XL #PerempuanHebat for Kartini Day

THE RING(S) : A short movie specially made for Valentine's Day

Tampilkan postingan dengan label gege elisa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label gege elisa. Tampilkan semua postingan

Kamis, 12 Juli 2012

18++ : Esai Cinta dan Ujian Identitas Nayato


Quotes:
Scarlet : Loe boleh bikin gua patah hati tapi loe gak usah kasihani gua.

Nice-to-know:
Film yang diproduksi oleh Starvision ini gala premierenya diselenggarakan di Hollywood XXI pada tanggal 10 Juli 2012.

Cast:
Adipati Dolken sebagai Kara
Kimberly Ryder sebagai Mila
Gege Elisa sebagai Scarlet
Roy Marten sebagai Opa Kara
Keke Soeryo Renaldi sebagai Ibu Mila
Maxime sebagai Pascal
Jordi Onsu sebagai Ruben
Rozi Mahally sebagai Martin
Reska Tania sebagai Sasi

Director:
Merupakan film ketujuh di tahun 2012 bagi Nayato Fio Nuala.

W For Words:
Masih ingat film 18+ : True Love Never Dies yang kontroversial dengan dialog vulgarnya itu yang tak perlu saya sebutkan lagi? Hasil box office yang dianggap cukup baik membuat rumah produksi PT. Kharisma Starvision Plus berinisiatif memproduksi sekuelnya masih dari tangan dingin seorang Nayato Fio Nuala. Satu-satunya cast yang kembali disini adalah Adipati Dolken (sudah jauh lebih ternama sekarang), bukan dengan karakter Topan yang telah menemui ajalnya di penghujung prekuel tersebut tetapi Kara yang harus menerima perubahan status sosialnya.

Ulang tahun ke-18 dihabiskan Kara dengan hura-hura bersama pacarnya Scarlet dan teman-temannya Pascal, Ruben, Martin. Saat itulah Opa Kara, Ben memutuskan supply materi melimpah yang biasa diterimanya. Kara yang malu memilih pergi dari kehidupan jetsetnya untuk menyepi di rumah sederhana milik Mila yang menyelamatkannya di terminal bis. Keadaan memaksa Kara untuk bekerja serabutan, mengumpulkan uang sedikit demi sedikit untuk membalas budi Mila, ibunya dan adiknya Sasi. Cinta mulai tumbuh di antara mereka tepat ketika teman-teman Kara kembali. 

Terus terang saya cukup menikmati satu jam pertama film ini. Tipikal Nayato dengan premis dan eksekusi yang basi tidak terlihat disini. Beruntung sekali skrip karya Cassandra Massardi setidaknya dibiarkan “utuh” berbicara. Pendewasaan tokoh Kara yang melakoni hidup senang menjadi susah lewat serangkaian proses memang terkesan terlalu instan tapi masih masuk akal dengan sekuensi adegannya. Akting Adipati yang lumayan apik setidaknya mampu membuat penonton bersimpati padanya. Interaksinya dengan tokoh-tokoh di sekitarnya juga terbangun dengan baik, apalagi Reska Tania sebagai si kecil Sasi yang manis itu.

Sayangnya tiga puluh menit terakhir kembali dibumbui dengan sebuah penyakit yang menimpa karakter wanita. Kali ini gangguan fungsi hati diderita Mila yang amat mungkin merenggut nyawanya. Predictable, right? Sekecil apapun harapan hidup yang tersisa tetap harus disudahi lengkap dengan dramatisasi terjatuh, bangkit lagi hingga terkulai lemas pada akhirnya tepat di momen ulang tahun. Padahal Kimberly Ryder yang cantik itu sangat terlihat fresh di layar dengan kesenduan yang memikat. Ah mengapa?

Sutradara Nayato masih bermain dengan shot-shot andalannya terutama dunia gemerlap di prolog yang menampilkan kebut-kebutan mobil dan dunia malam diskotik. Namun storytelling yang jauh lebih baik sedikit menimbulkan harapan akan perubahan gaya positif dari karya-karyanya kemudian, layaknya sebuah ujian identitas baginya. Dukungan penata suara Khikmawan Santosa terbilang pas, kontras dengan duet Anto Hoed-Melly Goeslaw yang lagi-lagi menghasilkan satu tembang mendayu-dayu yang meluncur dari bibir merah Kimberly Ryder di sepanjang filmnya.

18++ : Forever Love merupakan sebuah esai cinta yang mengetengahkan banyak topik mulai dari one night stand, cinta segitiga, cinta berjurang status sosial yang biasa terjadi di kalangan remaja belasan tahun. Suguhan drama yang mengandalkan decent chemistry dari Adipati dan Kimberly yang masih dapat dinikmati terlepas dari romansa klise berujung penyakit mematikan. Angka 18 itu sendiri diperlakukan sebagai simbolik kedewasaan seseorang yang ditandari dengan pengambilan keputusan yang bertanggungjawab atas kesediaan menjalani hidup kemandirian.

Durasi:
85 menit

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:

Selasa, 15 Maret 2011

VIRGIN 3 : Satu Malam Mengubah Segalanya

Storyline:
Demi merayakan malam terakhir Putri di Jakarta sebelum bertolak ke Melbourne, Dini, Tika dan Sherry nekad masuk ke klab malam yang eksklusif atas bantuan seorang fotografer bernama Tyo. Keempat remaja cewek yang masih belia dan minim pengalaman itu segera menarik perhatian sejumlah pria hidung belang dengan berbagai motif yang mulai mencekoki mereka minuman dan obat-obatan. Lewat serangkaian kejadian, keempatnya kemudian terbangun di sebuah kamar mewah di pagi hari dalam keadaan mabuk dengan luka berdarah di sekujur tubuh. Belum lagi kemunculan seorang pria asing yang belakangan diketahui bernama Allan di toilet hotel tersebut. Apa yang sesungguhnya terjadi semalam?

Nice to know:
Diproduksi oleh Starvision dan gala premierenya dilangsungkan di Planet Hollywood XXI pada tanggal 15 Maret 2011.

Cast:
Irish Bella sebagai Sherry
Alex Abbad sebagai Allan
Fero Walandouw sebagai Ben
Gege Elisa sebagai Tika
Shapira Indah sebagai Dini
Ynessa Ioa Gaffar sebagai Putri
Raffi Ahmad

Director:
Film ketiga bagi Nayato di tahun 2011 ini setelah dua film bergenre horor komedi.

Comment:
Tidak butuh waktu lama bagi Nayato untuk kembali menghadirkan drama remaja yang berlatar belakang seks bebas. Dan tidak usah kaget jika franchise Virgin yang awalnya diprakarsai oleh Hanny R. Saputra mulai saat ini akan diklaim olehnya. Jika pada sekuelnya tahun lalu bersubtitle Bukan Film Porno maka sekuel keduanya ini bertajuk Satu Malam Mengubah Segalanya. Mungkin beberapa di antara anda mulai berpikir jika skenario yang ditulis oleh Cassandra Massardi ini jangan-jangan jiplakan The Hangover? Hm, jangan terlalu cepat menyimpulkan.
Saya sendiri sebetulnya lebih suka memberi subjudul Clubbing Satu Malam karena lebih dari separuh durasinya setting dihabiskan di klab malam dengan musik menghentak-hentak. Berbagai jenis dan bentuk muda-mudi sibuk berdansa, minum, lalu lalang dengan pakaian minim nan mencolok mata. Seakan gemerlap kehidupan benar-benar tertuang disana walaupun motif masing-masing belum tentu sama, bisa baik, bisa jahat. Seabu-abu warna seragam empat tokoh remaja putri kita disini.
Tak dipungkiri jika Irish, Shapira, Gege, Ynessa memang camera-face sekali. Nilai jualnya ditambah dengan kulit putih, wajah Indo dan juga berbodi yahud. Namun sedikit mengganggu mendengar mereka berdialog dengan cepat dan tak jarang berteriak akibat frustrasi. Seperti biasa Nayato tidak banyak memberikan ruang akting yang cukup bagi artis-artis barunya. Beruntung Alex Abbad masih bisa mencuri perhatian dengan peranan yang lain dari biasanya, kesan misterius cukup berhasil dipertahankannya di sepanjang film. Belum lagi Raffi yang tampil sekilas sebagai cameo penjual burger di sekolah.
Tampaknya Nayato kali ini sedikit bereksperimen dengan petualangan semalam suntuk yang menggunakan alur linier dengan berbagai subplot sederhana. Namun tak jarang shaky handheld camera semakin melelahkan mata untuk terus mengikuti sampai habis. Entah angin surga mana yang merasuk ke kepalanya, isu human trafficking dibahas juga di bagian ending. Untuk mempertegas maksud dan tujuannya, digunakanlah tulisan besar dengan huruf warna merah yang seharusnya tidak perlu.
Terlepas dari berbagai kekurangan tersebut di atas dan juga beberapa stereotype film-film bergenre sejenis yang masih ditemui, Virgin 3 sebetulnya masih dapat dikatakan lumayan menarik untuk disimak. Komposisi Tya Subiakto yang mengisi musik scoring nya terasa pas membangun mood film yang turun naik. Nuansa depresi tidak sampai lekat disini tetapi rasanya cukup menyampaikan untuk pesan moral yang dibidik khusus remaja belasan tahun yang seringkali mencoba hal-hal baru di luar kebiasaan mereka.

Durasi:

80 menit

Overall:

6.5 out of 10

Movie-meter: