XL #PerempuanHebat for Kartini Day

THE RING(S) : A short movie specially made for Valentine's Day

Tampilkan postingan dengan label renata kusmanto. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label renata kusmanto. Tampilkan semua postingan

Kamis, 13 September 2012

MAMA CAKE : Brownies Penuh Muatan Rasa Hidup

Quotes:
Willy: Ngapain sih loe pake ngelempar hp orang segala?
Rakha: Gua cuma pengen liat hubungan loe berdua bener..

Nice-to-know:
Film yang diproduksi oleh Falcon Pictures ini gala premierenya diadakan di Universitas Trisakti pada tanggal 11 September 2012.

Cast:
Ananda Omesh sebagai Rakha
Boy William sebagai Willy
Arie Dagienkz sebagai Rio
Dinda Kanyadewi sebagai Mawar
Renata Kusmanto sebagai Loly
Fajar Umbara
Herichan
Kinaryosih
Candil
Didi Petet
Ferry Maryadi

Director:
Merupakan debut penyutradaraan Anggy Umbara.

W For Words:
Jika sekotak brownies kukus mampu menjadi obyek bercerita dalam sebuah film lokal tentu merupakan hal baru yang pantas diapresiasi. Khrisna Anggara menggunakan “merk” yang katanya tersedia di Bandung tersebut ke dalam skenario panjang lebar yang ditulisnya bersama Hilman Mutasi dan Sofyan Jambul. Produksi terbaru Falcon Pictures ini memang lebih tepat dikatakan sebagai road movie dari sudut pandang tiga pria muda usia 24 tahun yang bersahabat karib terlepas dari perbedaan karakter mendasar di antara mereka.

Rakha bertutur mengenai prinsip idealis, anak harus patuh pada orangtua walau menghadapi dilematis pengambilan keputusan yang menyangkut masa depannya sendiri. Willy berkisah mengenai prinsip bercinta, lelaki mesti menimba pengalaman sebanyak-banyaknya dengan perempuan yang berbeda-beda meski telah memiliki kekasih setia. Rio berbicara mengenai prinsip pencinta universal, manusia wajib mengasihi sesama makhluk hidup biarpun tak dilandasi hubungan harmonis dengan Sang Pencipta. Ketiga tokoh ini lantas “sibuk” mengulik problema masing-masing yang tertuang secara wajar mengalir.

Ananda Omesh dan Boy William memperlihatkan akting yang solid dengan range ekspresi yang luas. Namun terlihat mereka seakan menjadi dirinya sendiri dimana satu-satunya beban mungkin datang dari muatan dialog yang cenderung “berat”. Arie Dagienkz mungkin tidak mendapatkan kesempatan sebanyak dua nama itu tapi penampilan stupid dan annoyingnya cukup mencuri perhatian. Deretan pendukung ataupun cameo ternama mampu memperkaya ragam karakterisasi yang unik dan khas termasuk dua hot babes, Dinda Kanyadewi dan Renata Kusmanto sebagai love interest Rakha dan Willy.

Sutradara yang lebih dikenal dengan nama Anggy Umbara yang berangkat dari kultur musik metal lewat bandnya, Purgatory ini menampilkan sisi surealis melalui padang rumput/tumbuhan yang berwarna kebiruan di sepanjang panggung transisi bagi ketiga tokoh yang sedang dibesarkannya. Gaya penyutradaraan stylish ala MTV pun tercipta lewat permainan angle, shot dan frame yang mengingatkan kita pada panel-panel komik bergambar. Keunikan tersebut setidaknya sukses mempertahankan ritme film yang berdurasi amat panjang untuk ukuran sebuah film lokal.



Selipan pesan moral nyaris di setiap adegannya memang terkesan kamuflase, disamarkan sedemikian rupa agar tidak bersifat menggurui. Segi agama, sosial, budaya, ilmu pengetahuan tak luput dari pembahasan yang saling terkait. Aspek sosial mendapat porsi terbesar dimana persahabatan, hubungan antar anggota keluarga, pergaulan bebas, keperawanan sampai homoseksualitas dijabarkan lengkap dan menyeluruh. Tak jarang identitas seseorang dipertanyakan jika kelakuannya bertentangan dengan ajarannya sendiri. Isu yang sangat marak belakangan ini dan menjadi tolak ukur tersendiri yang dihubungkan dengan kualitas hidup.

Mama Cake adalah sebuah petualangan, proses pencarian jati diri yang melelahkan karena sangat berliku dan penuh hambatan yang tak ada habisnya. Andai saja editing yang ciamik itu bisa lebih berani melakukan pemangkasan disana-sini demi penceritaan yang lebih straight-forward. Tak usah takut didoktrin dengan ajaran yang ada, cukup ikuti saja perjalanan penuh emosi yang amat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Brownies memang tidak terlihat menarik tapi jelas mudah dinikmati. Simbolisasi cerdas yang tentunya membawa angin segar bagi perfilman nasional di tengah kekeringan inisiatif yang inovatif.

Durasi:
143 menit

Overall:
8 out of 10

Movie-meter:

Selasa, 04 September 2012

TEST PACK : Drama Pasutri Menghadapi “Bagaimana Jika”

Quotes:
Tata: Disini dikatakan sperma mencapai tingkat kematangannya dalam 3 hari.
Rahmat: Ya udah kalo gitu kita berhubungan 3x sehari.
Tata: Dih mending kuat.

Nice-to-know:
Film yang diproduksi oleh Starvision Plus ini gala premierenya diadakan di Hollywood XXI pada tanggal 4 September 2012.

Cast:
Reza Rahadian sebagai Rahmat
Acha Septriasa sebagai Tata
Renata Kusmanto sebagai Shinta
Meriam Bellina sebagai Ibu Sutoyo
Jaja Mihardja sebagai Pak Sutoyo
Oon ‘Project Pop’ sebagai dr Peni
Karissa Habibie sebagai Dian
Uli Herdinansyah sebagai Markus
Dwi Sasono sebagai Heru

Director:
Merupakan film kedua Monty Tiwa di tahun 2012 setelah Sampai Ujung Dunia.

W For Words:
Novel Test Pack milik Ninit Yunita beredar pada tahun 2005 dimana istri Adhitya Mulya itu masih menetap di Afrika Barat. Bukan rahasia jika ide tersebut muncul dari kehidupan pribadi mereka yang kerap dihujani pertanyaan “Kapan punya anak?” setelah beberapa lama menikah. Pertanyaan yang juga amat familiar di kalangan pengantin baru yang kebetulan tak kunjung diberi keturunan. Kedekatan dengan realita kehidupan itulah yang membuat suguhan terbaru Starvision ini diyakini mampu menarik minat penonton untuk sekadar merefleksikan.

7 tahun menikah, pasutri Rahmat dan Tata belum dikaruniai anak. Segala tips dan trik telah dicoba. Tata yang berkeinginan lebih sampai menemui dokter Peni untuk melakukan tes kesuburan dimana Rahmat sendiri sebenarnya sudah cukup bahagia dengan kebersamaan mereka. Nyatanya hasil tes menunjukkan Rahmat yang tidak subur. Dalam keputusasaan ia bertemu mantannya yang juga supermodel internasional, Shinta yang baru dicerai suaminya, Heru karena mandul. Keputusan Rahmat ingin kembali ke masa lalu atau memperbaiki masa kininya merupakan dilema tersendiri.

Bukan pekerjaan mudah bagi Adhitya untuk menerjemahkan karya Ninit ke dalam bentuk skenario. Film ini seakan dibagi dalam dua bagian. Pertama, komedi romantis saat Rahmat dan Tata saling berbagi kasih dalam canda dan tawa dimana panggilan sayang yaitu kang dan neng selalu menyertai. Kekesalan Tata menggunakan sejumlah testpack yang menyiratkan depresi diimbangi dengan kekocakan dokter Peni yang menanganinya. Kedua, drama romantis ketika Shinta mulai kembali masuk dalam kehidupan Rahmat dimana rumah tangganya sedang diuji. Ketidakstabilan emosi Tata akibat terapi yang dijalaninya mulai merentang jembatan konflik suami istri yang tak dapat dihindari.

Kelebihan utama jelas ada pada kinerja sutradara Monty Tiwa yang berhasil menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Arahan yang baik terhadap jajaran cast ternama beserta kumpulan cameo yang tak asing lagi, pemilihan lokasi sebagai panggung bercerita yang maksimal, pengaturan tempo momen-momen penting sebagai nyawa film dsb. Editing Cesa David yang ciamik juga memperkuat storytelling sehingga tidak banyak ruang kosong yang tersisa. Sama halnya dengan tata suara dari Khikmawan yang kali ini berkolaborasi dengan Bongky sebagai penata musik sukses mengantarkan emosi yang diharapkan.

Senang rasanya melihat Acha mampu berbagi chemistry manis dengan pria di luar Irwansyah. Lakon suami istri bersama Reza terasa meyakinkan tanpa terlihat canggung dalam berbagi keintiman fisik. Deretan pendukung Sampai Ujung Dunia (2012) juga hadir kembali disini, salah satunya Renata yang semakin mengukuhkan imej “beautiful babe” lewat peran supermodel yang tak terlalu terlihat pede. Pasangan senior Jaja-Meriam juga turut mencuri perhatian sebagai pasien psikolog Rahmat. Jangan lupakan Oon, sang pengocok tawa lewat spontanitas dan wajah polosnya itu.

Test Pack adalah drama yang personal karena mengangkat persoalan umum suami istri dan rumah tangga secara keseluruhan. Kadangkala kita memang tidak siap menghadapi perubahan dan kerapkali lebih peduli pada perkataan orang dibandingkan pasangan sendiri. Obyektifitas yang terganggu tentunya mempengaruhi keputusan akhir yang dibuat bagi kedua belah pihak. Kehati-hatian Monty dalam menggarap tema sensitif tentang momongan ini untungnya didukung oleh sumbangsih maksimal dari aktor-aktris yang terlibat di dalamnya. A must see for couples and newly wed who might face the same ”first world” problems.

Durasi:
109 menit

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:

Senin, 05 Maret 2012

SAMPAI UJUNG DUNIA : Ketika Cinta Berhadapan Dengan Pilihan


Quotes:
Gilang: Naif? Mungkin karena kita masih muda kali? Atau karena cinta?

Nice-to-know:
Diproduksi oleh Nasi Putih Pictures dimana gala premierenya dilangsungkan di Djakarta XXI pada tanggal 5 Maret 2012.

Cast:
Gading Marten sebagai Gilang
Dwi Sasono sebagai Daud
Renata Kusmanto sebagai Anissa
Roy Marten sebagai Ayah Gilang
Chintami Atmanegara sebagai Ibu Gilang
Sudjiwo Tedjo sebagai Ayah Daud
Tutie Kirana sebagai Ibu

Director:
Merupakan film kesembilan Monty Tiwa setelah terakhir Laskar Pemimpi (2010).

W For Words:
Cinta segitiga merupakan tema yang tiada habis-habisnya dieksplorasi dalam sebuah drama percintaan dari jaman ke jaman. Namun bagaimana jika pilihan begitu sulit dijatuhkan oleh sang wanita karena kedua pria memiliki kesempatan dan tekad bulat yang sama? Setidaknya itulah yang ingin disuguhkan oleh penulis cerita Monty Tiwa dan Tino Kawilarang melalui film terbaru rumah produksi anyar bernama Nasi Putih Pictures ini yang membalutnya dalam semangat persahabatan.
Gilang, Daud dan Anissa sudah bersahabat sejak kecil. Gilang yang berasal dari keluarga kaya raya berbanding terbalik dengan Daud. Sedangkan Anissa yang tinggal di panti asuhan kerap merindukan ibunya yang berada di Belanda. Seiring waktu, ketiganya tumbuh bersama dan merasakan ikatan cinta sekaligus persahabatan yang kuat. Anissa berjanji akan memilih pria yang suatu saat bisa membawanya ke Belanda. Kompetisi mulai terbangun antara Daud yang memilih Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran di Marunda sedangkan Gilang memutuskan Sekolah Tinggi Penerbangan di Curug. Siapa yang akhirnya dipilih Anissa yang ternyata menderita penyakit kelainan jantung tersebut?

Saya bersyukur Monty tidak latah bermenye-menye dengan dramatisasi Anissa yang berjuang menghadapi penyakitnya. Ia tetap konsisten menekankan arti kasih sayang persahabatan di antara Anissa, Daud dan Gilang. Dua sekawan pria tersebut tak jarang berkelahi karena tak ingin berbagi wanita dan saling berlomba ingin menjadi yang terdepan. Transisi yang dilakukan Monty dari Daud-Gilang remaja ke dewasa memang cenderung lancar walaupun esensi menariknya turut bergeser juga dari menyenangkan ke sedikit membosankan.
Renata Kusmanto memang cantik dengan wajah sayunya. Namun saya berharap ada penjiwaan akting yang lebih signifikan karena tokoh Anissa digambarkan berjuang dalam hidupnya, bukan hanya dari segi fisik tapi juga psikis. Ketabahan hidup bertahun-tahun di panti merindukan ibunya hingga harus menerima kenyataan pahit dibohongi oleh orang terdekatnya tidak terlihat jelas. Belum lagi kecintaannya yang sama besar terhadap Daud dan Gilang tidak tereksploitasi dengan benar. Penonton hanya dapat melihat sikap pasif (dan juga pasrah) Anissa dalam menjalani pilihan-pilihan hidupnya.

Beruntung Dwi Sasono menunjukkan kelasnya. Peran Daud yang berasal dari keluarga miskin dijiwainya dengan baik sehingga nilai perjuangannya dari titik nol lumayan terasa. Gading Marten juga samasekali tidak mengecewakan. Peran Gilang yang dimanja kemewahan orangtuanya dihidupkannya dengan pas sehingga kesungguhannya menuju tahap kemandirian cukup inspiratif. Keduanya berbagi chemistry secara wajar dalam menekan perasaan cemburu yang berlebihan di atas kenyataan bahwa mereka tumbuh bersama semenjak kecil.
Sampai Ujung Dunia merupakan suguhan drama percintaan murni yang akan mengingatkan anda pada film-film sejenis di tahun 1980an sebut saja Badai Pasti Berlalu, Satu Jam Saja dsb. Rentang waktu yang cukup panjang memang tidak terasa mencolok perbedaannya selain suguhan konsistensi sinematografi yang memikat terlebih setting lokasi Belanda yang menyatu dengan kebutuhan cerita di bagian penutupnya. Suguhan musik pengiring dari Bongky Marcel dan Ganden Bramanto pun mengalir indah melingkupi muara cinta segitiga Gilang-Anissa-Daud. Ah, cinta memang harus memilih, apapun konsekuensinya..

Durasi:
97 menit

Overall:
8 out of 10

Movie-meter: