XL #PerempuanHebat for Kartini Day

THE RING(S) : A short movie specially made for Valentine's Day

Sabtu, 30 Juli 2011

HARRY POTTER AND THE DEATHLY HALLOWS PART 2 : Pamungkas Horcrux Pertarungan Voldermort

Quotes:
Harry Potter: We have to go there, now.
Hermione Granger: What? We can't do that! We've got to plan! We've got to figure it out...
Harry Potter: Hermione! When have any of our plans ever actually worked? We plan, we get there, all hell breaks loose.


Storyline:
Harry, Ron, Hermione harus menemukan 3 horcrux tersisa untuk menghancurkan kekuatan Voldermort. Perjuangan diawali dari The Gringott hingga Hogwarts sebelum berhadapan langsung dengan Raja Kegelapan yang mengancam akan menguasai dunia dan melenyapkan siapapun yang tidak sejalan dengannya. Sementara itu Severus yang menjadikan Hogwarts bagaikan penjara hidup ditentang oleh Prof McGonagall dan pengajar lainnya sehingga memaksanya kembali ke Voldermort. Jalan pikiran Harry yang secara tidak langsung terkoneksi dengan Voldermort pun menuntunnya mengatur strategi terbaik sekaligus memenangkan pertempuran terbesar dalam hidupnya walau mungkin mengorbankan banyak nyawa tak berdosa.

Nice-to-know:
Total kacamata yang dihabiskan Daniel Radcliffe selama syuting delapan seri Harry Potter adalah 160 pasang!

Cast:
Daniel Radcliffe sebagai Harry Potter
Rupert Grint sebagai Ron Weasley
Emma Watson sebagai Hermione Granger
Ralph Fiennes sebagai Lord Voldemort
Alan Rickman sebagai Professor Severus Snape
Matthew Lewis sebagai Neville Longbottom
Evanna Lynch sebagai Luna Lovegood
Helena Bonham Carter sebagai Bellatrix Lestrange
Jason Isaacs sebagai Lucius Malfoy
Warwick Davis sebagai Griphook / Professor Filius Flitwick

Director:
Perjalanan pria kelahiran Inggris 48 tahun yang lalu bernama David Yates ini tergolong luar biasa. Dari berbagai serial televisi hingga akhirnya dipercaya menangani 4 seri terakhir installment Harry Potter.

Comment:
Inilah instalasi terakhir dari franchise Harry Potter yang sudah menjadi fenomena selama satu dekade terakhir di kancah perfilman dunia. Bukan hanya dari perolehan dollar nya saja yang fantastis tetapi proses adaptasi dari bukunya itu sendiri yang patut ditunggu. Pada akhirnya dua hal tersebutlah yang menjadi indikasi sukses atau tidaknya setiap bagian dari terjemahan bebas hasil karya penulis J.K. Rowling tersebut.
Sutradara Yates patut diberikan applause karena menghadirkan sinematografi yang spektakuler dengan sisi artistik yang terjaga baik. Tak heran visualisasinya mengundang decak kagum terutama penggunaan spesial efek yang mulus dan penataan kostum yang pas. Belum lagi penempatan scoring musik yang brilian mengiringi setiap scene pertarungan maupun dramatisasinya. Tidak heran jika seri terakhir ini patut dikedepankan sebagai calon nominasi Oscar tahun depan atas atas keunggulan-keunggulannya itu.
Favorit saya kali ini tidak lain tidak bukan adalah Alan Rickman. Karakter Snape yang selama ini digambarkan monoton tanpa emosi akhirnya memperlihatkan sisi lain yang manusiawi sehingga membuat penonton mampu berempati padanya. Sayangnya scenes dimana ingatan Snape tereksploitasi malah terkesan terburu-buru dan tidak memberi ruang yang cukup untuk benar-benar merasakan pembentukan karakternya dari masa lalu.
Dua karakter yang cukup mencuri perhatian adalah Neville Longbottom dan Helena Ravenclaw. Lewis berhasil melakukan pidato singkat yang cukup berarti plus aksi heroiknya di bagian ending. Juga Macdonald sempat sukses membangun nuansa menakutkan saat berbagi scene dengan Harry Potter. Sayangnya Davis masih terasa kurang maksimal sebagai Aberforth Dumbledore dari segi karisma dibandingkan tokoh-tokoh senior lainnya.
Konsistensi trio Harry-Ron-Hermione secara sempurna dipertahankan oleh Radcliffe-Grint-Watson yang sudah semakin dewasa. Perubahan fisik jelas terlihat signifikan dibandingkan kemunculan pertama mereka masing-masing. Cukup menarik menyaksikan penuaan “19 tahun” yang dilakukan di penutupan film meskipun saya berpendapat bagian ini sebetulnya tidak perlu ada karena tidak mengganggu cerita samasekali.
Scenes yang paling memorable bagi saya adalah The Gringott dan juga pertempuran mempertahankan Hogwarts dari serbuan Voldermort. Adu sihir yang bombastis memang menjadi jualan utama sebuah summer movies yang harus lebih dari segala-galanya. Laga finale antara Harry dan Tom memang sedikit antiklimaks. But what more could you have asked for? Ini adalah pertarungan baik dan jahat yang kerapkali terjadi dalam bentuk apapun di dunia ini.
Terlepas dari ending process yang menurut saya agak rushing, Harry Potter and the Deathly Hallows Part 2 merupakan penutup sempurna bagi petualangan ketiga karakter remaja (muda ke dewasa) yang berbagi persahabatan dengan kesamaan visi nyata, tekad kuat dan semangat tinggi untuk memerangi raja kegelapan. Kesempurnaan akan konsep visual dan keseimbangan emosional yang belum pernah disaksikan dari ketujuh seri sebelumnya. Bersiaplah untuk merindukan dunia magis Harry Potter dalam tahun-tahun mendatang. Tanpa disadari franchise ini turut menjadi bagian dari perjalanan hidup saya dan juga anda semua penggemar film pada umumnya dalam rentang waktu yang panjang. IT ALL ENDS. Adieu!

Durasi:
130 menit

U.S. Box Office:
$169,189,427 (opening weekend in mid July 2011)

Overall:
8 out of 10

Movie-meter:

Jumat, 29 Juli 2011

SLICE : Pengarahan Masa Lalu Pembunuhan Berantai

Quotes:
Nat: Bolehkah aku bermain denganmu?


Storyline:
Kasus pembunuhan berantai terjadi di Bangkok dimana korban-korbannya selalu dimasukkan dalam koper merah setelah terjadi mutilasi di beberapa bagian tubuh. Kepolisian kemudian mengutus Kapten Chin untuk menangani kasus ini terlebih target berikutnya adalah putra seorang politisi. Adalah seorang pembunuh bayaran bernama Tai yang merasa pelaku tersebut berkaitan dengan masa lalunya. Ia pun dibebaskan bersyarat dan diberikan waktu untuk menangkap si pelaku. Penelusuran pun dimulai dari kampung halamannya hingga mengarah pada kenyataan yang mungkin tidak pernah diduganya.

Nice-to-know:
Diproduksi oleh Five Star Production Company dan dirilis di Thailand pada tanggal 22 Oktober 2009.

Cast:
Sebelumnya bermain dalam Rahtree Reborn (2009), Arak Amornsupasiri berperan sebagai Tai
Chatchai Plengpanich sebagai Chin
Sonthaya Chitmanee
Jessica Pasaphan sebagai Noi

Director:
Kongkiat Khomsiri sebelumnya sempat menangani Art of the Devil 2 & 3 yang cukup sukses itu.

Comment:
Horor/thriller Thailand merupakan salah satu film dengan twist paling cerdas untuk ukuran perfilman Asia. Tak heran jika berbagai judul yang dianggap luar biasa konon akan diremake oleh Hollywood termasuk yang satu ini. Lantas jika berbagai macam twist sudah dihadirkan sebelumnya, akankah ada kejutan baru yang patut ditunggu? Itulah yang menarik untuk dijawab karena anda tidak akan pernah tahu sebelum menyaksikannya sendiri.
Sepintas film yang berjudul asli Cheun ini tidak istimewa. Nanti dulu karena premis yang semula umum mengenai pembunuh berantai yang misterius dan sulit diterka identitasnya ternyata menjadi unik karena calon pemecah kasus justru dapat dikatakan berasal dari pihak antagonis. Permainan cat and mouse disini pun diwarnai dengan flashback yang terjalin rapi. Cerita yang ditulis oleh Wisit Sasanatieng ini menawarkan banyak topsy turvy yang mengasyikkan.
Amornsupasiri membuktikan diri sebagai aktor serba bisa mulai dari genre action hingga komedi romantis berhasil dilakoninya. Penampilan gahar sang narapidana berdarah dingin bernama Tai sedikit banyak terbantu oleh sapuan tattoo tak lazim di sekujur tubuhnya. Namun sisi personalnya kemudian dipertunjukkan pada penonton lewat serangkaian peristiwa lalunya sejak kecil hingga menjadi sosok seperti sekarang ini.
Terus terang tone warna yang digunakan sutradara Khomsiri memang tidak nyaman untuk disaksikan. Nuansa depresi terekam jelas di paruh pertama film, mengingatkan kita pada Se7en (1995) yang legendaris itu. Perubahan terjadi di paruh kedua film dengan kemunculan warna-warni pastel yang sedikit menenangkan walau kesan suffering masih belum terhapus. Kesemuanya itu dibalut dalam elemen gory yang tak terhindarkan sehingga kucuran darah segar ataupun potongan tubuh berserakan bukan lagi hal yang baru di layar.
Entah mengapa menurut opini saya flashback dalam film ini seperti membentuk jalinan kisah sendiri yang benar-benar baru. Kisah persahabatan dua anak yang memilih “jalan” yang berbeda di kemudian hari. Semuanya terpampang jelas lewat proses kejadian-kejadian teramat wajar dan bisa jadi pernah dialami oleh kita semua. Siapa yang tidak pernah berkelompok sewaktu kecil dan memiliki sahabat terdekat? Interaksi yang natural antara Polyong dan Poolsawad pun mampu membuat penonton berempati pada kedua bocah tersebut yang terikat oleh permainan nasib yang tidak adil.
Jika anda berniat menyaksikan Slice sebaiknya hindari membaca review apapun yang tertulis di internet ataupun media lainnya. Semakin sedikit anda mengetahui, maka akan semakin tergelitik untuk mengikuti kisahnya dari awal sampai akhir. Oleh karena itu saya memutuskan tidak “membuka” terlalu banyak dalam tulisan kali ini. Pesannya cuma satu, nikmatilah proses yang disajikan secara utuh dan jangan heran jika di akhir cerita seakan tidak ada lagi karakter jahat dalam benak anda. Everything comes in a shade of gray, isn’t it?

Durasi:
90 menit

Overall:
8 out of 10

Movie-meter:

Kamis, 28 Juli 2011

JAKARTA MAGHRIB : Jalinan Kisah Warga Metropolitan Jelang Maghrib

Quotes:
Iman: Ya keluar. Gak jadi “keluar” di kamar ya keluar rumah..


Terbagi dalam 6 segmen:

IMAN CUMA INGIN NUR (12 min)
Iman yang asli Sidoarjo beristrikan Nur yang asli Betawi. Kelelahan mengurus balita mereka yang sakit hingga 3 hari, keduanya sepakat bercinta untuk melampiaskan penat dan rasa rindu. Sayangnya, Ibu Nur yang tinggal serumah dengan mereka kerapkali ikut campur dalam urusan rumah tangga. Iman pun mulai mempertanyakan eksistensinya di rumahnya sendiri.

ADZAN (6 min)
Preman Jakarta, Baung tidak terpuji tindakannya. Selain pengangguran, ia juga sering mabuk-mabukan dan memalak anak sekolah yang lewat untuk mendapatkan uang. Bertolak belakang adalah Pak Armen, penjaga mushola sekaligus pemilik warung kecil asal Solok yang saleh dan taat beragama. Kedua pribadi tersebut terlibat percakapan singkat yang bisa jadi membuka mata Baung kemudian.

MENUNGGU AKI (15 min)
Nasi goreng Aki sangatlah khas karena dimasak di atas anglo. Oleh sebab itu kehadirannya selalu ditunggu penghuni kompleks perumahan mulai dari Akbar, Tuti dan lain-lain yang berprofesi berbeda-beda. Satu kepentingan membuat orang-orang yang tidak saling mengenal itu menjadi berinteraksi satu sama lain menjabarkan isi kepala mereka masing-masing.

CERITA SI IVAN (10 min)
Demi bermain game di rental langganannya, Ivan kerap bolos dari Madrasahnya. Sayangnya sore itu tempatnya sudah terisi oleh keempat anak lainnya yang sudah membayar untuk berjam-jam. Tidak hilang akal, Ivan mengarang cerita kuntilanak yang kadang muncul menjelang maghrib untuk menakut-nakuti mereka, atau justru dirinya sendiri?

JALAN PINTAS (20 min)
Sepasang kekasih yang sudah menjalin hubungan selama 7 tahun berkendara ke suatu tempat demi mempersiapkan acara pernikahan adik sang lelaki yang menikah dengan ipar sang perempuan. Ketika mengambil jalan pintas, perbedaan karakter dan pola pikir keduanya mulai meruncing sehingga apa yang mereka bangun bisa saja dipertimbangkan kembali.

BA’DA (7 min)
Katanya berarti “Setelah” dimana tokoh-tokoh yang diceritakan sebelum Maghrib pada akhirnya dipersatukan di bagian akhir film baik secara langsung maupun tidak langsung.

Nice-to-know:
“Maghrib” merupakan istilah dalam bahasa Arab yaitu “Maghreb” yang berarti "tempat matahari terbenam" yang ditandakan dengan hilangnya mega merah di ufuk barat. Digunakan juga sebagai penanda waktu sholat atau berpulang dari aktifitas bagi kaum muslim.

Cast:
Lukman Sardi
Reza Rahadian
Adinia Wirasti
Ringgo Agus Rahman
Desta
Dodi Mahendra
Indra Birowo
Fanny Fabriana
Widi Mulia

Director:
Merupakan debut penyutradaraan bagi Salman Aristo.

Comment:
Ide cerita ini tentu saja menarik terlebih disajikan dalam konsep film omnibus. Masing-masing tema memiliki persamaan yaitu momen kejadian sebelum penanda waktu yang krusial artinya bagi kaum pemeluk agama mayoritas di Indonesia ini. Namun jangan salahartikan jika menganggap film ini berbau agamais karena justru menyoroti berbagai macam konflik yang mungkin muncul dalam kehidupan sehari-hari warga Jakarta ini.
Salman Aristo yang dikenal sebagai salah satu penulis skenario film jempolan saat ini memang terkenal terampil dalam mengolah sekumpulan fiksi mini yang dipublikasikan lewat jejaring sosial Twitter. Tentunya permainan kata-katanya tidak perlu diragukan lagi sehingga tidak heran jika pada akhirnya mampu dituangkan ke dalam format layar lebar dengan berbagai pengembangan yang cukup signifikan disana-sini.
Sayangnya duduk di kursi sutradara nampaknya memang tidak semudah berada di bangku penulis. Pergerakan kameranya masih cenderung naik turun, terkadang sudah cukup maksimal tapi tak jarang kurang konsisten dalam penentuan angle yang sangat berpengaruh pada jarak tangkap penonton terhadap layar. Proses editingnya tergolong lumayan mulus dengan interval yang berbeda-beda di setiap segmennya.
Favorit saya adalah segmen terakhir karena hanya berfokus pada dua sejoli di dalam ruang lingkup sempit yaitu sebuah mobil yang berjalan. Interaksi yang intens antara Reza dan Adinia meski dalam durasi singkat sekalipun sukses menjabarkan hubungan macam apa yang tengah mereka jalani. Bagaimana perbedaan visi dan tabiat begitu kentara dari setiap perdebatan panjang-pendek mengenai pekerjaan dan keluarga. Pertanyaan-pertanyaan penonton pun terjawab dari setiap lontaran kata ataupun ekspresi yang tertangkap secara eksplisit.
Di luar segmen tersebut bagi saya terkesan seperti masakan setengah jadi. Penyampaian konfliknya kurang kuat dan penyelesaiannya pun mengambang saja. Akumulasi penutupan di segmen “Ba’da” yang saya harapkan dapat menjadi highlight tersendiri malah datar. Tidak ada suatu “getaran” yang berusaha dialirkan dari produsen ke konsumen sehingga asumsi yang diharapkan dapat terbentuk sendiri dari pola pikir penonton rasanya sulit terjadi.
Walau demikian, Jakarta Maghrib tetap harus diapresiasi karena keberaniannya mengadopsi elemen “universal” yang terkandung dalam relasi suami istri, kekasih, rukun tetangga, tokoh hitam-putih masyarakat hingga anak-anak sekalipun. Keterlibatan aktor-aktris papan atas Indonesia disini sudah menjadi poin plus istimewa terlepas dari lemah atau kuatnya peranan masing-masing saat menyuguhkan problema yang menjadi bumbu utama. Pengalaman pertama adalah pembelajaran yang teramat berharga dari sebuah proses dan seorang Salman Aristo jelas sudah membuat langkah pertamanya lewat film ini.

Durasi:
75 menit

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:

Rabu, 27 Juli 2011

FORGET ME NOT : Mimpi Buruk Permainan Masa Kecil

Tagline:
Some friendships last a lifetime. Some last longer.

Storyline:
Liburan kelulusan seringkali dimanfaatkan anak-anak SMU untuk bersenang-senang. Tanpa kecuali ketua klub Sandy Channing dan adiknya Eli. Sayangnya satu-persatu sahabatnya mulai dari Jake, Hannah, Lex, Chad, TJ dkk menghilang secara misterius. Sandy pun mulai ingat akan permainan maut di atas kuburan yang pernah dimainkannya di masa lalu bersama Angela, sahabat karibnya sedari kecil. Berhasilkah Sandy berpacu dengan waktu memecahkan rahasia gelap yang tersimpan dahulu sekaligus mengatasi arwah-arwah pendendam sebelum kewarasannya dipertanyakan?

Nice-to-know:
Diproduksi oleh Capstone Entertainment Group dan Vindicated Pictures dimana sempat diputar dalam Screamfest LA International Horror Film Festival tahun 2009.

Cast:
Di awal-awal karirnya sempat mengisi suara dalam Babe (1998) dan Toy Story 2 (1999), Carly Schroeder bermain sebagai Sandy
Cody Linley sebagai Eli
Micah Alberti sebagai Jake
Brie Gabrielle sebagai Hannah
Jillian Murray sebagai Lex
Zachary Abel sebagai Chad

Director:
Merupakan film kedua Tyler Oliver setelah documenter Kenny Ray Fairley Release (2009) dimana dirinya menjadi asisten sutradara.

Comment:
Sebuah fakta tidak bisa terbantahkan bahwa film horor selalu menarik minat saya dan para pecinta genre ini dimanapun mereka berada. Oleh karena itu film yang posternya cukup eye-catchy meski tidak bisa dibilang baru ini rasanya sudah cukup membuat calon penonton mengira-ngira jalinan kisah apa yang ingin disuguhkan.
Premisnya memang terdengar seperti gabungan berbagai film horor sekaligus. Sekumpulan muda-mudi yang terjebak dalam permainan maut yang tidak seharusnya mereka lakukan. Lantas terorpun merambat dimana satu-persatu dari mereka mulai tewas. Kemudian yang terakhir bertahan pun harus memecahkan teka-teki yang sesungguhnya agar terhindar dari maut. Plus momok mengerikan yang sebetulnya lebih mirip zombie dibanding hantu. Silakan anda asumsikan sendiri.
Sebuah ide yang sebetulnya cukup brilian menjadi tidak berguna jika dieksekusi secara tidak maksimal. Kesalahan sutradara Oliver adalah editingnya yang teramat buruk sehingga sekuens adegan yang seharusnya ditampilkan secara smooth dan teratur menjadi sedikit membingungkan. Belum lagi pengarahan yang diberikan terhadap aktor-aktris kelas dua semakin mempertegas kekurangannya itu sehingga para tokohnya seperti bermain sendiri-sendiri.
Skrip yang ditulis oleh Tyler juga beserta Jamieson Stern ini seperti memadukan unsur horor tipikal Hollywood dan Asia pada umumnya. Permainan waktu dari masa ke masa ditambah dengan twist yang diselipkan di akhir cerita setidaknya menyiratkan hal itu. Terlebih make-up ala zombie Amerika dipadankan dengan pergerakan “patah-patah” ala hantu Asia lengkap dengan sound effect nya. Kombinasi yang terkadang lebih memancing senyum dibandingkan rasa takut.
Tidak satupun karakter dalam film ini mampu membangun simpati anda. Bukan Sandy yang freak-out, tidak juga Eli yang innocent itu. Selebihnya adalah kumpulan lelaki playboy dan wanita bitch yang mungkin kemolekan rupa dan tubuhnya bisa menyegarkan mata anda, apalagi jika adegan seksnya diantara mereka tidak digunting sensor. Persahabatan Sandy-Angela seharusnya menjadi highlight tersendiri untuk memperkuat message yang ingin disampaikan tapi sayangnya hal tersebut tidak terjadi.
Forget Me Not patut dipuji usahanya menghadirkan sebuah horor yang tidak sebiasa dan sebasi yang saya pikir sebelumnya walaupun pada akhirnya tertutupi oleh minus-minus yang sudah saya sebutkan di atas. Sebuah film yang layak masuk dalam koleksi direct-to-video karena penggarapan yang demikian amatir. Elemen psikologis yang berusaha disematkan dalam setiap subplotnya sedikit menyelamatkan film ini dari rating buruk yang bisa juga berarti “Yes, Forget This!”

Durasi:
95 menit

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:

Senin, 25 Juli 2011

BE KIND REWIND : Syuting Ulang Selamatkan Nasib Video

Quotes:
Jerry: How come you never got married Mr. Fletcher?
Elroy Fletcher: Well, the common story is, the girl that you's gon' ask you waited too long to ask. She went on to marry somebody else and then you can't find anybody to compare to her, so what happens?... You get old.

Storyline:
Di Passaic, New Jersey hiduplah Elroy Fletcher yang mengelola rental video di sebuah gedung tua yang terancam dirobohkan jika tidak direnovasi dengan biaya besar. Elroy sangat mengagumi Fats Waller yang diyakininya musisi terbesar yang pernah lahir di kawasan itu sehingga menghadiri acara pengabdiannya dan meninggalkan toko pada anak asuhnya Mike. Jerry berusaha membantu kesulitan ayah angkat Mike dengan menyabotase pembangkit listrik pusat yang berakibat dirinya beraliran elektromagnetik. Hal itulah yang tanpa diduga merusak semua kaset video yang ada. Dalam panik, keduanya lantas berusaha melakukan “syuting ulang” dari semua judul video yang ingin disewakan kepada pelanggan. Berhasilkah mereka mengatasi segala kesulitan yang ada dengan cara yang gokil sekalipun?

Nice-to-know:
Kata "sweded" diciptakan berdasarkan kebijakan Pemerintah Swedia akan file-sharing yang secara tidak langsung dilegalkan.

Cast:
Tahun lalu bermain mengesankan dalam The Holiday (2006), Jack Black berperan sebagai Jerry
Terakhir muncul dalam 2 film sekaligus yaitu Journey to the End of the Night dan 16 Blocks di tahun 2006, Mos Def bermain sebagai Mike
Danny Glover sebagai Mr. Fletcher
Mia Farrow sebagai Miss Falewicz
Melonie Diaz sebagai Alma

Director:
Michel Gondry mulai dikenal luas setelah memenangkan Piala Oscar kategori Penulisan Naskah Asli Terbaik lewat Eternal Sunshine of the Spotless Mind (2004).

Comment:
Menilik judulnya yang unik itu lantas membuat anda bertanya-tanya apa yang dimaksud dengan Be Kind Rewind. Apalagi melihat nama Michel Gondry di jajaran penulis dan sutradaranya semakin menguatkan niat saya untuk menyaksikan film ini meski harus terlambat beberapa tahun. Lebih dari satu setengah jam kemudian, saya pun hanyut dalam kisahnya yang sederhana tetapi kaya rasa itu terutama dari segi visualisasi yang terpuaskan.
Gondry memang terbukti berbakat dalam menyuguhkan sebuah konsep gambar di depan kamera. Hasil karyanya berbicara lebih dibandingkan dari apa yang sekadar terlihat meskipun tanpa spesial efek apapun. Itulah sebabnya “filming” process yang dilakukan duet Mike-Jerry disini menjadi highlight yang patut dikenang dalam jangka waktu yang teramat panjang. Tidak percaya? Coba saja lihat “remake” King Kong, Ghostbusters, Rush Hour dan sederetan judul lainnya yang norak tapi inovatif itu.
Tidak ketinggalan duo hitam-putih Mos Def dan Jack Black yang kompak bin ajaib itu. Jack yang sangat fleksibel sangat kontras dengan Mos yang teramat kaku itu. Perselisihan sekaligus persahabatan yang tercipta di antara keduanya terasa pas. Karisma Glover juga amat membantu dalam peran Elroy yang old-fashioned tapi simpatik itu. Sedikit “warna” juga ditorehkan Diaz sebagai Alma tanpa mengesampingkan kemunculan Farrow sebagai Miss Falewicz tersebut.
Sayangnya apa yang telah terbangun selama lebih dari dua pertiga film menjadi menurun drastis memasuki penghujung cerita. Namun bukan berarti saya menghujat endingnya karena justru sisi kelembutan dan kemanusiaan lah yang berupaya dikedepankan oleh Gondry meski nyaris tanpa konklusi sekalipun. Layar ditutup begitu saja sambil meninggalkan tanda tanya di benak penonton akan kelanjutan nasib rental video milik Elroy tersebut.
Konsep “sweded” baik pada saat syuting sampai percobaan untuk menjualnya merupakan nilai yang jauh lebih menarik dibandingkan Be Kind Rewind itu sendiri. Jika ingin mengedepankan biografi Fats Waller sebaiknya dilakukan dalam film terpisah alias spin-off yang saling kait-mengait. Potensi besar untuk menjadikan film ini sebuah komedi hit yang cult pun gagal total. Semoga saja Gondry tidak berhenti bereksperimen dalam mewujudkan visualisasi liarnya tentunya lewat kerjasama yang lebih menguntungkan baginya dengan penulis yang lebih yahud lagi di masa mendatang.

Durasi:
100 menit

U.S. Box Office:
$11,169,531 till April 2008

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:

Minggu, 24 Juli 2011

THE BEAVER : Boneka Tangan Dualisme Kehidupan Baru

Quotes:
The Beaver: I’m here to save your God-damn life, Walter!

Storyline:
Mewarisi perusahaan mainan yang sudah mapan tidak membuat hidup Walter Black bahagia. Hubungannya dengan istrinya Meredith dan putranya Porter yang beranjak dewasa mulai mendingin meski si kecil Henry tidak pernah mengecewakan. Hingga pada suatu saat dalam perjalanan pulang, Walter menemukan boneka tangan berang-berang yang kemudian dijulukinya The Beaver. Percobaan bunuh diri yang gagal seketika memberikan energi baru bagi Walter untuk tetap menjalani hidup dengan bantuan komunikasi The Beaver yang selalu setia di tangan kirinya. Walter tidak peduli akan tudingan tidak waras yang terlontar dari mulut orang-orang di sekitarnya selama ia merasa mendapat kehidupan baru yang diharapkannya.

Nice-to-know:
Awalnya Jim Carrey dan Steve Carell sempat dikabarkan akan berperan sebagai Walter Black.

Cast:
Terakhir bermain dalam Edge of Darkness (2010), Mel Gibson bermain sebagai Walter Black.
Mulai angkat nama lewat Star Trek (2009), Anton Yelchin sebagai Porter Black
Cherry Jones sebagai Vice President
Jodie Foster sebagai Meredith Black
Riley Thomas Stewart sebagai Henry Black
Jennifer Lawrence sebagai Norah

Director:
Debut penyutradaraan Jodie Foster diawali dengan Little Man Tate tepat dua dekade yang lalu

Comment:
Siapa di kalangan moviegoers yang tidak kenal nama Mel Gibson atau Jodie Foster? Jawabannya mutlak tidak ada. Meski sudah banyak bermunculan megabintang Hollywood yang jauh lebih muda, keduanya tidak lantas dapat dikesampingkan begitu saja. Jika dipersatukan dalam sebuah film, tentunya akan menjadi ajang adu akting yang sangat menarik apalagi Mel dan Jodie dipasangkan menjadi suami istri bermasalah kali ini.
Film yang skripnya ditulis oleh Kyle Killen ini memang bukan drama biasa-biasa saja. Banyak sekali isu keluarga yang coba ditengarai baik yang tersirat maupun yang tidak. Sebut saja mendinginnya hubungan suami istri yang telah puluhan tahun menikah, figur orangtua di mata anak seiring berjalannya waktu tidak akan pernah sama, krisis kepercayaan diri manusia paruh baya yang mulai menggerogoti dan banyak lagi.
Duduk di kursi sutradara untuk ketiga kalinya, Foster memang tidak pernah benar-benar memposisikan dirinya sebagai sorotan utama. Dramatisasi yang ia bangun di sepanjang film terasa realistis dengan balutan scoring musik yang ciamik. Tempo yang cukup lambat dan setting tempat yang agak monoton mampu disiasati dengan pergerakan kamera yang secara menarik mengambil angle yang berbeda-beda silih berganti.
Gibson sendiri mampu menampilkan sosok pria dewasa yang depresi. Sayang tidak ada penjelasan turning point seperti apa yang membuat keadaannya demikian terpuruk. Namun tokoh Walter harus diakui mampu mengambil simpati penonton, terlepas dari anggapan tidak waras yang menyertainya. Perubahan intonasi suara Gibson saat menjadi man dan puppet memang sedikit berbeda, antara low voice yang menandakan ketidakpercayaan diri sampai strong voice yang terkesan dominan.
Yang juga menarik bagi saya adalah tokoh Porter Black yang harus berhadapan dengan tiga pihak sekaligus yaitu ayahnya, gadis yang disukainya atau dirinya sendiri. Yelchin mampu menerjemahkan sosok Walter muda itu ke dalam remaja pria beranjak dewasa yang temperamental dan bingung akan tujuan hidupnya sendiri. Chemistry nya dengan Lawrence yang bermain sebagai Norah memang tidak terlalu bersinar tapi sudah cukup menjelaskan apa yang terjadi di antara mereka berdua.
The Beaver tidak akan mudah dicerna oleh penonton awam yang bisa jadi mengernyitkan kening mengikuti perjalanan Walter selama 90 menit dan misah misuh begitu meninggalkan gedung bioskop. Namun jika ditelaah lebih jauh, arti film ini tak lebih dari sekadar frase questioning ourselves. Setiap manusia memiliki alter ego yang seringkali berganti-ganti seiring berjalannya waktu terlebih saat melewati masa-masa up and down yang akan selalu ada. Ingatlah bahwa kita tidak pernah sendiri dalam melalui semua fase kehidupan. You always got people around you, no matter how close/far they seems..

Durasi:
90 menit

U
.S. Box Office:
$958,319 till June 2011 (limited showing)

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:

Sabtu, 23 Juli 2011

LARRY CROWNE : Keterlambatan Mengenyam Pendidikan Buahkan Hasil

Quotes:
Talia: A man with a scooter can accomplish anything.

Storyline:
Larry Crowne adalah karyawan teladan di perusahaan retail besar U-Mart. Namun karena tidak mengenyam pendidikan S1, ia terpaksa dikeluarkan karena tidak memiliki kesempatan promosi. Semangat Larry tidak pudar meski ia menanggung hutang cicilan rumah yang terus berjalan. Hingga akhirnya ia menerima saran tetangganya untuk mendaftar di Universitas Terbuka. Disanalah ia bertemu banyak pribadi-pribadi baru yang unik dan mulai mengubah persepsinya, termasuk dosen pengajar Ilmu Komunikasi yang cantik, Mercedes Tainot yang tengah bermasalah rumah tangganya. Akankah kedua insan yang tengah “struggling” tersebut dapat memiliki akhir yang bahagia bagi kehidupan masing-masing?

Nice-to-know:
Diproduksi secara kolaborasi oleh Universal Pictures, Vendome Pictures, Playtone Productions dan dirilis di Amerika pada tanggal 1 Juli 2011.

Cast:
Karismanya terakhir kita lihat dalam Angels & Demons (2009), Tom Hanks bermain sebagai Larry Crowne disini
Baru saja tampil memikat dalam Eat Pray Love (2010), Julia Roberts berperan sebagai Mercedes Tainot
Gugu Mbatha-Raw sebagai Talia
Wilmer Valderrama sebagai Dell Gordo
Cedric the Entertainer sebagai Lamar
Taraji P. Henson sebagai B'Ella

Director:
Merupakan film layar lebar kedua yang disutradarai oleh Tom Hanks setelah That Thing You Do! (1996).

Comment:
Tidak berlebihan jika menyebut nama Tom Hanks dan Julia Robers sebagai salah satu raja-ratu komedi romantis di tahun 90an dengan berbagai judul yang mereka bintangi hingga menjadi cult di kalangan moviegoers. Anda yg lahir di generasi tersebut tanpa sungkan akan langsung meneriakkan beberapa judul sebagai favorit masing-masing. Saya pribadi memilih My Best Friend’s Wedding (1997) dan Sleepless In Seattle (1993) sebagai performa terbaik keduanya.
Lantas jika Tom dan Julia dipersatukan kembali dalam sebuah film setelah Charlie Wilson’s War (2007) bisa jadi cuma reuni belaka apalagi dalam genre yang membesarkan nama mereka. Jadi anda jangan berharap terlalu tinggi pada film yang skripnya ditulis oleh Tom sendiri bersama Nia Vardalos ini karena sentral ceritanya hanya 2 orang dewasa yang sedang dalam titik perjuangan untuk mengatasi krisis hidup masing-masing, satu karena pekerjaan, satu lagi karena rumah tangga.
Tiga aspek penting dalam hubungan keduanya kali ini terbilang kurang menggigit yaitu pertemuan, kedekatan hingga persatuan. Pertemuan yang tidak terlalu menunjukkan ketertarikan satu sama lain. Kedekatan yang tergolong sulit dipercaya apakah benar-benar patut demikian adanya. Persatuan yang terasa dipermudah tanpa ada turning point yang dapat digarisbawahi. Please somebody tells me that the only excuse for it is to make the story seems believeable and down-to-earth. Well..
Tingkah laku Hanks disini sedikit mengingatkan saya akan sosok Forest Gump yang berjiwa “murni” di tengah-tengah lingkungan hipokrit yang akhirnya membantunya. Sedangkan Roberts tidak sesimpatik yang diduga dalam perannya sebagai pengajar intelektual. Keduanya berbagi chemistry dengan cukup baik tapi tidak sampai gemerlap. Sentuhan komedi rendah kalori (kategori remaja) juga cuma menghadirkan tawa singkat di berbagai scenes.
Sejujurnya karakter pendukung di luar Larry-Mercedes justru lebih menarik. Sebut saja George Takei, Cedric, Taraji P. Henson, Wilmer Valderrama ataupun pendatang baru yang cantik eksotis Gugu Mbatha-Raw. Kontribusi yang diberikan mereka tidak sedikit untuk membangun pondasi cerita tapi sayangnya nyaris tidak ada kesempatan bagi masing-masing untuk menjadi spotlight yang layak mendapat pengakuan dalam film ini.
Akhir kata, ini hanyalah sebuah kisah mengenai seorang pria dewasa (mendekati paruh baya) bernama Larry Crowne yang selalu berusaha menjaga semangat dalam hidupnya sendiri. Kesederhanaan, ketekunan, ketegaran dan perhatian tulusnya terhadap hal-hal kecil sekalipun termasuk memungut sampah jelas patut menjadi inspirasi setiap orang yang ingin maju. Percayalah anda tidak perlu kacamata hitam, jaket kulit ataupun skuter tua untuk memulai sikap hidup yang positif!

Durasi:
95 menit

U.S. Box Office:
$31,628,000 till mid July 2011

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:

Jumat, 22 Juli 2011

THE RESIDENT : Pengintaian Rahasia Penghuni Apartemen

Tagline:
She Thought She Was Living Alone

Storyline:
Dokter emergency, Juliet Devereau mencari tempat tinggal baru untuk menjauh dari suaminya, Jack yang ketahuan berselingkuh. Juliet akhirnya menemukan apartemen tipe studio di Brooklyn milik Max yang baru direnovasi dengan harga murah. Awalnya Juliet dan Max mampu menciptakan hubungan yang menjanjikan sebelum Juliet sadar bahwa ia masih mendambakan Jack. Nyatanya Max bukan lelaki yang bisa ditolak begitu saja dan akses yang dimilikinya untuk mengintai Juliet sudah lebih dari cukup untuk melakukan sesuatu yang buruk!

Nice-to-know:
Karena keterbatasan dana, syuting yang dilakukan pada bulan April 2010 harus memangkas berbagai adegan yang seharusnya ada dalam skrip film ini.

Cast:
Kemunculannya dalam seni peran diawali dengan serial televise ABC TGIF di tahun 1990, Hilary Swank bermain sebagai Juliet Devereau
Terakhir melihatnya dalam proyek remake Shanghai (2010), Jeffrey Dean Morgan berperan sebagai Max
Lee Pace sebagai Jack
Christopher Lee sebagai August
Aunjanue Ellis sebagai Sydney

Director:
Merupakan feature film pertama Antti Jokinen yang sebelumnya lebih banyak terlibat dalam pengarahan serial televisi ataupun dokumenter.

Comment:
Entah apa yang membuat aktris sekaliber Hilary Swank mau membintangi film ini. Jika ditilik dari skrip yang ditulis oleh Antti Jokinen dan Robert Orr rasanya tidak menawarkan sesuatu yang baru. Semua terbaca dari menit awal sampai akhir terlebih bagi anda para pecinta genre thriller yang sudah puluhan kali menyaksikan premis serupa.
Image pria dalam film ini digambarkan demikian buruk. Max yang berpikiran “kotor”, berjiwa psycho dan berkepribadian “lemah”. Sedangkan Jack adalah suami peselingkuh yang terkesan memanfaatkan kelembekan hati istrinya yang juga seorang wanita mandiri itu. Ada lagi August sebagai orang tua yang hanya bisa menggerutu dengan sumpah serapah terhadap cucunya tanpa berusaha mengubah “garis keluarga” yang diyakininya itu.
Sedangkan Juliet dihidupkan dengan tegar dan tangguh tapi tidak cukup “keras” dalam menonjolkan sisi tersebut. Tidak dijelaskan bagaimana kemandirian seorang dokter emergency dapat begitu saja luluh menerima pria yang telah menyakitinya itu. Hanya karena kesepian seorang wanitakah? Belum lagi intuisinya di awal film yang sedikit “menggoda” pria yang baru dikenalnya. Cuma sebagai pelarian atay coba-coba? Sulit memastikannya.
Swank seharusnya mampu melahap peran Juliet dengan mudahnya. She DID! Namun karakterisasinya memang kurang berwarna dalam film yang seperti tidak percaya diri ini. Begitu pula dengan Dean Morgan yang mampu memperlihatkan transformasi dari sosok Max yang semula romantis, lembut dan perhatian menjadi cabul, posesif dan berinsting pembunuh. Interaksi keduanya cenderung naik turun, terkadang menarik, terkadang dipaksakan.
Sutradara Jokinen tampaknya sudah berusaha menghadirkan sinematografi yang cukup memikat, konsisten dengan pencahayaan indoor minimalis di setiap sudut apartemen baik yang terlihat maupun tersembunyi. Namun editingnya masih kurang memuaskan, banyak perpindahan scene selayaknya film televisi. Tensi film yang diharapkan merambat naik mendekati endingnya tidak terlalu berhasil terlebih adegan kejar-kejaran ala cat and mouse yang diharapkan klimaks ternyata berakhir begitu saja.
Alhasil The Resident masih jauh dari hasil yang diinginkan penonton kecuali bagi mereka yang tidak pernah menyaksikan film sejenis sebelumnya. Sia-sia belaka kemunculan Pace dalam peran Jack yang sudah mampu anda prediksi nasibnya itu. Seandainya saja seorang Christopher Lee dapat lebih dimaksimalkan dalam peran August. Tidak adanya improvisasi dari keempat karakter utama disini menjadi kelemahan utama. Jika anda berpikir bisa melihat Swank dalam pose syur yang privat? Voila! Anda akan temukan disini meskipun tidak yakin adegan tersebut akan “sepanas” ekspekstasi anda.

Durasi:
85 menit

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:

Rabu, 20 Juli 2011

WILD TARGET : Pembunuh Bayaran “Targetkan” Pencuri Cantik

Quotes:
Rose: It's like everywhere you go, there's that smell.
Victor Maynard: What smell?
Rose: Cleanliness. Bleach. It's like being in a hospital. It's so safe, it's dangerous. I can't breathe here. I mean it, I'm frightened. I'm frightened if I stay here much longer, I'll end up like you. Afraid of everything.

Storyline:
Pembunuh bayaran kelas wahid, Victor Maynard selalu hidup seorang diri walau ibunya seringkali mendesaknya untuk menikah dan memiliki keturunan. Sayangnya saat bertemu calon korbannya, Rose yang ternyata seorang pencuri kelas kakap, Victor malah ragu-ragu. Tanpa sengaja interaksi pertamanya dengan Rose dan juga Tony, remaja yang kebetulan ada di lokasi kejadian malah membawa ketiganya berdiri di atas perahu yang sama. Rose menyangka ada yang mau membunuhnya sehingga membayar Victor untuk melindunginya. Dari saling bertengkar, ketiganya kemudian mulai saling memahami. Namun apakah Ferguson yang mengutus Victor tinggal diam melihat targetnya lolos begitu saja?

Nice-to-know:
Diproduksi secara kolaborasi oleh Magic Light Pictures, CinemaNX, Isle of Man Film, Matador Pictures, Cinema Four dan dirilis di Inggris Raya pada tanggal 18 Juni 2011 yang lalu.

Cast:
Terakhir kali mengisi suara Dr. Elefun dalam Astro Boy (2009), Bill Nighy berperan sebagai Victor Maynard
Mengawali karir aktrisnya dalam Warrior Queen (2003), Emily Blunt bermain sebagai Rose
Rupert Grint sebagai Tony
Rupert Everett sebagai Ferguson
Eileen Atkins sebagai Louisa Maynard
Martin Freeman sebagai Hector Dixon

Director:
Kembalinya Jonathan Lynn di bangku sutradara setelah The Fighting Temptations (2003).

Comment:
Film yang konon terinspirasi dari film Perancis berjudul Cible émouvante ( 1993) ini nyatanya tetap bernuansakan British yang kental. Suatu hal yang baik karena tidak berusaha mengikuti pakem film-film Hollywood pada umumnya. Lucinda Coxon mengadopsi skrip Pierre Salvadori secara mulus tanpa menghilangkan esensi komedi situasi yang berbasis pada dua orang yang berlawanan jenis sekaligus berseberangan kepribadian.
Prolog dibuka dengan stylish dimana karakter Rose bersepeda dengan berjaket merah, sedangkan Victor berjas rapi berkutat dengan pekerjaannya. Begitu Victor mengetahui bahwa Rose adalah targetnya, iapun bimbang saat harus menarik pelatuk. Pada scene ini mungkin kita bertanya-tanya apa yang membuat Victor ragu, rasa kesepiankah sebagai perjaka ting-ting atau ketertarikannya pada pencuri cantik itu? Sebuah pertanyaan yang tidak pernah terjawab tapi mampu dimaafkan.
Setelah premis disampaikan mengenai latar belakang dua tokoh tersebut, penonton lantas disuguhkan “interaksi” Victor dan Rose yang unik dan tajam. Sayangnya memasuki pertengahan film dengan setting rumah Victor, intensitas cukup menurun drastis sebelum kembali memuncak pada bagian endingnya meskipun harusnya tidak terlalu sulit ditebak. Nighy dan Blunt merupakan pilihan tepat, chemistry yang aneh di antara keduanya malah memberikan excitement tersendiri sehingga mampu membuat penonton berpihak pada mereka sejak menit pertama.
Yang menjadi ganjalan bagi saya adalah karakter Tony yang rasanya tidak terlalu penting dan seringkali tidak tepat kemunculannya. Namun bukan salah Grint yang sudah menjiwainya dengan gayanya yang khas itu. Tony seakan cuma menjadi penyeimbang di tengah-tengah Victor dan Rose. Apakah dimaksudkan untuk mengganggu kecenderungan seksual Victor atau menjadi apprentice yang membuat hidup Victor setidaknya lebih bermakna di luar dirinya (dan ibunya) sendiri itu?
Wild Target mengatur timing setiap humornya dengan pas, setidaknya mampu membuat anda tersenyum walau tidak sampai terpingkal-pingkal. Sajian grey comedy (not black enough) yang menghibur dengan hati yang tulus lewat serangkaian karakter yang teramat manusiawi. Siapa pula yang tidak jatuh cinta pada si cantik kleptomania nan sensual menggoda macam Emily Blunt itu? Rasanya saya pun tidak berkeberatan memberikan foot massage baginya semalam suntuk.

Durasi:
90 menit

U.S. Box Office:
$117,190 till Dec 2010

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:

Selasa, 19 Juli 2011

DELHI BELLY : Kekacauan Kebetulan Tiga Pemuda Delhi

Quotes:
Nitin: Apakah mereka menggundulimu dulu sebelum menggantungmu?

Storyline:
Wanita cantik Sonia sepakat untuk mengirim paket atas nama Vladimir Dragunsky dan kemudian menyuruh tunangannya, Tashi Malhotra. Tashi sendiri adalah seorang wartawan yang hidupnya serabutan kalau tidak mau dibilang berantakan, tinggal bersama 2 sahabatnya masing-masing Nitin dan Arup di sebuah flat kumuh. Nitin yang dititipkan paket oleh Tashi kemudian menyerahkan lagi pada Arup karena gangguan pencernaan yang dideritanya. Tanpa sengaja paket tertukar oleh Arup yang menyebabkan ketiganya menjadi incaran bandit-bandit penyelundup berlian. Bagaimana akhir dari pergulatan konflik yang semakin meluas itu?

Nice-to-know:
Film ini tanpa disengaja turut mempromosikan film terbaru Aamir Khan yakni Return of Disco Fighter yang disutradarai oleh Akshat Varma.

Cast:
Imran Khan sebagai Tashi Malhotra / Tashi Dorjee Lhaloo
Vir Das sebagai Arup
Kunaal Roy Kapur sebagai Nitin
Shenaz Treasury sebagai Sonia
Poorna Jagannathan sebagai Menaka
Kim Bodnia sebagai Vladimir Dragunsky

Director:
Merupakan film kedua Abhinay Deo di tahun 2011 setelah Game.

Comment:
Masih ingat dengan 3 Idiots, The Hangover ataupun film-film Warkop DKI? Film yang diproduseri oleh Aamir Khan ini merupakan kombinasi dari ketiganya. Aamir yang memilih duduk di belakang layar pada beberapa film terakhirnya jelas berusaha membidik pasar internasional dengan penggunaan bahasa Inggris dan pemangkasan durasi panjang tipikal film India yang biasanya diisi dengan lagu dan tarian yang berulang-ulang dalam plot yang berputar-putar.
Penulis Verma menyuguhkan komedi dengan berbagai rasa dari awal sampai akhir mulai dari manis, pahit, asam, asin. Tidak semua rasa memang enak di lidah tetapi jika diramu dengan pas maka akan menimbulkan sensasi sendiri. Anda akan temukan formula kesalahpahaman, pemerasan, penyamaran, pengelabuan, perselingkuhan dan lain-lain. Bahkan adegan-adegan yang melibatkan jorok dalam arti harfiah maupun non-harfiah juga tidak ketinggalan.








Chemistry yang tercipta di antara Khan, Das, Kapur dapat disejajarkan dengan 3 Idiots bahkan lebih baik dibandingkan trio Galifianakis, Cooper dan Bartha. Tidak ada yang tidak penting di antara mereka dalam mengisi plot cerita. Begitu pula penampilan Jagannathan dan Treasury yang jelas lebih dari sekadar pemanis belaka. Atau gerombolan bandit penyelundup berlian yang dipimpin oleh Bodnia mampu mengadopsi kekejian dan ketololan pihak-pihak antagonis versi Hollywood dengan gaya tersendiri.
Sutradara Deo menghadirkan sinematografi yang memukau di sepanjang film tak peduli nuansa apapun yang ditonjolkan. Katakanlah dari pemukiman bertingkat kumuh, perniagaan berantakan, perlintasan semrawut sampai penginapan kelas menengah yang kesemuanya menjadi highlight New Delhi itu sendiri. Belum lagi proses editing yang mumpuni hingga menyatukan scene demi scenes pada jalinan sekuens yang teramat tepat. Keseluruhan elemen yang bersinergi dengan baik menjadikan Delhi Belly film India terbaik tahun ini. Komedi yang fun untuk diikuti, crazy and nasty at the same time!









Tashi, Arup dan Nitin mungkin mewakili orang-orang biasa seperti kita yang terjebak dalam rutinitas membosankan, pekerjaan menyebalkan dan nasib kurang beruntung yang membuat hidup terasa sulit untuk dijalani. Berbagai turning point baik disengaja ataupun tidak jelas mungkin dapat mengubah arah kehidupan menjadi lebih baik (atau lebih buruk). Well, in the end it doesn’t really matter if you got great companions along the way.

Durasi:
95 menit

U.S. Box Office:
$1,232,610 till July 2011 (limited showing)

Overall:
8.5 out of 10

Movie-meter:

Senin, 18 Juli 2011

CHILLAR PARTY : Simpatisan Perjuangan Anak-Anak Mumbai Istimewa

Quotes:
Fatka: Kebanyakan orangtua lupa, apa yang diajarkan pada mereka sewaktu kecil..

Storyline:
Fatka adalah seorang yatim piatu yang berteman dengan seekor anjing bernama Bhidu. Meski tak memiliki siapa-siapa, ia rajin bekerja sebagai pencuci mobil di kawasan Chandan Nagar yang ditempati warga dari berbagai kalangan itu. Saat tanpa sengaja bersinggungan dengan Perdana Menteri Shashikant Bhide dan asistennya yang provokator itu, Fatka malah terancam kehilangan sahabat setia satu-satunya itu. Kini anak-anak setempat yakni Silencer, Akram, Shaolin, Janghya, Aflatoon, Arjun, Toothpaste, Laxman dengan kelebihannya masing-masing bertekad menyelamatkan Bhide sekaligus menyemangati Fatka.

Nice-to-know:
Diproduksi oleh Salman Khan Human Productions dan dirilis pada tanggal 8 Juli 2011 di India nyaris berbarengan tiba di Indonesia lewat Blitzmegaplex.

Cast:
Irfan Khan sebagai Fatka
Chinmai Chandranshuh sebagai Lucky / Panauti
Vedant Desai sebagai Silencer
Rohan Grover sebagai Ramashanker / Akram
Vishesh Tiwari sebagai Laxman / Second Hand
Naman Jain sebagai Balwan / Janghya
Sanath Menon sebagai Arjun / Encyclopedia

Director:
Kolaborasi Vikas Bahl dan Nitesh Tiwari yang sama-sama memulai debut penyutradaraan mereka.

Comment:
Berapa banyak film India yang anda tonton di bioskop dalam setahun? Rasanya bisa dihitung dengan jari sebelah tangan atau jangan-jangan malah nihil? Saran saya, pandanglah film ini sebagai film universal untuk semua usia. Plot ceritanya teramat simple dimana humornya mengalir natural mengisi relung-relung penyampaian konflik yang awalnya ringan hingga memuncak. Tidak sia-sia kinerja trio Bahl, Maurya, Tiwari dalam mengembangkan skripnya sedemikian rupa.
Selayaknya film anak-anak pada umumnya, paruh pertama film diisi dengan potret kehidupan anak-anak Sekolah Dasar Mumbai beserta polah tingkah polosnya mulai dari belajar di sekolah sampai bermain di kompleks tempat tinggal mereka yang semrawut itu. Yang unik setiap anak memiliki julukan tersendiri sesuai bakat dan kondisi mereka sejak lahir. Dari keragaman karakter itulah justru mampu memperkaya makna persahabatan mereka.
Paruh kedua mulai menghadirkan sosok antagonis yang kebetulan seorang tokoh negara. Problematika yang diusung juga sebenarnya enteng dimana hanya berkisar eksistensi anjing jalanan. Namun bagaimanapun juga, seekor hewan tetaplah makhluk hidup yang patut diperlakukan secara baik. Proses menjawab tantangan untuk sebuah tujuan mulia di akhir cerita ini mengingatkan saya pada alur My Name Is Khan beberapa waktu lalu. Bedanya tidak ada yang terlalu didramatisir disini.
Setiap bocah dalam film ini menyuguhkan akting yang luar biasa. Lihat bagaimana mereka mengeluarkan emosinya baik lewat tutur kata atau bahasa tubuh dengan meyakinkan. Muka-muka baru yang mungkin memiliki masa depan yang baik di waktu yang akan datang. Anda akan jatuh cinta pada kesemuanya, bukan hanya satu atau dua. Aktor-aktris dewasa yang mengisi peran orangtua, penyiar bersuara, sang politisi dll juga tampil gemilang. Terlepas dari minimnya porsi bagi peran-peran pendukung tersebut.
Sulit dipercaya pula duet Bahl-Tiwari yang miskin pengalaman itu mampu mengeksusi setiap departemen dalam film ini hingga memberikan kinerja yang maksimal. Kesulitan terbesar rasanya membagi rata scenes di antara sekian banyak aktor cilik disini tapi mereka melakukannya dengan baik. Setting apartemen kelas menengah juga terasa pas sebagai latar belakang cerita yang majemuk ini. Kontras dengan kota Mumbai yang hiruk-pikuk dan padat aktifitas tersebut. Music score nya memang kadang terdengar cheesy tapi bisa dimaafkan mengingat segmentasi film ini sudah jelas.
Suguhan 130 menit yang tak terasa panjang ini akan mendinginkan kepala anda dengan senyum dan tawa ceria sekaligus membuat anda menerawang jauh ke masa lalu. Bisa jadi anda merasa tokoh-tokoh belia disini adalah anda sendiri ataupun salah satu teman-teman anda di masa kecil dahulu. Ingatlah bahwa keluguan dan kejujuran terkadang menjadi kualitas seseorang yang paling dicari di jaman yang serba hipokrit dan egosentris ini. Sebuah film kecil dengan semangat besar lah yang dibutuhkan untuk membangkitkannya. And Chillar Party DID IT!

Durasi:
130 menit

U.S. Box Office:
$4,155 in opening week early July 2011 (limited showing)

Overall:
8 out of 10

Movie-meter: