Hands that reveal the past.
Nice-to-know:
Film yang berjudul asli Psycho-metry ini sudah rilis tanggal 7 Maret 2013 lalu di Korea Selatan.
Cast:
Kim Beom sebagai Kim Joon
Kim Kang-woo sebagai Detektif Yang Choon-dong
Esom sebagai Kim Seung-gi
Lee Joon-Hyuk sebagai Yang-Soo
Kim Yu-Bin sebagai Da-hee
Director:
Merupakan debut penyutradaraan Kwon Ho-Jung.
W For Words:
Kita harus mengakui jika Korea Selatan merupakan produsen thriller terbaik di Asia saat ini semenjak era tahun 2000 mulai merambah pasar Indonesia. (Terima kasih pada berbagai seri melodrama yang efektif menguras air mata) Sebut saja judul-judul seperti Tell Me Something (1999), Oldboy (2003), I Saw The Devil (2010) silih berganti menjadi rekomendasi jika sedang ditanya. Kini suguhan terbaru negeri ginseng tersebut kembali menyapa penikmat film di Indonesia melalui distributor langganan CJ Entertainment yang masih menggandeng jaringan bioskop Blitzmegaplex.
Detektif Yang Chun-dong tengah menyelidiki kasus menghilangnya gadis cilik yang kemudian ditemukan tewas terkubur. Satu-satunya petunjuk yang tertinggal adalah gambar grafiti dari seniman jalanan Kim Joon yang selalu mengenakan jaket hitam untuk menutupi fisiknya yang pucat lemah. Saat Da-hee yang pernah ditemuinya di jalan diculik, Chun-dong harus berpacu dengan waktu untuk menemukan pelaku. Kim Joon yang ternyata mampu membaca masa lalu seseorang lewat sentuhan tangannya setuju untuk membantu walau harus menyakiti dirinya sendiri.
Skrip yang ditulis oleh Ho-Jung ini memang tidak terlalu ‘gelap’. Bagaimana tidak? Introduksi terhadap Detektif Chun-dong yang sembrono dilakukan secara komikal. Lihat bagaimana ia berbicara dengan mulut penuh makanan, bertengkar dengan warga yang menjalani kerja sosial hingga dipukuli atasannya dengan dokumen. Bagi sebagian orang, hal ini terkesan mengurangi superioritasnya. Namun bagi saya justru terlihat manusiawi, ia tidak sempurna. Kim Kang-woo menokohkannya dengan baik, mengundang keberpihakan yang jelas dalam diri penonton.
Kim Beom yang berpenampilan ‘manis’ itu terasa melekat dalam karakter Kim Joon yang berkemampuan khusus. Tutur katanya yang halus, bahasa tubuhnya yang gemulai cukup menjelaskan perlakuan apa yang kira-kira diterimanya dari orang-orang di sekitarnya. Sayangnya masih banyak hal yang tak terjawab mengenainya bahkan sampai durasi berakhir. Setidaknya chemistry “bromance” antara Kim Joon dan Chun-dong terjalin erat. Pada satu titik, penonton dibuat percaya bahwa keduanya akan dapat saling mengisi kekosongan yang ditinggalkan keluarga masing-masing.
Sebagai sutradara Ho-Jung masih memanfaatkan beberapa elemen klise yang biasa ditemui yaitu basement gelap, lorong sepi, bangunan terbengkalai, ruang terisolasi dll. Setting lokasi yang digunakan cukup variatif untuk menonjolkan paranoia tersendiri. Yang juga menarik adalah pengadeganan masa silam lewat potongan-potongan flashback yang dikerjakan dengan serius. Suspensinya terbangun sempurna semenjak melewati pertengahan hingga akhir film sehingga klimaksnya dapat tercapai. Tak jarang penonton akan memekik gemas dibuatnya.
The Gifted Hands memang belum beranjak dari fakta bahwa anak-anak, perempuan pada khususnya, masih menjadi sasaran utama tindak kekerasan dan obyek seksual para pelaku yang umumnya menderita gangguan mental walau terlihat normal dari luar. Protagonis yang diset sedemikian rupa dalam wujud anggota kepolisian lengkap dengan trauma masa kecilnya saja sudah merupakan polemik tersendiri. Secara keseluruhan bukan thriller mumpuni tapi sudah lebih dari cukup dalam menghibur. It’s all about souls to save and hearts to keep. Memories do fading away.
Kita harus mengakui jika Korea Selatan merupakan produsen thriller terbaik di Asia saat ini semenjak era tahun 2000 mulai merambah pasar Indonesia. (Terima kasih pada berbagai seri melodrama yang efektif menguras air mata) Sebut saja judul-judul seperti Tell Me Something (1999), Oldboy (2003), I Saw The Devil (2010) silih berganti menjadi rekomendasi jika sedang ditanya. Kini suguhan terbaru negeri ginseng tersebut kembali menyapa penikmat film di Indonesia melalui distributor langganan CJ Entertainment yang masih menggandeng jaringan bioskop Blitzmegaplex.
Detektif Yang Chun-dong tengah menyelidiki kasus menghilangnya gadis cilik yang kemudian ditemukan tewas terkubur. Satu-satunya petunjuk yang tertinggal adalah gambar grafiti dari seniman jalanan Kim Joon yang selalu mengenakan jaket hitam untuk menutupi fisiknya yang pucat lemah. Saat Da-hee yang pernah ditemuinya di jalan diculik, Chun-dong harus berpacu dengan waktu untuk menemukan pelaku. Kim Joon yang ternyata mampu membaca masa lalu seseorang lewat sentuhan tangannya setuju untuk membantu walau harus menyakiti dirinya sendiri.
Skrip yang ditulis oleh Ho-Jung ini memang tidak terlalu ‘gelap’. Bagaimana tidak? Introduksi terhadap Detektif Chun-dong yang sembrono dilakukan secara komikal. Lihat bagaimana ia berbicara dengan mulut penuh makanan, bertengkar dengan warga yang menjalani kerja sosial hingga dipukuli atasannya dengan dokumen. Bagi sebagian orang, hal ini terkesan mengurangi superioritasnya. Namun bagi saya justru terlihat manusiawi, ia tidak sempurna. Kim Kang-woo menokohkannya dengan baik, mengundang keberpihakan yang jelas dalam diri penonton.
Kim Beom yang berpenampilan ‘manis’ itu terasa melekat dalam karakter Kim Joon yang berkemampuan khusus. Tutur katanya yang halus, bahasa tubuhnya yang gemulai cukup menjelaskan perlakuan apa yang kira-kira diterimanya dari orang-orang di sekitarnya. Sayangnya masih banyak hal yang tak terjawab mengenainya bahkan sampai durasi berakhir. Setidaknya chemistry “bromance” antara Kim Joon dan Chun-dong terjalin erat. Pada satu titik, penonton dibuat percaya bahwa keduanya akan dapat saling mengisi kekosongan yang ditinggalkan keluarga masing-masing.
Sebagai sutradara Ho-Jung masih memanfaatkan beberapa elemen klise yang biasa ditemui yaitu basement gelap, lorong sepi, bangunan terbengkalai, ruang terisolasi dll. Setting lokasi yang digunakan cukup variatif untuk menonjolkan paranoia tersendiri. Yang juga menarik adalah pengadeganan masa silam lewat potongan-potongan flashback yang dikerjakan dengan serius. Suspensinya terbangun sempurna semenjak melewati pertengahan hingga akhir film sehingga klimaksnya dapat tercapai. Tak jarang penonton akan memekik gemas dibuatnya.
The Gifted Hands memang belum beranjak dari fakta bahwa anak-anak, perempuan pada khususnya, masih menjadi sasaran utama tindak kekerasan dan obyek seksual para pelaku yang umumnya menderita gangguan mental walau terlihat normal dari luar. Protagonis yang diset sedemikian rupa dalam wujud anggota kepolisian lengkap dengan trauma masa kecilnya saja sudah merupakan polemik tersendiri. Secara keseluruhan bukan thriller mumpuni tapi sudah lebih dari cukup dalam menghibur. It’s all about souls to save and hearts to keep. Memories do fading away.
Durasi:
107 menit
Overall:
8 out of 10
Movie-meter:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar