Quotes:
Yu Mo: Sometimes the truth is the last thing we want to hear..
Yu Mo: Sometimes the truth is the last thing we want to hear..
Nice-to-know:
Film yang mewakili China dalam ajang Academy Awards 2012 kategori Film Berbahasa Asing Terbaik ini proses syutingnya berlangsung 18 jam per hari selama 164 hari .
Cast:
Christian Bale sebagai John Miller
Ni Ni sebagai Yu Mo
Zhang Xinyi sebagai Shujuan Meng
Tong Dawei sebagai Major Li
Atsurô Watabe sebagai Colonel Hasegawa
Huang Tianyuan sebagai George
Film yang mewakili China dalam ajang Academy Awards 2012 kategori Film Berbahasa Asing Terbaik ini proses syutingnya berlangsung 18 jam per hari selama 164 hari .
Cast:
Christian Bale sebagai John Miller
Ni Ni sebagai Yu Mo
Zhang Xinyi sebagai Shujuan Meng
Tong Dawei sebagai Major Li
Atsurô Watabe sebagai Colonel Hasegawa
Huang Tianyuan sebagai George
Director:
Merupakan film ke-22 bagi Zhang Yimou yang memulainya lewat Red Sorghum (1987).
Merupakan film ke-22 bagi Zhang Yimou yang memulainya lewat Red Sorghum (1987).
W For Words:
“13 Flowers of Nanjing” karya Geling Yan adalah satu dari sekian novel milik alumni Columbia College Chicago Fiction Writing MFA itu yang diadaptasi ke layar lebar. Kali ini tidak main-main karena digarap langsung oleh sutradara kenamaan China, Zhang Yimou. Film ini akhirnya menjadi wakil RRC dalam ajang Academy Awards 2012 kategori Film Berbahasa Asing Terbaik meski gagal masuk 5 besar. Kisah yang mengambil setting masa penjajahan Jepang memang bukan hal yang baru tetapi tetap menarik untuk disimak karena memberikan sudut pandang yang berbeda dari yang sudah-sudah.
“13 Flowers of Nanjing” karya Geling Yan adalah satu dari sekian novel milik alumni Columbia College Chicago Fiction Writing MFA itu yang diadaptasi ke layar lebar. Kali ini tidak main-main karena digarap langsung oleh sutradara kenamaan China, Zhang Yimou. Film ini akhirnya menjadi wakil RRC dalam ajang Academy Awards 2012 kategori Film Berbahasa Asing Terbaik meski gagal masuk 5 besar. Kisah yang mengambil setting masa penjajahan Jepang memang bukan hal yang baru tetapi tetap menarik untuk disimak karena memberikan sudut pandang yang berbeda dari yang sudah-sudah.
China, 1937. Perias mayat, John Miller dalam perjalanan menuju gereja Katolik di Nanjing untuk menguburkan seorang pendeta mendapati dirinya berada di tengah situasi perang yang memuncak. Sekelompok siswi harus berbaur dengan segerombolan pelacur yang tengah mencari perlindungan di dalam sekolah tersebut. Suasana sengit yang tercipta di awal memang harus diakhiri dengan kerjasama untuk kertahan hidup. John dianggap kedua kubu sebagai orang yang tepat untuk membela kehormatan mereka dari penindasan tentara Jepang yang membuat banyak korban berjatuhan.
Sutradara Zhang memaksimalkan bujet terbesar dalam sejarah perfilman China untuk menghadirkan sekuens sinematik yang apik sesuai jamannya. Drama historis ini banyak memaparkan simbolisme yang penuh makna perjuangan dan pengorbanan sehingga aspek realistisnya terjaga dengan baik, apalagi lewat kinerja handheld camera di beberapa bagian. Sama dengan kondisi Perang Dunia II yang pernah diperlihatkan dalam Saving Private Ryan (1998). Desain gereja Yohei Tanada yang megah tersebut kontras dengan tata kostum William Chang Suk-Ping yang variatif bagi masing-masing karakter.
Banyak sekali memorable scenes yang akan membekas dalam ingatan anda. Perjuangan seorang tentara China hingga titik darah penghabisan dalam memerangi sekelompok tentara Jepang yang kejam, heroisme yang akan memancing sorakan anda. Tindakan pelecehan seksual secara masal terhadap warga sipil yang begitu keji, anti-humanisme yang akan mencabik perasaan anda. Sisanya adalah perjuangan untuk bertahan hidup termasuk berlari di tengah terjangan peluru sekaligus pengorbanan untuk aspek kemanusiaan yang lebih mulia lagi. Lupakan sejenak niatan Zhang dalam mengeksplorasi hubungan “cinta lokasi” antara John dan Yu Mo sebagai bumbu tontonan belaka.
Bale tergolong sukses menerjemahkan bajingan pemabuk yang egois dan haus uang menjadi pendeta karbitan yang patriotik dan penuh perhatian. Sayangnya sejak awal penonton sudah diperkenalkan pada tokoh John Miller yang demikian, tanpa karakterisasi dan latar belakang yang mendukungnya. We just have to accept him for the way he is at the present. Debutan Ni Ni sebagai pelacur intelek Yu Mo seakan diciptakan untuk meneruskan figur “kembang baru” dalam perfilman China seperti halnya Gong Li, Zhang Ziyi, Tang Wei di masa lampau. Sama mengesankannya adalah Huang sebagai si kecil George atau Atsurô sebagai Colonel Hasegawa yang memberikan perspektif berlawanan dari sosok antagonis Jepang sejak menit pertama bergulir.
Sedikit kelemahan disini adalah Zhang terlalu memaksakan setiap tokoh dalam The Flowers Of War memiliki fungsinya masing-masing sebagai penyokong cerita. Itulah sebabnya alasan sepele tokoh Dou dan Lan ngotot keluar gereja menjadi pertanyaan banyak penonton, atau bagaimana campur aduknya emosi dalam adegan pertukaran identitas sehingga penonton dapat tertawa di tengah kesenduan yang dibangun. Pada akhirnya drama emosional ini memilih bertahan (di dalam gereja) untuk memerangi kecamuk dilematis dalam diri untuk berbuat sesuai hati nurani, bukan karena tuntutan keadaan. Still one powerful experience for becoming one of the witnesses we have never lived in!
Durasi:
146 menit
U.S. Box Office:
$4,430,650 till Mar 2012
Overall:
8 out of 10
$4,430,650 till Mar 2012
Overall:
8 out of 10
Movie-meter:
Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
Tidak ada komentar:
Posting Komentar