We love, we struggle, we have dreams, just like you!
Terbagi dalam 3 segmen:
5 MENIT LAGI AH.. AH.. AH.. (35 min) by Sally Anom Sari dan Sammaria Simanjuntak
Ayu Riana sudah menjadi tulang punggung keluarganya di usia 14 tahun saat memenangkan kontes dangdut Superdut di salah satu stasiun televisi pada tahun 2008. Aksinya dari satu panggung ke panggung, kampung demi kampung di Jawa Barat menghasilkan uang yang cukup banyak. Namun akankah tekanan keluarga turut mengaburkan impian pribadi Riana yang sebenarnya?
ASAL TAK ADA ANGIN (40 min) by Anggi C. Noen
Kamek dan kawan-kawannya bertahun-tahun menjalani pilihan hidup sebagai seniman pertunjukan tradisional Jawa yaitu Ketoprak Tobong yang perlahan-lahan mulai terkikis jaman. Benarkah nafas dan hidup belakang panggung mereka mampu bertahan di tengah modernitas dan kebutuhan ekonomi terekonstruksi yang semakin mendesak?
ULFIE PULANG KAMPUNG (45 min) by Daud Sumolang dan Nitta Nazyra C. Noer
Ulfie, waria yang memiliki salon kecantikan sendiri di Jakarta bertekad pulang ke kampung halamannya di Aceh setelah bertahun-tahun. Ia secara rutin mengirimkan uang pada ibu dan abang-abangnya disana walau tidak sering bertemu muka. Rasa mirisnya mulai timbul saat mengetahui banyak teman-teman sesama waria di tanah kelahirannya meninggal karena HIV. Rasa kemanusiaan dan kepeduliannya merangsak naik dan bertekad berbuat sesuatu untuk mencegah keterpurukan situasi tersebut.
Nice-to-know:
Diproduksi oleh Kalyana Shira Films dan Kalyana Shira Foundation melanjutkan tema perempuan yang sudah diangkat lewat Pertaruhan (2008) yang sempat rilis terbatas itu.
Comment:
Kehidupan kaum perempuan memang menjadi salah satu tema yang tidak akan pernah habis untuk digali dalam sebuah produksi film. Tanpa terkecuali Nia Dinata yang sebagai produser aktif membangkitkan sineas-sineas muda atau yang belum berpengalaman sekalipun untuk dapat berkarya secara nyata. Kali ini dipilih konsep dokumenter untuk menyajikan semua konflik yang beraneka ragam dari sudut pandang yang variatif.
Ketiga segmen disini dapat dikatakan mewakili perempuan dari kaum ekonomi lemah yang masih dalam taraf “berjuang” menjadi tulang punggung keluarga. Pengenalan dari awal hingga penyampaian konflik yang mulai memuncak tersampaikan dengan cukup baik. Penyelesaiannya tidak perlu diharapkan karena filmmaker bercerita apa adanya dan audiens dianggap cukup cerdas untuk mampu mencerna poin yang digarisbawahi.
Sayangnya ada sedikit kekurangan yang cukup mengganggu yaitu eksekusi kamera dan proses editing yang masih berjalan kurang mulus. Hal ini berdampak pada antusiasme penonton yang bisa jadi turun karena tidak berhasil menyatu dengan apa yang disuguhkan di layar. Beda halnya dengan Pertaruhan (2008) yang tergolong kreatif dan mampu menjaga intensitas audiens untuk bersinergi pada permasalahan-permasalahan yang dibahas.
Dari semua segmen yang hadir, favorit saya adalah segmen Ulfie Pulang Kampung. Benang merahnya terasa bold yaitu konflik paling relevan saat ini mengenai transgender dan penanganan HIV. Belum lagi hadirnya beraneka sudut pandang dari berbagai tokoh di luar Ulfie sendiri. Acungan jempol bagi Nazyra dan Daud yang mengerahkan upaya tidak sedikit untuk “sampai” ke Nangroe Aceh Darussalam yang terkenal keras dan tertutup itu.
Akhir kata Working Girls memang belumlah sempurna. Namun proses pembelajaran para filmmaker terhadap documentary style tersebut arahnya sudah benar. Bravo Kalyana Shira yang tidak pernah bosan akan upayanya membuka mata publik akan dilema yang dihadapi kaum perempuan secara universal. Tidak usah berkaca terlalu jauh, mulailah dari ibu, saudari, nenek, bibi dan rekan-rekan perempuan lainnya yang anda miliki untuk dihargai secara utuh.
Durasi:
120 menit
Overall:
7 out of 10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar