Rabu, 27 Mei 2015

IT FOLLOWS : New Definition Of Fear Should Be

Quote:
Hugh: It could look like someone you know or it could be a stranger in a crowd. Whatever helps it get close to you.


Nice-to-know:
Gedung teater yang ditampilkan pada permulaan film adalah Redford Theatre, teater historik bergaya Japanese dengan organ Wurlitzer yang masih bekerja baik. The Evil Dead (1981) sempat melakukan Gala Premiere di sana.

Cast:
Maika Monroe sebagai Jay Height
Jake Weary sebagai Hugh / Jeff
Daniel Zovatto sebagai Greg Hannigan
Keir Gilchrist sebagai Paul
Loren Bass sebagai Annie's Father
Olivia Luccardi sebagai Yara
Lili Sepe sebagai Kelly Height

Director:
Merupakan feature film kedua bagi David Robert Mitchell setelahThe Myth of the American Sleepover (2010).

W For Words:
Nama David Robert Mitchell yang lulus dari Florida State University Film School mungkin akan sering anda dengar di kemudian hari terlebih dalam genre horor, menyusul James Wan ataupun Adam Wingard yang juga memulainya dari belantika indie movies. Adalah It Follows yang menjadi modal bagus untuk meraih perhatian moviegoers di seluruh dunia. Terima kasih pada Cannes Film Festival yang memutarnya dalam segmen Critics Week dan juga beberapa festival internasional lainnya hingga menjadi perbincangan dimanapun film ini diputar.

Gadis belia 19 tahun, Jay Height berkencan dengan Hugh saat musim gugur. Setelah berhubungan intim untuk pertama kalinya, Jay mendapat ‘pengikut’ misterius yang dirasa mengancamnya. Adiknya Kelly dan teman-temannya Greg, Yara dan Paul yang awalnya tidak percaya kemudian memanggil Hugh untuk menjelaskan. Ternyata kutukan tersebut harus dipindahkan ke orang lain agar tidak menangkap dan merenggut nyawa Jay. Lantas mereka mencoba berbagai cara untuk mematahkan teror itu yang terasa kian nyata dan bisa menjadi siapa saja di sekitar.













Skrip yang ditulis Mitchell sendiri ini memang tidak memberikan penjelasan apa-apa yang biasa dilakukan di prolog atau epilog film. Namun serangkaian petunjuk samar yang hadir lewat gambar atau dialog sudah dirasa cukup menjadi alasan penonton untuk terus mengkutinya.  Anda bisa menemukan berbagai elemen sub-genre horor remaja yang dipadu-padankan secara cerdas dengan interpretasi baru. Memang harus diakui tidak sepenuhnya berhasil karena sebagian moviegoers akan terjebak dalam konklusi yang membingungkan hingga menyerah begitu saja.

Dunia retro tahun 70an yang coba dibangun oleh Mitchell terasa pas sebagai panggung bercerita meski beberapa unsur modernisasi turut dipertahankan sebagai distraksi gaya. Sinematografi minimalis yang banyak memanfaatkan zoom, slo-mo atau tracking shots yang konsisten dengan warna-warni pucat ini mengingatkan anda pada karya-karya mahasiswa perfilman. Sementara dukungan scoring music Rich Vreeland alias Disasterpeace yang unik juga memberikan nilai tambah tersendiri. Efek praktis yang digunakan untuk meneror terbilang bekerja efektif mempertahankan pace yang cukup lamban.















Hanya Monroe yang bisa dikatakan berakting di sini sebagai arc character Jay yang punya kemampuan membawa cerita dari satu titik ke titik lain. Selebihnya merupakan karakter-karakter pendukung yang tidak banyak diberikan ruang untuk berkembang selain bereaksi kaget atau takut saja. Andai Mitchell mau bekerja ekstra untuk membangun karakterisasi yang lebih kuat sekaligus menciptakan rules yang lebih bold untuk menyokong storytelling nya yang berupaya menggali ketakutan manusia yang terdalam dari hal-hal yang tidak lazim bagi mereka.

It Follows wajib dinikmati dengan sesedikit mungkin informasi mengenainya. Lihat bagaimana ketidaktahuan membuat anda kian menikmati low budget horror yang banyak mengambil referensi cult horror movies terdahulu ini. Perasaan anda tidak akan lagi sama tatkala menyaksikan matahari terbenam di pantai, merasakan kesunyian halaman sekolah jelang senja, menikmati kekosongan jalan di sekitar perumahan. Walau terlalu dini untuk melabelinya sebagai future cult, interpretasi bebas horor teranyar bergaya lawas yang satu ini jelas tidak bisa dilewatkan begitu saja. It might gives you chill or goosebump like every children’s ghost stories you’ve ever read back then.

Durasi:
100 menit

U.S. Box Office:
$14,435,192 till May 2015


Movie-meter:

Sabtu, 23 Mei 2015

BIG GAME : Lifetime Catch For Purest Fun

Quote:
Elder Hamara: The boy has one day and one night to find out what kind of man he is.

Nice-to-know:
Dengan 8,5 juta EURO menjadikannya film Finlandia berbujet termahal yang pernah diproduksi.

Cast:
Samuel L. Jackson sebagai US President William Alan Moore
Onni Tommila sebagai Oskari
Ray Stevenson sebagai Morris
Victor Garber sebagai Vice President
Mehmet Kurtulus sebagai Hazar
Ted Levine sebagai General Underwood
Jorma Tommila sebagai Tapio
Risto Salmi sebagai Hamara
Felicity Huffman sebagai CIA Director

Director:
Merupakan feature film kedua bagi Jalmari Helander setelah Rare Exports: A Christmas Tale (2010).

W For Words:
Mungkin Iron Sky (2012) yang bercerita tentang pangkalan rahasia NAZI di bulan demi rencana menginvasi bumi adalah film Finlandia terakhir yang saya saksikan di bioskop. Kini tiga tahun berselang adalah Jalmari Helander yang berambisi menembus Hollywood dengan menulis dan menyutradarai film action adventure dengan mengandalkan nama besar Samuel L. Jackson. Modal cukup baik ditunjukkan dengan terpilihnya Big Game sebagai Official Selection Toronto International Film Festival 2014 yang lalu. Well, you should give a look!

Remaja 13 tahun yang hidup di lingkungan pemburu, Oskari diwajibkan ayahnya Tapio menjalankan inisiasi kedewasaan dengan bertahan hidup dan berburu di hutan dalam waktu sehari semalam. Sementara itu Presiden Amerika Serikat, William Alan Moore dalam perjalanan dengan Air Force One dikhianati sang ajudan Morris hingga terdampar seorang diri di daerah yang sulit terlacak. Bill dan Oskari kemudian bertemu dan harus bekerjasama untuk menghindari kelompok teroris kejam yang bertekad menghabisi nyawa kedunya.











Onni Tommila yang aslinya berusia 15 tahun sekaligus kemenakan Helander ini memang sepintas memiliki paras yang cukup mengesalkan. Namun kepolosan dan kecerdikannya membantu penonton untuk terus mengikuti aksinya sepanjang film. Nama L. Jackson sesungguhnya tak perlu diragukan lagi. Presiden berkulit hitam yang mungkin mengacu pada Barrack Obama ini wajib mengandalkan instingnya untuk membaca situasi. Chemistry keduanya yang awalnya terkesan awkward lantas berubah menjadi mutualisme lewat serangkaian kejadian yang beliavable.

Helander yang belajar film secara otodidak tanpa mengecap pendidikan filmmaking secara khusus ini mempersiapkan proyek besarnya ini selama 3 tahun yang diangkat dari novel karya Dan Smith. Setting asli Lapland, Finlandia yang cukup menyulitkan secara teknis akhirnya dipindahkan ke Bavaria, Jerman. Film yang kental dengan nuansa action akhir 80an ini mungkin terbilang ‘lambat panas’ karena pengenalan karakter dan medan yang cukup panjang di paruh pertamanya. Namun visual yang menakjubkan dan action sequence yang menarik mampu membayar semua itu.











Pada akhirnya Big Game memang sulit melepaskan diri dari handicap B-movie. Namun predikat itu tidak menjadikannya kehilangan daya tarik. Interaksi natural yang terbangun di antara dua karakter utamanya kerap menciptakan fun moments. Kewajaran yang sama juga berhasil menyertai aksi reaksi dari setiap ancaman yang mengintai tanpa berlebihan layaknya action modern yang dibombardir spesial efek. Though may not be perfect, BIG GAME has big chance to entertain bigger audiences than it should be. A mindless action film that in the end leaves yo and the whole family wanting more of an absurd journey.

Durasi:
95 menit

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:

Selasa, 12 Mei 2015

PIKU : Motion Through Emotion Couldn’t Get Any Better

Quote:
Piku: You know he’s dependant on me. So if anyone wants to marry me..
Rana: He’ll have to adopt your 90 year old kid?
Piku: Of course.. So will you?
Rana: I am not mad.

Nice-to-know:
Film favorit Deepika Padukone setelah Om Shanti Om (2007).

Cast:
Amitabh Bachchan sebagai Bashkor Banerjee
Deepika Padukone sebagai Piku
Irrfan Khan sebagai Rana
Moushumi Chatterjee sebagai Chaubi
Raghuvir Yadav sebagai Dr. Srivastava
Jishu Sengupta sebagai Syed Afroz
Aniruddha Roy Chowdhury
Akshay Oberoi 

Director:
Merupakan film keempat bagi Shoojit Sircar setelah Madras Cafe (2013).

W For Words:
Jika seorang produser kenamaan bertangan dingin Bollywood, Karan Johar memuji film ini setinggi langit maka anda bisa jadi penasaran. Faktor tiga mega bintang yang tampil bersama untuk pertama kalinya jelas tidak boleh dilewatkan begitu saja. Siapa yang tidak mengenal nama Amitabh Bachchan, Deepika Padukone dan Irrfan Khan yang masing-masing memiliki filmografi mentereng dengan berbagai penghargaan internasional. Publik Indonesia demikian beruntung bisa menyaksikannya lewat jaringan bioskop Blitzmegaplex mulai awal Mei ini.

Piku adalah wanita karir yang mandiri di kota metropolitan. Kesibukan di kantor bersama Syed yang kerap mencarikan jodoh tidak lantas melupakan baktinya terhadap orangtua. Sejak ditinggal mati istrinya, Baba memiliki masalah sembelit yang membuatnya selalu waswas akan penyakit yang mungkin menghinggapinya. Sementara itu pria pemilik jasa transportasi, Rana tanpa sengaja masuk ke dalam hubungan unik ayah dan putri tersebut saat mereka harus berkendara bersama menuju Kolkata yang ditempuh dalam waktu puluhan jam.
















Skrip yang ditulis oleh Chaturvedi ini merupakan refleksi nyata kehidupan mereka yang hidup satu atap dengan orangtua yang mulai menua. Bagaimana kepentingan pribadi yang kian menumpuk harus tetap berjalan bersisian dengan kepentingan keluarga yang sedianya lebih mendesak. Status lajang yang tak ayal menjadi sorotan di lingkungan masyarakat sosial. Tak jarang stress hadir yang berujung dengan makian atau keluh kesah. Oleh karena itu anda bisa langsung mengidentifikasi problema yang dihadapi oleh karakter Piku karena begitu dekat dengan keseharian.

Sutradara Shoojit yang sudah saya favoritkan semenjak Vicky Donor (2012) begitu terampil merangkai sebuah cerita sederhana yang nyaris tidak menyisakan kejutan apa-apa. Ia membuktikan bahwa suatu hiburan yang berisi tidak harus lari dari kenyataan ataupun melupakan realita barang sejenak. Bahkan potensi romansa drama antara Deepika dan Irffan juga tersaji dalam porsi ala kadarnya tapi tetap tersirat lewat pertukaran dialog yang brilian. Elemen komedi yang muncul kerap terjadi dengan sendirinya tanpa sugesti berlebihan. Pilihan shot yang seperti tidak memihak eksterior selain close-up pada setiap karakternya justru menekankan rasa intim sekaligus menjaga ikatan terhadap penonton.














Amitabh seperti yang diharapkan tampil brilian sebagai pria tua Bengali yang cerewet dan keras kepala tapi tetap berkharisma tinggi. Meski kebagian dialog yang minim, Irrfan tetap menunjukkan kelasnya melalui gestur dan ekspresi yang lebih 'berbicara'. Lihat bagaimana interaksi keduanya yang 'ajaib' tapi sukses menghadirkan senyum di wajah anda. Deepika lagi-lagi memesona di tengah dua 'legenda' dimana nyaris setiap scene yang terjadi lahir dari inisiatif perannya. Kita bisa melihat ketegaran dan kerapuhan Piku secara bersamaan sekaligus menekankan emansipasi wanita pada jaman modern lewat 'multitasking' di segala situasi.

Piku mungkin terasa 'riuh' di beberapa bagian tapi jelas tak pernah kehabisan konflik di sepanjang durasinya. Terlepas dari jawaban-jawaban yang tidak semua tersedia pada epilognya, Piku punya cara sendiri dalam menuturkan tema yang 'berat' melalui wacana ringan yang samasekali tidak menggurui. Sebuah komedi perjalanan dengan konsistensi dan timing yang terukur, sehingga tawa dan air mata haru terus mengiringinya. Honest feed to your emotional needs about family and self-esteem. Trust me that it won't affect your digestive system.

Durasi:
123 menit

Overall:
8.5 out of 10

Movie-meter:

Jumat, 08 Mei 2015

TESTAMENT OF YOUTH : Deeper Truth About Surviving War

Quote:
Vera Britain: Perhaps their deaths have meaning if we stand together and say ‘No’. No to killing. No to war. No to endless cycles of revenge.

Nice-to-know:
Awalnya Saoirse Ronan dicast sebagai Vera Britain tetapi jadwal tidak memungkinkan hingga Alicia Vikander menggantikannya.

Cast:
Alicia Vikander sebagai Vera Brittain
Kit Harington sebagai Roland Leighton
Hayley Atwell sebagai Hope
Taron Egerton sebagai Edward Brittain
Jonathan Bailey sebagai Geoffrey Thurlow
Colin Morgan sebagai Victor Richardson
Emily Watson sebagai Mrs. Brittain
Dominic West sebagai Mr. Brittain
Anna Chancellor sebagai Mrs. Leighton

Director:
Merupakan debut feature bagi James Kent.

W For Words:
Pencapaian Vera Brittain semasa hidupnya mungkin bisa disejajarkan dengan tokoh pahlawan nasional kita RA Kartini. Kehidupannya yang penuh konflik di abad 19 lantas mendorongnya menulis novel Chronicle of Youth yang kemudian diadaptasi menjadi Letters from a Lost Generation hingga tercatat sebagai best seller dan sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa. Tidak salah jika anda tertarik untuk mencerna adaptasinya yang berdurasi lebih dari dua jam ini sambil menyadari betapa beruntungnya hidup di masa sekarang yang jauh dari perang.












Meski terlahir dari keluarga pengusaha sukses di Inggris, Vera Brittain tak ingin berdiam diri. Diskriminasi gender tak menyurutkan langkahnya untuk mengenyam pendidikan di Oxford meski ditentang sang ayah. Perang Dunia pertama berlangsung, adiknya Edward dan sahabatnya Roland mengajukan diri sebagai sukarelawan. Vera pun menyusul meski di garis belakang sebagai perawat tentara yang terluka. Hubungannya kian erat dengan Roland hingga memutuskan menikah sebelum tragedi demi tragedi yang terjadi menguji kesabarannya.

Film BBC ini menandakan reuni Alicia Vikander dan Kit Harington, setelah duet mereka di Seventh Son. Vikander meraih nominasi pemeran wanita terbaik BFI London Film Festival di sini atas upayanya beraksen Inggris walau berkebangsaan Swedia. Lihat bagaimana ia mampu menunjukkan sosok Vera yang feminin sekaligus cerdas tangguh menghadapi kemelut peperangan. Sementara itu transformasi Harington pada karakter Roland pra dan paska terjun ke medan perang cukup terlihat. Egerton yang baru angkat nama dalam Kingsman: The Secret Service masih mencuri perhatian sebagai Edward.















Sutradara Kent yang selama ini ‘ahli’ untuk urusan film dokumenter televisi menyajikan sinematografi yang begitu indah dari penglihatan Rob Hardy. Bagaimana kehidupan berpasangan menjadi menu utama klasik dimana Kent menghadirkan scene perpisahan pasangan di stasiun kereta api, komunikasi surat menyurat lewat pos yang mendebarkan apakah kabar baik atau buruk yang sekiranya disampaikan. Consolata Boyle juga membawa kostum tipikal British drama yang menekankan nuansa era 1900an. Tak lupa sumbangsih Max Richter dalam departemen musik yang kian mengukuhkan storytellingnya.

Testament Of Youth terasa begitu istimewa karena mengambil perspektif perempuan pada masa Perang Dunia dengan tingkat keakuratan sejarah yang tinggi. Prahara dilematis yang sulit dihindarkan atas dasar apapun juga. Bagaimana pilihan-pilihan harus dibuat, terlibat dalam peperangan atau hanya berdiam diri menunggu, terus larut dalam kesedihan usai ditinggalkan orang tercinta atau langsung melanjutkan hidup. Semua perjalanan keputusan demi keputusan yang dibingkai secara puitis lewat bahasa gambar nan elok disertai dengan penggalan puisi atau surat nan indah, hingga anda tak sadar menitikkan air mata karena terhanyut dibuatnya.

Durasi:
129 menit

Overall:
8.5 out of 10

Movie-meter:





Written by:
Chan W

Edited by:
Witra A

Kamis, 07 Mei 2015

CINTA SELAMANYA : Hati Berkisah Enggan Berpisah

Quote:
Hafez: Tidak ada yang abadi, tapi cinta bisa dibawa mati, hingga abadi nanti.

Nice-to-know:
Diangkat dari novel Fira & Hafez yang diinspirasi dari kisah nyata Dwifira Maharani Wulandari Basuki dan Hafez Agung Baskoro.

Cast:
Atiqah Hasiholan sebagai Fira Basuki
Rio Dewanto sebagai Hafez
S
haloom Razade sebagai Syaza
Tantry Agung Dewani sebagai Tantry
Janna Joesoef sebagai Mbak Sinung
Amanda Soekasah sebagai Mbak Rani
Nungky Kusumastuti sebagai Ibu Hafez
Yadi Sugandi sebagai Ayah Hafez
Aira Sondang sebagai Raditya
Dewi Irawan sebagai Mama Fira
Tio Pakusadewo sebagai Papa Fira
Syazia sebagai Kiad
Surya Insomnia sebagai Ferry
Widi Mulia Sunarya sebagai Egi
Muhadkly Acho
Joanna Alexandra
Patrick Alexandra
A
gus Kuncoro
Dwi Sasono
Lukman Sardi

Director:
Merupakan film ke-13 bagi Fajar Nugros sekaligus perdana yang diproduksi bersama istrinya Susanti Dewi.

W For Words:
Siapa yang tidak mengenal sosok Fira Basuki sebagai Pemimpin Redaksi majalah lifestyle, Cosmopolitan yang selalu terlihat modis dan menjadi cerminan kaum wanita urban metropolitan. Dibalik kelemah-lembutannya, ia adalah wanita mandiri yang perfeksionis dalam pekerjaannya. Kesendiriannya membuat orang sekitar ingin mencarikan pendamping baru untuk Fira. Banyak pria datang mencoba mengambil hati Fira, tetapi cinta selalu datang tanpa terduga.

Hafez Agung Baskoro, lahir dengan darah seni yang gemar menyanyi dan bermain musik. Ia adalah sosok pria serba bisa yang berpenampilan biasa. Jika kencan pertama selalu dimulai dengan sesuatu yang mewah, Tetapi Hafez menawarkan dirinya ke Fira dengan kesederhanaannya. Naik motor dan makan seafood di pasar ikan, mungkin itu bukan kencan yang diidamkan Fira namun malam itu hatinya telah tercuri oleh pria ini.














Profil sepasang insan di atas rasanya sudah cukup menjadi daya tarik penonton, terlebih pembaca novelnya, untuk berbondong-bondong datang ke bioskop dan menyaksikan perjalanan cinta mereka yang penuh tantangan. Optimisme itulah yang diyakini pasangan suami istri produser sutradara Susanti Dewi dan Fajar Nugros lewat persembahan perdana Demi Istri yang bekerjasama dengan Wardah dan Kaninga Pictures.

Harus diakui akting Atiqah terasa sangat total di film ini. Ia mampu menampilkan kemandirian Fira sekaligus ketegarannya melewati masa sulit sebagai single parent. Sedangkan suaminya di kehidupan nyata, Rio Dewanto terlihat agak kedodoran mengimbanginya. Sosok Hafez yang ditampilkan Rio terlihat lebih dingin daripada apa yang diwacanakan di novel Fira & Hafez (2013). Penampilan pendatang baru Shaloom cukup menarik. Saya merasa ia memiliki potensi lebih walau peran Syaza terasa kurang dimaksimalkan.













Rollercoaster emosi di film ini cukup menarik lewat ‘pembabakan’ yang digagas oleh Nugros. Materi senang sendu dibawa secara ringan lewat sajian humor situasi yang tersebar di beberapa bagian. Sayangnya ‘finale’ di Madrid yang harusnya menjadi ‘gong’ pengetuk emosi penonton justru terasa berlarut-larut. Hal yang juga kelewat mengganggu adalah penyajian tweet Fira dan Hafez di sepanjang film yang tidak diiringi oleh waktu baca yang proporsional, padahal ini bisa jadi gimmick yang brilian sekaligus memperkuat makna kisah kasih keduanya.

Harus diakui Cinta Selamanya merupakan salah satu karya terbaik Nugros dimana upayanya sebagai storyteller memang terasa lebih dari biasanya. Alhasil memoir cinta nan indah dari Fira Basuki Baskoro yang sukses memadukan ta
wa dan haru ini bisa menjadi inspirasi kita semua. Jika perbedaan latar belakang maupun pertautan usia belasan tahun tidak menjadi penghalang sepasang anak manusia maka kisah yang dapat terjalin tidak seharusnya mengenal kata pisah karena siapa yang jatuh hati niscaya enggan bangun lagi.

Durasi:
106 menit

Overall:
8 out of 10

Movie-meter:





Written by:
Chan W

Edited by:
Witra A