Koo Kam
Nice-to-know:
Produksi berjalan mulai dari September 2012 hingga Januari 2013.
Produksi berjalan mulai dari September 2012 hingga Januari 2013.
Cast:
Nadech Kugimiya sebagai Kobori
Nadech Kugimiya sebagai Kobori
Oranate D Caballes sebagai Angsumalin / Hideko
Nithit Warayanon sebagai Wanus
Marina Muongsiri sebagai Aorn (Hideko's mother)
Surachai Chanthimakorn sebagai Uncle Phol
Mongkol U-tok sebagai Uncle Beau
Director:
Merupakan feature film kesembilan bagi Kittikorn Liasirikun setelah terakhir menggarap Dream Team (2008).
Nithit Warayanon sebagai Wanus
Marina Muongsiri sebagai Aorn (Hideko's mother)
Surachai Chanthimakorn sebagai Uncle Phol
Mongkol U-tok sebagai Uncle Beau
Director:
Merupakan feature film kesembilan bagi Kittikorn Liasirikun setelah terakhir menggarap Dream Team (2008).
W For Words:
Romansa yang mengambil latar belakang Perang Dunia ke-2 di Bangkok ini sesungguhnya telah berulang kali diangkat baik film televisi maupun layar lebar. Adaptasi novel berjudul “Khu Kam” milik Thommayanti ini merupakan remake film bertitel sama yakni Sunset at Chaophraya di tahun 1996. Entah apa yang sesungguhnya menjadi motivasi studio M-Thirtynine. Peremajaan kisah klasik? Perbaikan kualitas dengan teknologi yang semakin maju? Atau justru persaingan dengan studio GTH yang tampaknya sudah semakin jauh meninggalkan para pesaingnya di industri film Thai tersebut?
Romansa yang mengambil latar belakang Perang Dunia ke-2 di Bangkok ini sesungguhnya telah berulang kali diangkat baik film televisi maupun layar lebar. Adaptasi novel berjudul “Khu Kam” milik Thommayanti ini merupakan remake film bertitel sama yakni Sunset at Chaophraya di tahun 1996. Entah apa yang sesungguhnya menjadi motivasi studio M-Thirtynine. Peremajaan kisah klasik? Perbaikan kualitas dengan teknologi yang semakin maju? Atau justru persaingan dengan studio GTH yang tampaknya sudah semakin jauh meninggalkan para pesaingnya di industri film Thai tersebut?
Seorang perwira Jepang yang bekerja di angkatan udara, Kobori melihat Angsumalin tengah berkeliaran di sungai. Pertemuan itu menggelitik rasa penasaran Kobori yang segera mencari tahu dimana Angsumalin tinggal. Keduanya tanpa sengaja terus dipertemukan oleh takdir walaupun perang tengah berkecamuk hebat. Ayah Angsumalin yang juga pejabat pemerintahan sepakat menikahkan mereka demi aliansi Thailand-Jepang yang lebih kokoh. Konflik kian memuncak ketika atasan Kobori menganggap orang Thai tidak membantu perjuangan mereka samasekali pada masa Perang Dunia ke-2.
Saya bersyukur karena tidak pernah menyaksikan versi sebelumnya, setidaknya
bisa obyektif dalam menilai yang satu ini. Lebih dari dua jam kemudian saya
menyesal mendapati skrip yang tidak solid dan interpretasi sutradara yang juga
tidak membantu samasekali. Pertama, hubungan Kobori dan Angsumalin berjalan
datar, mulai dari perkenalan sampai pernikahan. Penamaan Hideko yang diberikan
Kobori sebagai bagian dari ‘Japan’-isasi justru terkesan menggelikan. Belum
lagi rahasia besar yang disembunyikan Angsumalin terasa berlarut-larut hingga
penonton tak kuasa menunggu.
Kedua, Kittikorn memang berupaya menghadirkan perasaan epik dengan invasi Jepang yang nyata. Namun impresi ‘menipu’ penonton dengan adegan peperangan yang tak tampak tak dapat dihindari. Lihat bagaimana ledakan demi ledakan kerap diterjemahkan dengan efek suara disertai asap dan kobaran api saja. Come on, we wanna see any better than that! Scoring music yang mendayu-dayu itu tak hanya gagal membangun suasana tetapi membosankan karena terlalu banyak repetisi nyaris di setiap adegan Kobori dan Angsumalin berhadap-hadapan.
Kecanggungan akting Nadech setidaknya tertutupi oleh sosok Kobori yang atraktif dan simpatik. Seiring film berjalan, bahasa Thai nya yang semula patah-patah menjadi semakin lancar. Kepolosan Angsumalin tak mampu menyelamatkan kakunya penjiwaan Oranate. Ia tampak seperti gadis cilik yang sering merajuk ketimbang wanita muda yang dewasa. Chemistry keduanya pun kurang padu, diperburuk dengan dialog one liners yang cheesy. Ambil contoh saat malam dimana Kobori mabuk dan ingin bercinta dengan istrinya. Mereka bagaikan tengah bermain kucing tikus di dalam kamar selama hampir sepuluh menit!
Sunset at Chao Phraya versi terbaru ini awalnya berhasil membangun ekspektasi yang cukup tinggi, setidaknya terlihat menarik di poster dan trailernya. Namun faktanya tidak pada isinya yang membuat saya berkali-kali ingin walkout sejak memasuki pertengahan durasi. Jika sebagian besar review dari media dan moviegoers Thailand saja sudah demikian negatif karena ketidak akuratan dengan sejarahnya maka sulit mengharapkan respon bagus dari peredaran di negara Asia lainnya. Pada akhirnya proyek ambisius yang menghabiskan biaya 35 juta baht ini kelihatannya akan sia-sia belaka. Painful to watch nor wait until it’s really finished!
Durasi:
127 menit
Asian Box Office:
26.5 juta baht in first week in Thailand
Overall:
6.5 out of 10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar