Kamis, 27 Desember 2012

CINTA TAPI BEDA : Menggalang Rasa Pada Titian Keyakinan


Quote: 
Diana: Nunggu taksi itu kayak nunggu jodoh, lama banget.

Nice-to-know: 
Film yang diproduksi oleh Multivion Plus ini gala premierenya diselenggarakan di Epicentrum XXI pada tanggal 20 Desember 2012.

Cast: 
Agni Pratistha sebagai Diana Fransiska
Reza Nangin sebagai Cahyo Fadholi
Choky Sitohang sebagai Oka
Ratu Felisha sebagai Mitha
Agus Kuncoro sebagai Pacar baru Mitha
Jajang C Noer sebagai Bunda Diana
Nungky Kusumastuti sebagai Ibu Cahyo



Director: 
Merupakan film kedua Hestu Saputra setelah Pengejar Angin (2011) yang kali ini turut menggandeng “guru”nya Hanung Bramantyo.

W For Words:
Kasus percintaan berbeda keyakinan kerap ditemui pada pasangan kekasih di belahan dunia manapun. Solusinya ilegalnya, menikah di bawah tangan. Legalnya, menikah di negara yang memperbolehkan aturan tersebut. Kedua-duanya jelas bukan opsi yang mudah bagi siapapun yang menjalaninya. Itulah permasalahan yang (lagi-lagi) berusaha dikupas dalam film terbaru Multivision Plus ini. Satu-satunya nama dalam poster yang “menjual” adalah Hanung Bramantyo di kursi sutradara yang kali ini bertandem dengan Hestu Saputra. Tak usahlah kita mereka-reka berapa persen pembagian tugas di antara keduanya.

Cahyo yang bekerja di sebuah cafe memutuskan pacarnya Mitha yang ketahuan selingkuh. Tak lama ia bertemu Diana, mahasiswi jurusan tari yang tengah melakukan pertunjukannya. Mereka cepat akrab satu sama lain hingga sepakat menjalin cinta. Sayangnya ada perbedaan mendasar di antara keduanya. Cahyo berasal dari keluarga muslim taat di Yogya sedangkan Diana beragama Katolik dari garis keturunan ibu asli Padang yang kuat. Hambatan demi hambatan mulai menghimpit terlebih saat keduanya memutuskan untuk maju terus sampai jenjang pernikahan.

Cerita memang digagas oleh Hestu dan Hanung yang lagi-lagi menjadi cameo sebagai pelanggan cafe disini. Namun tugas Taty Apriliyana, Novia Faizal, Perdana Kartawiyudha lah untuk menuangkannya dalam bentuk skrip. Saya melihat beberapa dialog sudah ditempatkan sedemikian rupa pada bagian-bagian tertentu untuk mempertajam konflik. Hanya saja terdapat sebuah kesalahan fatal yaitu diferensiasi Kristen Protestan dan Katolik kerap rancu membangun latar belakang Diana dan ibunya. Bagi non Kristen mungkin tidak akan memperhatikan perbedaannya yang begitu jelas.

Saya belum melihat kualitas akting seorang Agni Pratistha mampu melampaui debutnya dalam Mengejar Matahari (2004). Karakter Diana dijiwainya dengan tipikal, tidak jelek memang tapi dalam standar yang teramat diharapkan. Kemauannya untuk mempelajari seni tari setidaknya pantas diapresiasi disini. Pendatang baru Reza Nangin lumayan mencuri perhatian dengan karakter Cahyo yang berhati lembut tapi berprinsip keras. Jajang sekali lagi memperlihatkan kelasnya meski saya berharap dialek Padang nya konsisten di sepanjang film. Menarik melihat Choky berusaha “lebih” untuk memperlihatkan sosok pria Katolik dewasa yang penuh pengertian dan filosofis.

Sutradara Hestu masih mengalami sedikit inkonsistensi dalam menyuguhkan gambaran utuh sebuah film layar lebar sehingga penonton bisa jadi berujar “Sinetron banget sih!”. Perubahan teknis tata kamera saat berada di Jakarta, Yogya dan Padang pun begitu terasa. Kinerja penata musik kali ini memang sangat penting karena harus mencerminkan dua ‘identitas’ sekaligus dan Erros Chandra melakukannya dengan cukup hati-hati walau tidak sepenuhnya maksimal. Setidaknya editing Wayan I Wibowo masih terbilang rapi dalam menggulung frame demi frame demi menjaga fokus yang diharapkan.

Tanpa bermaksud spoiler, saya menilai ending dari Cinta Tapi Beda secara keseluruhan adalah kekuatan tersendiri karena berani mendobrak pakem film-film sejenis sebut saja cin(T)a (2009) atau 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta (2010). Tetap saja batasan-batasan yang membelenggu dikejawantahkan di sepanjang film untuk mempertegas resikonya. Pada akhirnya semua itu adalah opsi yang harus dibuat manusia-manusianya. Banyak contoh kegagalan dengan rasio keberhasilan yang begitu minim. Seberapa kuat pengaruh “rasa” di atas titian bernama keyakinan adalah jawaban dari cinta yang begitu pribadi adanya.


Durasi:

96 menit

Overall: 
7.5 out of 10

Movie-meter:

4 komentar:

  1. Hmm. Saya bingung apa yang penulis review ini maksud dengan "terdapat sebuah kesalahan fatal yaitu diferensiasi Kristen Protestan dan Katolik kerap rancu membangun latar belakang Diana dan ibunya"

    Saya baru saja menonton film ini dan menurut saya semua hal yang ditampilkan sebagai latar belakang agamanya Diana sdh benar sangat Katolik dan ga ada unsur Protestanisme sama sekali

    Mungkin bisa di share pendapat penulis, krn saya penasaran dmn letak ketidakjelasan diferensiasi Kristen Katolik dan Protestan yang dimaksud

    Thanks

    BalasHapus
  2. Gerry, yang kami maksud disini adalah penggambaran Ibu Diana dan Oka disini lebih "terlihat" seperti beragama Kristen Protestan dari dialog-dialognya, padahal Diana sendiri dikisahkan Kristen Katolik.

    Setelah diskusi dengan rekan2 moviereviewer lain, kami semua berpendapat bahwa penulis skrip film ini tidak melakukan riset secara mendalam sehingga terkesan men-generalisasi Kristen itu sendiri.

    Terima kasih atas inputnya.

    BalasHapus
  3. Oh, baiklah. Walaupun, saya masih berpendapat ga ada unsur Protestanisme sih di dlm film tersebut baik itu secara keseluruhan ataupun dialog antara Oka dan Ibu Diana, krn percakapan mereka terbilang umum dan gak terkesan Protestan ataupun Katolik. Sebagai contoh, ga ada membahas deuterokanonika, dogma ataupun doktrin tertentu yg secara eksplisit mencerminkan perbedaan antara Katolik dan Protestan, krn kalo mau bener2 di defirensiasi maka tentu akan terlalu dalam dan jadi berat materinya hehehe

    Menurut saya ke-Katolik-an Diana di film ini sudah cukup dengan dia memakai tanda salib, berdoa kepada Bunda Maria dan berdoa Rosario (entah di film itu mksdnya dia berdoa rosario atau sekedar berdoa memegang rosario hehehe).

    In the end, saya enjoy2 aja sih nontonnya krn ga gitu ngerti jg kalo mau komen mslh film secara spesifik, cuma krn kebetulan saya seorang Katolik dan memiliki kelurga yg juga Protestan dan Muslim, jadinya gatel pengen komentar hehehe

    This is just in my humble opinion. Maju terus film Indonesia :)

    BalasHapus
  4. Terima kasih opini dan sharingnya, Gerry. Amat menambah khasanah dan wawasan kami tentunya.

    Keep watching local movies! :)

    BalasHapus