Quotes:
Mami: Kebahagiaan itu bukan dari apa yang kita dapet tapi dari apa yang kita rasa..
Storyline:
Hidup mapan dengan karir bagus, mobil dan apartemen pribadi membuat Vivi sibuk dengan urusannya sendiri. Ia tak kepalang kaget menyaksikan kekasihnya Valdi malah berselingkuh. Problematika di kantor pun membuat Vivi mengundurkan diri dan memutuskan pulang ke rumah orangtuanya. Kenyataan tak terduga lagi-lagi menghampiri ketika mengetahui adiknya Dinda akan menikah lebih dahulu dengan Bayu. Berhasilkah Vivi menyelesaikan semua masalah pribadinya dan melebur dalam sebuah jalinan keluarga yang utuh terlepas dari segala ke”ajaib”an ayah ibunya?
Nice-to-know:
Diproduksi oleh Visi Lintas Film dimana gala premierenya dilangsungkan di fX Platinum XXI pada tanggal 10 Januari 2012.
Cast:
Ira Maya Sopha sebagai Mami
Qory Sandioriva sebagai Vivi
Jill Gladys sebagai Dinda
Pong Hardjatmo sebagai Papi
Yoga Prasetya sebagai Valdi
Zahra Nurani Farisza sebagai Inka
Yati Surachman sebagai Nenek
Athoy Herlambang sebagai Bayu
Director:
Merupakan debut penyutradaraan Eko Nobel.
Comment:
Masih ingat dengan Putri Indonesia Fotogenik 2001 yaitu Viyanthi Silvana? Jika tidak, inilah kisahnya yang menginspirasi Reka Wijaya untuk mengembangkan skrip film yang berjudul unik. Seorang ibu merupakan permata keluarga dimana pancaran kasihnya selalu tulus menerangi setiap anggota tanpa terkecuali. Namun bagaimana jika sosok ibu digambarkan eksentrik, bahkan mendapat predikat ajaib? Tentu itulah alasan utama anda untuk menoleh pada film ini.
Ira Maya Sopha memang jagoan dalam berakting. Aktris senior yang satu ini mampu menjiwai peranan “Mami” annoying ataupun “Istri” penggerutu secara natural. Lihat gesturnya yang meyakinkan apalagi dengan bantuan outfit daster, rol rambut bahkan kacamata hitam mentereng. Emosinya pun mampu berbalik 180 derajat dari senang menjadi sedih dengan wajar sesuai tuntutan skenario. Anda akan geregetan sekaligus bersimpati dibuatnya.
Qory Sandioriva dan Jill Gladys memperlihatkan ikatan kakak adik dengan menarik. Respek satu sama lain pun tercipta dengan sendirinya, bagaimana si adik sesungguhnya iri pada kemandirian hidup sang kakak hingga berusaha lari dari rutinitas rumah yang tidak “normal” itu dengan jalan menikah muda. Tokoh Vivi sendiri sangat lekat dengan cerminan wanita ibukota masa kini yang sibuk berkarir sampai melupakan urusan asmaranya sendiri yang tidak terpelihara dengan baik.
Saya jadi teringat pada salah satu curhat teman saya, “Jangan pernah kembali ke rumah orangtua jika sudah bertahun-tahun hidup mandiri dan tinggal sendiri. Jika itu terjadi, maka posisimu akan kembali dari nol di mata orangtua alias diperlakukan sebagai anak kecil kembali.” Itulah yang menimpa tokoh Vivi, dimana ia harus berurusan dengan ayah-ibunya yang ajaib dan ketiga adiknya yang sulit diatur. Ayah ibu akan tetap menjadi orangtua dan putra putri mereka akan selalu menjadi anak-anaknya. Hubungan keluarga tidak pernah mengenal usia atau jabatan sekalipun.
Kekurangan mendasar adalah Eko Nobel terlalu datar dalam menggarap karya perdananya. Film ini seperti takut dikategorikan sebagai drama kekomedian atau komedi kedramaan. Akibatnya fokus cerita menjadi hilang, apakah sentral ada di Mami dengan sudut pandang Vivi? Namun Dinda juga ternyata menyita perhatian besar disini. Melihat penekanan di tokoh ibu ajaib, lebih baik kecemplung sekalian dalam genre komedi slapstick jika tujuan utamanya menghibur. Toh, pesan moral masih bisa diselipkan di berbagai lini tanpa harus kehilangan identitas.
Mother Keder : Emakku Ajaib Bener sesungguhnya dibangun di atas pondasi yang memikat tetapi lemah dalam eksekusi ide. Film ini tak lebih seperti sebuah sinetron tanpa jeda iklan. Terkadang anda akan melirik jam untuk mengetahui berapa lama durasinya sudah berjalan. Setidaknya berbagai adegan konyol akan membuat anda tertawa lepas tanpa banyak berpikir. Jangan lupakan message film ini, esensi orangtua adalah pembangun sekaligus pendukung anda untuk tumbuh dewasa karena di mata mereka, anda akan selalu menjadi anaknya yang teristimewa!
Durasi:
97 menit
Overall:
7 out of 10
Movie-meter:
Hmmm... Kemaren ikutan screening 'Mother Keder' di Medan. Dan sejujurnya, karena baca rating dari Mas Witra, saya udah mempersiapkan diri untuk hasil yang buruk. Tapi... 'Mother Keder' ternyata menghibur banget! Entah karena penonton yang berada di sekitar yang tepat banget atau karena mood saya yang lagi baik yah. It's fun and entertaining.
BalasHapusAnd by the way... dari penulisan review, film ini sepertinya lebih layak untuk mendapatkan rating tinggi deh. Menurut saya yah.
Mungkin karena ekspektasi awalnya rendah ya Mir jadinya bisa enjoy, apalagi nonton di tengah keramaian orang, kalo di Jakarta sepi sekali.
BalasHapusPermasalahannya adalah saya tidak menemukan fokus cerita yang bold disini. Apakah pada karakter Ira Maya Sopha sesuai judulnya? Atau Qory yang sejak menit awal menjadi narator? Lalu mengapa konflik utama justru ada pada Jill?
Tujuan utama sutradara bisa jadi memberikan esensi berbagai karakter sekaligus tapi identitas film menjadi terganggu. Selebihnya Mother Keder bukanlah film yang buruk kalau tidak mau dikatakan lumayan dari segi penggarapannya yang cukup wajar.
Thanks buat sharingnya, @hyperion_lynx :)
Terima kasih untuk Reviewnya yang jujur...seperti kejujuran Vivi saat mengungkap keluarganya yang "ajaib"...Film Perdana saya ini memang datar...karena bagi saya susah kalau harus meledak, saya harus menciptakan ledakan yang lebih besar lagi selanjutnya...ekspektasi saya tidak tinggi, jadi kalau jatuh tidak terlalu sakit...bagi saya, naik sedikit2 akan lebih aman. Btw, inilah susahnya bikin komedi, karena pasarnya harus mengerti komedinya. Sayangnya, pasar yang kami bidik ternyata lebih memilih film Horor Esek2....mungkin mereka berpikir, tayangan komedi sudah bisa didapatkan secara gratis diTV, sedangkan tayangan Horor Esek2 tidak ada d TV, jadi buat apa harus bayar untuk tertawa?(Eko Nobel)
BalasHapusSalam mas Eko,
BalasHapusTerima kasih sudah mampir dan membaca review saya.
Industri perfilman kita butuh gebrakan di luar horor esek2 dan mas Eko sudah berani melawan stereotype tersebut dgn menggarap Mother Keder ini.
Sebagai karya perdana, Mother Keder sudah memenuhi standar kok. Jangan takut untuk terus berkarya dengan inovasi2 baru ya, mas.
Saya menghargai sekali apresiasi anda sekalian untuk film Indonesia. Terus terang, saya NEKAD membuat film ini, selain memang cita2 saya dari kecil pengen bikin film seperti STAR WARS, saya sangat prihatin dengan para filmmaker yang membuat tayangan2 film/televisi yang tidak mendidik. Untuk Mother Keder, saya mencoba membuat TV Sitcom dalam bentuk Film, karena tuntutan materi buku (yang bukan novel !) Saya banyak belajar sewaktu ikut dalam tim TV Sitcom "Senggal Senggol" (RCTI 1996) dan memproduseri 130 episode pertama Bajaj Bajuri. Komedi, menurut saya, adalah salah satu cara yang paling jitu dalam mendidik pemirsa. seperti gaya2 ustad Wijayanto dan ustad2 lainnya. Sekali lagi, Thank you...
BalasHapus