingus harus bertahan hidup di jalanan dengan mengamen. Selain harus bersaing dengan rekan sesama bocah pengamen, Ingus menghadapi "bengisnya" pemimpin mereka sekaligus berjuang mendapatkan perhatian dan kasih sayang ibu kandungnya yang tidak pernah mau mengakui keberadaannya.
Nice-to-know:
Diproduksi oleh perusahaan independen, PT Mega Multi Media.
Cast:
Poppy Bunga sebagai Ulin
Pernah mendukung Nadine Chandrawinata dalam Mati Suri (2008), aktor Malaysia Keith Foo bermain sebagai Albert
Renny Novita
Ayang
Fahmi Aditya
Director:
Pernah menangani horor Terowongan Casablanca yang berkualitas rendah tetapi sukses, Nanang Istiabudi kali ini berusaha mengangkat isu pelacuran dan anak jalanan.
Comment:
Paruh pertama film terasa "menyiksa" sekali. Mengapa? Sebab kita disuguhi potongan gambar demi gambar yang berusaha menjelaskan apa itu women trafficking dan nasib anak jalanan. Kesan depresi dan menyedihkan benar-benar tertangkap apalagi dibantu dengan ilustrasi musik yang menyayat-nyayat. Pertanyaannya, apakah ini baik untuk film? Jika digarap dengan benar harusnya iya karena penonton bisa jadi bersimpati dengan karakter-karakternya. Tetapi garapan Nanang ini hanya sekadar menunjukkan, tidak bercerita sehingga kita akan stress dibuatnya. Memasuki paruh kedua, mood film sedikit membaik apalagi dengan hadirnya kisah cinta. Namun timbul pertanyaan yang lebih ekstrim lagi, apa yang menyebabkan pria sesempurna Albert jatuh cinta pada tokoh Ulin? Alasan kasihan? Pernah ditabrak? Atau murni cinta pada pandangan pertama? Semua sebab itu tidaklah penting lagi karena semua konflik pada film dengan mudahnya diselesaikan begitu saja. Perseteruan antar anak jalanan ataupun pemimpin mereka dibiarkan mengambang begitu saja. Kesan natural yang harusnya dihadirkan oleh kepolosan pemain-pemain cilik itu malah kurang wajar. Hasil akhir menjadi tidak maksimal di semua lini Bidadari Jakarta, judul yang juga tidak tepat. Skenario yang ditulis Jimmy S. Johansyah mungkin salah satu penyebab utamanya. Sayang memang karena isu-isu yang diangkat adalah masalah sosial keseharian yang dihadapi kota metropolitan manapun termasuk Jakarta.
Durasi:
90 menit
Overall:
6 out of 10
Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
No such perfect 9.5 or 10!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar