Tagline:
Given the right address, anything is possible.
Storyline:
Tyler seringkali menulis surat untuk Tuhan. Topiknya pun berlainan mulai dari ibunya Maddy yang selalu khawatir padanya, kakaknya Ben yang terkadang marah padanya, sahabatnya Sam yang perhatian padanya hingga harapan-harapan indah bagi orang-orang di sekitarnya. Adalah seorang tukang pos pengganti, Brady yang menjadi pemabuk akibat ditinggalkan istri dan anaknya. Menerima surat Tyler di tangannya dan membacanya satu persatu, Brady mulai sadar akan kekeliruannya. Kini ia siap membantu Tyler untuk menyentuh setiap orang akan ketegaran dan keceriaannya yang sangat inspiratif itu.
Nice-to-know:
Didistribusikan oleh Golden Village Pictures, Vivendi Entertainment, Eagle Films, IPA Asia Pacific untuk peredaran internasionalnya.
Cast:
Lebih banyak bermain di serial televisi sebelumnya termasuk The Mentallist, Robyn Lively bermain sebagai Maddy Doherty
Sedang menyelesaikan The Hangover 2 saat ini, aktor cilik bernama Tanner Maguire ini berperan sebagai Tyler Doherty
Jeffrey Johnson sebagai Brady McDaniel
Michael Bolten sebagai Ben Doherty
Maree Cheatham sebagai Olivia
Bailee Madison sebagai Samantha Perryfield
Ralph Waite sebagai Cornelius Perryfield
Director:
David Nixon yang sebelumnya menggarap Making Waves (1998) kali ini dibantu oleh Patrick Doughtie.
Comment:
Sejak awal film ini memiliki misi tersendiri yaitu memerangi kanker sekaligus mengajak para penderitanya untuk tetap tabah dan optimis. Belum lagi dibalut dengan pesan agama yang ditampilkan secara universal meskipun dari sudut pandang Kristen sekalipun. Wajar bukan jika seseorang dilanda kesulitan seringkali imannya diuji habis-habisan. Jika anda langsung menyimpulkan film ini berat begitu membaca beberapa kalimat pertama review saya ini jangan salah. Anda akan diajak untuk mengikuti kisah menyentuh helai per helai, nyaris tidak terasa dan samasekali tidak menggurui.
Sentralisasi cerita berada di tangan Tyler Doherty yang dihidupkan dengan sangat brilian oleh Tanner Maguire. Ia mampu memberikan "tongkat estafet" kepada orang-orang di sekitarnya untuk terinspirasi dan memulai kisahnya sendiri-sendiri mulai dari ibunya, kakaknya, sahabat, tetangganya dll. Tidak heran jika namanya akan sering terdengar di kemudian hari. "Surat Untuk Tuhan" bisa jadi sebuah simbolisasi untuk menuntun kepercayaan kita masing-masing. Jika anda tidak mampu berkomunikasi lisan dengan Tuhan anda, mengapa tidak coba menuangkannya dalam tulisan?
Terlepas dari biaya produksi yang sangat rendah, Letters to God berhasil memaksimalkan segala keterbatasan yang dimilikinya. Hal ini sekaligus menjawab anggapan bahwa tampilan film ini seperti film televisi atau direct-to-dvd. Namun jajaran cast yang nama-namanya hampir tidak pernah terdengar itu mampu menyuguhkan kualita akting yang demikian baik. Berbagai lagu yang menjadi theme songnya mampu merangkai scene per scene dengan pas termasuk Dear Mr. God dari the Warren Brothers dan juga kinerja Seattle Symphony Orschestra. Skrip yang ditulis oleh Doughtie tidak terkesan natural tanpa tumpang tindih antar subplotnya, menyatu padu dengan gaya penyutradaraan Nixon yang sendu. Jangan anggap film produksi Mercy Creek Entertainment dan Possibility Pictures ini sebagai film religius seperti judulnya. Maknanya lebih jauh dari itu dan saya harus akui saya menitikkan air mata menyaksikannya. Siap untuk tersentuh juga akan film yang terinspirasi dari kehidupan Patrick Doherty yang meninggal di usia 10 tahun?
Durasi:
105 menit
U.S. Box Office:
$2,848,578 till end of Jun 2010
Overall:
7.5 out of 10
Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
XL #PerempuanHebat for Kartini Day
THE RING(S) : A short movie specially made for Valentine's Day
Jumat, 31 Desember 2010
Kamis, 30 Desember 2010
3 PEJANTAN TANGGUNG : Misi Dadakan di Daratan Borneo
Storyline:
Gaya hidup hedonis tiga sahabat yakni Harta, Angga dan Kris dapat dikatakan memuncak padahal kewajiban menuntaskan kuliah dengan tenggat waktu skripsi sudah di depan mata. Pada suatu malam setelah clubbing dan mabuk, mereka terbangun di sebuah kapal asing terombang-ambing di lautan. Sesampainya di daratan yang belakangan diketahui bernama Borneo itu, ketiganya bertemu Kepala Suku yang bijaksana dan memperlakukan mereka sebagai tamu. Sayangnya Angga dan Kris tanpa sengaja menyebabkan kebakaran gubuk yang mereka tempati. Kontan ketiganya dihukum untuk kerja bakti sebelum boleh kembali ke Jakarta. Tak lama kemudian, Harta berjumpa Riana, mahasiswa Kedokteran yang juga putri Kepala Suku. Di sisi lain seorang pengusaha bernama Handoyo tengah mengincar tanah setempat untuk dibangun ulang. Akankah petualangan ketiganya membawa babak baru dalam kehidupan mereka?.
Nice to know:
Diproduksi oleh Rapi Films dan gala premierenya dilangsungkan di fX Platinum XXI tanggal 23 Desember 2010.
Cast:
Ringgo Agus Rahman sebagai Harta
Deddy Mahendara Desta sebagai Angga
Dennis Adhiswara sebagai Kris
Siti Anizah sebagai Riana
Joe P-Project sebagai Handoyo
Piet Pagau sebagai Kepala Suku
Director:
Baru saja menyelesaikan Senggol Bacok beberapa bulan lalu, Iqbal Rais kembali lagi dengan genre komedi yang masih mengandalkan aktor-aktor kesayangannya.
Comment:
Saya harus akui plot cerita film ini menarik, terlepas dari intervensi pengaruh beberapa film asing yang juga mengangkat tema serupa. Sah-sah saja jika mampu dikombinasikan secara baik dengan unsur lokal. Kali ini Iqbal menggabungkannya dengan setting Samarinda yang memang menjadi kota kelahirannya. Berbagai unsur budaya setempat disajikan dengan natural tanpa ada unsur paksaan sama sekali, lengkap dengan setting hutan dan desanya. Perfilman nasional rasanya cukup beruntung memiliki sutradara muda satu ini yang selalu hadir dengan ide dan kreatifitasnya yang tidak melulu itu-itu saja, mengingat sepanjang 2010 penonton sudah cukup muak disodorkan tema yang serupa tapi tak sama.
Plot yang demikian unik tentu saja akan sia-sia jika tidak tereksekusi dengan baik. Dan film ini memiliki kelemahan yang cukup kentara terutama dari segi karakterisasinya. Harta, Kris dan Angga nyaris tidak memiliki ruang yang cukup untuk mengeksplorasi "perangai" masing-masing meskipun waktunya sangat tersedia. Bahasan karakter ketiganya hanya dilakukan secara naratif di prolog film. Diperburuk lagi oleh trio Ringgo, Desta dan Dennis yang sayangnya kali ini kurang ampuh mengeluarkan "jurus-jurus" andalan mereka. Bisa jadi hal ini disebabkan terlalu seringnya Ringgo-Desta berakting dalam genre komedi selama beberapa tahun terakhir apalagi duet keduanya juga kerapkali terjadi di beberapa judul diantaranya. Memang disayangkan terlebih kehadiran aktor senior Piet yang sudah lama absen sudah menjadi nilai plus tersendiri disini.
Premis utama film yang sudah cukup menjual di awal menjadi keteteran memasuki pertengahan durasi. Antusias dan rasa penasaran penonton akan endingnya bisa jadi terganggu karena kelemahan-kelemahan mendasar yang saya sebutkan di atas. Seumpama kapal yang berlayar tanpa riak ombak, datar-datar saja. Alhasil 3 Pejantan Tanggung tidak mampu memaksimalkan segala potensi yang dimilikinya sebagai film penutup tahun 2010 sebagai film komedi dengan misi budaya terselubung.
Durasi:
80 menit
Overall:
7 out of 10
Movie-meter:
6-sampah!
6.5-jelek ah
7-rada parah
7.5-standar aja
8-lumayan nih
8.5-bagus kok
9-luar biasa
Gaya hidup hedonis tiga sahabat yakni Harta, Angga dan Kris dapat dikatakan memuncak padahal kewajiban menuntaskan kuliah dengan tenggat waktu skripsi sudah di depan mata. Pada suatu malam setelah clubbing dan mabuk, mereka terbangun di sebuah kapal asing terombang-ambing di lautan. Sesampainya di daratan yang belakangan diketahui bernama Borneo itu, ketiganya bertemu Kepala Suku yang bijaksana dan memperlakukan mereka sebagai tamu. Sayangnya Angga dan Kris tanpa sengaja menyebabkan kebakaran gubuk yang mereka tempati. Kontan ketiganya dihukum untuk kerja bakti sebelum boleh kembali ke Jakarta. Tak lama kemudian, Harta berjumpa Riana, mahasiswa Kedokteran yang juga putri Kepala Suku. Di sisi lain seorang pengusaha bernama Handoyo tengah mengincar tanah setempat untuk dibangun ulang. Akankah petualangan ketiganya membawa babak baru dalam kehidupan mereka?.
Nice to know:
Diproduksi oleh Rapi Films dan gala premierenya dilangsungkan di fX Platinum XXI tanggal 23 Desember 2010.
Cast:
Ringgo Agus Rahman sebagai Harta
Deddy Mahendara Desta sebagai Angga
Dennis Adhiswara sebagai Kris
Siti Anizah sebagai Riana
Joe P-Project sebagai Handoyo
Piet Pagau sebagai Kepala Suku
Director:
Baru saja menyelesaikan Senggol Bacok beberapa bulan lalu, Iqbal Rais kembali lagi dengan genre komedi yang masih mengandalkan aktor-aktor kesayangannya.
Comment:
Saya harus akui plot cerita film ini menarik, terlepas dari intervensi pengaruh beberapa film asing yang juga mengangkat tema serupa. Sah-sah saja jika mampu dikombinasikan secara baik dengan unsur lokal. Kali ini Iqbal menggabungkannya dengan setting Samarinda yang memang menjadi kota kelahirannya. Berbagai unsur budaya setempat disajikan dengan natural tanpa ada unsur paksaan sama sekali, lengkap dengan setting hutan dan desanya. Perfilman nasional rasanya cukup beruntung memiliki sutradara muda satu ini yang selalu hadir dengan ide dan kreatifitasnya yang tidak melulu itu-itu saja, mengingat sepanjang 2010 penonton sudah cukup muak disodorkan tema yang serupa tapi tak sama.
Plot yang demikian unik tentu saja akan sia-sia jika tidak tereksekusi dengan baik. Dan film ini memiliki kelemahan yang cukup kentara terutama dari segi karakterisasinya. Harta, Kris dan Angga nyaris tidak memiliki ruang yang cukup untuk mengeksplorasi "perangai" masing-masing meskipun waktunya sangat tersedia. Bahasan karakter ketiganya hanya dilakukan secara naratif di prolog film. Diperburuk lagi oleh trio Ringgo, Desta dan Dennis yang sayangnya kali ini kurang ampuh mengeluarkan "jurus-jurus" andalan mereka. Bisa jadi hal ini disebabkan terlalu seringnya Ringgo-Desta berakting dalam genre komedi selama beberapa tahun terakhir apalagi duet keduanya juga kerapkali terjadi di beberapa judul diantaranya. Memang disayangkan terlebih kehadiran aktor senior Piet yang sudah lama absen sudah menjadi nilai plus tersendiri disini.
Premis utama film yang sudah cukup menjual di awal menjadi keteteran memasuki pertengahan durasi. Antusias dan rasa penasaran penonton akan endingnya bisa jadi terganggu karena kelemahan-kelemahan mendasar yang saya sebutkan di atas. Seumpama kapal yang berlayar tanpa riak ombak, datar-datar saja. Alhasil 3 Pejantan Tanggung tidak mampu memaksimalkan segala potensi yang dimilikinya sebagai film penutup tahun 2010 sebagai film komedi dengan misi budaya terselubung.
Durasi:
80 menit
Overall:
7 out of 10
Movie-meter:
6-sampah!
6.5-jelek ah
7-rada parah
7.5-standar aja
8-lumayan nih
8.5-bagus kok
9-luar biasa
Rabu, 29 Desember 2010
THE TOURIST : Ketika Tersangka Jatuh Dalam Intrik dan Cinta
Quotes:
Elise: I'm sorry, I got you involved in all this.
Frank Taylor: Why are you involved?
Storyline:
Dalam perjalanan di kereta menuju Venice, Elise memilih duduk di sebelah turis Amerika, Frank. Pihak Kepolisian tengah membuntuti Alice selama beberapa tahun terakhir sambil menunggu yang bersangkutan menghubungi kekasihnya, Alexander Pierce. Diketahui Pierce telah melarikan uang lebih dari 2 miliar dollar dari Kepala Mafia berpengaruh tanpa membayar pajak sekitar 775 juta dollar! Tugas Elise adalah menghindari polisi sekaligus mafia yang menginginkan uang tersebut kembali. Sayangnya tidak satupun yang pernah melihat wajah asli Alex sehingga Elise sangat dibutuhkan untuk mengindentifikasinya. Lantas apa reaksi Frank yang harus terlibat dalam semua ini?
Nice-to-know:
Angelina Jolie mengenakan 12 kostum yang berbeda sepanjang film.
Cast:
Tidak banyak yang tahu debutnya dalam A Nightmare On Elm Street (1984) di usia 19 tahun, Johnny Depp berperan sebagai Frank Tupelo
Sempat terlibat dalam spesial episode Kungfu Panda untuk televisi di sela-sela syuting film ini, Angelina Jolie bermain sebagai Elise Clifton-Ward
Paul Bettany sebagai Inspector John Acheson
Timothy Dalton sebagai Chief Inspector Jones
Steven Berkoff sebagai Reginald Shaw
Rufus Sewell sebagai The Englishman
Raoul Bova sebagai Conte Filippo Gaggia
Director:
Merupakan film panjang kedua bagi Florian Henckel von Donnersmarck yang asli Jerman ini setelah The Lives of Others (2006).
Comment:
Bayangkan jika dua bintang papan atas Hollywood disatukan dalam sebuah film. Daya tarik akting seorang Depp dan pesona seorang Jolie tentunya tidak akan anda hiraukan begitu saja. Keduanya berbagi chemistry dengan manis disini. Terus terang saya menikmati kehadiran Jolie sebagai Elise, wanita cantik dalam berbagai situasi yang ternyata seorang agen rahasia. Lihat keanggunan, kecantikan, keseksiannya dari gaya rambut hingga busananya yang sungguh menggoda. Sedangkan karakter Frank, seorang guru lugu nan misterius dibawakan Depp dengan gaya tersendiri. Menarik melihatnya kembali bermain sebagai "pria biasa" mengingat beberapa tahun terakhir ini Depp membawakan karakter aneh mulai dari Jack Sparrow hingga Mad Hatter. Jangan lupakan juga kehadiran mantan James Bond, Timothy Dalton serta Bettany yang selalu konsisten di mata saya.
Saya juga mengagumi keberanian sutradara von Donnersmarck untuk memberikan warna French movie ke dalam film ini meskipun settingnya di Venice. Gagal atau tidak kinerjanya merupakan penilaian anda masing-masing. Namun sinematografinya terangkai indah menghadirkan pemandangan indah Eropa klasik mulai dari konstruksi ruangan hotel berkelas ataupun menelusuri Venice dengan gondola. Dijamin mata anda tak berkedip menatap semua itu. Genre aksi dan drama juga dihadirkan secara seimbang terlepas dari berbagai dialog yang tidak konsisten, terkadang menarik tapi tak jarang juga basi.
Permasalahannya adalah publik pemerhati dunia film tahu betapa proyek ini sempat terombang-ambing karena pergantian castnya yang tak hanya sekali tapi berkali-kali. Dan saya bisa bayangkan dalam waktu singkat Depp harus bisa menerjemahkan karakter Frank sedemikian rupa. Tidak buruk bagi aktor sekelasnya tetapi saya tetap merasa ada yang kurang sehingga dalam beberapa scene, Depp benar-benar terlihat seperti "Goofy" bercambang. Sedangkan Jolie pun nyaris tidak menawarkan apapun yang baru disini selain kesempurnaan fisiknya yang sangat menjual.
Sebenarnya kualitas akhir The Tourist tidaklah seburuk yang dibayangkan. Terlebih jika anda tidak berpengharapan terlalu tinggi saat berniat menyaksikannya, rasanya masih dapat dinikmati sebagai film hiburan ringan di akhir pekan. Twist yang dihadirkan di epilog tidaklah terlalu mengejutkan seperti yang diharapkan banyak pihak. Namun kolaborasi Depp dan Jolie diyakini benar-benar akan menjadi magnet yang kuat disini sehingga karakter lainnya terasa tidak penting untuk diingat. Tidak percaya? Sebagai referensi, bolehlah anda saksikan dan bandingkan film ini dengan Anthony Zimmer yang asli film Perancis itu.
Durasi:
100 menit
U.S. Box Office:
$16,472,458 in opening week mid Dec 2010
Overall:
7.5 out of 10
Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
Elise: I'm sorry, I got you involved in all this.
Frank Taylor: Why are you involved?
Storyline:
Dalam perjalanan di kereta menuju Venice, Elise memilih duduk di sebelah turis Amerika, Frank. Pihak Kepolisian tengah membuntuti Alice selama beberapa tahun terakhir sambil menunggu yang bersangkutan menghubungi kekasihnya, Alexander Pierce. Diketahui Pierce telah melarikan uang lebih dari 2 miliar dollar dari Kepala Mafia berpengaruh tanpa membayar pajak sekitar 775 juta dollar! Tugas Elise adalah menghindari polisi sekaligus mafia yang menginginkan uang tersebut kembali. Sayangnya tidak satupun yang pernah melihat wajah asli Alex sehingga Elise sangat dibutuhkan untuk mengindentifikasinya. Lantas apa reaksi Frank yang harus terlibat dalam semua ini?
Nice-to-know:
Angelina Jolie mengenakan 12 kostum yang berbeda sepanjang film.
Cast:
Tidak banyak yang tahu debutnya dalam A Nightmare On Elm Street (1984) di usia 19 tahun, Johnny Depp berperan sebagai Frank Tupelo
Sempat terlibat dalam spesial episode Kungfu Panda untuk televisi di sela-sela syuting film ini, Angelina Jolie bermain sebagai Elise Clifton-Ward
Paul Bettany sebagai Inspector John Acheson
Timothy Dalton sebagai Chief Inspector Jones
Steven Berkoff sebagai Reginald Shaw
Rufus Sewell sebagai The Englishman
Raoul Bova sebagai Conte Filippo Gaggia
Director:
Merupakan film panjang kedua bagi Florian Henckel von Donnersmarck yang asli Jerman ini setelah The Lives of Others (2006).
Comment:
Bayangkan jika dua bintang papan atas Hollywood disatukan dalam sebuah film. Daya tarik akting seorang Depp dan pesona seorang Jolie tentunya tidak akan anda hiraukan begitu saja. Keduanya berbagi chemistry dengan manis disini. Terus terang saya menikmati kehadiran Jolie sebagai Elise, wanita cantik dalam berbagai situasi yang ternyata seorang agen rahasia. Lihat keanggunan, kecantikan, keseksiannya dari gaya rambut hingga busananya yang sungguh menggoda. Sedangkan karakter Frank, seorang guru lugu nan misterius dibawakan Depp dengan gaya tersendiri. Menarik melihatnya kembali bermain sebagai "pria biasa" mengingat beberapa tahun terakhir ini Depp membawakan karakter aneh mulai dari Jack Sparrow hingga Mad Hatter. Jangan lupakan juga kehadiran mantan James Bond, Timothy Dalton serta Bettany yang selalu konsisten di mata saya.
Saya juga mengagumi keberanian sutradara von Donnersmarck untuk memberikan warna French movie ke dalam film ini meskipun settingnya di Venice. Gagal atau tidak kinerjanya merupakan penilaian anda masing-masing. Namun sinematografinya terangkai indah menghadirkan pemandangan indah Eropa klasik mulai dari konstruksi ruangan hotel berkelas ataupun menelusuri Venice dengan gondola. Dijamin mata anda tak berkedip menatap semua itu. Genre aksi dan drama juga dihadirkan secara seimbang terlepas dari berbagai dialog yang tidak konsisten, terkadang menarik tapi tak jarang juga basi.
Permasalahannya adalah publik pemerhati dunia film tahu betapa proyek ini sempat terombang-ambing karena pergantian castnya yang tak hanya sekali tapi berkali-kali. Dan saya bisa bayangkan dalam waktu singkat Depp harus bisa menerjemahkan karakter Frank sedemikian rupa. Tidak buruk bagi aktor sekelasnya tetapi saya tetap merasa ada yang kurang sehingga dalam beberapa scene, Depp benar-benar terlihat seperti "Goofy" bercambang. Sedangkan Jolie pun nyaris tidak menawarkan apapun yang baru disini selain kesempurnaan fisiknya yang sangat menjual.
Sebenarnya kualitas akhir The Tourist tidaklah seburuk yang dibayangkan. Terlebih jika anda tidak berpengharapan terlalu tinggi saat berniat menyaksikannya, rasanya masih dapat dinikmati sebagai film hiburan ringan di akhir pekan. Twist yang dihadirkan di epilog tidaklah terlalu mengejutkan seperti yang diharapkan banyak pihak. Namun kolaborasi Depp dan Jolie diyakini benar-benar akan menjadi magnet yang kuat disini sehingga karakter lainnya terasa tidak penting untuk diingat. Tidak percaya? Sebagai referensi, bolehlah anda saksikan dan bandingkan film ini dengan Anthony Zimmer yang asli film Perancis itu.
Durasi:
100 menit
U.S. Box Office:
$16,472,458 in opening week mid Dec 2010
Overall:
7.5 out of 10
Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
Selasa, 28 Desember 2010
LOVE IN PERTH : Jatuh Cinta Lokal Di Negeri Orang
Storyline:
Sesampainya di Perth untuk menuntut ilmu, Lola yang masih berusia 16 tahun malah kerapkali bertemu Dhany, cowok sombong yang selalu berlaku tidak manis padanya. Belum lagi sikap Tiwi, roommatenya yang sok bule dan gemar berganti-ganti pacar itu menerapkan berbagai aturan yang tidak fair. Beruntung masih ada Ari, siswa senior yang menaruh hati pada Lola. Sesungguhnya Dhany juga tertarik pada Lola tetapi takut dicemooh teman-temannya yang rata-rata kalangan elite yang mementingkan kekayaan dan gaya hidup. Siapakah yang pada akhirnya dipilih Lola dan bagaimana ia menyesuaikan diri dengan kota Perth yang kadang terasa tidak bersahabat baginya?
Nice to know:
Diproduksi oleh MD Pictures dan gala premierenya dilangsungkan di Studio eX XXI tanggal 28 Desember 2010.
Cast:
Derby Romero sebagai Dhany
Gita Gutawa sebagai Lola
Petra Sihombing sebagai Ari
Michella Putri sebagai Tiwi
Director:
Film keempatnya di tahun 2010 ini bagi Findo Purwono HW setelah Menculik Miyabi, Lihat Boleh Pegang Jangan dan Hantu Tanah Kusir.
Comment:
7 tahun berlalu sejak kesuksesan fenomenal Eiffel I'm In Love yang melejitkan nama Samuel Rizal dan Shandy Aulia. Beberapa film setelahnya dianggap mengekor termasuk sekuelnya dan spin-offnya Lost In Love. Lalu di tahun 2010 ini munculnya Love In Perth yang lagi-lagi menggunakan format serupa yaitu cinta segitiga antara satu remaja wanita dan dua remaja pria (yang satu baik, yang satu menjengkelkan) dimana bisa anda tebak kalau si cewek akan memilih cowok yang menyebalkan. Kadang ungkapan most girls love bad boys ada benarnya juga.
Yang berbeda adalah setting yang berpindah dari Paris ke Perth yang juga merupakan salah satu kota di Australia yang banyak dituju oleh siswa-siswi Indonesia untuk belajar. Beruntung film ini tidak sekadar menempelkan judul, sebab Perth National High School dan beberapa scene pelabuhan serta tentunya taman-taman indah sebagai latar belakangnya. Tidak sia-sia jika Perth dijuluki Kota Seribu Taman. Alunan suara Gita dan Derby selaku dua bintang utamanya juga cukup dominan meski terkadang lagu-lagunya agak dipaksakan masuk ke setiap adegan.
Bagaimana dengan akting mereka sendiri? Harus diakui debut Gita dan Derby cukup menarik disini. Hanya saja tampang girly dan boyish mereka masih tidak dapat dipungkiri sehingga terkadang risih melihat dua remaja muda ini bermesraan, walaupun masih dalam batas-batas yang bisa diterima. Gita terkadang terlalu polos untuk disebut lugu disini. Karakter Lola di tangannya digambarkan pintar dan moody. Sedangkan Derby sebagai Dhany masih kurang tengil dan bad boy meskipun gaya busananya sudah disesuaikan sedemikian rupa. Dua karakter pendukung yang unik adalah Petra yang kalem dan Michella yang sok bule itu. Sayang keduanya terasa tempelan belaka sehingga kurang masuk ke dalam penokohan inti.
Sutradara Findo lagi-lagi bermain "aman" tapi setidaknya tidak membombardir film ini dengan humor-humor slapstick yang terkadang menjurus mesum seperti yang sudah-sudah. Ia cukup berhasil menyiasati keterbatasan lokasi dan waktu syuting yang pasti membengkak karena dibawa ke luar negeri. Konsep asmara on-off mampu dimaksimalkannya dengan wajar terlepas ada beberapa konflik yang terkesan dibuat-buat untuk memperpanjang cerita.
Saya bertanya-tanya mengapa MD Pictures tidak cukup percaya diri hingga menunda perilisan Love In Perth sampai satu tahun! Menurut saya sebagai tontonan remaja, Love In Perth cukup menarik dan bisa jadi menghibur karena aktor-aktris yang bermain di dalamnya masih fresh dan berbakat. Dugaan saya ada pemangkasan durasi dengan pemotongan beberapa adegan yang dianggap tidak perlu untuk lebih "menjual". Tidak heran jika durasinya tergolong singkat. Sebagai penutup tahun 2010 ini tidak ada salahnya anda menyaksikan yang satu ini tanpa berekspektasi terlalu tinggi.
Durasi:
80 menit
Overall:
7.5 out of 10
Movie-meter:
6-sampah!
6.5-jelek ah
7-rada parah
7.5-standar aja
8-lumayan nih
8.5-bagus kok
9-luar biasa
Sesampainya di Perth untuk menuntut ilmu, Lola yang masih berusia 16 tahun malah kerapkali bertemu Dhany, cowok sombong yang selalu berlaku tidak manis padanya. Belum lagi sikap Tiwi, roommatenya yang sok bule dan gemar berganti-ganti pacar itu menerapkan berbagai aturan yang tidak fair. Beruntung masih ada Ari, siswa senior yang menaruh hati pada Lola. Sesungguhnya Dhany juga tertarik pada Lola tetapi takut dicemooh teman-temannya yang rata-rata kalangan elite yang mementingkan kekayaan dan gaya hidup. Siapakah yang pada akhirnya dipilih Lola dan bagaimana ia menyesuaikan diri dengan kota Perth yang kadang terasa tidak bersahabat baginya?
Nice to know:
Diproduksi oleh MD Pictures dan gala premierenya dilangsungkan di Studio eX XXI tanggal 28 Desember 2010.
Cast:
Derby Romero sebagai Dhany
Gita Gutawa sebagai Lola
Petra Sihombing sebagai Ari
Michella Putri sebagai Tiwi
Director:
Film keempatnya di tahun 2010 ini bagi Findo Purwono HW setelah Menculik Miyabi, Lihat Boleh Pegang Jangan dan Hantu Tanah Kusir.
Comment:
7 tahun berlalu sejak kesuksesan fenomenal Eiffel I'm In Love yang melejitkan nama Samuel Rizal dan Shandy Aulia. Beberapa film setelahnya dianggap mengekor termasuk sekuelnya dan spin-offnya Lost In Love. Lalu di tahun 2010 ini munculnya Love In Perth yang lagi-lagi menggunakan format serupa yaitu cinta segitiga antara satu remaja wanita dan dua remaja pria (yang satu baik, yang satu menjengkelkan) dimana bisa anda tebak kalau si cewek akan memilih cowok yang menyebalkan. Kadang ungkapan most girls love bad boys ada benarnya juga.
Yang berbeda adalah setting yang berpindah dari Paris ke Perth yang juga merupakan salah satu kota di Australia yang banyak dituju oleh siswa-siswi Indonesia untuk belajar. Beruntung film ini tidak sekadar menempelkan judul, sebab Perth National High School dan beberapa scene pelabuhan serta tentunya taman-taman indah sebagai latar belakangnya. Tidak sia-sia jika Perth dijuluki Kota Seribu Taman. Alunan suara Gita dan Derby selaku dua bintang utamanya juga cukup dominan meski terkadang lagu-lagunya agak dipaksakan masuk ke setiap adegan.
Bagaimana dengan akting mereka sendiri? Harus diakui debut Gita dan Derby cukup menarik disini. Hanya saja tampang girly dan boyish mereka masih tidak dapat dipungkiri sehingga terkadang risih melihat dua remaja muda ini bermesraan, walaupun masih dalam batas-batas yang bisa diterima. Gita terkadang terlalu polos untuk disebut lugu disini. Karakter Lola di tangannya digambarkan pintar dan moody. Sedangkan Derby sebagai Dhany masih kurang tengil dan bad boy meskipun gaya busananya sudah disesuaikan sedemikian rupa. Dua karakter pendukung yang unik adalah Petra yang kalem dan Michella yang sok bule itu. Sayang keduanya terasa tempelan belaka sehingga kurang masuk ke dalam penokohan inti.
Sutradara Findo lagi-lagi bermain "aman" tapi setidaknya tidak membombardir film ini dengan humor-humor slapstick yang terkadang menjurus mesum seperti yang sudah-sudah. Ia cukup berhasil menyiasati keterbatasan lokasi dan waktu syuting yang pasti membengkak karena dibawa ke luar negeri. Konsep asmara on-off mampu dimaksimalkannya dengan wajar terlepas ada beberapa konflik yang terkesan dibuat-buat untuk memperpanjang cerita.
Saya bertanya-tanya mengapa MD Pictures tidak cukup percaya diri hingga menunda perilisan Love In Perth sampai satu tahun! Menurut saya sebagai tontonan remaja, Love In Perth cukup menarik dan bisa jadi menghibur karena aktor-aktris yang bermain di dalamnya masih fresh dan berbakat. Dugaan saya ada pemangkasan durasi dengan pemotongan beberapa adegan yang dianggap tidak perlu untuk lebih "menjual". Tidak heran jika durasinya tergolong singkat. Sebagai penutup tahun 2010 ini tidak ada salahnya anda menyaksikan yang satu ini tanpa berekspektasi terlalu tinggi.
Durasi:
80 menit
Overall:
7.5 out of 10
Movie-meter:
6-sampah!
6.5-jelek ah
7-rada parah
7.5-standar aja
8-lumayan nih
8.5-bagus kok
9-luar biasa
Sabtu, 25 Desember 2010
GULLIVER'S TRAVELS : Petualangan Negeri Liliput Raksasa Bernyali Kecil
Tagline:
Something big is going down
Storyline:
Llemuel Gulliver merupakan pria biasa dengan mimpi besar tetapi kurang percaya diri. Itulah sebabnya pekerjaan administrasi surat-menyurat yang dilakoninya selama 10 tahun tidak memberikan apa-apa termasuk modal untuk mendekati karyawan divisi perjalanan, Darcy Silverman. Karena ditantang rekan kerja barunya, Gulliver nekad menyambangi Darcy pada suatu malam untuk mengajaknya kencan tetapi berakhir mendapat tugas membuat liputan perjalanan wisata. Satu yang ia lakoni adalah bepergian ke Segitiga Bermuda hingga terdampar di negeri liliput saat kapalnya diterjang badai dan tornado. Gulliver pun menjadi tawanan hingga akhirnya memutuskan untuk memulai petualangannya sendiri
Nice-to-know:
Awalnya Taylor Lautner sempat dipertimbangkan sebagai Horatio tetapi batal karena dianggap terlalu muda oleh produser
Cast:
Paska kesuksesan Kungfu Panda (2008), Jack Black kembali lagi dalam film semua umur sebagai Gulliver, pegawai bagian surat yang terdampar di negeri liliput saat melakukan perjalanan ke Segitiga Bermuda.
Baru saja mengisi suara Vector dalam Despicable Me, Jason Segel berperan sebagai Horatio
Emily Blunt keluar dari Iron Man 2 untuk bermain sebagai Princess Mary
Amanda Peet sebagai Darcy Silverman
Billy Connolly sebagai Raja Theodore
Chris O’Dowd sebagai Jenderal Edward
Director:
Rob Letterman tahun lalu menggarap animasi yang juga berformat 3D yaitu Monsters Vs Aliens.
Comment:
Merupakan adaptasi novel klasik yang sudah berulang-ulang kali difilmkan ke dalam layar lebar ataupun layar kaca dengan berbagai pemain di berbagai jaman. Sekarang sudah tahun 2010 apakah sutradara Letterman punya formula baru untuk modernisasi? Jawabannya tidak juga karena yang ia tambahkan hanyalah alat pelacak GPS, robot raksasa petarung, billboard, baliho, kaleng Coca-cola besar dsb. Tidak lebih. Sisanya hanyalah formula lama seperti Kerajaan Liliput dan segala atribut di dalamnya.
Dari jajaran cast, mungkin mayoritas dari anda menyukai Jack Black seperti halnya saya. Ia adalah salah satu komedian masa kini yang orisinil dari segi aksi dan gaya humornya yang biasanya bekerja dengan baik dalam film-film sejenis. Namun sebagai Gulliver sang raksasa yang biasanya serius, Black menjiwainya dalam kacamata komedik yang terkesan tidak pernah serius. Beberapa bagian cukup berhasil tapi sebagian besar sangat mudah ditebak. Aktor-aktris lain terkesan tidak terlalu penting alias out of the frame. Memang terkadang Blunt dapat mencuri perhatian, tetapi nama-nama seperti Segel ataupun Peet tidak terlalu mengesankan apalagi O’Dowd yang masih kelewat kaku sebagai antagonis.
Mengenai efek 3D, rasanya tidak perlu anda istimewakan. Beberapa scene memang dimaksudkan untuk 3D dan sudah disesuaikan kedalaman gambarnya tetapi sayangnya tidak ada yang benar-benar “keluar” dari layar. Seharusnya untuk versi modern kisah yang sedemikian terkenal, unsur 3D tidak boleh menjadi gimmick semata. Soundtrack pendukungnya juga tidak kuat selain satu dua lagu yang menyisipkan pesan moral bahwa peperangan tidaklah perlu atas alasan apapun juga.
Rasanya Gulliver’s Travels hanya diperuntukkan bagi para pecinta Black pada khususnya ataupun publik pada umumnya terutama yang perlu mengisi waktu bersama keluarga di liburan Natal tahun 2010 ini. Tidak lebih dan tidak kurang. Namun perlu diingat bahwa komedi disini lebih cocok bagi kalangan remaja dewasa, bukan anak-anak, jadi pikir dua kali sebelum mengajak anak anda yang masih di bawah umur. Satu hal lagi sebagai penutup, semua elemen dalam film ini serba prediktif dan secara mengejutkan kurang imajinatif sama sekali.
Durasi:
90 menit
Overall:
7 out of 10
Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
Something big is going down
Storyline:
Llemuel Gulliver merupakan pria biasa dengan mimpi besar tetapi kurang percaya diri. Itulah sebabnya pekerjaan administrasi surat-menyurat yang dilakoninya selama 10 tahun tidak memberikan apa-apa termasuk modal untuk mendekati karyawan divisi perjalanan, Darcy Silverman. Karena ditantang rekan kerja barunya, Gulliver nekad menyambangi Darcy pada suatu malam untuk mengajaknya kencan tetapi berakhir mendapat tugas membuat liputan perjalanan wisata. Satu yang ia lakoni adalah bepergian ke Segitiga Bermuda hingga terdampar di negeri liliput saat kapalnya diterjang badai dan tornado. Gulliver pun menjadi tawanan hingga akhirnya memutuskan untuk memulai petualangannya sendiri
Nice-to-know:
Awalnya Taylor Lautner sempat dipertimbangkan sebagai Horatio tetapi batal karena dianggap terlalu muda oleh produser
Cast:
Paska kesuksesan Kungfu Panda (2008), Jack Black kembali lagi dalam film semua umur sebagai Gulliver, pegawai bagian surat yang terdampar di negeri liliput saat melakukan perjalanan ke Segitiga Bermuda.
Baru saja mengisi suara Vector dalam Despicable Me, Jason Segel berperan sebagai Horatio
Emily Blunt keluar dari Iron Man 2 untuk bermain sebagai Princess Mary
Amanda Peet sebagai Darcy Silverman
Billy Connolly sebagai Raja Theodore
Chris O’Dowd sebagai Jenderal Edward
Director:
Rob Letterman tahun lalu menggarap animasi yang juga berformat 3D yaitu Monsters Vs Aliens.
Comment:
Merupakan adaptasi novel klasik yang sudah berulang-ulang kali difilmkan ke dalam layar lebar ataupun layar kaca dengan berbagai pemain di berbagai jaman. Sekarang sudah tahun 2010 apakah sutradara Letterman punya formula baru untuk modernisasi? Jawabannya tidak juga karena yang ia tambahkan hanyalah alat pelacak GPS, robot raksasa petarung, billboard, baliho, kaleng Coca-cola besar dsb. Tidak lebih. Sisanya hanyalah formula lama seperti Kerajaan Liliput dan segala atribut di dalamnya.
Dari jajaran cast, mungkin mayoritas dari anda menyukai Jack Black seperti halnya saya. Ia adalah salah satu komedian masa kini yang orisinil dari segi aksi dan gaya humornya yang biasanya bekerja dengan baik dalam film-film sejenis. Namun sebagai Gulliver sang raksasa yang biasanya serius, Black menjiwainya dalam kacamata komedik yang terkesan tidak pernah serius. Beberapa bagian cukup berhasil tapi sebagian besar sangat mudah ditebak. Aktor-aktris lain terkesan tidak terlalu penting alias out of the frame. Memang terkadang Blunt dapat mencuri perhatian, tetapi nama-nama seperti Segel ataupun Peet tidak terlalu mengesankan apalagi O’Dowd yang masih kelewat kaku sebagai antagonis.
Mengenai efek 3D, rasanya tidak perlu anda istimewakan. Beberapa scene memang dimaksudkan untuk 3D dan sudah disesuaikan kedalaman gambarnya tetapi sayangnya tidak ada yang benar-benar “keluar” dari layar. Seharusnya untuk versi modern kisah yang sedemikian terkenal, unsur 3D tidak boleh menjadi gimmick semata. Soundtrack pendukungnya juga tidak kuat selain satu dua lagu yang menyisipkan pesan moral bahwa peperangan tidaklah perlu atas alasan apapun juga.
Rasanya Gulliver’s Travels hanya diperuntukkan bagi para pecinta Black pada khususnya ataupun publik pada umumnya terutama yang perlu mengisi waktu bersama keluarga di liburan Natal tahun 2010 ini. Tidak lebih dan tidak kurang. Namun perlu diingat bahwa komedi disini lebih cocok bagi kalangan remaja dewasa, bukan anak-anak, jadi pikir dua kali sebelum mengajak anak anda yang masih di bawah umur. Satu hal lagi sebagai penutup, semua elemen dalam film ini serba prediktif dan secara mengejutkan kurang imajinatif sama sekali.
Durasi:
90 menit
Overall:
7 out of 10
Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
Jumat, 24 Desember 2010
BURIED : Berjuang Terkubur Seorang Diri
Tagline:
170,000 SQ miles of desert. 90 minutes of Oxygen. No way out.
Storyline:
Terbangun dalam kegelapan pekat, supir truk Amerika yang bekerja sebagai kontraktor di Irak pada tahun 2006 bernama Paul Conroy menyadari ia berada di dalam peti mati kayu yang terkubur. Dengan geretan yang dimilikinya, ia menemukan sebuah Blackberry aktif yang dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan pihak luar. Namun apakah mereka cukup peduli dengan kondisi Paul yang lokasinya tidak diketahui samasekali? Paul harus menggunakan akalnya sekaligus berpacu dengan waktu sebelum persediaan oksigen mulai menipis.
Nice-to-know:
Syuting film ini hanya menghabiskan waktu 17 hari di sebuah studio di Barcelona dengan menggunakan 7 peti mati yang berbeda-beda dalam prosesnya.
Cast:
Selagi mempersiapkan diri dalam The Green Lantern, Ryan Reynolds bermain dalam sebuah film indie ini sebagai Paul Conroy, supir truk CRT yang terjebak dalam misinya di Irak.
José Luis GarcÃa Pérez sebagai Jabir
Robert Paterson sebagai Dan Brenner
Stephen Tobolowsky sebagai Alan Davenport
Samantha Mathis sebagai Linda Conroy
Ivana Miño sebagai Pamela Lutti
Director:
Merupakan film panjang kedua bagi Rodrigo Cortés sejauh ini setelah The Contestant (2007).
Comment:
Apakah anda pengidap klaustrofobia? Jika iya, saya sarankan untuk tidak menonton film ini atas dasar apapun juga. Sebab sepanjang 90 menit yang anda saksikan hanyalah dimensi kotak panjang kali lebar sebuah peti mati dengan seorang pria hidup di dalamnya. Anda mungkin bisa mengurut dada karena anda bukanlah pria tersebut. Jika iya, apa yang akan anda lakukan?
Itulah yang ingin disampaikan sutradara Cortés dalam film yang hanya berbujet 3 juta dollar ini. Dan ia dengan pintar memaksimalkan segala sudut ruang peti mati dari berbagai angle kamera dengan lighting yang pas. Acungan jempol juga patut diberikan pada Chris Sparling yang menulis ceritanya dengan sangat brilian dimana segala suspensi dikerahkan secara maksimal untuk tetap menjaga minat penonton untuk tetap mengikuti jalur yang dibuat.
Bagaimana dengan Reynolds? Saya cukup salut dengan pilihannya kali ini karena beresiko tinggi. Tokoh Paul Conroy merupakan nyawa film ini. Dan Reynolds melakukannya dengan gemilang. Segala keterbatasan pendukung dijawabnya dengan ekspresi muka, intonasi suara, kedipan mata, bahasa tubuh yang natural dan tersinkron baik. Kita diajak peduli pada nasibnya walau bisa dibilang ia bukan siapa-siapa yang patut diberikan simpati. Di luar penampakan Reynolds, yang lain mungkin hanya terdengar suaranya saja diiringi dengan suara tembakan, langkah kaki dsb tetapi itu sudah cukup meyakinkan audiens bahwa situasi itu nyata senyata-nyatanya.
Ending Buried yang sedemikian simpel bisa jadi mencengangkan anda semua walaupun tidak seperti yang diharapkan tetapi cukup smart dan provokatif. Hal yang sedikit mengganggu saya adalah pemilihan musik pengiring credit title karena nadanya terkesan mengolok-olok penonton untuk segera bergegas meninggalkan bioskop. Sampai kapanpun, rasanya Buried akan tetap dikenang sebagai film independen panggung milik Cortés dan Reynolds.
Durasi:
95 menit
U.S. Box Office:
$1,028,658 till early Nov 2010
Overall:
7.5 out of 10
Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
170,000 SQ miles of desert. 90 minutes of Oxygen. No way out.
Storyline:
Terbangun dalam kegelapan pekat, supir truk Amerika yang bekerja sebagai kontraktor di Irak pada tahun 2006 bernama Paul Conroy menyadari ia berada di dalam peti mati kayu yang terkubur. Dengan geretan yang dimilikinya, ia menemukan sebuah Blackberry aktif yang dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan pihak luar. Namun apakah mereka cukup peduli dengan kondisi Paul yang lokasinya tidak diketahui samasekali? Paul harus menggunakan akalnya sekaligus berpacu dengan waktu sebelum persediaan oksigen mulai menipis.
Nice-to-know:
Syuting film ini hanya menghabiskan waktu 17 hari di sebuah studio di Barcelona dengan menggunakan 7 peti mati yang berbeda-beda dalam prosesnya.
Cast:
Selagi mempersiapkan diri dalam The Green Lantern, Ryan Reynolds bermain dalam sebuah film indie ini sebagai Paul Conroy, supir truk CRT yang terjebak dalam misinya di Irak.
José Luis GarcÃa Pérez sebagai Jabir
Robert Paterson sebagai Dan Brenner
Stephen Tobolowsky sebagai Alan Davenport
Samantha Mathis sebagai Linda Conroy
Ivana Miño sebagai Pamela Lutti
Director:
Merupakan film panjang kedua bagi Rodrigo Cortés sejauh ini setelah The Contestant (2007).
Comment:
Apakah anda pengidap klaustrofobia? Jika iya, saya sarankan untuk tidak menonton film ini atas dasar apapun juga. Sebab sepanjang 90 menit yang anda saksikan hanyalah dimensi kotak panjang kali lebar sebuah peti mati dengan seorang pria hidup di dalamnya. Anda mungkin bisa mengurut dada karena anda bukanlah pria tersebut. Jika iya, apa yang akan anda lakukan?
Itulah yang ingin disampaikan sutradara Cortés dalam film yang hanya berbujet 3 juta dollar ini. Dan ia dengan pintar memaksimalkan segala sudut ruang peti mati dari berbagai angle kamera dengan lighting yang pas. Acungan jempol juga patut diberikan pada Chris Sparling yang menulis ceritanya dengan sangat brilian dimana segala suspensi dikerahkan secara maksimal untuk tetap menjaga minat penonton untuk tetap mengikuti jalur yang dibuat.
Bagaimana dengan Reynolds? Saya cukup salut dengan pilihannya kali ini karena beresiko tinggi. Tokoh Paul Conroy merupakan nyawa film ini. Dan Reynolds melakukannya dengan gemilang. Segala keterbatasan pendukung dijawabnya dengan ekspresi muka, intonasi suara, kedipan mata, bahasa tubuh yang natural dan tersinkron baik. Kita diajak peduli pada nasibnya walau bisa dibilang ia bukan siapa-siapa yang patut diberikan simpati. Di luar penampakan Reynolds, yang lain mungkin hanya terdengar suaranya saja diiringi dengan suara tembakan, langkah kaki dsb tetapi itu sudah cukup meyakinkan audiens bahwa situasi itu nyata senyata-nyatanya.
Ending Buried yang sedemikian simpel bisa jadi mencengangkan anda semua walaupun tidak seperti yang diharapkan tetapi cukup smart dan provokatif. Hal yang sedikit mengganggu saya adalah pemilihan musik pengiring credit title karena nadanya terkesan mengolok-olok penonton untuk segera bergegas meninggalkan bioskop. Sampai kapanpun, rasanya Buried akan tetap dikenang sebagai film independen panggung milik Cortés dan Reynolds.
Durasi:
95 menit
U.S. Box Office:
$1,028,658 till early Nov 2010
Overall:
7.5 out of 10
Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
Kamis, 23 Desember 2010
DALAM MIHRAB CINTA : Pencopet Bertobat Temukan Cinta
Storyline:
Syamsul mulai menjalani hari-hari barunya sebagai santri muda di Pesantren Al Furqon. Sayangnya ia difitnah oleh sahabatnya sendiri, Burhan yang mengakibatkan diusir dari Pesantren dengan tidak hormat. Keluarganya juga tidak mempercayainya sehingga membuat hati Syamsul terluka. Iapun pergi meninggalkan semuanya dan menjadi pencopet handal. Dalam perjalanan ia sempat menyelamatkan Zizi yang ditodong, bahkan Silvi yang ia copet dompetnya. Akankah pada akhirnya Syamsul kembali ke jalan yang benar dan mampu secara bijaksana memilih jodoh terbaiknya?
Nice-to-know:
Diproduksi oleh Sinemart Pictures dan gala premierenya dilangsungkan di Gandaria City XXI tanggal 21 Desember 2010.
Cast:
Dude Harlino sebagai Syamsul Hadi
Asmirandah sebagai Silvi
Meyda Sefira sebagai Zizi
Boy Hamzah sebagai Burhan
Tsania Marwa
El Manik
Ninik L. Karim
Elma Theana
Umar Libus
Neno Warisman
Iszur Muchtar
Berliana Febriyanti
Kaharudin Syah
Director:
Jika dalam dwilogi Ketika Cinta Bertasbih, Habiburrahman El Shirazy mempercayakan Chaerul Umam untuk duduk di kursi sutradara maka kali ini ia mendapuk dirinya sendiri.
Comment:
Bisa dibilang 50 menit pertama film ini terlalu alot untuk dicerna. Konflik intern dalam diri Syamsul terasa terlalu didramatisasi tanpa pendalaman karakter yang masuk akal. Penonton dipaksa menerima permasalahan begitu saja tanpa peduli mengundang simpati atau sebaliknya. Bayangkan seseorang yang sudah difitnah sedemikian rupa kemudian melakukan sesuatu yang dituduhkannya. Walaupun bertujuan baik rasanya kita akan mengernyitkan dahi menyaksikannya. Beruntung di paruh kedua, segala permasalahan disampaikan dengan lebih menarik dan berkembang secara natural. Lompatan emosi antar tokohnya mulai dapat dirasakan disini. Meskipun pada akhirnya terasa sedikit ngebut dengan banyaknya subplot demi subplot yang berusaha dijabarkan.
Penunjukkan Dude sebagai Syamsul sedikit beresiko karena ia lebih dikenal sebagai aktor layar gelas yang secara notabene berbeda jauh dengan layar kaca. Dan kekhawatiran saya terbukti karena Dude terasa naik-turun dalam menjiwai karakternya. Keterampilannya sebagai ustadz justru tidak terlalu ditonjolkan disini, hanya di kulit luarnya saja. Namun transformasi yang dilakukannya masih tergolong lumayan dan setidaknya terlihat meyakinkan sebagai sentralisasi cerita. Sebaliknya Asmirandah berhasil mencuri perhatian dengan karakter Silvi yang tidak hanya cantik tetapi juga soleh dan berani bersikap. Meyda Sefira masih kurang mendapat porsi yang layak sehingga terkesan menjadi pelengkap saja sebagai Zizi.
Kang Abik sebagai sutradara memang harus diakui berkemampuan menyajikan drama religi yang mengusung banyak problema tapi sayangnya masih terlalu teaterikal. Banyak sekuens yang terasa berlompatan disana-sini sehingga mengganggu proses penceritaan itu sendiri. Musik yang digunakan sebagai latarnya merupakan bantuan yang sangat berarti bagi film ini untuk membangun mood. Endingnya cenderung bisa ditebak dengan mudah oleh anda semua. Dalam Mihrab Cinta tidaklah sefenomenal KCB dalam berbagai aspeknya tetapi setidaknya dapat dijadikan obat penawar rindu anda akan kehadiran drama religi itu sendiri.
Durasi:
105 menit
Overall:
7 out of 10
Movie-meter:
6-sampah!
6.5-jelek ah
7-rada parah
7.5-standar aja
8-lumayan nih
8.5-bagus kok
9-luar biasa
Syamsul mulai menjalani hari-hari barunya sebagai santri muda di Pesantren Al Furqon. Sayangnya ia difitnah oleh sahabatnya sendiri, Burhan yang mengakibatkan diusir dari Pesantren dengan tidak hormat. Keluarganya juga tidak mempercayainya sehingga membuat hati Syamsul terluka. Iapun pergi meninggalkan semuanya dan menjadi pencopet handal. Dalam perjalanan ia sempat menyelamatkan Zizi yang ditodong, bahkan Silvi yang ia copet dompetnya. Akankah pada akhirnya Syamsul kembali ke jalan yang benar dan mampu secara bijaksana memilih jodoh terbaiknya?
Nice-to-know:
Diproduksi oleh Sinemart Pictures dan gala premierenya dilangsungkan di Gandaria City XXI tanggal 21 Desember 2010.
Cast:
Dude Harlino sebagai Syamsul Hadi
Asmirandah sebagai Silvi
Meyda Sefira sebagai Zizi
Boy Hamzah sebagai Burhan
Tsania Marwa
El Manik
Ninik L. Karim
Elma Theana
Umar Libus
Neno Warisman
Iszur Muchtar
Berliana Febriyanti
Kaharudin Syah
Director:
Jika dalam dwilogi Ketika Cinta Bertasbih, Habiburrahman El Shirazy mempercayakan Chaerul Umam untuk duduk di kursi sutradara maka kali ini ia mendapuk dirinya sendiri.
Comment:
Bisa dibilang 50 menit pertama film ini terlalu alot untuk dicerna. Konflik intern dalam diri Syamsul terasa terlalu didramatisasi tanpa pendalaman karakter yang masuk akal. Penonton dipaksa menerima permasalahan begitu saja tanpa peduli mengundang simpati atau sebaliknya. Bayangkan seseorang yang sudah difitnah sedemikian rupa kemudian melakukan sesuatu yang dituduhkannya. Walaupun bertujuan baik rasanya kita akan mengernyitkan dahi menyaksikannya. Beruntung di paruh kedua, segala permasalahan disampaikan dengan lebih menarik dan berkembang secara natural. Lompatan emosi antar tokohnya mulai dapat dirasakan disini. Meskipun pada akhirnya terasa sedikit ngebut dengan banyaknya subplot demi subplot yang berusaha dijabarkan.
Penunjukkan Dude sebagai Syamsul sedikit beresiko karena ia lebih dikenal sebagai aktor layar gelas yang secara notabene berbeda jauh dengan layar kaca. Dan kekhawatiran saya terbukti karena Dude terasa naik-turun dalam menjiwai karakternya. Keterampilannya sebagai ustadz justru tidak terlalu ditonjolkan disini, hanya di kulit luarnya saja. Namun transformasi yang dilakukannya masih tergolong lumayan dan setidaknya terlihat meyakinkan sebagai sentralisasi cerita. Sebaliknya Asmirandah berhasil mencuri perhatian dengan karakter Silvi yang tidak hanya cantik tetapi juga soleh dan berani bersikap. Meyda Sefira masih kurang mendapat porsi yang layak sehingga terkesan menjadi pelengkap saja sebagai Zizi.
Kang Abik sebagai sutradara memang harus diakui berkemampuan menyajikan drama religi yang mengusung banyak problema tapi sayangnya masih terlalu teaterikal. Banyak sekuens yang terasa berlompatan disana-sini sehingga mengganggu proses penceritaan itu sendiri. Musik yang digunakan sebagai latarnya merupakan bantuan yang sangat berarti bagi film ini untuk membangun mood. Endingnya cenderung bisa ditebak dengan mudah oleh anda semua. Dalam Mihrab Cinta tidaklah sefenomenal KCB dalam berbagai aspeknya tetapi setidaknya dapat dijadikan obat penawar rindu anda akan kehadiran drama religi itu sendiri.
Durasi:
105 menit
Overall:
7 out of 10
Movie-meter:
6-sampah!
6.5-jelek ah
7-rada parah
7.5-standar aja
8-lumayan nih
8.5-bagus kok
9-luar biasa
Rabu, 22 Desember 2010
DREAM HOME : Kesadisan Jiwa Akibat Apartemen Impian
Tagline:
What would you do, if someone blocked your view..
Storyline:
Cheng Li-sheung adalah seorang wanita karir yang mendambakan sebuah apartment mewah yang menghadap pelabuhan Victoria Bay. Ia bekerja keras untuk itu tapi semuanya terasa sia-sia saat ayahnya sakit keras sehingga membutuhkan biaya pengobatan yang tidak sedikit. Belum lagi harga properti di Hongkong yang melangit. Didera oleh obsesi, Cheng nekad melakukan hal-hal mengerikan di luar batas kemanusiaannya demi mempertahankan impiannya sejak kecil.
Nice-to-know:
Diproduksi oleh 852 Films dan Making Film.
Cast:
Josie Ho sebagai Cheng Li-sheung
Eason Chan
Michelle Ye
Norman Chu
Hee Ching Paw
Lawrence Chou
Director:
Merupakan satu dari dua film di tahun 2010 yang digarap oleh Pang Ho-Cheung selain Love In A Puff.
Comment:
Berapa banyak film Hongkong yang secara gamblang menampilkan kesadisan di luar batas? Mungkin lebih dari satu dekade yang lalu ada The Untold Story yang melejitkan nama Anthony Wong mengenai pembunuhan manusia untuk kemudian dijadikan daging bakpau. Film tersebut dibuat sampai beberapa seri dan menjadi salah satu cult nya perfilman Asia hingga saat ini. Dan di tahun 2010 ini sutradara Pang Ho-Cheung menghadirkan hal yang kurang lebih sama dengan pendekatan yang berbeda lewat film ini.
Dream Home bukanlah film slasher biasa. Namun dibalut dengan konsep drama yang manusiawi. Gaya penceritaan Pang terasa unik karena menggunakan alur maju mundur secara bergantian hingga didapatkan satu konklusi yang menjelaskan semua. Sinematografi yang unik berhasil membesut sudut-sudut Hongkong dengan bangunan-bangunan pencakar langit secara simetris. Belum lagi didukung oleh musik latar mumpuni yang mengiringi setiap "scene" dengan tepat. Semua itu menjadikan film ini tidak sekadar mengumbar kesadisan tetapi sebuah potret realita yang mungkin saja terjadi di sekeliling kita terutama bagi mereka yang terhimpit masalah ekonomi.
Bagaimana problematika hidup yang keras bisa jadi mengubah kejiwaan seseorang dengan drastis. Itulah yang dijiwai Josie Ho dengan gemilang. Di satu sisi kita bersimpati padanya tetapi di sisi lain kita juga membencinya karena mampu melakukan kekejian dengan berdarah dingin. Aktor-aktris di luar Josie terkesan hanya sebagai boneka pendukung yang untungnya masih menjalankan tugas masing-masing dengan baik.
Visual efek yang dikerjakan oleh FatFace Productions saya katakan nyaris sempurna. Bagaimana pembantaian demi pembantaian memberikan nuansa yang berbeda-beda. Seperti seni yang dimainkan dengan instrumen yang berlainan dan hebatnya semua meyakinkan. Bagaimana benda-benda yang tidak pernah anda bayangkan sebelumnya bisa menancap di bagian-bagian tubuh manusia dengan mematikan. Semua disajikan secara gamblang tanpa ada kesan murahan ataupun bohong-bohongan sehingga pada satu titik rasanya kita dibuat percaya bahwa itu sungguhan. Gila!
Durasi:
95 menit
Overall:
7.5 out of 10
Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
What would you do, if someone blocked your view..
Storyline:
Cheng Li-sheung adalah seorang wanita karir yang mendambakan sebuah apartment mewah yang menghadap pelabuhan Victoria Bay. Ia bekerja keras untuk itu tapi semuanya terasa sia-sia saat ayahnya sakit keras sehingga membutuhkan biaya pengobatan yang tidak sedikit. Belum lagi harga properti di Hongkong yang melangit. Didera oleh obsesi, Cheng nekad melakukan hal-hal mengerikan di luar batas kemanusiaannya demi mempertahankan impiannya sejak kecil.
Nice-to-know:
Diproduksi oleh 852 Films dan Making Film.
Cast:
Josie Ho sebagai Cheng Li-sheung
Eason Chan
Michelle Ye
Norman Chu
Hee Ching Paw
Lawrence Chou
Director:
Merupakan satu dari dua film di tahun 2010 yang digarap oleh Pang Ho-Cheung selain Love In A Puff.
Comment:
Berapa banyak film Hongkong yang secara gamblang menampilkan kesadisan di luar batas? Mungkin lebih dari satu dekade yang lalu ada The Untold Story yang melejitkan nama Anthony Wong mengenai pembunuhan manusia untuk kemudian dijadikan daging bakpau. Film tersebut dibuat sampai beberapa seri dan menjadi salah satu cult nya perfilman Asia hingga saat ini. Dan di tahun 2010 ini sutradara Pang Ho-Cheung menghadirkan hal yang kurang lebih sama dengan pendekatan yang berbeda lewat film ini.
Dream Home bukanlah film slasher biasa. Namun dibalut dengan konsep drama yang manusiawi. Gaya penceritaan Pang terasa unik karena menggunakan alur maju mundur secara bergantian hingga didapatkan satu konklusi yang menjelaskan semua. Sinematografi yang unik berhasil membesut sudut-sudut Hongkong dengan bangunan-bangunan pencakar langit secara simetris. Belum lagi didukung oleh musik latar mumpuni yang mengiringi setiap "scene" dengan tepat. Semua itu menjadikan film ini tidak sekadar mengumbar kesadisan tetapi sebuah potret realita yang mungkin saja terjadi di sekeliling kita terutama bagi mereka yang terhimpit masalah ekonomi.
Bagaimana problematika hidup yang keras bisa jadi mengubah kejiwaan seseorang dengan drastis. Itulah yang dijiwai Josie Ho dengan gemilang. Di satu sisi kita bersimpati padanya tetapi di sisi lain kita juga membencinya karena mampu melakukan kekejian dengan berdarah dingin. Aktor-aktris di luar Josie terkesan hanya sebagai boneka pendukung yang untungnya masih menjalankan tugas masing-masing dengan baik.
Visual efek yang dikerjakan oleh FatFace Productions saya katakan nyaris sempurna. Bagaimana pembantaian demi pembantaian memberikan nuansa yang berbeda-beda. Seperti seni yang dimainkan dengan instrumen yang berlainan dan hebatnya semua meyakinkan. Bagaimana benda-benda yang tidak pernah anda bayangkan sebelumnya bisa menancap di bagian-bagian tubuh manusia dengan mematikan. Semua disajikan secara gamblang tanpa ada kesan murahan ataupun bohong-bohongan sehingga pada satu titik rasanya kita dibuat percaya bahwa itu sungguhan. Gila!
Durasi:
95 menit
Overall:
7.5 out of 10
Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
Selasa, 21 Desember 2010
KABAYAN JADI MILYUNER : Saat Kabayan Mengejar Cinta dan Harta Ke Ibukota
Storyline:
Ketua pesantren As-Salam, Ustad Soleh merupakan sosok yang dihormati di sebuah kampung di Jawa Barat dan ia memiliki tangan kanan bernama Kabayan, pemuda lugu yang juga disukai penduduk setempat. Pada suatu hari datanglah Boss Rocky yang ingin membeli tanah kampung tersebut untuk dijadikan resort yang lengkap. Kontan kehadirannya ditolak mentah-mentah oleh warga. Namun Boss Rocky yang licik menugaskan asistennya, Iteung yang cantik untuk mendapatkan hati Kabayan. Usaha ini berhasil karena Kabayan tertipu hingga menandatangani kontrak jual beli tanpa disengaja. Sahabat setia Kabayan, Armasan terus menyemangatinya untuk berangkat ke Jakarta bertemu dengan Abah dan Ambu dari Iteung yang menuntutnya uang satu milyar untuk menikahi Iteung. Apakah Kabayan dapat memenangkan permainan ini?
Nice-to-know:
Diproduksi oleh Starvision dan gala premierenya dilangsungkan di Planet Hollywood tanggal 21 Desember 2010.
Cast:
Jamie Aditya sebagai Kabayan
Rianti Cartwright sebagai Iteung
Amink sebagai Armasan
Christian Sugiono sebagai Boss Rocky
Didi Petet sebagai Abah
Meriam Bellina sebagai Ambu
Slamet Rahardjo sebagai Ustad Soleh
Director:
Karya kedua Guntur Soeharjanto di tahun 2010 ini setelah Ngebut Kawin.
Comment:
Pada awal pencetusan ide pembuatannya, proyek film ini sempat digadang-gadang akan mencetak sukses besar di tahun 2010. Apa pasal? Siapa yang tidak mengenal sosok Kabayan yang merupakan tokoh rakyat terkemuka dari Cirebon karena keluguan dan kesederhanaannya. Di layar gelas, serial televisi Kabayan yang melejitkan nama (alm) Kang Ibing bertahan cukup lama sebagai salah satu siaran favorit pemirsa. Sedangkan di layar lebar, Kabayan dan beberapa sekuelnya mempopulerkan nama Didi Petet yang kali ini terlibat juga setelah lebih dari 20 tahun absen. Terus terang saya cukup antusias menantikan film ini hingga penghujung tahun.
Sekitar 20 tahun kemudian rasanya kita sulit membayangkan siapa yang lebih cocok daripada artis segudang talenta, Jamie Aditya sebagai Kabayan masa kini. Dan Jamie menjawab tantangan itu dengan mantap dimana sosok lugu dan sederhana tetap dipertahankan tetapi ditambah dengan ekspresi 1001 wajah dan bahasa tubuhnya yang kocak itu. Penunjukkan Amink sebagai sidekick juga terasa tepat karena karakter Armasan memang cerdik nan sinis yang seringkali menjadi penunjuk bagi Kabayan. Rianti sendiri terasa pas sebagai love interest Kabayan walau kita akan melihat sedikit "pergeseran" penjiwaan Nyi Iteung di paruh pertama dan paruh kedua film. Tetap menarik di usia paruh baya, trio Slamet-Didi-Meriam dengan peranannya masing-masing.
Sutradara Guntur berhasil menyuguhkan sinematografi yang hidup mulai dari setting pedesaan Jawa Barat nan asri hingga perkotaan Jakarta nan bising. Namun skenario yang ditulis Cassandra Massardi masih memiliki kelemahan yang kentara yakni terlalu banyak menyajikan hal-hal komikal yang seringkali tidak relevan dengan bangunan utama cerita. Kreatifitas yang berbau komedik memang sah-sah saja asal tidak merusak esensi secara keseluruhan apalagi untuk mengangkat tokoh rakyat yang sudah sedemikian populer ini.
Harus diakui saya sangat menikmati 50 menit pertama film ini saat Kabayan masih di "sarang"nya. Konsep natural sangat tertata apik seperti menggembalakan ternak, bermain seruling, wayang orang dsb. Namun setelah berpindah ke Metropolitan, plot cerita seakan berbalik 360 derajat dimana absurditas sedikit menantang logika penonton untuk tetap antusias mengikutinya. Bagaimanapun juga Kabayan Jadi Milyuner tetaplah sebuah tontonan semua umur semua kalangan yang akan menghibur anda dengan gelak tawa ala 80an plus lantunan suara Melly Goeslaw yang berbeda dari biasanya itu. Siap untuk bernostalgia?
Durasi:
110 menit
Overall:
7.5 out of 10
Movie-meter:
6-sampah!
6.5-jelek ah
7-rada parah
7.5-standar aja
8-lumayan nih
8.5-bagus kok
9-luar biasa
Ketua pesantren As-Salam, Ustad Soleh merupakan sosok yang dihormati di sebuah kampung di Jawa Barat dan ia memiliki tangan kanan bernama Kabayan, pemuda lugu yang juga disukai penduduk setempat. Pada suatu hari datanglah Boss Rocky yang ingin membeli tanah kampung tersebut untuk dijadikan resort yang lengkap. Kontan kehadirannya ditolak mentah-mentah oleh warga. Namun Boss Rocky yang licik menugaskan asistennya, Iteung yang cantik untuk mendapatkan hati Kabayan. Usaha ini berhasil karena Kabayan tertipu hingga menandatangani kontrak jual beli tanpa disengaja. Sahabat setia Kabayan, Armasan terus menyemangatinya untuk berangkat ke Jakarta bertemu dengan Abah dan Ambu dari Iteung yang menuntutnya uang satu milyar untuk menikahi Iteung. Apakah Kabayan dapat memenangkan permainan ini?
Nice-to-know:
Diproduksi oleh Starvision dan gala premierenya dilangsungkan di Planet Hollywood tanggal 21 Desember 2010.
Cast:
Jamie Aditya sebagai Kabayan
Rianti Cartwright sebagai Iteung
Amink sebagai Armasan
Christian Sugiono sebagai Boss Rocky
Didi Petet sebagai Abah
Meriam Bellina sebagai Ambu
Slamet Rahardjo sebagai Ustad Soleh
Director:
Karya kedua Guntur Soeharjanto di tahun 2010 ini setelah Ngebut Kawin.
Comment:
Pada awal pencetusan ide pembuatannya, proyek film ini sempat digadang-gadang akan mencetak sukses besar di tahun 2010. Apa pasal? Siapa yang tidak mengenal sosok Kabayan yang merupakan tokoh rakyat terkemuka dari Cirebon karena keluguan dan kesederhanaannya. Di layar gelas, serial televisi Kabayan yang melejitkan nama (alm) Kang Ibing bertahan cukup lama sebagai salah satu siaran favorit pemirsa. Sedangkan di layar lebar, Kabayan dan beberapa sekuelnya mempopulerkan nama Didi Petet yang kali ini terlibat juga setelah lebih dari 20 tahun absen. Terus terang saya cukup antusias menantikan film ini hingga penghujung tahun.
Sekitar 20 tahun kemudian rasanya kita sulit membayangkan siapa yang lebih cocok daripada artis segudang talenta, Jamie Aditya sebagai Kabayan masa kini. Dan Jamie menjawab tantangan itu dengan mantap dimana sosok lugu dan sederhana tetap dipertahankan tetapi ditambah dengan ekspresi 1001 wajah dan bahasa tubuhnya yang kocak itu. Penunjukkan Amink sebagai sidekick juga terasa tepat karena karakter Armasan memang cerdik nan sinis yang seringkali menjadi penunjuk bagi Kabayan. Rianti sendiri terasa pas sebagai love interest Kabayan walau kita akan melihat sedikit "pergeseran" penjiwaan Nyi Iteung di paruh pertama dan paruh kedua film. Tetap menarik di usia paruh baya, trio Slamet-Didi-Meriam dengan peranannya masing-masing.
Sutradara Guntur berhasil menyuguhkan sinematografi yang hidup mulai dari setting pedesaan Jawa Barat nan asri hingga perkotaan Jakarta nan bising. Namun skenario yang ditulis Cassandra Massardi masih memiliki kelemahan yang kentara yakni terlalu banyak menyajikan hal-hal komikal yang seringkali tidak relevan dengan bangunan utama cerita. Kreatifitas yang berbau komedik memang sah-sah saja asal tidak merusak esensi secara keseluruhan apalagi untuk mengangkat tokoh rakyat yang sudah sedemikian populer ini.
Harus diakui saya sangat menikmati 50 menit pertama film ini saat Kabayan masih di "sarang"nya. Konsep natural sangat tertata apik seperti menggembalakan ternak, bermain seruling, wayang orang dsb. Namun setelah berpindah ke Metropolitan, plot cerita seakan berbalik 360 derajat dimana absurditas sedikit menantang logika penonton untuk tetap antusias mengikutinya. Bagaimanapun juga Kabayan Jadi Milyuner tetaplah sebuah tontonan semua umur semua kalangan yang akan menghibur anda dengan gelak tawa ala 80an plus lantunan suara Melly Goeslaw yang berbeda dari biasanya itu. Siap untuk bernostalgia?
Durasi:
110 menit
Overall:
7.5 out of 10
Movie-meter:
6-sampah!
6.5-jelek ah
7-rada parah
7.5-standar aja
8-lumayan nih
8.5-bagus kok
9-luar biasa
Senin, 20 Desember 2010
DEADBIRDS : Semalam Penuh Kejutan Kawanan Perampok
Tagline:
There are worse things than dying
Storyline:
Setelah Perang Sipil di Alabama, sekelompok bandit memilih beristirahat di sebuah rumah tua setelah merampok bank dengan hasil emas murni yang tak terhingga nilainya. Mereka adalah Sam, Todd, Anabelle, Clyde, Joseph yang dipimpin oleh William berusaha menghindari malam dan badai sebelum terbang ke Mexico City keesokan paginya. Namun keputusan mereka tampaknya salah karena satu persatu mulai mengalami gangguan supernatural yang sulit dijelaskan bahkan saling menyerang satu sama lain untuk bertahan hidup. Apakah yang sesungguhnya terjadi di rumah itu di masa yang lampau?
Nice-to-know:
Kota tempat syuting film ini pernah digunakan oleh Tim Burton juga dalam Big Fish (2003).
Cast:
Henry Thomas sebagai William
Patrick Fugit sebagai Sam
Nicki Aycox sebagai Annabelle
Michael Shannon sebagai Clyde
Muse Watson sebagai Father
Mark Boone Junior sebagai Joseph
Isaiah Washington sebagai Todd
Director:
Film panjang pertama bagi Alex Turner yang sebelumnya hanya bermain dalam beberapa film pendek.
Comment:
Syuting 21 hari yang tergolong singkat dengan bersettingkan satu malam saja di sebuah tempat rasanya memang cukup untuk menghasilkan film horor. Permasalahannya adalah kualitas akhirnya yang seringkali dipertanyakan.
Namun saya acungi jempol bagi debut sutradara Turner yang berhasil mengarahkan horor modern yang tetap bergaya klasik, mengingatkan pada karya-karya John Carpenter. Tentunya Turner tidak sendiri karena banyak orang-orang berbakat yang mendukungnya kali ini.
Screenplay yang dikerjakan Simon Barrett mampu menjaga intensitas ketegangan dengan interval yang pas. Berbaur manis dengan kinerja kamera Steve Yedlin yang banyak sekali bermain dengan konsep bayangan yang nyatanya cukup efektif. Sedangkan pada bagian score, Peter Lopez membangun atmosfir dengan brilian sehingga tercipta suasana mengerikan yang mendirikan bulu kuduk, mirip apa yang biasanya dilakukan oleh Polanski.
Dari jajaran cast, Thomas, Aycox, Washington, Watson dkk sebetulnya bermain lumayan, sayangnya tidak dibarengi oleh pengembangan karakter yang menarik. Hubungan antar tokoh seharusnya bisa diperkaya lagi tetapi tampaknya dianggap tidak terlalu diperlukan apalagi setting yang dominan dengan kegelapan agak menyulitkan untuk itu.
Meski bertempo lambat, Dead Birds sukses menjaga ritmenya, terlepas dari bagian pertengahan yang terkesan terlalu berlama-lama. Salah satu horor berbujet rendah yang berkualitas baik dalam beberapa tahun terakhir dimana atmosfir dan suspense berhasil dipertahankan sampai kejutan akhir. Ending yang mungkin tidak mengenakkan bagi anda tetapi cukup rasional. Ohya, beberapa jump out scenes bisa jadi membuat anda terpekik dan sulit tidur!
Durasi:
90 menit
Overall:
7.5 out of 10
Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
There are worse things than dying
Storyline:
Setelah Perang Sipil di Alabama, sekelompok bandit memilih beristirahat di sebuah rumah tua setelah merampok bank dengan hasil emas murni yang tak terhingga nilainya. Mereka adalah Sam, Todd, Anabelle, Clyde, Joseph yang dipimpin oleh William berusaha menghindari malam dan badai sebelum terbang ke Mexico City keesokan paginya. Namun keputusan mereka tampaknya salah karena satu persatu mulai mengalami gangguan supernatural yang sulit dijelaskan bahkan saling menyerang satu sama lain untuk bertahan hidup. Apakah yang sesungguhnya terjadi di rumah itu di masa yang lampau?
Nice-to-know:
Kota tempat syuting film ini pernah digunakan oleh Tim Burton juga dalam Big Fish (2003).
Cast:
Henry Thomas sebagai William
Patrick Fugit sebagai Sam
Nicki Aycox sebagai Annabelle
Michael Shannon sebagai Clyde
Muse Watson sebagai Father
Mark Boone Junior sebagai Joseph
Isaiah Washington sebagai Todd
Director:
Film panjang pertama bagi Alex Turner yang sebelumnya hanya bermain dalam beberapa film pendek.
Comment:
Syuting 21 hari yang tergolong singkat dengan bersettingkan satu malam saja di sebuah tempat rasanya memang cukup untuk menghasilkan film horor. Permasalahannya adalah kualitas akhirnya yang seringkali dipertanyakan.
Namun saya acungi jempol bagi debut sutradara Turner yang berhasil mengarahkan horor modern yang tetap bergaya klasik, mengingatkan pada karya-karya John Carpenter. Tentunya Turner tidak sendiri karena banyak orang-orang berbakat yang mendukungnya kali ini.
Screenplay yang dikerjakan Simon Barrett mampu menjaga intensitas ketegangan dengan interval yang pas. Berbaur manis dengan kinerja kamera Steve Yedlin yang banyak sekali bermain dengan konsep bayangan yang nyatanya cukup efektif. Sedangkan pada bagian score, Peter Lopez membangun atmosfir dengan brilian sehingga tercipta suasana mengerikan yang mendirikan bulu kuduk, mirip apa yang biasanya dilakukan oleh Polanski.
Dari jajaran cast, Thomas, Aycox, Washington, Watson dkk sebetulnya bermain lumayan, sayangnya tidak dibarengi oleh pengembangan karakter yang menarik. Hubungan antar tokoh seharusnya bisa diperkaya lagi tetapi tampaknya dianggap tidak terlalu diperlukan apalagi setting yang dominan dengan kegelapan agak menyulitkan untuk itu.
Meski bertempo lambat, Dead Birds sukses menjaga ritmenya, terlepas dari bagian pertengahan yang terkesan terlalu berlama-lama. Salah satu horor berbujet rendah yang berkualitas baik dalam beberapa tahun terakhir dimana atmosfir dan suspense berhasil dipertahankan sampai kejutan akhir. Ending yang mungkin tidak mengenakkan bagi anda tetapi cukup rasional. Ohya, beberapa jump out scenes bisa jadi membuat anda terpekik dan sulit tidur!
Durasi:
90 menit
Overall:
7.5 out of 10
Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
Sabtu, 18 Desember 2010
TRON LEGACY : Petualangan Penyelamatan Di Dunia Cyber
Quotes:
Alan Bradley: I promised you that if I ever got any information about your dad, I'd tell you first, right? I was paged last night; came from your dad's office at the arcade.
Sam Flynn: So?
Alan Bradley: "So?" That number has been disconnected for twenty years! Two nights before he disappeared, he came to my house. He said he was about to change everything - science, medicine, religion. He wouldn't have left that, Sam. He wouldn't have left you.
Storyline:
Di usia 27 tahun, Sam Flynn tumbuh menjadi seorang pemberontak akibat ditinggal ayahnya, Kevin Flynn yang menghilang secara misterius sejak ia kecil. Kevin sendiri pernah dikenal sebagai pengembang video game terbaik di seluruh dunia dan kini hanya tertingggal Flynn's Arcade yang sudah terbengkalai. Pada suatu malam, Sam menangkap signal aneh dari Flynn's Arcade yang disinyalir datang dari ayahnya yang mungkin saja terperangkap selama 20 tahun di dalam dunia cyber. Dibantu Quorra, Sam akhirnya bertemu kembali dengan Kevin. Sayangnya kehidupan dunia cyber tersebut sudah berkembang sedemikian rupa hingga menciptakan sosok penguasa yang tidak akan membiarkan ketiganya lolos dari sana. Berhasilkah Sam membawa ayahnya kembali ke dunia?
Nice-to-know:
Syuting film ini hanya menghabiskan waktu 64 hari tetapi paska produksinya membutuhkan 68 minggu karena kompleksitas spesial efeknya.
Cast:
Meneruskan peran ganda Kevin Flynn / Clu, Jeff Bridges pertama kali terlibat dalam TRON (1982).
Mengawali karir aktingnya dalam Troy (2004), Garrett Hedlund disini bermain sebagai Sam Flynn.
Baru saja terlihat dalam The Next Three Days yang rilis bersamaan, Olivia Wilde kebagian karakter Quorra
Bruce Boxleitner sebagai Alan Bradley / Tron
James Frain sebagai Jarvis
Beau Garrett sebagai Gem
Michael Sheen sebagai Castor / Zuse
Anis Cheurfa sebagai Rinzler
Director:
Merupakan debut penyutradaraan bagi Joseph Kosinski yang sebelumnya beberapa kali terlibat dalam serial televisi.
Comment:
Rasanya saya mempunyai pendapat yang berbeda dari kebanyakan orang mengenai film ini yang rata-rata memberikan nilai tinggu. Original Tron yang muncul di tahun 1982 jelas tidak pernah saya dengar atau saya saksikan, sebab saya belum lahir di tahun itu. Yang saya tahu Tron : Legacy merupakan sekuel dan menceritakan generasi yang lebih muda dengan kondisi yang lebih kini tentunya kalau tidak mau dibilang lebih futuristik lagi. So, i really have no idea until see the trailer itself.
Kisahnya cukup menarik dimana perjalanan memasuki dunia cyber yang tak terduga memang membuat sebagian besar penonton bertanya-tanya apa yang akan disuguhkan kemudian. Namun satu hal yang perlu saya tegaskan, benang merah cerita ini adalah hubungan ayah dan anak serta proses si anak menuju kedewasaan yang sesungguhnya. Sesimpel itu. Hanya saja ditambah dengan berbagai subplot yang mendukung seperti kisah cinta ataupun perseteruan. Tidak seru jika tidak ada dua hal ini dalam sebuah film blockbuster berbujet besar.
Spesial efek merupakan nilai utama yang dijual disini. Lihat bagaimana visualisasinya sangat memanjakan mata dengan sinar berwarna warni yang dilengkapi dengan background dark blue. Cakram berwarna putih, kontras dengan pedang berwarna oranye sekaligus melambangkan dua kubu yang saling berseberangan. Kostum aktor-aktrisnya sendiri konon menghabiskan 13 juta dollar! Luar biasa bukan? Sebanding dengan hasil akhirnya.
Jajaran cast yang mendukungnya bermain cukup baik. Bridges yang paling senior berakting bagus sebagai Kevin, tapi tidak sebagai Clu yang terlalu "digital" penampilannya apalagi ditambah dengan jenggot. Mungkin ini cara terbaik untuk me"muda"kannya tetapi malah terlihat palsu. Sedangkan Hedlund yang masih tergolong junior sedikit mengingatkan pada awal kemunculan Christensen dalam Star Wars, hanya saja Hedlund sedikit lebih dinamis dan natural dalam membawakan karakter Sam. Wilde menjadi daya tarik sendiri sebagai Quorra apalagi kostumnya yang super ketat nan seksi selayaknya Catwoman tanpa penutup mata. Jangan juga lupakan nama Martin Sheen.
Kekurangan film ini adalah fokus yang sering berpindah-pindah. Terlalu panjang di bagian yang tidak perlu dan kadang terlalu pendek di bagian yang penting. Prolog film harus diakui membosankan dan monoton. Namun setelah sejam berlalu dan Sam mulai memasuki The Grid, mata anda akan terjaga dengan Light Cycles, Light Runner dsb yang menampilkan berbagai adegan aksi yang menegangkan. Diperkuat oleh theme musik yang sangat pas menyatu dengan konsep film ini, Tron: Legacy rasanya bisa menutupi kelemahan yang dipunyainya. Film yang konon berbujet 300 juta dollar ini akan menghibur anda dengan penampakan yang futuristik sekaligus memukau walau tidak akan membombardir anda dengan aksi non stop sepanjang durasinya yang lumayan panjang itu. Pakailah terus kacamata 3D anda walau akan sedikit memusingkan kepala pada akhirnya.
Durasi:
125 menit
U.S. Box Office:
$52,100,000 in opening week of mid Dec 2010
Overall:
7.5 out of 10
Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
Alan Bradley: I promised you that if I ever got any information about your dad, I'd tell you first, right? I was paged last night; came from your dad's office at the arcade.
Sam Flynn: So?
Alan Bradley: "So?" That number has been disconnected for twenty years! Two nights before he disappeared, he came to my house. He said he was about to change everything - science, medicine, religion. He wouldn't have left that, Sam. He wouldn't have left you.
Storyline:
Di usia 27 tahun, Sam Flynn tumbuh menjadi seorang pemberontak akibat ditinggal ayahnya, Kevin Flynn yang menghilang secara misterius sejak ia kecil. Kevin sendiri pernah dikenal sebagai pengembang video game terbaik di seluruh dunia dan kini hanya tertingggal Flynn's Arcade yang sudah terbengkalai. Pada suatu malam, Sam menangkap signal aneh dari Flynn's Arcade yang disinyalir datang dari ayahnya yang mungkin saja terperangkap selama 20 tahun di dalam dunia cyber. Dibantu Quorra, Sam akhirnya bertemu kembali dengan Kevin. Sayangnya kehidupan dunia cyber tersebut sudah berkembang sedemikian rupa hingga menciptakan sosok penguasa yang tidak akan membiarkan ketiganya lolos dari sana. Berhasilkah Sam membawa ayahnya kembali ke dunia?
Nice-to-know:
Syuting film ini hanya menghabiskan waktu 64 hari tetapi paska produksinya membutuhkan 68 minggu karena kompleksitas spesial efeknya.
Cast:
Meneruskan peran ganda Kevin Flynn / Clu, Jeff Bridges pertama kali terlibat dalam TRON (1982).
Mengawali karir aktingnya dalam Troy (2004), Garrett Hedlund disini bermain sebagai Sam Flynn.
Baru saja terlihat dalam The Next Three Days yang rilis bersamaan, Olivia Wilde kebagian karakter Quorra
Bruce Boxleitner sebagai Alan Bradley / Tron
James Frain sebagai Jarvis
Beau Garrett sebagai Gem
Michael Sheen sebagai Castor / Zuse
Anis Cheurfa sebagai Rinzler
Director:
Merupakan debut penyutradaraan bagi Joseph Kosinski yang sebelumnya beberapa kali terlibat dalam serial televisi.
Comment:
Rasanya saya mempunyai pendapat yang berbeda dari kebanyakan orang mengenai film ini yang rata-rata memberikan nilai tinggu. Original Tron yang muncul di tahun 1982 jelas tidak pernah saya dengar atau saya saksikan, sebab saya belum lahir di tahun itu. Yang saya tahu Tron : Legacy merupakan sekuel dan menceritakan generasi yang lebih muda dengan kondisi yang lebih kini tentunya kalau tidak mau dibilang lebih futuristik lagi. So, i really have no idea until see the trailer itself.
Kisahnya cukup menarik dimana perjalanan memasuki dunia cyber yang tak terduga memang membuat sebagian besar penonton bertanya-tanya apa yang akan disuguhkan kemudian. Namun satu hal yang perlu saya tegaskan, benang merah cerita ini adalah hubungan ayah dan anak serta proses si anak menuju kedewasaan yang sesungguhnya. Sesimpel itu. Hanya saja ditambah dengan berbagai subplot yang mendukung seperti kisah cinta ataupun perseteruan. Tidak seru jika tidak ada dua hal ini dalam sebuah film blockbuster berbujet besar.
Spesial efek merupakan nilai utama yang dijual disini. Lihat bagaimana visualisasinya sangat memanjakan mata dengan sinar berwarna warni yang dilengkapi dengan background dark blue. Cakram berwarna putih, kontras dengan pedang berwarna oranye sekaligus melambangkan dua kubu yang saling berseberangan. Kostum aktor-aktrisnya sendiri konon menghabiskan 13 juta dollar! Luar biasa bukan? Sebanding dengan hasil akhirnya.
Jajaran cast yang mendukungnya bermain cukup baik. Bridges yang paling senior berakting bagus sebagai Kevin, tapi tidak sebagai Clu yang terlalu "digital" penampilannya apalagi ditambah dengan jenggot. Mungkin ini cara terbaik untuk me"muda"kannya tetapi malah terlihat palsu. Sedangkan Hedlund yang masih tergolong junior sedikit mengingatkan pada awal kemunculan Christensen dalam Star Wars, hanya saja Hedlund sedikit lebih dinamis dan natural dalam membawakan karakter Sam. Wilde menjadi daya tarik sendiri sebagai Quorra apalagi kostumnya yang super ketat nan seksi selayaknya Catwoman tanpa penutup mata. Jangan juga lupakan nama Martin Sheen.
Kekurangan film ini adalah fokus yang sering berpindah-pindah. Terlalu panjang di bagian yang tidak perlu dan kadang terlalu pendek di bagian yang penting. Prolog film harus diakui membosankan dan monoton. Namun setelah sejam berlalu dan Sam mulai memasuki The Grid, mata anda akan terjaga dengan Light Cycles, Light Runner dsb yang menampilkan berbagai adegan aksi yang menegangkan. Diperkuat oleh theme musik yang sangat pas menyatu dengan konsep film ini, Tron: Legacy rasanya bisa menutupi kelemahan yang dipunyainya. Film yang konon berbujet 300 juta dollar ini akan menghibur anda dengan penampakan yang futuristik sekaligus memukau walau tidak akan membombardir anda dengan aksi non stop sepanjang durasinya yang lumayan panjang itu. Pakailah terus kacamata 3D anda walau akan sedikit memusingkan kepala pada akhirnya.
Durasi:
125 menit
U.S. Box Office:
$52,100,000 in opening week of mid Dec 2010
Overall:
7.5 out of 10
Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
Jumat, 17 Desember 2010
DEVIL : Terjebak Dalam Lift Permainan Iblis
Tagline:
Bad Things Happen For A Reason
Storyline:
Dibuka dengan narasi petugas security bernama Ramirez yang menceritakan dongeng masa kecilnya saat seorang pria tak dikenal nekad loncat dari atap gedung perkantoran. Setelah itu Detective Bowden pun mengusut TKP sebelum memutuskan kasusnya. Sementara itu lima orang yang tak saling mengenal yaitu Ben, Sarah, Vince, Jane dan Tony memasuki gedung dan menempati lift yang sama. Di luar dugaan, lift berhenti mendadak dan menyisakan perdebatan di antara mereka berlima. Selagi perbaikan menunggu, hal-hal aneh yang mengerikan terjadi dalam lift tersebut. Benarkah salah satu dari mereka adalah jelmaan iblis pencabut nyawa?
Nice-to-know:
Angka 666 yang seringkali diartikan simbol iblis juga muncul disini mulai dari nomor gedung 333 (666/2), nomor lift 6, dan berhenti di lantai 23 sampai 42 (2*3=6, 4+2=6).
Cast:
Chris Messina sebagai Detective Bowden
Logan Marshall-Green sebagai Tony
Jenny O'Hara sebagai Jane (Wanita Tua)
Bojana Novakovic sebagai Sarah
Bokeem Woodbine sebagai Ben
Geoffrey Arend sebagai Vince
Jacob Vargas sebagai Ramirez
Director:
John Erick Dowdle yang angkat nama lewat Quarantine (2008) kali ini juga bermain dalam film bergenre horor thriller.
Comment:
Nama M. Night Shyamalan bagi saya tetaplah sebuah misteri yang karya-karyanya seringkali overrated. Namun sejauh ini baru Lady In The Water yang benar-benar tidak saya sukai. Selebihnya masih dapat dinikmati terutama The Sixth Sense tentunya. Kredibilitasnya yang mulai turun kini coba dibangun kembali lewat proyek The Night Chronicles Trilogy yang akan berfokus pada adaptasi kisah-kisah horor klasik ke dalam situasi modern. Menarik bukan? Dan film inilah sebagai pembukanya.
Premis film ini cukup menarik dimana mengambil tema suspense, thriller, horror, drama sekaligus dengan jalinan cerita yang berbelit tetapi disajikan secara simpel dan mudah dicerna. Subplot utamanya seakan terbagi menjadi dua bagian yaitu di dalam dan di luar lift. Bagaimana orang-orang yang terjebak di dalam lift berusaha mengalahkan klaustrofobianya sekaligus bertahan hidup dari ancaman satu sama lain. Sedangkan pihak-pihak di luar lift sibuk melakukan evakuasi sekaligus investigasi terhadap fenomena apa yang sesungguhnya terjadi disitu. Kedua bagian ini saling kait-mengait pada akhirnya dan berujung pada satu twist yang pintar dan sukses menyimpulkan keseluruhan benang merah.
Beruntung Shyamalan tidak melibatkan dirinya lagi sebagai aktor cameo tetapi benar-benar berfokus pada penulisan cerita dan memproduserinya, salah satu skill terbaiknya untuk genre horor/thriller. Dan penunjukkan Erick Dowdle merupakan pilihan yang tepat untuk menyutradarainya. Bagaimana gaya film lawas Alfred Hitchcock disajikan dengan penggunaan musik latar yang tepat untuk membangun suasana mencekam dan juga rasa penasaran yang tinggi.
Para aktor-aktris yang bermain disini juga menunaikan tugasnya dengan baik. Lihat bagaimana Messina harus berdamai dengan masa lalunya yang menyedihkan untuk tetap fokus pada kegigihannya mengungkapkan kasus tanpa terpengaruh sudut pandang apapun. Atau Vargas yang memainkan intonasi suaranya sedemikian rupa sehingga terasa seperti storyteller anak-anak yang sendu. Marshall-Green, Woodbine, Novakovic memberikan emosi yang cukup baik sebagai pribadi-pribadi resah yang terjebak dalam situasi yang tidak mengenakkan.
Semakin sedikit anda mengetahui DEVIL maka akan semakin menikmati apa yang disuguhkan Shyamalan kali ini. Sama halnya seperti saya yang tergerak untuk menunggu episode-episode berikutnya. Bagaimana skrip yang demikian tidak terduga dan tidak klise berhasil menjaga intensitas yang sama hingga berujung pada klimaks yang menarik. Dengan biaya produksi yang tidak tinggi serta durasi yang cukup singkat bisa jadi jalan kembali Shyamalan ke jajaran filmmaker yang patut diperhitungkan terutama dalam genre seperti ini.
Durasi:
80 menit
U.S. Box Office:
$33,583,175 till mid Nov 2010
Overall:
7.5 out of 10
Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
Bad Things Happen For A Reason
Storyline:
Dibuka dengan narasi petugas security bernama Ramirez yang menceritakan dongeng masa kecilnya saat seorang pria tak dikenal nekad loncat dari atap gedung perkantoran. Setelah itu Detective Bowden pun mengusut TKP sebelum memutuskan kasusnya. Sementara itu lima orang yang tak saling mengenal yaitu Ben, Sarah, Vince, Jane dan Tony memasuki gedung dan menempati lift yang sama. Di luar dugaan, lift berhenti mendadak dan menyisakan perdebatan di antara mereka berlima. Selagi perbaikan menunggu, hal-hal aneh yang mengerikan terjadi dalam lift tersebut. Benarkah salah satu dari mereka adalah jelmaan iblis pencabut nyawa?
Nice-to-know:
Angka 666 yang seringkali diartikan simbol iblis juga muncul disini mulai dari nomor gedung 333 (666/2), nomor lift 6, dan berhenti di lantai 23 sampai 42 (2*3=6, 4+2=6).
Cast:
Chris Messina sebagai Detective Bowden
Logan Marshall-Green sebagai Tony
Jenny O'Hara sebagai Jane (Wanita Tua)
Bojana Novakovic sebagai Sarah
Bokeem Woodbine sebagai Ben
Geoffrey Arend sebagai Vince
Jacob Vargas sebagai Ramirez
Director:
John Erick Dowdle yang angkat nama lewat Quarantine (2008) kali ini juga bermain dalam film bergenre horor thriller.
Comment:
Nama M. Night Shyamalan bagi saya tetaplah sebuah misteri yang karya-karyanya seringkali overrated. Namun sejauh ini baru Lady In The Water yang benar-benar tidak saya sukai. Selebihnya masih dapat dinikmati terutama The Sixth Sense tentunya. Kredibilitasnya yang mulai turun kini coba dibangun kembali lewat proyek The Night Chronicles Trilogy yang akan berfokus pada adaptasi kisah-kisah horor klasik ke dalam situasi modern. Menarik bukan? Dan film inilah sebagai pembukanya.
Premis film ini cukup menarik dimana mengambil tema suspense, thriller, horror, drama sekaligus dengan jalinan cerita yang berbelit tetapi disajikan secara simpel dan mudah dicerna. Subplot utamanya seakan terbagi menjadi dua bagian yaitu di dalam dan di luar lift. Bagaimana orang-orang yang terjebak di dalam lift berusaha mengalahkan klaustrofobianya sekaligus bertahan hidup dari ancaman satu sama lain. Sedangkan pihak-pihak di luar lift sibuk melakukan evakuasi sekaligus investigasi terhadap fenomena apa yang sesungguhnya terjadi disitu. Kedua bagian ini saling kait-mengait pada akhirnya dan berujung pada satu twist yang pintar dan sukses menyimpulkan keseluruhan benang merah.
Beruntung Shyamalan tidak melibatkan dirinya lagi sebagai aktor cameo tetapi benar-benar berfokus pada penulisan cerita dan memproduserinya, salah satu skill terbaiknya untuk genre horor/thriller. Dan penunjukkan Erick Dowdle merupakan pilihan yang tepat untuk menyutradarainya. Bagaimana gaya film lawas Alfred Hitchcock disajikan dengan penggunaan musik latar yang tepat untuk membangun suasana mencekam dan juga rasa penasaran yang tinggi.
Para aktor-aktris yang bermain disini juga menunaikan tugasnya dengan baik. Lihat bagaimana Messina harus berdamai dengan masa lalunya yang menyedihkan untuk tetap fokus pada kegigihannya mengungkapkan kasus tanpa terpengaruh sudut pandang apapun. Atau Vargas yang memainkan intonasi suaranya sedemikian rupa sehingga terasa seperti storyteller anak-anak yang sendu. Marshall-Green, Woodbine, Novakovic memberikan emosi yang cukup baik sebagai pribadi-pribadi resah yang terjebak dalam situasi yang tidak mengenakkan.
Semakin sedikit anda mengetahui DEVIL maka akan semakin menikmati apa yang disuguhkan Shyamalan kali ini. Sama halnya seperti saya yang tergerak untuk menunggu episode-episode berikutnya. Bagaimana skrip yang demikian tidak terduga dan tidak klise berhasil menjaga intensitas yang sama hingga berujung pada klimaks yang menarik. Dengan biaya produksi yang tidak tinggi serta durasi yang cukup singkat bisa jadi jalan kembali Shyamalan ke jajaran filmmaker yang patut diperhitungkan terutama dalam genre seperti ini.
Durasi:
80 menit
U.S. Box Office:
$33,583,175 till mid Nov 2010
Overall:
7.5 out of 10
Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
Kamis, 16 Desember 2010
POCONG RUMAH ANGKER : Misi "Pencarian" Berbuntut Penampakan
Storyline:
Bertindak sebagai reporter, Zaki, Joana dan Debby nekad menyambangi sebuah rumah kosong yang terkenal angker karena sering dijadikan tempat pembuangan mayat dalam kasus kriminal. Saat mendokumentasikan situasi bangunan dengan handycam, Joana malah membuka payung usang di dalam rumah tersebut. Hal tersebut diyakini Zaki yang juga diamini Debby akan mengundang makhluk-makhluk gaib. Sepulang dari sana, Zaki, Joana dan Debby kerap diganggu oleh berbagai penampakan yang sulit terjelaskan bahkan teman mereka yang juga seorang bule, Ipung disambangi gadis manis bernama Lilis yang mengaku mengenal trio tersebut di suatu tempat. Apa yang dimulai di tempat awal harus juga diakhiri disana. Maka mereka berlima berusaha menelusuri apa yang sesungguhnya diinginkan oleh makhluk gaib tersebut.
Nice-to-know:
Diproduksi oleh Mitra Pictures – Bic Production.
Cast:
Donita
Zaki Zimah
Pamela Bowie
Krisna Patra
Radith
Director:
Koya Pagayo kembali lagi setelah terakhir membuat versi Indonesia Te[rekam] pada pertengahan tahun 2010 ini.
Comment:
Tibalah saat yang ditunggu-tunggu yakni mereview film terakhir sutradara paling produktif di tahun 2010. Anda tahu siapa namanya, tak usah saya sebutkan lagi. Pantang soalnya! Dan menurut pendapat saya, film ini seperti kompilasi dua filmnya sebelumnya yaitu Kuntilanak Beranak dan Sarang Kuntilanak. Namun dikarenakan mengangkat tema hantu mantan penari jaipong (dulu ronggeng) dan rumah angker maka judulpun diganti menjadi Pocong. Subyek horornya menjadi dua yaitu Pocong dan Kuntilanak sekaligus. Voila! Entah mana dari mereka yang bernama Lilis, tidak ada penjelasan, atau saya yang memang tidak perhatian karena tidak penting? Maafkan saya jika begitu.
Dari jajaran cast, beribu sayang Zaky tidak seperti tupai yang tidak jatuh berkali-kali di lubang yang sama, melainkan dakocan yang berkali-kali jatuh di genre film yang sama! Desperate keluar dari komedi layar gelas ke komedi horor layar lebar? Sekali-kali tidak masalah tapi kalau berkali-kali bikin eneg. Ia yang saya akui lucu di beberapa film sebelumnya kali ini gagal total. Jayus abis! Maaf Zaky, kali ini gaya melucu anda kurang ampuh dan amat sangat dipaksakan. Saya sebetulnya ingin tertawa tapi tidak menemukan alasan yang kuat melakukan itu. Sama halnya dengan Donita dan Pamela yang hanya berusaha bercantik-cantik dan menjerit-jerit ria tanpa ada efek positif bagi film ini.
Jika saya ada di posisi produser seperti HM Firman Bintang, maka saya akan menggaji Lilis 3x lipat! Kesulitannya paling tinggi karena harus berperan sedikitnya sebagai lima makhluk! Satu, sebagai gadis desa manis yang lugu. Dua, sebagai penari Jaipong yang lincah menarik. Tiga, sebagai gadis pendiam yang selalu menunduk dengan rambut awut-awutan. Tiga, sebagai pocong yang hobi "tampil". Empat, sebagai "gadis" misterius yang hobi merambat di tembok ataupun naik turun dengan kerekan tali. Sungguh usaha yang luar biasa!
Satu hal yang paling memorable (sekaligus penting) bagi saya adalah saat Debby mengisi gelasnya dengan air dari botol tetapi kosong saat diminumnya, berkali-kali! Cukup orisinil. Selebihnya Pocong Rumah Angker hanyalah pengulangan formula basi yang sudah expired beratus-ratus tahun lalu hingga meracuni otak sekaligus pikiran penonton yang kadung bingung dengan misi film ini sebenarnya. Masih berpikir ingin mencari pocong (atau membantu pocong mencari) di rumah angker?
Durasi:
80 menit
Overall:
6 out of 10
Movie-meter:
6-sampah!
6.5-jelek ah
7-rada parah
7.5-standar aja
8-lumayan nih
8.5-bagus kok
9-luar biasa
Bertindak sebagai reporter, Zaki, Joana dan Debby nekad menyambangi sebuah rumah kosong yang terkenal angker karena sering dijadikan tempat pembuangan mayat dalam kasus kriminal. Saat mendokumentasikan situasi bangunan dengan handycam, Joana malah membuka payung usang di dalam rumah tersebut. Hal tersebut diyakini Zaki yang juga diamini Debby akan mengundang makhluk-makhluk gaib. Sepulang dari sana, Zaki, Joana dan Debby kerap diganggu oleh berbagai penampakan yang sulit terjelaskan bahkan teman mereka yang juga seorang bule, Ipung disambangi gadis manis bernama Lilis yang mengaku mengenal trio tersebut di suatu tempat. Apa yang dimulai di tempat awal harus juga diakhiri disana. Maka mereka berlima berusaha menelusuri apa yang sesungguhnya diinginkan oleh makhluk gaib tersebut.
Nice-to-know:
Diproduksi oleh Mitra Pictures – Bic Production.
Cast:
Donita
Zaki Zimah
Pamela Bowie
Krisna Patra
Radith
Director:
Koya Pagayo kembali lagi setelah terakhir membuat versi Indonesia Te[rekam] pada pertengahan tahun 2010 ini.
Comment:
Tibalah saat yang ditunggu-tunggu yakni mereview film terakhir sutradara paling produktif di tahun 2010. Anda tahu siapa namanya, tak usah saya sebutkan lagi. Pantang soalnya! Dan menurut pendapat saya, film ini seperti kompilasi dua filmnya sebelumnya yaitu Kuntilanak Beranak dan Sarang Kuntilanak. Namun dikarenakan mengangkat tema hantu mantan penari jaipong (dulu ronggeng) dan rumah angker maka judulpun diganti menjadi Pocong. Subyek horornya menjadi dua yaitu Pocong dan Kuntilanak sekaligus. Voila! Entah mana dari mereka yang bernama Lilis, tidak ada penjelasan, atau saya yang memang tidak perhatian karena tidak penting? Maafkan saya jika begitu.
Dari jajaran cast, beribu sayang Zaky tidak seperti tupai yang tidak jatuh berkali-kali di lubang yang sama, melainkan dakocan yang berkali-kali jatuh di genre film yang sama! Desperate keluar dari komedi layar gelas ke komedi horor layar lebar? Sekali-kali tidak masalah tapi kalau berkali-kali bikin eneg. Ia yang saya akui lucu di beberapa film sebelumnya kali ini gagal total. Jayus abis! Maaf Zaky, kali ini gaya melucu anda kurang ampuh dan amat sangat dipaksakan. Saya sebetulnya ingin tertawa tapi tidak menemukan alasan yang kuat melakukan itu. Sama halnya dengan Donita dan Pamela yang hanya berusaha bercantik-cantik dan menjerit-jerit ria tanpa ada efek positif bagi film ini.
Jika saya ada di posisi produser seperti HM Firman Bintang, maka saya akan menggaji Lilis 3x lipat! Kesulitannya paling tinggi karena harus berperan sedikitnya sebagai lima makhluk! Satu, sebagai gadis desa manis yang lugu. Dua, sebagai penari Jaipong yang lincah menarik. Tiga, sebagai gadis pendiam yang selalu menunduk dengan rambut awut-awutan. Tiga, sebagai pocong yang hobi "tampil". Empat, sebagai "gadis" misterius yang hobi merambat di tembok ataupun naik turun dengan kerekan tali. Sungguh usaha yang luar biasa!
Satu hal yang paling memorable (sekaligus penting) bagi saya adalah saat Debby mengisi gelasnya dengan air dari botol tetapi kosong saat diminumnya, berkali-kali! Cukup orisinil. Selebihnya Pocong Rumah Angker hanyalah pengulangan formula basi yang sudah expired beratus-ratus tahun lalu hingga meracuni otak sekaligus pikiran penonton yang kadung bingung dengan misi film ini sebenarnya. Masih berpikir ingin mencari pocong (atau membantu pocong mencari) di rumah angker?
Durasi:
80 menit
Overall:
6 out of 10
Movie-meter:
6-sampah!
6.5-jelek ah
7-rada parah
7.5-standar aja
8-lumayan nih
8.5-bagus kok
9-luar biasa
Senin, 13 Desember 2010
THE NEXT THREE DAYS : Melarikan Istri Dari Tuduhan Pembunuhan
Tagline:
Lose who you are to save what you love.
Storyline:
Tiba-tiba saja Lara Brennan ditahan di rumahnya sendiri karena dituduh membunuh bosnya sendiri dimana keduanya sempat terlibat argumen keras pada malam sebelumnya. Menurut Kepolisian, sidik jari Lara terekam di TKP sehingga memberatkannya dan mengganjarnya hukuman 20 tahun penjara. Suami Lara, John Brennan menghabiskan bertahun-tahun untuk mengeluarkan Lara tetapi sia-sia saja karena bukti dan kesaksiannya saja tidak cukup. Putus asa saat putranya Luke mulai menjauhi ibunya, John pun menempuh satu-satunya cara yaitu menjebol penjara dan merencanakan pelarian sempurna. Berhasilkah John merancang semuanya sekaligus menuju kehidupan baru yang harmonis kembali?
Nice-to-know:
Sebelumnya Elizabeth Banks pernah bermain sebagai ibu rumah tangga yang dituduh melakukan pembunuhan dalam serial "Law & Order: Special Victims Unit" (1999).
Cast:
Terakhir kita lihat bermain sebagai Robin Longstride dalam Robin Hood, Russell Crowe kini berperan sebagai John Brennan, ayah, suami sekaligus guru biasa yang nekad melawan hukum demi mempertahankan keutuhan keluarganya.
Turut bermain dalam serial televisi Scrubs di sela-sela kesibukannya, Elizabeth Banks tampil berbeda dari biasanya sebagai Lara Brennan yang dituduh melakukan pembunuhan terhadap bos wanitanya sendiri.
Jason Beghe sebagai Detective Quinn
Aisha Hinds sebagai Detective Collero
Liam Neeson sebagai Damon Pennington
Olivia Wilde sebagai Nicole
Ty Simpkins sebagai Luke
Director:
Sutradara Inggris berusia 69 tahun bernama Michael Apted sebelum ini menyutradarai Married In America 2 (2007).
Comment:
Merupakan remake dari action thriller Perancis berjudul Anything for Her di tahun 2008. Kini sutradara Paul Haggis mengganti setting Paris, Eropa menjadi Pittsburgh, Amerika Utara. Nyaris sama persis dan konon sama baiknya meski saya belum menyaksikan versi originalnya. Lebih dari sepertiga film diawali dengan lambat saat karakter John melakukan riset terbaiknya sebelum menjalankan rencana nekad yang bisa dibilang kesempatan sekali seumur hidupnya. Melewati pertengahan film barulah intensitas mulai meningkat dan menyajikan berbagai aksi yang seru.
Crowe sebagai John, seorang guru bahasa Inggris kampus sepintas terlihat tidak beremosi tetapi tindakannya menunjukkan bahwa ia sepenuhnya percaya dan mencintai istrinya. Menarik melihat Crowe dalam porsi superior tapi masih manusiawi disini. Sebaliknya, Banks yang biasa bermain dalam genre komedi memperlihatkan akting yang baik sebagai istri sekaligus ibu yang terfitnah hingga terancam harus mengakhiri hidupnya di penjara akibat tuduhan pembunuhan. Meskipun tampil sekilas, Neeson cukup mengesankan sebagai figur mentor yang baik di prolog film.
Saya harus akui sebagai action thriller, The Next Three Days ditutup dengan baik lebih dikarenakan sudut pandang unik yang dipakainya walaupun durasinya cukup panjang. Berbagai twists dan turns berhasil menyajikan ketegangan sendiri dalam mengikutinya. Sedikit mengingatkan apa yang biasa dilakukan Haggis sebelumnya yang juga dikombinasikan dengan musik latar yang sangat membangun mood penonton. Anda seakan diajak peduli sepenuhnya pada usaha John melarikan Lara. Bagaimana seorang pria biasa berusaha semaksimal mungkin menyatukan keluarganya kembali walau harus melakukan hal-hal di luar kebiasaan dan kemampuannya. Sesaat kadang kita dihadapkan pada situasi dimana seperti berdiri di antara garis tipis benar atau salah yang terkadang sulit ditebak kenyataannya. Slow start then closed with excellency!
Durasi:
120 menit
U.S. Box Office:
$18,310,917 till early Dec 2010
Overall:
7.5 out of 10
Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
Lose who you are to save what you love.
Storyline:
Tiba-tiba saja Lara Brennan ditahan di rumahnya sendiri karena dituduh membunuh bosnya sendiri dimana keduanya sempat terlibat argumen keras pada malam sebelumnya. Menurut Kepolisian, sidik jari Lara terekam di TKP sehingga memberatkannya dan mengganjarnya hukuman 20 tahun penjara. Suami Lara, John Brennan menghabiskan bertahun-tahun untuk mengeluarkan Lara tetapi sia-sia saja karena bukti dan kesaksiannya saja tidak cukup. Putus asa saat putranya Luke mulai menjauhi ibunya, John pun menempuh satu-satunya cara yaitu menjebol penjara dan merencanakan pelarian sempurna. Berhasilkah John merancang semuanya sekaligus menuju kehidupan baru yang harmonis kembali?
Nice-to-know:
Sebelumnya Elizabeth Banks pernah bermain sebagai ibu rumah tangga yang dituduh melakukan pembunuhan dalam serial "Law & Order: Special Victims Unit" (1999).
Cast:
Terakhir kita lihat bermain sebagai Robin Longstride dalam Robin Hood, Russell Crowe kini berperan sebagai John Brennan, ayah, suami sekaligus guru biasa yang nekad melawan hukum demi mempertahankan keutuhan keluarganya.
Turut bermain dalam serial televisi Scrubs di sela-sela kesibukannya, Elizabeth Banks tampil berbeda dari biasanya sebagai Lara Brennan yang dituduh melakukan pembunuhan terhadap bos wanitanya sendiri.
Jason Beghe sebagai Detective Quinn
Aisha Hinds sebagai Detective Collero
Liam Neeson sebagai Damon Pennington
Olivia Wilde sebagai Nicole
Ty Simpkins sebagai Luke
Director:
Sutradara Inggris berusia 69 tahun bernama Michael Apted sebelum ini menyutradarai Married In America 2 (2007).
Comment:
Merupakan remake dari action thriller Perancis berjudul Anything for Her di tahun 2008. Kini sutradara Paul Haggis mengganti setting Paris, Eropa menjadi Pittsburgh, Amerika Utara. Nyaris sama persis dan konon sama baiknya meski saya belum menyaksikan versi originalnya. Lebih dari sepertiga film diawali dengan lambat saat karakter John melakukan riset terbaiknya sebelum menjalankan rencana nekad yang bisa dibilang kesempatan sekali seumur hidupnya. Melewati pertengahan film barulah intensitas mulai meningkat dan menyajikan berbagai aksi yang seru.
Crowe sebagai John, seorang guru bahasa Inggris kampus sepintas terlihat tidak beremosi tetapi tindakannya menunjukkan bahwa ia sepenuhnya percaya dan mencintai istrinya. Menarik melihat Crowe dalam porsi superior tapi masih manusiawi disini. Sebaliknya, Banks yang biasa bermain dalam genre komedi memperlihatkan akting yang baik sebagai istri sekaligus ibu yang terfitnah hingga terancam harus mengakhiri hidupnya di penjara akibat tuduhan pembunuhan. Meskipun tampil sekilas, Neeson cukup mengesankan sebagai figur mentor yang baik di prolog film.
Saya harus akui sebagai action thriller, The Next Three Days ditutup dengan baik lebih dikarenakan sudut pandang unik yang dipakainya walaupun durasinya cukup panjang. Berbagai twists dan turns berhasil menyajikan ketegangan sendiri dalam mengikutinya. Sedikit mengingatkan apa yang biasa dilakukan Haggis sebelumnya yang juga dikombinasikan dengan musik latar yang sangat membangun mood penonton. Anda seakan diajak peduli sepenuhnya pada usaha John melarikan Lara. Bagaimana seorang pria biasa berusaha semaksimal mungkin menyatukan keluarganya kembali walau harus melakukan hal-hal di luar kebiasaan dan kemampuannya. Sesaat kadang kita dihadapkan pada situasi dimana seperti berdiri di antara garis tipis benar atau salah yang terkadang sulit ditebak kenyataannya. Slow start then closed with excellency!
Durasi:
120 menit
U.S. Box Office:
$18,310,917 till early Dec 2010
Overall:
7.5 out of 10
Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
Minggu, 12 Desember 2010
HAUNTED CHANGI : Menelusuri Rumah Sakit Bersejarah Terbengkalai
Tagline:
In January 2010, a group of filmmakers began exploring Old Changi Hospital in Singapore.. with terrifying and tragic results.
Storyline:
Empat orang masing-masing Andrew, Sheena, Audi dan Farid mempunyai proyek menyelidiki RS Changi yang terbengkalai dan konon berhantu. Berbagai kamera ditempatkan di setiap sudut untuk mengambil gambar sepanjang hari, siang dan malam. Terkadang mereka turun langsung ke lokasi untuk mencari terowongan rahasia yang tersembunyi sejak jaman penjajahan Jepang atas bangsa Singapura tersebut. Kemudian bergabungnya Tim Pemburu Hantu Singapura dengan keempat muda-mudi tersebut. Apa yang akan mereka temukan disana?
Nice-to-know:
Tanggal premiere film ini di negara asalnya adalah 2 September 2010.
Cast:
Andrew Lau sebagai Director
Sheena Chung sebagai Producer
Farid Azlam sebagai Sound
Audi Khalis sebagai Camera
Director:
Andrew Lau
Comment:
Film ini sangat menghebohkan Singapore beberapa bulan terakhir. Pasalnya keempat orang yang berinisiatif terjun langsung dalam proyek ini menggunakan media sosial seperti Twitter dan Facebook untuk menciptakan eforia tersendiri. Bagaimana mereka membeberkan timeline produksi mulai dari ide awal hingga berjalannya syuting. Taktik promosi yang pintar sehingga membuat publik setempat penasaran luar biasa apalagi Rumah Sakit Tua Changi itu memang sudah kesohor angkernya sejak tahun 1997.
Prolog dibuka dengan pengenalan para kru yang terlebih dahulu menceritakan sejarah rumah sakit tersebut sekaligus mewawancarai beberapa penduduk setempat. Hal ini sangat krusial mengingat audiens di luar Singapura membutuhkan informasi tersebut untuk benar-benar masuk ke dalam tujuan pembuatan dokumenter ini. Bisa diartikan juga pemanasan agar anda bisa berimajinasi terlebih dahulu akan apa yang ditampilkan kelak. Nyaris separuh durasi film dihabiskan untuk hal ini dan suka tidak suka memang agak membosankan.
Ketakutan yang berusaha dihadirkan terbagi menjadi dua yaitu siang dan malam hari. Pada siang hari, walau tanpa spesial efek apapun, gedung tua itu sudah sangat mengerikan yang menyiratkan akan kesepian yang misterius. Bagian ini diyakini mampu membuat anda terjaga untuk berusaha menangkap setiap detil yang mungkin muncul. Pada malam hari memang dibantu oleh night vision dari berbagai jenis kamera yang sukses menyingkap bayangan dari pencahayaan yang minim. Bagian ini saya acungi jempol akan keberanian mereka menelusuri lorong-lorong sempit dimana terkadang bertemu dengan hal-hal aneh yang sulit dijelaskan.
Twist dirancang pada akhir cerita yang meski tidak terlalu mencengangkan tetapi kenyataan yang terbangun cukup membuat audiens sedikit "blank". Haunted Changi merupakan proyek ambisius negeri Singapura untuk menembus pasaran horor internasional dengan konsep found footage pertamanya. Benarkah rekaman yang terdiri dari potongan-potongan gambar ini asli? Terus terang saya sedikit meragukannya atas berbagai alasan. Bagaimana menurut anda?
Durasi:
85 menit
Overall:
7 out of 10
Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
In January 2010, a group of filmmakers began exploring Old Changi Hospital in Singapore.. with terrifying and tragic results.
Storyline:
Empat orang masing-masing Andrew, Sheena, Audi dan Farid mempunyai proyek menyelidiki RS Changi yang terbengkalai dan konon berhantu. Berbagai kamera ditempatkan di setiap sudut untuk mengambil gambar sepanjang hari, siang dan malam. Terkadang mereka turun langsung ke lokasi untuk mencari terowongan rahasia yang tersembunyi sejak jaman penjajahan Jepang atas bangsa Singapura tersebut. Kemudian bergabungnya Tim Pemburu Hantu Singapura dengan keempat muda-mudi tersebut. Apa yang akan mereka temukan disana?
Nice-to-know:
Tanggal premiere film ini di negara asalnya adalah 2 September 2010.
Cast:
Andrew Lau sebagai Director
Sheena Chung sebagai Producer
Farid Azlam sebagai Sound
Audi Khalis sebagai Camera
Director:
Andrew Lau
Comment:
Film ini sangat menghebohkan Singapore beberapa bulan terakhir. Pasalnya keempat orang yang berinisiatif terjun langsung dalam proyek ini menggunakan media sosial seperti Twitter dan Facebook untuk menciptakan eforia tersendiri. Bagaimana mereka membeberkan timeline produksi mulai dari ide awal hingga berjalannya syuting. Taktik promosi yang pintar sehingga membuat publik setempat penasaran luar biasa apalagi Rumah Sakit Tua Changi itu memang sudah kesohor angkernya sejak tahun 1997.
Prolog dibuka dengan pengenalan para kru yang terlebih dahulu menceritakan sejarah rumah sakit tersebut sekaligus mewawancarai beberapa penduduk setempat. Hal ini sangat krusial mengingat audiens di luar Singapura membutuhkan informasi tersebut untuk benar-benar masuk ke dalam tujuan pembuatan dokumenter ini. Bisa diartikan juga pemanasan agar anda bisa berimajinasi terlebih dahulu akan apa yang ditampilkan kelak. Nyaris separuh durasi film dihabiskan untuk hal ini dan suka tidak suka memang agak membosankan.
Ketakutan yang berusaha dihadirkan terbagi menjadi dua yaitu siang dan malam hari. Pada siang hari, walau tanpa spesial efek apapun, gedung tua itu sudah sangat mengerikan yang menyiratkan akan kesepian yang misterius. Bagian ini diyakini mampu membuat anda terjaga untuk berusaha menangkap setiap detil yang mungkin muncul. Pada malam hari memang dibantu oleh night vision dari berbagai jenis kamera yang sukses menyingkap bayangan dari pencahayaan yang minim. Bagian ini saya acungi jempol akan keberanian mereka menelusuri lorong-lorong sempit dimana terkadang bertemu dengan hal-hal aneh yang sulit dijelaskan.
Twist dirancang pada akhir cerita yang meski tidak terlalu mencengangkan tetapi kenyataan yang terbangun cukup membuat audiens sedikit "blank". Haunted Changi merupakan proyek ambisius negeri Singapura untuk menembus pasaran horor internasional dengan konsep found footage pertamanya. Benarkah rekaman yang terdiri dari potongan-potongan gambar ini asli? Terus terang saya sedikit meragukannya atas berbagai alasan. Bagaimana menurut anda?
Durasi:
85 menit
Overall:
7 out of 10
Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
Sabtu, 11 Desember 2010
THE CHRONICLES OF NARNIA : THE VOYAGE OF THE DAWN TREADER
Quotes:
Aslan-But I will not tell you how long or short the way will be, only that it lies across a river. But do not fear, for I’m the great Bridge Builder.
Storyline:
Saat Lucy dan Edmund berdebat dengan sepupu mereka Eustace, lukisan kapal laut di kamar Lucy tiba-tiba menjadi nyata dan membawa mereka bertiga kembali ke Narnia. Eustace yang tidak mempercayai negeri khayalan itu menjadi terheran-heran melihat si tikus Reepicheep dan makhluk-makhluk dongeng lainnya. Sedangkan Lucy dan Edmund malah senang berjumpa kembali dengan sahabat mereka Caspian yang sudah menjadi Raja saat ini dan sedang dalam misi menemukan tujuh pedang Raja-Raja Narnia yang hilang seperti janjinya pada Aslan. Perjalanan panjang mereka mendapat banyak tantangan yang berat kemudian. Berhasilkah mereka menuntaskan misi sekaligus menguak kabut hijau misterius yang mematikan itu?
Nice-to-know:
Setelah The Chronicles of Narnia: Prince Caspian (2008) tidak mencetak hasil yang diharapkan di tangga box-office, Walt Disney tidak turut memproduseri dan mensponsori episode Narnia selanjutnya.
Cast:
Georgie Henley sebagai Lucy Pevensie
Skandar Keynes sebagai Edmund Pevensie
Ben Barnes sebagai Caspian
Will Poulter sebagai Eustace Scrubb
Voice:
Liam Neeson sebagai Aslan
Simon Pegg sebagai Reepicheep
Director:
Sutradara Inggris berusia 69 tahun bernama Michael Apted sebelum ini menyutradarai Married In America 2 (2007).
Comment:
Bagi yang sudah terbiasa dengan kehadiran Peter dan Susan, bersiaplah kecewa karena keduanya tidak tampil lagi disini. Yang ada hanyalah Edward dan Lucy yang juga telah beranjak remaja. Beruntung masih ada Caspian yang memperkuat nuansa petualangan dari seri sebelumnya. Sebagai gantinya ada peran Eustace yang tampaknya cukup penting meskipun muka baru dalam Narnia series. Kita akan “tidak nyaman” melihat tingkah laku dan mendengar suara gerutunya yang sangat mendominasi itu, dibawakan dengan sangat baik oleh Poulter. Chemistry nya dengan si tikus pejuang Reepicheep yang disuarakan oleh Pegg juga tergolong unik dan menarik.
Sutradara Apted seakan membawa Narnia ke dunia yang baru dengan visual efek yang memukau dengan berbagai setting yang variatif. Sayangnya sedikit terganggu dengan dialog yang terlalu umum dan terkesan cheesy. Chapter per chapter dikerjakan dengan pace yang seimbang mengarah pada klimaks yang cukup seru, sedikit berbeda dengan dua seri sebelumnya yang cenderung antiklimaks dan terlalu lambat. Bamyak pesan moral yang coba disisipkan disini, salah satunya adalah mencoba menjadi diri sendiri dan bersyukur atas berkat apapun yang telah diberikan. Niscaya hidup akan lebih bermakna bagi pribadi ataupun orang lain.
Secara keseluruhan, rasanya The Chronicles of Narnia : The Voyage of the Dawn Treader menyajikan aksi petualangan yang bisa dinikmati anak-anak dan orang dewasa sekaligus. Anda bisa tertawa sekaligus terpacu dibuatnya. Walaupun mungkin ada kelompok penonton yang kecewa dengan kisah fantasi disini yang di luar kebiasaan, tidak ada salahnya tetap menyaksikan penutup trilogy satu ini. Tidak perlu dalam 3D karena tidak banyak gambar hidup yang bisa dijual apalagi dark scenes nya cukup dominan. Satu hal yang unik bagi saya, Narnia seakan sebuah agama tersendiri terutama dari pandangan umat Kristiani, analogikan Aslan sebagai Tuhan yang selalu membimbing dan mengarahkan dengan suara-suaranya. Menarik bukan?
Durasi:
115 menit
U.S. Box Office:
$24,500,000 in opening week of early Dec 2010
Overall:
7.5 out of 10
Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
Aslan-But I will not tell you how long or short the way will be, only that it lies across a river. But do not fear, for I’m the great Bridge Builder.
Storyline:
Saat Lucy dan Edmund berdebat dengan sepupu mereka Eustace, lukisan kapal laut di kamar Lucy tiba-tiba menjadi nyata dan membawa mereka bertiga kembali ke Narnia. Eustace yang tidak mempercayai negeri khayalan itu menjadi terheran-heran melihat si tikus Reepicheep dan makhluk-makhluk dongeng lainnya. Sedangkan Lucy dan Edmund malah senang berjumpa kembali dengan sahabat mereka Caspian yang sudah menjadi Raja saat ini dan sedang dalam misi menemukan tujuh pedang Raja-Raja Narnia yang hilang seperti janjinya pada Aslan. Perjalanan panjang mereka mendapat banyak tantangan yang berat kemudian. Berhasilkah mereka menuntaskan misi sekaligus menguak kabut hijau misterius yang mematikan itu?
Nice-to-know:
Setelah The Chronicles of Narnia: Prince Caspian (2008) tidak mencetak hasil yang diharapkan di tangga box-office, Walt Disney tidak turut memproduseri dan mensponsori episode Narnia selanjutnya.
Cast:
Georgie Henley sebagai Lucy Pevensie
Skandar Keynes sebagai Edmund Pevensie
Ben Barnes sebagai Caspian
Will Poulter sebagai Eustace Scrubb
Voice:
Liam Neeson sebagai Aslan
Simon Pegg sebagai Reepicheep
Director:
Sutradara Inggris berusia 69 tahun bernama Michael Apted sebelum ini menyutradarai Married In America 2 (2007).
Comment:
Bagi yang sudah terbiasa dengan kehadiran Peter dan Susan, bersiaplah kecewa karena keduanya tidak tampil lagi disini. Yang ada hanyalah Edward dan Lucy yang juga telah beranjak remaja. Beruntung masih ada Caspian yang memperkuat nuansa petualangan dari seri sebelumnya. Sebagai gantinya ada peran Eustace yang tampaknya cukup penting meskipun muka baru dalam Narnia series. Kita akan “tidak nyaman” melihat tingkah laku dan mendengar suara gerutunya yang sangat mendominasi itu, dibawakan dengan sangat baik oleh Poulter. Chemistry nya dengan si tikus pejuang Reepicheep yang disuarakan oleh Pegg juga tergolong unik dan menarik.
Sutradara Apted seakan membawa Narnia ke dunia yang baru dengan visual efek yang memukau dengan berbagai setting yang variatif. Sayangnya sedikit terganggu dengan dialog yang terlalu umum dan terkesan cheesy. Chapter per chapter dikerjakan dengan pace yang seimbang mengarah pada klimaks yang cukup seru, sedikit berbeda dengan dua seri sebelumnya yang cenderung antiklimaks dan terlalu lambat. Bamyak pesan moral yang coba disisipkan disini, salah satunya adalah mencoba menjadi diri sendiri dan bersyukur atas berkat apapun yang telah diberikan. Niscaya hidup akan lebih bermakna bagi pribadi ataupun orang lain.
Secara keseluruhan, rasanya The Chronicles of Narnia : The Voyage of the Dawn Treader menyajikan aksi petualangan yang bisa dinikmati anak-anak dan orang dewasa sekaligus. Anda bisa tertawa sekaligus terpacu dibuatnya. Walaupun mungkin ada kelompok penonton yang kecewa dengan kisah fantasi disini yang di luar kebiasaan, tidak ada salahnya tetap menyaksikan penutup trilogy satu ini. Tidak perlu dalam 3D karena tidak banyak gambar hidup yang bisa dijual apalagi dark scenes nya cukup dominan. Satu hal yang unik bagi saya, Narnia seakan sebuah agama tersendiri terutama dari pandangan umat Kristiani, analogikan Aslan sebagai Tuhan yang selalu membimbing dan mengarahkan dengan suara-suaranya. Menarik bukan?
Durasi:
115 menit
U.S. Box Office:
$24,500,000 in opening week of early Dec 2010
Overall:
7.5 out of 10
Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
Langganan:
Postingan (Atom)