XL #PerempuanHebat for Kartini Day

THE RING(S) : A short movie specially made for Valentine's Day

Jumat, 08 Juni 2012

SOEGIJA : Biografi “Kompromi” Megah Non Inspiratif

Quotes:
Soegija: Jika rakyat kenyang, maka biarkan romo yang terakhir merasa kenyang. Jika rakyat lapar, maka biarkan romo yang pertama merasa lapar.
 
Nice-to-know:
Film yang diproduksi oleh Puskat Pictures ini gala premierenya dilaksanakan di Epicentrum XXI pada tanggal 29 Mei 2012.

Cast:
Nirwan Dewanto sebagai Mgr Soegijapranata
Annisa Hertami sebagai Mariyem
Wouter Zweers sebagai Robert
Wouter Braaf sebagai Hendrick van Maurick
Nobuyuki Suzuki sebagai Nobuzuki
Olga Lydia sebagai Ibu Lingling
Margono sebagai Pak Besut
Butet Kartaredjasa sebagai Toegimin
Hengky Soelaiman sebagai Kakek Lingling

Director:
Merupakan film ke-13 bagi Garin Nugroho yang mengawalinya lewat Cinta Dalam Sepotong Roti (1990).

W For Words:
Soegija adalah nama kecil dari Albertus Soegijapranata yang lahir pada tanggal 25 November 1896 di sebuah keluarga Kejawen yang merupakan abdi dalem keraton Kasunan Surakarta, Jawa Tengah. Pada tanggal 6 November 1940 setelah melalui serangkaian pendidikan agama sekaligus pengabdian mulianya, ia resmi ditahbiskan sebagai Uskup pribumi Indonesia pertama untuk Vikaris Apostolik Semarang. Armantono bekerjasama dengan Garin Nugroho mendapat kesempatan untuk menulis skrip yang kemudian diterjemahkan ke dalam film berbujet besar dengan durasi 116 menit.
 
Sejak awal penahbisannya, Monsinyur A Soegijapranata SJ sudah langsung terlibat dalam sejarah hitam peperangan Indonesia melawan Belanda yang berlangsung selama satu dasawarsa. Tak lama para penjajah Jepang menyusul masuk dengan tujuan berkuasa penuh. Semua tertuang dalam catatan harian hasil renungannya yang penuh makna di samping turun tangan demi mengusahakan pengobatan dan perlindungan bagi korban sipil yang terus berjatuhan. Ia juga selalu dibantu oleh Kosternya yang loyal yaitu Toegimin dalam bertindak dan membuat keputusan di tengah gejolak politik yang tak menentu itu.
 
Ternyata apa yang tertera sebagai judul film tak selalu dominan porsinya. Anda akan diajak mengenal sosok Mariyem (dihidupkan secara alami oleh Annisa Hertami) yang tengah mencari masnya, Maryono (dimainkan secara wajar oleh Muhammad Abbe); wartawan Belanda bernama Hendrick van Maurick yang jatuh hati pada Mariyem; tentara Belanda bernama Robert yang tengah menanti kepulangannya; gadis cilik beretnis Tionghoa, Ling Ling yang terpisah dari ibunya; warganegara Jepang, Nobuzuki yang teringat akan keluarganya saat mendengarkan lagu Bengawan Solo serta sederetan tokoh lain yang lalu lalang mengisi frame demi frame.
 
Sutradara sekaliber Garin memang terkesan semakin lunak dalam karya-karyanya, tanpa terkecuali yang satu ini. Alih-alih membuat adegan perang yang keras dan epik, ia justru menyuguhkan dramatisasi ringan di setiap karakter rekaannya lewat pertukaran dialog serius santai. Tidak salah karena mereka mampu berjalan secara paralel dalam peristiwa dan rentang waktu yang sama dengan sang Uskup itu meskipun memang lebih terkesan berdiri sendiri. Sentilan terhadap rasa kemanusiaan terkadang masih dihadirkan lewat penembakan atau pemenggalan bagi orang-orang yang tak ingin tunduk pada kekuasaan yang berlaku.
Beruntung kelemahan cerita yang terkesan tidak fokus itu dapat tertutupi oleh sinematografi hasil garapan Teoh Gay Hian yang ciamik menggambarkan kondisi Yogyakarta dan Semarang periode 1940-1949 lengkap dengan production value nya yang mendukung mulai dari set, tata rias, tata kostum dan lainnya. Tata suara dari Satrio Budiono dan tata musik dari Djaduk Ferianto juga sukses menghadirkan scoring music dan tembang-tembang yang unik dan ear-catchy untuk tetap menjaga mood penonton mengikuti kisahnya. Kita tahu di aspek inilah sebagian besar mega bujet tersebut dihabiskan.

Secara keseluruhan, Soegija terasa seperti biografi “kompromi” yang tidak ingin menitikberatkan pada identitas dan perjalanan hidupnya sebagai seorang penganut Katolik sejati secara utuh tetapi lebih pada kontribusinya terhadap paradigma kemanusiaan yang pada akhirnya membuahkan gelar Pahlawan Nasional dari Presiden Soekarno baginya. Nirwan Dewanto telah melakukan usaha terbaik tetapi Butet Kertaredjasa jelas paling mencuri perhatian dalam film yang terbukti ‘hanya’ berhasil membawa anda ke masa yang mungkin tidak pernah anda alami secara nyata walau tidak mengandung unsur inspiratif samasekali.

Durasi:
116 menit

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:
 

Tidak ada komentar: