Rabu, 24 April 2013

IRON MAN 3 : Final Round Technology Bound


Quote:
Tony Stark: Things are different now. I have to protect the one thing that i can’t live without. That’s you.

Nice-to-know:
Jon Favreau batal menyutradarai seri penutup ini karena kebagian proyek Magic Kingdom dan Jersey Boys. Namun demikian ia mengaku lebih leluasa memerankan karakter Happy Hogan di sini.

Cast:
Robert Downey Jr.
sebagai Tony Stark / Iron Man
Gwyneth Paltrow sebagai Pepper Potts
Guy Pearce sebagai Aldrich Killian
Rebecca Hall sebagai Maya Hansen
Ben Kingsley sebagai The Mandarin
Paul Bettany sebagai Jarvis (voice)
Don Cheadle sebagai James Rhodes / War Machine
Jon Favreau sebagai
Happy Hogan

Director:
Shane Black yang mengawali karirnya sebagai penulis film aksi ini menggarap film keduanya setelah Kiss Kiss Bang Bang (2005).

W For Words:
Jika sebuah film superhero sudah mencapai sekuel maka pertaruhannya akan semakin berat. Mengapa? Beberapa di antaranya untuk sekadar menyamai saja gagal. Cuma sedikit yang terbilang sukses mengungguli seri sebelumnya. Bagaimana dengan keluaran Marvel yang satu ini? Well, i’m one of those people who got lucky to see it first during the grand opening of IMAX Kelapa Gading. Hell yeah! Tell you what, saya bukanlah fans setia Iron Man jika dibandingkan dengan karakter pahlawan lainnya. Namun selepas film berakhir dapat tersenyum puas.

Tony Stark kerapkali mengalami serangan panik karena terlalu memikirkan keselamatan kekasihnya Pepper Pots. Ketika mantan kekasih Tony yakni Maya datang, tiba-tiba rumah mereka diserang oleh helikopter hingga berujung pada pemberitaan tewasnya Tony di surat kabar. Saat bersembunyi, Tony berjumpa bocah jenius Harley yang memotivasinya kembali. Sementara itu Mandarin mengancam Presiden Amerika lewat pembajakan siaran televisi. Adakah hubungannya dengan ilmuwan sinting Aldrich Killian yang pernah dikecewakan Tony belasan tahun silam?

Shane Black bersama Drew Pearce yang menulis skrip bersama tampak menggunakan pendekatan yang berbeda dengan dua seri sebelumnya. Seri ketiga yang diyakini sebagai penutup ini murni berfokus pada pergulatan seorang Tony Stark dalam memenuhi ‘kewajiban’ nya baik sebagai kekasih ataupun pahlawan masyarakat. Sisi playboy, narsis dan sok pamernya yang biasa dominan sedikit dikesampingkan. Semua berganti oleh pertukaran dialog sarkastis yang menggigit dengan karakter-karakter di sekelilingnya. 

Sebagai sutradara Black memulainya dengan terlampau ‘biasa’. Begitu memasuki pertengahan barulah bermunculan twist dan turns yang segera menganulir segala keklisean yang ada. Patut dicatat, tidak semua fan base Iron Man akan happy dengan perubahan tersebut. Alih-alih protes banyak bermunculan. Sah-sah saja. Bombardir efek khusus tergolong sesuai kapasitas sebuah film aksi (superhero), terlebih di ending yang lumayan mencengangkan itu. Sementara gimmick 3D ataupun versi IMAX nya hanya berdampak minor karena merupakan hasil konversi.

Downey Jr. memang masih pilihan paling tepat untuk tokoh Tony Stark/Iron Man. Range emosinya yang luas mendapat porsi yang cukup signifikan dalam menerjemahkan semua konflik di dalamnya. Pearce sebagai villain juga terkesan ‘sebanding’ dengan kekuatan dahsyat dan kegilaan kejam yang melandasinya. Menarik mengamati karakter-karakter wanita yang dihidupkan oleh Paltrow, Hall atau Szostak yang mencuri perhatian walau kemunculannya sejenak. Belum lagi kontribusi aktor senior Cheadle, Kingsley hingga si cilik Simpkins. Sutradara terdahulu Favreau turut hadir sebagai Hogan, diikuti dengan sumbangan ‘suara’ milik Bettany sebagai Jarvis.

Iron Man 3 bagi saya adalah yang terbaik dari keseluruhan seri. Saya mendapati esensi sebuah film utuh, tak seperti dua seri sebelumnya yang masih mengesankan film komik. Permasalahan utamanya terbilang baru yakni bagaimana seorang pahlawan super ternyata bisa mengalami krisis ketergantungan dengan teknologi canggih yang selama ini membantunya. Belum lagi pengembangan ‘cinta’ semenjak seri pertama yang biasanya selingan belaka. Penambahan berbagai karakter baru juga kian mempertajam esensi interpersonal nan variatif. Does the journey end? Shall we continue to Avengers 2? Don’t ask, don’t think. Just enjoy this one first as i did!

Durasi:
1
25 menit

Overall:
8 out of 10

Movie-meter:
 


Sabtu, 20 April 2013

KON-TIKI : Questionable Journey With High Determination


Tagline:
Real adventure has no limits.

Nice-to-know:
Merupakan wakil Norwegia pada kategori Best Foreign Language Film di ajang Academy Awards 2013.  

Cast:
Pål Sverre Hagen sebagai Thor Heyerdahl
Anders Baasmo Christiansen sebagai Herman Watzinger
Gustaf Skarsgård sebagai Bengt Danielsson
Odd Magnus Williamson sebagai Erik Hesselberg
Tobias Santelmann sebagai Knut Haugland
Jakob Oftebro sebagai Torstein Raaby
Agnes Kittelsen sebagai Liv Heyerdahl

Director:
Merupakan kolaborasi ketiga Joachim Rønning dan Espen Sandberg setelah Bandidas (2006) dan Max Manus (2008).

W For Words:
Label film termahal yang pernah dibuat Norwegia sepanjang masa rasanya sudah cukup membuat moviegoers di seluruh dunia sepantasnya mengantisipasi tanggal rilisnya film ini termasuk Indonesia lewat jaringan Blitzmegaplex. Apalagi Thor Heyerdahl merupakan tokoh nyata yang menjadi inspirasi atas upayanya mengarungi Samudera Pasifik dengan menggunakan rakit primitif. Namun tampaknya tidak mudah menyajikan sebuah casual biopic dengan adventure drama yang cukup believable untuk menggamit perhatian penonton selama nyaris dua jam. Tidak percaya?

Tahun 1947, pengembara Thor bersama lima pria dengan latar belakang yang berbeda-beda yaitu Herman Watzinger, Bengt Danielsson, Erik Hesselberg, Knut Haugland dan Torstein Raaby mempersiapkan segala sesuatunya demi melakukan perjalanan ke Kepulauan Polynesia mengikuti jejak tokoh sejarahwan Tiki di masa lampau yang menjadi inspirasinya. Istrinya Liv meski kurang setuju terpaksa menerima keputusan itu dengan berat hati. Selama 101 hari melalui 8000 kilometer, mereka berenam menghadapi berbagai macam bahaya yang muncul. 

Sutradara Rønning dan Sandberg
tak lupa menambahkan potongan film dokumenter pemenang Oscar tahun 1950 sebagai remarkable footage. Sinematografer Geir Hartly Andreassen bahkan menggunakan metode B&W saat pembangunan rakitnya. Hubungan yang terjadi di antara ‘awak’ rakit tersebut menjadi salah satu highlight tersendiri selain kemunculan obyek-obyek detail yang memperkaya penuturannya. Bagaimana paus, hiu, ubur-ubur, kakaktua, kepiting, ikan terbang dan sebagainya silih berganti menyita perhatian penonton

Kinerja make-up, wardrobe dan art department sangat memuaskan. Keenam pria tersebut tampil lusuh dan kumuh dengan pakaian seadanya dengan kumis dan cambang yang semakin lebat. Spesial efeknya juga cukup meyakinkan untuk membuat anda seakan merasakan apa yang mereka alami juga. Ada satu pergerakan kamera yang mencengangkan saya saat aerial shot menangkap posisi rakit di lautan lalu mengangkasa terus menerus hingga keluar planet sebelum kembali lagi saat hari berganti. Editing yang mulus membuatnya terkesan tanpa putus.

Sayangnya konflik yang dihadirkan di atas rakit memang tergolong minim. Hanya ada keegoisan dan kegilaan yang melanda, itupun tidak benar-benar sampai memuncak ke permukaan. Jujur saya mengharapkan terjadinya berbagai realita pahit agar terlihat lebih meyakinkan. Bukankah perjuangan hidup memang demikian? Sebagai contoh Herman yang sekujur tubuhnya telah terpercik darah hiu jatuh ke laut masih tidak terjamah oleh kawanan hiu yang mengelilinginya. Maafkan saya jika terlalu banyak menonton Jaws ataupun thriller sejenis lainnya.

Kon-Tiki yang merupakan nama lawas dari dewa matahari suku Inca – Viracocha selayaknya film biografi lain memang tampak mengedepankan sosok Heyerdahl sebagai ‘pahlawan’ yang konvensional. Pål Sverre Hagen menjiwainya dengan gemilang dimana ia harus memimpin tanpa terkesan otoriter. Pada akhirnya banyak pihak yang meragukan fakta perjalanan ini setelah meneliti detil-detil pendukung. Percaya atau tidak menjadi keputusan anda sepenuhnya. Bagi saya yang penting adalah memaknai determinasi tinggi seorang anak manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.

Durasi:
118
menit

Europe Box Office:
871,645 in Norway till Nov 2012

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:

Jumat, 19 April 2013

SINISTER : Fun Horror That Best Served Slow


Tagline:
Once you see him, nothing can save you.  

Nice-to-know:
Penulis skrip C. Robert Cargill mendapat ide cerita dari mimpi buruk yang muncul setelah menyaksikan The Ring.

Cast:
Ethan Hawke sebagai Ellison Oswalt
Juliet Rylance sebagai Tracy
Fred Dalton Thompson sebagai Sheriff
James Ransone sebagai Deputy
Michael Hall D'Addario sebagai Trevor
Clare Foley sebagai Ashley
 

Director:
Scott Derrickson yang juga dikenal sebagai penulis skrip ini menggarap feature film ketiganya setelah The Day the Earth Stood Still (2008).

W For Words:
Sulit rasanya menemukan film horor yang ‘menyenangkan’ beberapa tahun terakhir ini. Tahun lalu saya dan kawan-kawan pecinta genre ini sempat dikejutkan dengan kemunculan trailer film berbujet rendah produksi kolaborasi Alliance Films, IM Global, Blumhouse Productions, Automatik Entertainment dan Possessed Pictures yang cukup menyeramkan. Daya tarik lain jelas keterlibatan aktor mumpuni Ethan Hawke sebagai tokoh utamanya. Sayangnya penantian terasa begitu panjang karena jaringan bioskop 21 baru memutuskan tanggal rilis 16 Maret 2013 yang lalu.    

Penulis novel kriminal Ellison Oswalt memutuskan pindah ke rumah baru demi menyelesaikan karya teranyarnya meski istri dan anak-anaknya tidak setuju. Sesungguhnya di rumah tersebut pernah terjadi pembunuhan mengerikan dimana seantero keluarga tewas tergantung di pohon halaman belakang rumah. Tak lama kemudian, Ellison menemukan satu kardus berisikan video di loteng rumahnya yang ternyata berisikan rekaman keluarga-keluarga yang terbunuh secara misterius di masa lampau. Mampukah ia memecahkan misteri tersebut sebelum nyawanya terancam juga?
Scott Derrickson bekerjasama dengan C. Robert Cargill berupaya mengetengahkan suguhan thriller horror yang fresh melalui elemen-elemen tipikal sebut saja rumah mencekam, tokoh misterius, latar belakang mencengangkan dsb. Berhasil? Bagi saya iya. Momok menakutkan kali ini adalah Mr. Boogie yang terlihat seperti seorang pria bertopeng.  Sewajarnya film bergenre sejenis, ada twist yang tersimpan di penghujung cerita. Tugas anda lah menerkanya sambil ‘memutar kembali’ apa saja yang telah anda saksikan sejak menit awal.

Sebagai sutradara, Derrickson berupaya semaksimal mungkin menjaga intensitas film lewat serangkaian ‘trik’ yang sebenarnya tak bisa dikatakan baru. Namun pace yang terasa lambat tetap tak mampu dihindari. Tak ayal penonton kadung bosan sebelum sampai klimaksnya. Beruntung multi relationship yang dimiliki Ellison dengan orang-orang sekitarnya mampu memperkuat plot yang ada. Belum lagi variasi video footage kuno yang berulang kali efektif menciptakan kengerian lewat gambar dan suara yang khas. Niscaya akan akan gelisah mendapati siang berganti malam di sepanjang durasinya.
Hawke memegang peranan kunci di sini termasuk narasi utama yang dilakukannya. Tokoh Ellison yang cukup ‘gelap’ itu sesungguhnya cuma kepala keluarga biasa, suami setia dan ayah perhatian yang menyayangi keluarganya sendiri. Hanya saja ambisi pribadi membuatnya mempertaruhkan segalanya. Ketakutannya yang membuncah diterjemahkannya secara wajar. Rylance berhasil memberikan penjiwaan yang baik sebagai istri tertekan karena obsesi suaminya yang tidak rasional. Foley dan D’Addario juga tak kalah memikat sebagai putra dan putri dengan kedalaman psikologis masing-masing.

Sekali lagi kenikmatan menyaksikan Sinister adalah membuka misteri yang tersimpan rapat satu-persatu dengan penjelasan yang cukup logis. Kombinasi dengan mitos yang ada juga terbilang relevan dalam memperkuat substansi penerimaan penonton yang tanpa sadar mengaplikasikan langsung dengan kondisi nyata. Gambar-gambar yang disturbing bisa jadi sulit dibuang dari ingatan apalagi ditambah dengan beberapa scene ‘berdarah’ dengan penyajian yang variatif. Semua aspek tersebut jelas beralasan. So, be prepared for this one without any single information. Too bad its poster has already explained much.

Durasi:
110
menit

U.S Box Office:
$48.056.940 till Dec 2012

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:

Sabtu, 13 April 2013

OBLIVION : Audio-Visual Fair Above Earth and Humanity


Quote:
Jack Harper: Is it possible to miss a place you've never been? To mourn a time you never lived?

Nice-to-know:
Proyek The Oblivion awalnya berasal dari skrip 8 halaman yang ditulis Joseph Kosinski dan diajukan sebagai novel grafis kepada Barry Levine dan Jesse Berger di Radical Publishing pada tahun 2007.

Cast:
Tom Cruise sebagai Jack
Morgan Freeman sebagai Beech
Olga Kurylenko sebagai Julia
Andrea Riseborough sebagai Victoria
Nikolaj Coster-Waldau sebagai Sykes
Melissa Leo sebagai Sally  

Director:
Merupakan film kedua Joseph Kosinski setelah TRON : Legacy (2010).

W For Words:
Delapan tahun sudah sejak terakhir kemunculan Tom Cruise dalam film bergenre science fiction, itupun remake ternama yakni War of the Worlds. Bisa jadi anda sama seperti saya, lebih ingat pendahulunya yaitu Minority Report (2002). Suguhan terbaru Universal Pictures ini tak sepenuhnya dapat dikatakan baru karena plotnya akan mengacu pada beberapa referensi dari yang sudah-sudah, tidak perlu disebutkan di sini agar tak ada tudingan menjiplak mentah-mentah. Sah-sah saja untuk sebuah tema post-apocalyptic yang sesungguhnya memang penuh dengan tanda tanya.

Jack Harper adalah teknisi yang ditugaskan menjaga robot-robot agar tetap pada fungsinya membasmi scavs di bumi. Pangkalannya terletak di lapisan stratosfer yang juga dikomandoi oleh Victoria dan disupervisi langsung oleh Sally melalui layar monitor. Ya, bumi memang telah mati selama enam puluh tahun akibat serangan alien. Kehidupan keduanya yang tenang mulai terusik saat Jack menyelamatkan nyawa Julia dari pesawat yang terbakar di area terpencil. Memori masa lalu yang perlahan terkuak agaknya membuat Jack bingung akan jati diri yang sebenarnya.

Joseph Kosinski mengembangkan komiknya bersama Arvid Nelson tapi kolaborasinya dengan Karl Gajdusek dan Michael Arndt lah yang menghasilkan skrip film ini. Nyaris setengah durasi awalnya dihabiskan untuk dua hal yakni pengenalan karakter Jack Harper berikut kecanggihan teknologi yang digunakannya dan penjelasan keadaan bumi berikut ancaman serius yang dihadapinya. Lewat pertengahan barulah muncul konflik utama yang segera diikuti penyelesaiannya. Tampaknya tidak terlalu sulit menerka kemana arah cerita akan bergulir.

Cruise adalah mega bintang Hollywood yang nyaris selalu “one man show” di setiap filmnya. Tokoh Jack Harper dimainkannya dengan energik, sensitif dan penuh keingintahuan. In my opinion, he did great, not as bad as people talked about. Riseborough dan Kurylenko memerankan dua pendamping wanita yang karakternya bertentangan. They are good enough to keep Cruise on balance. Sulit mengomentari penampilan Freeman, Coster-Waldau, Leo dll karena tak banyak kesempatan yang diberikan. Nah salah satu permasalahan utama film adalah kurangnya sosok antagonis yang bisa mempertajam konflik.

Kosinski di kursi sutradara mengulangi apa yang dilakukan sebelumnya yaitu pamer kecanggihan spesial efek. Lihat saja basis Harper dan Victoria yang sangat memanjakan mata dengan background langit biru atau kendaraan Harper dalam menjelajah semesta. Keunggulan itulah yang membuat anda cukup yakin merogoh kocek lebih untuk menyaksikan versi IMAX nya. Tak dipungkiri, storytelling miliknya menjadi sedikit terkesampingkan. Pace yang lambat di awal sangat mungkin membuat penonton awam merasa bosan hingga tak terlalu terjerat kepedulian lagi terhadap klimaks yang disuguhkan.

Di satu sisi, Oblivion terlalu memberi keleluasaan bagi penikmatnya untuk memahami konsep film secara utuh. Bagi anda yang menyukai detail, hal ini tentu akan sangat menyenangkan. Di sisi lain, pokok pembicaraannya masih berkisar pada hubungan interpersonal. Tak terlalu mengejutkan memang karena manusia semestinya tetap menggunakan hati dan perasaannya walaupun seburuk apapun situasi yang dihadapi. In the end, it’s about earth and humanity. Our own memories will always stand for who we are and what we do.

Durasi:
120 menit

Overall:
8 out of 10

Movie-meter:

Sabtu, 06 April 2013

PEE MAK : Fun Peek-A-Boo For The Nak-ed Truth


Quote:
Nak: Jika suatu saat aku mati. Dapatkah kau tetap hidup?
Mak: Aku tak dapat hidup tanpamu.


Nice-to-know:
Mencatatkan diri sebagai film Thailand kedua sepanjang masa yang menjadi pengumpul uang terbanyak di hari pertama rilisnya dengan total 21 juta baht di bawah Ong Bak (2003).

Cast:
Mario Maurer
sebagai Mak
Davika Hoorne sebagai Nak
Nattapong Chartpong sebagai Ter
Pongsatorn Jongwilak sebagai Puak
Wiwat Kongrasri sebagai Shin
Kantapat Permpoonpatcharasuk sebagai
Aey

Director:
Merupakan f
eature film keempat bagi Banjong Pisanthanakun setelah terakhir Kuan Meun Ho alias Hello Stranger (2010).

W For Words:
Tiga faktor yang menjadi jaminan kesuksesan besar film ini adalah Mario Maurer, GTH dan legenda urban klasik Nang Nak di Phra Kanong yang sudah demikian melegenda di kalangan masyarakat Thailand. Bagaimana dengan pasar internasional? Rasanya masih dapat berbicara banyak mengingat sutradara Banjong Pisanthanakun telah berhasil menelurkan film-film box office sebelumnya sebut saja dwilogi Phobia (2008-2009) di antaranya yang turut menjadi landasan daya tarik film yang turut menghadirkan Mario di acara meet and greet yang diadakan oleh Blitzmegaplex pada tanggal 7 April 2013 ini.

Tentara Mak yang terluka di medan perang berhasil diselamatkan keempat sahabatnya yang kemudian menyertainya pulang ke kampung halaman Phra Kanong. Di sanalah istri setia Nak telah menunggunya bersama putra mereka yang masih bayi bernama Dang. Rumor berhembus di antara warga desa bahwa sesungguhnya Nak telah meninggal beberapa waktu lalu. Ter, Puak, Shin dan Aey yang mempercayainya segera mencari cara untuk memberitahu Mak tanpa sepengetahuan Nak. Siapa yang hantu dan siapa yang manusia pada akhirnya?

Skrip yang dikerjakan oleh Banjong bersama Chantavit Dhanasevi dan Nontra Khumvong ini masih berpakem pada komedi horor andalan mereka. Nama Ter, Puak, Shin dan Aey sebagai sidekicks bahkan dipertahankan lengkap dengan karakteristik masing-masing. Tokoh Mak pun lebih ditonjolkan ketimbang Nak demi memberikan perspektif yang berbeda. Seperti biasa twist-ending dipersiapkan untuk menipu penonton. Berhasil? Mungkin. Yang jelas perubahan seratus delapan puluh derajat yang terjadi di akhir memang cukup mencengangkan sambil tetap berpegang pada kisah cinta itu sendiri.

Jangan salahkan alasan pemilihan Mario dan debutan Davika yang wajahnya terlihat lebih barat dalam memerankan tokoh pasutri asli Thai karena keduanya terbilang sukses membangun chemistry Mak dan Nak yang awkward sekaligus manis. Jangan ragukan penampilan kuartet “setia kawan” Nattapong, Pongsaton, Wiwat dan Kantapat yang tetap mencuri perhatian kapanpun mereka muncul. Lupakan sejenak penyajian beberapa joke seputar tokoh/film asing yang bisa dibilang tidak relevan dengan jaman kesemua tokoh tersebut hidup mengingat kesempatan lain anda tertawa melihat keempatnya masih amat lebar.
Setting lokasi hutan dan sungai yang terdapat dalam segmen “In The Middle” – 4BIA (2008) kembali digunakan sutradara Banjong sebagai panggung bercerita di samping gubuk tua Mae Nak yang terlihat rapuh tersebut. Durasi keseluruhan yang nyaris dua jam itu seharusnya dipangkas lebih singkat mengingat baru sejam pertama saja sudah merangkum semua situasi dan kondisi yang dialami keenam tokoh utamanya. Trailernya yang diluncurkan sejak bulan lalu sudah berbicara ‘terlampau’ banyak sehingga unsur kejutannya menjadi berkurang.

Tak diragukan lagi, Pee Mak merupakan ‘peremajaan’ yang kreatif dari judul-judul tersebut di atas, bukan remake, bukan sepenuhnya orisinil. Dengan demikian tujuan akhir filmmaker untuk merangkul penonton dewasa dan remaja sekaligus dapat tercapai. Cerdas bukan? Secara pribadi saya memang menyukainya sebagai tontonan menghibur walau tidak sampai menganggapnya spesial. Bagaimanapun juga memanusiakan hantu tetaplah sebuah konsep yang sulit diterima nalar, tak peduli apapun alasan di baliknya. Well, at least it makes you keep guessing for the real Nak-ed truth.

Durasi:
115 menit

U.S Box Office:
21.700.000 baht in opening day Maret 2013 in Thailand

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter: