Quote:
Natsir: Aneh-aneh sajo rumah makan kito ini. Lebih banyak bertengkarnyo daripada memasaknyo.
Nice-to-know:
Film yang proses syutingnya berlangsung selama 30 hari dari Jan-Feb 2014 dimana lokasi mencakup Jakarta, Cileungsi-Bogor dan juga Serui-Papua ini menandakan kali pertamanya aktor papan atas Indonesia, Vino G. Bastian bertindak sebagai associate producer.
Cast:
Dewi Irawan sebagai Mak
Jimmy Kobogau sebagai Hans
Yayu Unru sebagai Parmanto
Ozzol Ramdan sebagai Natsir
Jika anda diminta untuk menyebutkan film kuliner mancanegara yang berkesan mungkin akan hadir judul-judul semacam Eat Drink Man Woman (1994), Chocolat (2000), Mostly Martha (2001), No Reservations (2007), Le Grand Chef (2007) Julie & Julia (2009) atau bahkan animasi Ratatouille (2007) dan yang juga akan segera beredar yakni Chef (2014) milik Jon Favreau. Tak jarang seusai menonton ada rasa hangat, dan juga lapar yang menyertai karena keberhasilan filmmaker mengemas produk tersebut. Kini pada kuartal ketiga tahun 2014 ini hadirlah persembahan terbaru dari Lifelike Pictures dengan tema serupa tapi tak sama. Penasaran?
Pemuda asal Serui, Hans bercita-cita menjadi pesepakbola profesional tapi kondisi kakinya tidak mengijinkan itu. Putus asa setelah bekerja serabutan, ia berjumpa Mak yang membawanya ke rumah makan Minang sederhana miliknya. Keputusan tersebut lantas ditentang oleh juru masak, Parmanto dan sang pelayan, Natsir. Namun Mak bertahan, bahkan mengajarkan Hans memasak. Kehadiran rumah makan baru yang lebih besar di depan mereka membuat keempatnya harus menyelesaikan perselisihan yang ada demi kelangsungan lapau mereka yang terancam bangkrut tersebut.
Skrip yang ditulis oleh Tumpal Tampubolon ini sejak menit awal memang langsung memperkenalkan empat karakter utama kepada penonton dengan segala keunikan karakternya masing-masing. Sutradara Adriyanto Dewo juga secara terampil membatasi ruang ‘bermain’ mereka yaitu restoran Padang dan pasar saja sehingga fokus cerita tidak lari kemana-mana. Bagaimana hubungan kekerabatan dapat terjalin harmonis melalui percikan konflik pertemuan budaya Minang dan Papua ataupun motif uang yang (lagi-lagi) mengiringinya. Toh pada akhirnya kebutuhan sosial antar manusia tidak dapat dipungkiri.
Debutan Jimmy Kobogau tampil menawan. Terlepas dari kepingan hilang dari latar belakang tokoh ini pada prolog nya, Hans terus ‘berjalan’ membangun jati dirinya di sepanjang film. Akting Dewi Irawan tidak perlu diragukan lagi sebagai Mak yang tengah berupaya berdamai dengan masa lalunya yang pilu. Ozzol Ramdan mungkin tokoh yang paling ‘lempeng’ di sini tetapi justru paling efektif menggugah tawa penonton dengan segala polah tingkahnya. Sedangkan Yayu Unru diplot sedemikian rupa untuk menjadi ‘pemicu’ walau tidak mencapai titik ekstrim sekalipun. Ada sinergi yang berkesinambungan antara satu sama lain sehingga penonton bisa mengikuti secara runut sekaligus peduli kepada karakter mereka.
Kita patut bersyukur bahwa produser Sheila Timothy, yang memang saya kenal amat mencintai dunia kuliner Indonesia ini, mau bersusah payah membangun iktikad baik bersilaturahmi lewat masakan dalam film kuliner lokal pertama dengan menu andalan gulai kepala ikan dan rendang Batokok ini. Serangkaian proses riset menyeluruh mulai dari Minang hingga Serui pun dijalani, lengkap dengan segala pernak-pernik otentik yang ditampilkan dalam dapur rumah makan Minang Takana Juo tersebut. Alhasil, Tabula Rasa adalah sebuah sajian yang menggugah ‘rasa’, baik secara istilah maupun harfiah, yang tak hanya memanjakan selera tetapi juga sukses menyentuh kalbu anda.
Durasi:
107 menit
Overall:
8 out of 10
Movie-meter:
Originally written for Reader's Digest Indonesia. This review also can be found at: