Rabu, 29 Februari 2012
FRENEMY : Crapy Storytelling Ideocrazy Buddies
Quotes:
Norma: Gee, if you're not Stephanie Sinclair, and I'm not Stephanie Sinclair, and this is Stephanie Sinclair's apartment, then what the fuck are we all doing here?
Nice-to-know:
Lebih dikenal dengan judul Little Fish, Strange Pound dimana bujetnya hanya menghabiskan kurang dari 500 ribu dollar Amerika.
Cast:
Matthew Modine sebagai Mr. Jack
Callum Blue sebagai Sweet Stephen
Paul Adelstein sebagai Philly
Adam Baldwin sebagai Tommy
Zach Galifianakis sebagai Bucky
Director:
George Dark terakhir kali menangani horor thriller See No Evil di tahun 2006.
W for Words:
Keputusan filmmakers menjual tampang dan nama Zach Galifianakis untuk film ini memang cerdas karena yang bersangkutan tengah naik daun paska kesuksesan The Hangover (2009) dan judul-judul lainnya. Namun jika pada akhirnya dicaci maki penonton karena kampanye marketing yang salah lantas kesalahan patut ditimpakan kepada siapa? Saya pribadi memang menyaksikannya karena berharap satu suguhan komedi hitam yang berbeda di samping faktor adanya aktor lawas Matthew Modine disana.
Dua sahabat lama, Mr. Jack dan Sweet Stephen menelusuri jalanan Los Angeles sambil bertukar pikiran mengenai kehidupan, kematian dan area abu-abu diantaranya. Mereka beranggapan bahwa keteguhan hati bisa membuat apapun terjadi di luar permainan nasib itu sendiri. Pembicaraan yang semakin memanas membuat penuturan mereka semakin absurd dan gelap hingga mungkin melampaui batas penerimaan akal sehat.
Sejak detik pertama sampai terakhir, anda akan dibuat bingung oleh ambiguitas yang tidak terjawab ataupun pernah terpikirkan sebelumnya. Saya tidak menemukan korelasi perampokan toko video porno milik Bucky yang berakhir tragis hingga berujung pada siaran langsung “kids that kill” yang tiba-tiba menempatkan Mr. Jack dan Sweet Stephen sebagai subyek. Tanpa lupa menyebut adegan dimana keduanya berjalan melintasi sepasang gelandangan yang bertengkar hanya karena manipulasi dadu.
Baik Modine, Blue, Galifianakis dan seantero pemeran dalam film ini jelas sudah melakukan kesalahan terbesar dengan mengikuti casting apalagi setuju untuk membintanginya. Entah apa yang ada di pikiran Robert Dean Klein saat menulis skripnya. Kombinasi aneh sebuah komedi hitam yang dicampur adukkan dengan kekerasan berdarah ala thriller murahan sekaligus dilengkapi filosofi hidup dan mati? Gaya penyutradaraan Gregory Dark pun sama membingungkannya karena tidak ada pemisah antara mimpi dan kenyataan.
Little Fish, Strange Pond a.k.a Frenemy pun sukses menempati urutan teratas film terburuk tahun 2012 yang baru akan mengakhiri kuartal pertamanya ini. Sesungguhnya saya dapat menarik benang merah dari penuturan panjang Mr. Jack dan Sweet Stephen yang samasekali tidak simpatik itu selepas credit title bergulir. Namun rasanya tidak ada seorangpun yang akan membenarkan kesimpulan tersebut, memikirkannya saja tidak selain menyesali keputusan bahwa mereka telah membuang waktu yang amat berharga dalam hidup hanya dengan memasukkan keping DVD film ini ke dalam player anda!
Durasi:
80 menit
Overall:
6 out of 10
Movie-meter:
Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
Selasa, 28 Februari 2012
KEUMALA : Penolakan Cinta Pelarian Masa Lalu
Quotes:
Langit: Senja yang sama, matahari yang sama. Apa yang bikin kamu tertarik?
Nice-to-know:
Diproduksi oleh Indirama Films dimana press screeningnya diadakan di Planet Hollywood pada tanggal 28 Februari 2012.
Cast:
Abimana Aryasatya sebagai Langit
Nadia Vega sebagai Keumala
Shilla Vaqa Ismi sebagai Inong
Cut Yanti sebagai Ibu Keumala
Arturo GP sebagai Pelaut
Islamuddin sebagai Dokter Sabang
Director:
Merupakan debut penyutradaraan Andhy Pulung yang selama ini berpengalaman sebagai piñata gambar.
W For Words:
Jarang sekali seorang sineas lokal berani menggunakan pendekatan semi dokumenter dalam penyajian drama bertemakan cinta. Dia adalah Andhy Pulung yang mengambil lokasi syuting langsung di atas kapal laut yang melakukan perjalanan dari Jakarta ke Medan hingga berlabuh di Pulau Sabang, Aceh. Ide cerita yang digagas oleh Dirastya Utami, Rama, Ina LR dan S. Uneputty ini kemudian dikerjakan skenarionya oleh Dirmawan Hatta.
Fotografer bernama Langit suka sekali akan senja. Perjalanan demi perjalanan dilakukannya demi melupakan masa lalunya yang kelam sampai bertemu dengan Keumala di atas kapal. Gadis penulis novel sukses yang juga jago membuat sketsa itu memiliki hati yang keras karena latar belakang keluarganya. Ketertarikan keduanya seketika hancur karena Keumala divonis menderita retinitis pigmentosa yang membuatnya kehilangan penglihatan. Waktu demi waktu berlalu, senja demi senja yang dilalui akankah mempertemukan mereka kembali?
Abimana Aryasatya dan Nadia Vega jelas mendominasi setiap adegan dalam film ini. Yang saya suka adalah karakter keduanya sangatlah “manusia” dengan ketakutan-ketakutan dalam hidupnya yang tak dapat dihindari. Langit yang cool terasa berbanding terbalik dengan Keumala yang rapuh tapi itulah yang membuat mereka dapat saling mengisi. Sayangnya dialog-dialog puitis yang terucap dari bibir keduanya terkadang tidak dapat ditangkap seratus persen terutama saat Nadia berkata dalam isak tangisnya.
Andhy yang berpengalaman dalam bidang tata gambar memang banyak menggunakan simbolisasi bahasa visual yang ciamik untuk bercerita. Namun sayang waktu yang digunakannya untuk itu memang kelewat panjang sehingga penonton bisa jadi mengalami kebosanan. Tercatat dua orang meninggalkan studio di pertengahan durasi pada saat pertunjukan yang saya masuki. Mudah-mudahan di masa mendatang, Andhy dapat memperbaikinya untuk dapat bertutur secara lebih efektif tanpa mengurangi esensi cerita yang ingin disampaikan.
Keumala merupakan pengalaman bersinema yang lain dari biasanya tapi jelas membutuhkan kesabaran tingkat tinggi untuk dapat benar-benar terintrusi ke dalam jalinan plotnya yang sederhana itu. Romansa Langit dan Kemala juga sangat terasa tarik ulurnya walaupun sejak pertengahan menuju akhir, penonton sudah dapat menebak isi hati masing-masing. Beberapa tokoh di luar Abimana dan Nadia nyaris tidak meninggalkan jejak apapun selain mengisi sudut panggung yang kosong padahal bisa mencuri perhatian lebih untuk menghadirkan frame utuh yang lebih mumpuni. Cinta disini ibarat senja, momen indah tersaji dalam waktu singkat. Just feel the warmth when it comes!
Durasi:
104 menit
Overall:
7 out of 10
Movie-meter:
Senin, 27 Februari 2012
THE GREY : To Live Surviving Or Die Trying
Quotes:
Diaz: Fate didn't give a fuck. Dead is dead.
Nice-to-know:
Lokasi syuting di Smithers, British Columbia sempat mencapai suhu minus 40 derajat Celcius. Bahkan adegan badai salju memang benar-benar terjadi, bukan rekayasa CGI.
Cast:
Liam Neeson sebagai Ottway
Dallas Roberts sebagai Hendrick
Frank Grillo sebagai Diaz
Dermot Mulroney sebagai Talget
Nonso Anozie sebagai Burke
Director:
Merupakan film kelima bagi Joe Carnahan yang terakhir menggarap The A-Team (2010).
W for Words:
Film berbujet 25 juta dollar ini mengisahkan perjuangan hidup segelintir manusia yang kesemuanya (bukan kebetulan) adalah pria. Perjuangan melawan alam (bencana), makhluk hidup (serigala) dan juga takdir (Tuhan) yang kerapkali menjadi proses yang tidak pernah dapat kita hindari. Sesungguhnya bukan tema yang baru mengingat pernah ada Alive (1993) dari Frank Marshall yang mengambil setting sama yaitu iklim Kanada yang bersalju.
Sekelompok pengebor minyak mengalami musibah saat pesawat yang ditumpangi kandas di pegunungan Alaska. Yang tersisa kemudian adalah Ottway, Hendrick, Diaz, Talget, Burke, Flannery dan Hernandez yang berusaha bertahan hidup dari dinginnya suhu dan terpaan badai salju. Ternyata bukan hanya itu karena segerombolan serigala yang merasa terganggu mulai mengintai mereka satu persatu. Ottway yang berprofesi sebagai pemburu serigala pun berusaha memimpin mereka keluar hidup-hidup dengan segenap keahlian dan pengalamannya.
Keberanian Joe Carnahan untuk keluar dari “zona nyaman” lewat film ini patut diacungi jempol . Adrenalin anda memang masih dipacu dengan ketakutan nyata yang muncul dari perburuan serigala dan juga pembantaian manusia yang cukup sadis tetapi pengembangan karakternya sedikit terabaikan walau tidak sampai mengganggu. Sang karakter utama sendiri, Ottway tidak diceritakan latar belakangnya dengan gamblang selain halusinasi frekuentif sang istri yang entah masih hidup atau sudah meninggal, anda bisa asumsikan sendiri.
Liam Neeson masih menyisakan sisi “jagoan” yang kental seperti dalam film-film sebelumnya. Namun dalam suasana putih bersalju yang bisa berubah menjadi percikan darah, anda akan melihat sisi lain dari seorang Ottway yang rapuh karena masa lalunya. Perbedaan dari karakter lain, ketakutan yang terang-terangan diakuinya itu tidak membuatnya goyah dan tetap menggunakan akal sehat untuk memanfaatkan peluang sekecil apapun untuk terus bertahan hidup.
Momen dimana kematian begitu dekat menjadi highlight film ini. Lihat saja transisi sikap tokoh Diaz yang paling mencolok. Atau Hendrick dan Talget dapat dikatakan telanjur pesimis sehingga kemungkinan terburuk yang dapat terjadi tidak bisa dihindarkan. Setiap manusia menyikapi momen tersebut dengan cara yang berbeda-beda. Sebagian orang yang religius mungkin akan melihatnya sebagai upaya berserah diri kepada Tuhan dan jalan untuk bertemu orang terkasih yang lebih dahulu meninggalkannya.
The Grey bukanlah gory thriller biasa dengan momok serigala, Carnahan terbukti membawa standar survival drama ke tingkat yang lebih tinggi. Pengalaman yang terasa amat nyata dan emosional ini diyakini mampu membuat anda tercekat di kursi saat menunggu detik-detik mencekam. Tak perlu malu untuk menutup mata atau telinga jika dirasa terlalu mengejutkan anda. Terpenting untuk digarisbawahi adalah tagline film ini sendiri yakni live and die on this day. So mark every aspect of your life with appreciative efforts!
Durasi:
117 menit
U.S. Box Office:
$42,787,884 till Feb 2012.
Overall:
8 out of 10
Movie-meter:
Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
Minggu, 26 Februari 2012
ONE FOR THE MONEY : Worthless For The Money
Quotes:
Lula: We got the whole good cop/bad cop thing going on; except we're hookers.
Nice-to-know:
Baik Katherine Heigl, Jason O'Mara, Daniel Sunjata dan Debra Monk kesemuanya pernah tampil dalam Grey's Anatomy.
Cast:
Katherine Heigl sebagai Stephanie Plum
Jason O'Mara sebagai Joe Morelli
Daniel Sunjata sebagai Ranger
John Leguizamo sebagai Jimmy Alpha
Sherri Shepherd sebagai Lula
Debbie Reynolds sebagai Grandma Mazur
Director:
Merupakan film layar lebar kedua bagi Julie Anne Robinson setelah The Last Song (2010).
W for Words:
Saya mengakui bahwa Katherine Heigl adalah aktris cerdas yang namanya masuk jajaran selebritis papan atas Hollywood selama beberapa tahun terakhir. Namun apa yang terjadi dengan pilihan perannya yang tampak semakin bodoh dari waktu ke waktu apalagi dengan kualitas sidekick yang semakin menurun. Komedi romantis yang diangkat dari novel Janet Evanovich ini tanpa pengecualian apalagi premisnya mirip sekali dengan The Bounty Hunter (2010).
Penggangguran dengan status janda cerai membuat Stephanie Plum harus menerima pekerjaan apapun termasuk sebagai pemburu bayaran dari sepupunya sendiri. Target pertama Stephanie tak lain tak bukan adalah mantan suaminya sendiri yakni Joe Morelli, seorang polisi yang didakwa kasus pembunuhan berencana. Berhasilkah Stephanie membekuk Joe yang bersikeras bahwa ada pelaku lain di balik semua itu yang harus diungkapkan untuk membersihkan namanya?
Sutradara Julie Anne Robinson tampak bekerja keras untuk menjaga mood film agar tetap ringan. Lihat saja adegan dimana Grandma Mazur meledakkan kalkun sewaktu makan malam keluarga atau saat mobil Joe meledak karena bom yang ditargetkan untuk Stephanie. Atau yang lebih menjurus pornoaksi adalah ketelanjangan Stephanie kala diborgol Joe di kamar mandinya. Serentetan kejadian itu tak dinyana terkesan “memaksa“ penonton tertawa getir untuk tidak terlalu bersikap serius menikmatinya.
Saya tidak bermaksud mengecilkan arti Jason O’Mara tapi jika dibandingkan Ashton Kutcher, Josh Duhamel, Gerard Butler yang jauh lebih kharismatik? Heigl harus lebih selektif lagi dari sekadar mengumpulkan teman-teman sejawatnya dalam Grey’s Anatomy karena chemistry dengan lawan main teramat penting apalagi untuk genre semacam ini. Untungnya ia sendiri masih dapat menampilkan pesona gadis pirang seksi nan menggoda terlepas dari menyedihkannya karakter Stephanie Plum yang jatuh di titik terendah dalam hidupnya tersebut.
One For The Money bergerak dalam jalur yang tak beraturan, from no clue to clue but without any logical process along the way. Jika tidak percaya anda bisa runut aksi Stephanie Plum dari awal hingga akhir mulai dari “menelanjangi” dirinya sendiri, bertukar informasi dengan pelacur, belajar menembak sampai menyambangi preman. Dengan kuasa yang cukup besar karena duduk pula di jajaran produser eksekutif maka semua kesalahan patut ditujukan pada Heigl seorang yang entah ambisius atau kehabisan akal untuk menjual apa yang ia punya. She’s hot but we’ve already seen her in similar better roles before!
Durasi:
91 menit
U.S. Box Office:
$23,679,658 till Feb 2012.
Overall:
7 out of 10
Movie-meter:
Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
Sabtu, 25 Februari 2012
THE IDES OF MARCH : Intense Political Campaign Thriller
Quotes:
Stephen Meyers: You can lie, you can cheat, you can start a war, you can bankrupt the country, but you can't fuck the interns. They get you for that.
Nice-to-know:
Leonardo DiCaprio batal memerankan Stephen Meyers tetapi tetap menjabat sebagai produser eksekutif melalui perusahaannya sendiri Appian Way. Chris Pine sempat dipertimbangkan untuk peran tersebut sebelum Ryan Gosling mendapatkannya.
Cast:
Ryan Gosling sebagai Stephen Meyers
George Clooney sebagai Governor Mike Morris
Philip Seymour Hoffman sebagai Paul Zara
Paul Giamatti sebagai Tom Duffy
Evan Rachel Wood sebagai Molly Stearns
Marisa Tomei sebagai Ida Horowicz
Director:
Merupakan film keempat yang disutradarai George Clooney setelah terakhir Leatherheads (2008).
W for Words:
Terpilih sebagai film pembuka Venice Film Festival 2011 yang lalu, skrip yang digagas dari drama teater pendek “Farragut North” karya Beau Willimon ini bertutur mengenai sistem perpolitikan negara adidaya Amerika Serikat yang merupakan lahan bermain Willimon di masa silam. George Clooney dengan cermat (kalau tidak mau disebut ambisius) melihat peluang tersebut untuk membuat sebuah thriller cerdas nan intens sehingga menjabat sebagai produser, sutradara, penulis skenario sekaligus aktor utamanya.
Stephen Meyers memiliki kemampuan komunikasi di atas rata-rata sehingga terpilih menjadi tim sukses Gubernur Mike Morris yang tengah mencalonkan diri menjadi Presiden. Atasan Stephen, Paul Zara memastikan semua berjalan lancar termasuk menyapu bersih jumlah suara dari Ohio. Godaan datang saat rival Morris, Tom Duffy meminta Stephen bekerja padanya atau putri petinggi sekaligus petugas intern, Molly Stearns menaruh hati padanya. Stephen pun harus menggunakan intelejensi sekaligus akal sehatnya untuk tetap berpijak walaupun dapat mengubah prioritas hidupnya.
Sutradara Clooney tampaknya meminta komitmen semua castnya untuk bermain maksimal. Terbukti nama-nama tenar dan berpengalaman yang terlibat disini mampu melahap segala dialog cerdas dengan amat fokus. Terkadang penonton tidak perlu melihat wajah mereka secara utuh tapi mengenali intonasi suara dari berbagai pilihan shot yang unik. Tempo lambat film perlahan meningkat seiring bergulirnya konflik yang semakin memanas. Semua kejutan dan twist tak lagi tersembunyi karena berjalan secara linier sampai detik pamungkas.
Saya pribadi melihat Ryan Gosling sebagai tokoh sentral yang pantas difavoritkan. Menarik melihat karakter Meyers yang semula naïf dan lurus berubah menjadi licik dan penuh intrik karena wajib beradaptasi dengan situasi tak terduga yang kerapkali memojokkannya. George Clooney sebagai aktor juga menampilkan karisma seorang calon pemimpin Morris yang berprinsip kuat dan tak dapat diajak kompromi. Sedangkan Giamati, Seymour Hoffman, Rachel Wood dan Tomei tidak kalah kontribusinya saat berbagi layar dengan kedua tokoh kunci di atas muncul, tentunya dengan rahasia masing-masing yang tersimpan rapi.
The Ides of March memang menggunakan “template” sederhana tentang bagaimana manusia dapat bertahan hidup, bukan hanya di bidang politik tapi turut berlaku dalam dunia bisnis, keuangan dsb. Oleh karena itu nyaris tidak ada tokoh jahat/baik disini, anda akan mengerti jika ada di posisi tersebut dimana hal yang salah untuk dilakukan justru bisa jadi malah menyelamatkan anda. Pertentangan moralitas dan idealisme tersaji lewat suguhan melodrama sinis yang muatan politisnya mungkin tidak setajam yang anda bayangkan. Might be well-deserved victory for the actors in every film festival entered!
Durasi:
101 menit
U.S. Box Office:
$40,962,534 till Jan 2012.
Overall:
8 out of 10
Movie-meter:
Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
Jumat, 24 Februari 2012
THE ARTIST : Respectful Silence Is Golden Experiences
Quotes:
Doris: I'm unhappy.
George Valentin: So are millions of us.
Nice-to-know:
Film (sebagian besar) bisu pertama yang rilis di bioskop sejak Silent Movie milik Mel Brooks di tahun 1976.
Cast:
Jean Dujardin sebagai George Valentin
Bérénice Bejo sebagai Peppy Miller
John Goodman sebagai Al Zimmer
James Cromwell sebagai Clifton
Penelope Ann Miller sebagai Doris
Director:
Merupakan feature film keempat bagi Michel Hazanavicius yang diawali oleh Mes amis di tahun 1999.
W for Words:
Berapa dari anda yang pernah menyaksikan film hitam putih? Nah ada segelintir orang angkat tangan. Bagaimana kalau di bioskop? Lho, kok semua tangan turun? Baik, mungkin anda belum lahir seperti halnya saya. Tak usah malu mengakui dan tidak perlu sok modern dengan memberi seribu satu macam alasan. Skenario yang ditulis sekaligus disutradarai oleh Michel Hazanavicius ini jelas bukan film sembarangan karena berhasil menyabet 10 nominasi Academy Awards 2012 di berbagai kategori.
Tahun 1927, bintang film bisu Hollywood yaitu George Valentin memikirkan kemungkinan era film berbicara akan mengakhiri karirnya. Kemungkinan itu menjadi kenyataan saat penari muda yang ditemuinya tanpa sengaja, Peppy Miller mulai mencuat ke permukaan ketenaran. Hidup George yang semula di atas mengalami kemunduran drastis, film terbarunya gagal total bahkan sang istri Doris tega meninggalkannya. George terpikir untuk mengakhiri hidupnya terlebih semua orang di sekitar mulai menghujatnya. Apakah Peppy akan tinggal diam melihat pria yang diidolakannya itu terpuruk?
Michel Hazanavicius memang bercerita dengan cara amat sederhana yang paling memungkinkan dari sebuah film bisu. Anda diajak untuk bersimpati penuh pada tokoh George Valentin sambil memperhatikan perilaku variatif orang-orang di sekitar terhadapnya. Hal inilah yang dianggap cukup berhasil untuk menggali sisi emosional terdalam penonton terlebih iringan musik karya Ludovic Bource yang teramat pas membangun mood senang maupun sedih.
Chemistry yang karismatik juga terpancar dari duet Jean dan Berenice. Dujardin adalah daya tarik utama film dimana senyumnya terasa memiliki seribu arti diperkuat dengan ekspresi beragam seorang George Valentin yang mampu berbicara banyak. Sedangkan Bejo sukses menyuguhkan kombinasi pribadi Peppy Miller yang hangat dan lemah lembut dengan ketangguhan di dalamnya. Mereka berdua menciptakan keajaiban yang teramat menyenangkan saat tampil bersama seperti magnet tersendiri bagi penonton.
Kekurangan film ini sangatlah minor, salah satunya adalah aspek kebosanan yang sangat mungkin melibatkan rasa kantuk tipikal genre sejenis atau setidaknya itulah yang ada di kepala orang. Kebisuan tersebut tak jarang bermakna ambigu yang bisa jadi disalahartikan penonton yang berharap terlalu tinggi untuk sebuah kompleksitas narasi sang filmmaker. Dialog yang terpampang di layar sebagai pemisah antar bab terkadang bergerak terlampau cepat sehingga tidak sampai diresapi secara utuh.
Harus diakui, The Artist merupakan tontonan yang mempesona. Samasekali tidak terasa komedi satir atau parodi meskipun berkali-kali menghadirkan tawa dengan esensi yang tidak jauh berbeda. Diam adalah emas dan presentasi Hazanavicius seakan membawa anda ke masa silam dimana bahasa gambar khas Eropa dapat diinterpretasikan secara bebas dengan estetika yang tetap terjaga. Adegan tap dance penutup pun bagaikan buah ceri di atas sebuah kue lezat yang menggugah rasa. The real pleasure that handled with risky care, a respectful tribute to classic contemporary cinema gone by.
Durasi:
100 menit
U.S. Box Office:
$24,002,038 till Feb 2012.
Overall:
8 out of 10
Movie-meter:
Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
Kamis, 23 Februari 2012
DILEMA : Hidup Akan Menemukan Jalannya Sendiri
EKSTRIMIS - Robby Ertanto
Ibnu yang menjunjung tinggi paham agama yang ia yakini tidak sadar bahwa dirinya lambat laun berubah menjadi seorang ekstrimis karena pengaruh lingkungan sekaligus sahabatnya sendiri, Said. Aksi demi aksi main hakim sendiri yang disebabkan oleh pembenaran semakin menyeret Ibnu jauh dari jati diri pribadinya. Said memanfaatkan kondisi tersebut untuk rencana yang lebih besar lagi.
POLISI - Adilla Dimitri
Lulus akademi kepolisian, Ario diangkat menjadi reserse yang ditugaskan berpatroli bersama seniornya Bowo. Idealisme yang dimiliki Ario jauh bertentangan dengan Bowo yang tak segan-segan bermain kotor demi menguntungkan dirinya sendiri. Hitam putih penegakan hukum di Ibukota pun semakin kabur dimana keputusan akhir harus segera dibuat apakah ia harus ikut kompromi atau tidak.
PENJUDI - Robert Ronny
Mantan raja kasino, Sigit mencoba memperbaiki hubungan rusak dengan keluarganya sendiri. Sayangnya ia meyakini satu-satunya cara untuk itu adalah dengan meraih kemenangan di meja judi sekaligus menghadapkannya kembali dengan rival lama, Gilang. Kekalahan dan kemenangan pun siap menjadi pertaruhan habis-habisan demi mempertahankan harga diri.
BOSS - Rinaldy Puspoyo
Arsitek muda, Adrian yakin bahwa ia sukses dengan usahanya sendiri terlepas dari status yatim piatu yang disandangnya. Pertemuan dengan bos besar berpengaruh, Sonny Wibisono yang mengungkapkan semua rahasia hidupnya dengan gamblang mulai membuat kepercayaan diri Adrian goyah. Namun pilihan selalu ada di tangannya apakah mau menerima fakta tersebut atau menolaknya mentah-mentah.
PEMADAT - Yudi Datau
Remaja broken home, Dian yang tengah menata kembali hidupnya berjumpa dengan Rima di rumah pantai keluarganya. Lantas Rima yang perlahan-lahan mendekatinya mulai memperkenalkannya kembali dengan dunia narkoba yang sudah tidak asing bagi Dian. Masa depan yang mulai terbentuk lagi pun semakin menyingsing dengan hadirnya resiko tinggi yang tampaknya sulit dihindari.
Nice-to-know:
Diproduksi oleh WGE Pictures dan 87 Films dimana gala premierenya diselenggarakan di Cilandak 21 pada tanggal 20 Februari 2012.
Cast:
Abimana Aryasatya sebagai Bari
Ario Bayu sebagai Aryo Sustoyo
Baim Wong sebagai Ibnu
Jajang C Noer sebagai Hetty
Lukman Sardi sebagai Andry
Pevita Pierce sebagai Dian
Ray Sahetapy sebagai Gilang
Reza Rahadian sebagai Adrian
Roy Marten sebagai Sony Wibisono
Slamet Rahardjo sebagai Sigit
Tio Pakusadewo sebagai Letnan Bowo
Verdi Solaiman sebagai Hitman
Winky Wiryawan sebagai Said
Wulan Guritno sebagai Rima
W For Words:
Film omnibus bisa jadi akan semakin tren dalam dunia perfilman Indonesia di masa mendatang. Sebab utamanya adalah regenerasi filmmaker dimana nama-nama baru yang belum terkuak masing-masing diberikan kesempatan untuk menggarap segmen film pendek yang lantas dipersatukan dengan sebuah benang merah. Rumah produksi WGE Pictures pun mengambil format ini untuk memulai debut film pertamanya dengan tema Ibukota Jakarta ini yang nampaknya semakin kejam dari hari ke hari.
Menilik premis setiap segmennya memang nyaris tidak ada yang baru selain menempatkan tokoh hitam dan putih dalam permainan menang atau kalah. Simple as that! Sejak menit awal, penonton sudah tahu mana karakter yang harus didukungnya. Berbagai twist yang diselipkan disana-sini memang tidak terlalu mengejutkan bagi penikmat genre sejenis tapi untungnya cukup berhasil menggarisbawahi kesimpulan yang ingin disampaikan secara tegas kepada audiens.
Kinerja Sastha Sunu dalam departemen penyuntingan tergolong luar biasa. Nalurinya untuk menyatukan puzzle demi puzzle secara tepat ke dalam bingkai yang telah tersedia memang mulus. Hal ini terbantu juga oleh kualitas sutradara yang tidak jauh berbeda satu sama lainnya sehingga narasinya bergulir dalam satu nuansa yang konsisten. Sedikit kekurangan yang mengganggu adalah proses sulih suara yang beberapa kali membuat gerak bibir dan kata-kata yang terucap menjadi tidak sinkron.
Sulit untuk memilih salah satu segmen sebagai favorit karena mutu yang nyaris sama. Namun segmen Rinaldy Puspoyo sedikit mencuri perhatian saya karena Roy Marten dan Reza Rahadian berhasil menampilkan chemistry kontradiktif yang menarik sebagai bos mafia yang berada di penghujung hidupnya dan pria muda yang mulai menapaki tangga kesuksesan. Di luar kedua nama itu, tidak ada yang bermain di bawah rata-rata karena kesemuanya adalah aktor-aktris yang sudah berpengalaman dalam bidang seni peran.
Dilema seperti halnya judulnya memang akan meletakkan penonton dalam zona abu-abu, apakah harus menyukai film ini atau tidak. Hal ini bisa jadi disebabkan proses menuju ending yang masih terkesan lambat dan kurang menggigit meskipun selepas credit title bergulir, penonton dapat menarik gambaran secara utuh akan kesulitan bertahan di jalur yang benar hingga tak jarang wajib melewati jalan yang salah terlebih dahulu. No matter what, life will find its way, right? It is up to your own direction afterall.
Durasi:
100 menit
Overall:
7.5 out of 10
Movie-meter:
Rabu, 22 Februari 2012
THE WOMAN KNIGHT OF MIRROR LAKE : Inspirational Heroine Fights Equality
Quotes:
Tidak terlahir sebagai pria tapi lebih berani dari pria!
Nice-to-know:
Diproduksi oleh National Arts Films Production dan sudah rilis di Hongkong tanggal 13 Oktober 2011 yang lalu.
Cast:
Huang Yi sebagai Qiu Jin
Suet Lam sebagai Gui Fu
Dennis To Yu-Hang sebagai Xu Xilin
Kevin Cheng sebagai Ting Jun
Rose Chan sebagai Fusheng
Anthony Wong Chau-Sang sebagai Li Zhong-yue
Pat Ha
Director:
Herman Yau terakhir menggarap The Legend Is Born : IP Man (2010).
W for Words:
Sebelum China dipersatukan seperti sekarang, berabad-abad yang lalu berbagai dinasti silih berganti menguasai daratan yang terpecah-belah. Dengan latar belakang sejarah semacam itulah, para sineas kerapkali mengeksploitasi para tokoh patriotik yang pernah hidup pada jamannya dulu. Salah satunya adalah Qiu Jin, pendekar wanita yang tidak banyak dikenal orang dibandingkan nama-nama lain yang lebih populer, sebut saja Dr Sun Yat-sen yang juga muncul dalam film terbaru Jackie Chan, 1911.
Qiu Jin dengan gelar "Sang pendekar wanita dari Danau Kaca" secara teguh memperjuangkan kesetaraan antara pria dan wanita selama akhir masa pemerintahan Dinasti Qing. Pendidikan diyakini menjadi modal awal yang mampu mengangkat martabat kaumnya dibandingkan hanya “dirumahkan” baik sebagai istri ataupun selir tanpa keterampilan apapun. Pemerintahan Manchu yang korup juga membakar semangat Qiu Jin untuk memimpin gerakan pemberontak walau nyawa sebagai taruhannya.
Sutradara Herman Yau tenar karena franchise Ip Man yang digarapnya meskipun film kelas B pun pernah digarapnya yakni Ebola Syndrome. Seni beladiri yang disuguhkan disini memang jauh berbeda dari wing chun karena sudah banyak menggunakan persenjataan dunia barat seperti pistol ataupun senapan. Setting lokasi sendiri sebetulnya sudah merupakan production value yang bagus untuk dinikmati, hanya saja diperburuk dengan penggunaan alat bantu disana-sini seperti kawat dsb.
Aktris Huang Yi berhasil memerankan Qiu Jin yang intelek dalam tutur kata sekaligus tangguh dalam berkelahi. Pengenalan karakternya sedari kecil hingga dewasa turut menjelaskan pada penonton bahwa Qiu Jin memiliki determinasi tinggi untuk memenuhi takdirnya walaupun harus mengorbankan perannya sebagai istri dan ibu dua anak yang semakin menjauh. Semua pemeran pendukung mulai dari Kevin Cheng, Suet Lam, Pat Ha, Anthony Wong sampai Alex To sukses menerangkan fase kehidupan Huang Yu dari masa ke masa.
Tak diragukan lagi, The Woman Knight of Mirror Lake adalah biografi historis yang disusun melalui serangkaian penelitian terorganisir. Sayangnya koreografi silatnya terasa kurang tradisional sehingga mengurangi unsur keotentikannya. Transisi maju mundur setting waktu juga tidak mampu tereksekusi secara konsisten sehingga terkadang penonton kebingungan. Daya tarik film jelas ada di Huang Yi yang pantang menyerah menyuarakan revolusi melawan kekuatan yang lebih tinggi hingga bersedia mengorbankan dirinya sendiri untuk tujuan mulia. Jangan lupa bahwa sosok pejuang wanita macam Qiu Jin pernah pula kita miliki dalam nama Tjut Nyak Dien ataupun R.A. Kartini.
Durasi:
115 menit
Overall:
7 out of 10
Movie-meter:
Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
Selasa, 21 Februari 2012
SEANDAINYA : Cinta Instan Penyakit Kambuhan
Quotes:
Arkana: Cinta, malem ini kita ngedate kan? Kan gua anterin pulang.
Nice-to-know:
Diproduksi oleh Rapi Films dimana press screeningnya diadakan di fX Platinum pada tanggal 20 Februari 2012.
Cast:
Dinda Hauw sebagai Cinta
Chris Laurent sebagai Arkana
R Suwandata sebagai Papa
Rendy Kjaernett sebagai Jay
Cut Meyriska
Director:
Merupakan film kedua Nayato Fio Nuala di tahun 2012.
W For Words:
Baru dua minggu lalu penonton disuguhi Bila dari Chiska Doppert, kini Nayato rupanya tidak mau kalah dengan anak didiknya dengan merilis drama menye-menye yang lagi-lagi mengisahkan penyakit. Jika Chiska menggunakan dua bintang muda gres maka Nayato lebih percaya pada dua idola remaja populer dalam wujud Chris Laurent dan Dinda Hauw. Skripnya sendiri ditulis oleh Anggoro Saronto yang baru saja menyelesaikan Malaikat Tanya Sayap yang juga rilis dua minggu lalu. Kebetulan sekali!
Dunia Cinta memang sunyi karena hanya hidup berdua saja dengan ayahnya yang bisu tuli. Semua mulai berubah saat Arkana masuk ke dalam hidupnya. Sayangnya Papa melarang hubungan tersebut karena Arkana dianggap anak berandalan yang bisa mengubah Cinta yang sebetulnya sakit keras. Halangan itu membuat Cinta dan Arkana sepakat untuk backstreet dan belajar arti cinta yang sesungguhnya dimana perasaan ketakutan akan kehilangan itu sangat sulit dihindari.
Bicara tentang chemistry harus diakui Chris Laurent dan Dinda Hauw masing-masing memiliki wajah yang menarik. Namun menyatukan keduanya sebagai pasangan? Nanti dulu. Dialog-dialog yang tercipta di antara keduanya termasuk menggelikan, tidak heran karena hubungan cinta mereka diciptakan begitu instan hanya dalam hitungan jam! Coba bayangkan berseminya asmara di perpustakaan sekolah yang herannya bisa terkunci di siang bolong? Perhitungan 1+1=11 bisa jadi dibenarkan di lembaga pendidikan semacam ini.
Nayato bahkan tega memangkas berbagai proses “penting” yang bermanfaat sebagai pembangun konflik. Selain percintaan Arkana dan Cinta, pergaulan keduanya dengan teman-teman sebaya yang notabene satu sekolahan itu patut dipertanyakan, belum lagi problematika rumah tangga ayah dan ibu Arkana yang seakan tidak berkorelasi pada pribadi remaja putra itu. Mungkin karena itulah Arkana menyukai musik sebagai pelarian, sampai memakai headphone “anti hujan” dan “anti keringat” di sepanjang waktunya. Tolong belikan dua set untuk saya!
Penjelasan bagaimana Cinta bisa menjadi anak Papa bahkan bisa dianalogikan seperti Po dalam Kungfu Panda. Hell yeah. Brilliant! Satu lagi, ternyata Papa Cinta bukan bisu-tuli seperti dalam sinopsisnya, ia hanya mengalami gangguan berbicara secara normal dan nyatanya masih bisa mendengar setiap tutur kata putrinya tanpa alat bantu sekalipun (apakah dengan membaca gerak bibir, tidak dijelaskan). Cinta juga tidak digambarkan sebagai anak berbakti yang tulus menyayangi ayah angkatnya itu. Kasihan!
Seandainya jelas gagal menghadirkan minat penonton untuk dapat benar-benar terhanyut dalam melodrama ini apalagi bersimpati pada kemalangan para karakternya yang jujur saja terasa disengaja. Jika bermaksud menikmati gambar-gambar indah, anda lebih baik menghadiri pameran fotografi yang banyak tersebar di seantero kota besar Indonesia. Ah seandainya saja Nayato mau menggali kreatifitas dalam dirinya lewat karya-karya yang positif, bukan menyamaratakan setiap skrip yang hinggap ke tangannya.
Durasi:
82 menit
Overall:
6 out of 10
Movie-meter:
Minggu, 19 Februari 2012
THIS MEANS WAR : (Not) A Spy Movie But Bromance Rivalries
Quotes:
Lauren: Oh, I think I'm going to hell.
Trish: Don't worry. If you're going to hell, I'll just come pick you up.
Nice-to-know:
Sam Worthington, Colin Farrell, Justin Timberlake dan Seth Rogen sempat dipertimbangkan untuk dua pemeran utama sebelum terpilih Chris Pine dan Tom Hardy pada akhirnya.
Cast:
Reese Witherspoon sebagai Lauren
Chris Pine sebagai FDR Foster
Tom Hardy sebagai Tuck
Til Schweiger sebagai Heinrich
Angela Bassett sebagai Collins
Chelsea Handler sebagai Trish
Director:
Merupakan film kelima bagi McG yang terakhir menggarap Terminator : Salvation (2009).
W for Words:
Premis cinta segitiga yang dibumbui dengan persaingan antar agen rahasia dalam menjalankan misi masing-masing. Hm, sepintas terdengar klise dan tidak terlalu istimewa. Namun melihat nama Tom Hardy dan Chris Pine yang tengah naik daun di Hollywood sebagai dua pentolannya sekaligus sang America’s sweetheart Reese Witherspoon pada jajaran castnya, bisa jadi anda menaruh ekspektasi tinggi. Sebaiknya tidak, karena anda mungkin akan kecewa pada akhirnya.
Dua agen CIA kelas atas yaitu Tuck dan FDR tengah menuntaskan misi menangkap bandit internasional bernama Heinrich. Saat rehat, FDR menyarankan Tuck untuk pergi berkencan dengan gadis yang baru dikenalnya lewat internet, Lauren. Di luar dugaan, Lauren justru tanpa sengaja bertemu FDR sepulang pertemuan dengan Tuck. Kedua agen yang sama-sama berani mati demi menyelamatkan nyawa masing-masing ini pun terlibat persaingan cinta yang ketat hingga melibatkan cara-cara yang tidak sehat.
Sutradara McG nampaknya tahu bagaimana menyatukan para bintang tersebut untuk bekerjasama secara maksimal di depan kamera. Jalan ceritanya memang mudah ditebak tapi untungnya dialog yang tercipta di antara karakter yang terbatas itu cukup bergigi, terlebih perkataan ceplas-ceplos menggigit dari Chelsea Handler yang provokatif untuk memancing tawa itu. Adegan aksi yang minimal lebih tepat disebut sebagai latar belakang cerita tapi masih cukup krusial di berbagai lini terutama di bagian pembuka dan penutup.
Jualan utama duet Pine dan Hardy terbukti dinamis. Tokoh FDR dan Tuck sama-sama pria tangguh yang berbagi chemistry bromance dan rivalitas secara memikat. Lihat bagaimana keduanya memanfaatkan teknologi canggih untuk saling mendahului. Sebagai penyeimbang, Witherspoon mungkin tidak semenarik dalam film-film bergenre sejenis terdahulu tetapi tokoh Lauren di tangannya benar-benar feminin dengan logika dan perasaan yang kerapkali bertentangan.
This Means War tampaknya berupaya menjangkau audiens yang lebih luas dengan plot cerita yang disuguhkan oleh penulis Timothy Dowling dan Marcus Gautesen ini. Jelas bukan action spy yang megah atau tipikal komedi boys and girls yang jenaka ataupun romance flick yang penuh tarik ulur tetapi McG mengemasnya dalam standar “jalan tengah” yang lumayan menghibur. Manjakan mata anda dengan aksi keren Hardy dan Pine dalam setelan kemeja dan jas yang perlente atau kebingungan Witherspoon dalam menjatuhkan pilihan yang sama beratnya. The most important thing is who’s ur pick from the very start?
Durasi:
98 menit
U.S. Box Office:
Overall:
7.5 out of 10
Movie-meter:
Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
Sabtu, 18 Februari 2012
THE VOW : Second Tries Happily Marriage Challenge
Quotes:
Leo: Life's all about moments, of impact and how they changes our lives forever. But what if one day you could no longer remember any of them?
Nice-to-know:
Café dimana Paige bekerja dan menjadi tempat pertemuan rutin Leo-Paige bernama Mnemonic yang berarti pula alat yang - a mnemonic or mnemonic device is a learning technique used to help memory.
Cast:
Rachel McAdams sebagai Paige
Channing Tatum sebagai Leo
Jessica Lange sebagai Rita Thornton
Sam Neill sebagai Bill Thornton
Scott Speedman sebagai Jeremy
Director:
Merupakan debut penyutradaraan Michael Sucsy.
W for Words:
Terpikirkah anda jika pasangan hidup anda kehilangan semua memori tentang anda? Stuart Sender menggagas ide tersebut berdasarkan sebuah kisah nyata yang kemudian dituangkan dalam bentuk skrip oleh Jason Katims, Abby Kohn dan juga Marc Silverstein. Tema serupa pernah dihadirkan sebelumnya sebut saja 50 First Dates (2004) ataupun A Moment To Remember di tahun yang sama tentunya dengan alasan medis yang berbeda-beda sebagai latar belakangnya.
Leo dan Paige adalah pasutri muda berbahagia yang tengah mengarungi rumah tangga mereka. Sayangnya sebuah kecelakaan mobil mengakibatkan Paige koma hingga terbangun tanpa mengingat apapun dalam 5 tahun terakhir termasuk tidak mengenali Leo samasekali. Kecintaan Leo lantas membangkitkan usaha kerasnya untuk membuat Paige mengenang kembali apa yang mereka miliki walau bertentangan dengan masa lalu Paige yang sesungguhnya ingin ia lupakan.
Rachel McAdams menjiwai peran dengan cukup baik sehingga tercipta Paige yang menyenangkan dengan kepribadian kuat nan hangat sehingga mampu menarik simpati penonton. Sedangkan Channing Tatum terlepas dari kelebihan fisiknya yang memukau nyatanya masih memperlihatkan akting yang kurang luas sebagai Leo. Aktor aktris senior Sam Neill dan Jessica Lange tampak pas dengan peran orangtua perfeksionis, sama halnya dengan Scott Speedman dengan tokoh mantan brengsek yang sedikit banyak mampu melibatkan emosi penonton.
Pertanyaan yang harus dijawab di sepanjang film adalah dapatkah Paige mengingat semuanya kembali atau maukah ia untuk setidaknya mencoba melakukannya? Konflik dilematis yang diyakini mampu mengaduk-aduk perasaan siapapun yang menyaksikan upaya maksimal Leo yang terkadang kehilangan akal harus bagaimana lagi. Secara film ini diangkat dari kejadian sesungguhnya pada satu titik anda akan meragukan hasilnya apakah mereka akan berakhir bahagia atau tidak.
The Vow mungkin bukanlah cerita cinta terindah yang pernah difilmkan tetapi film ini cukup berbicara banyak mengenai komitmen dua insan terlebih dirilis bersamaan dengan momen hari kasih sayang. Niscaya anda akan tergugah oleh penderitaan Paige ataupun tersentuh oleh jerih payah Leo yang mengalir secara nyata. Tak dipungkiri, momen demi momen akan terus kita temui dalam menjalani hidup, baik ataupun buruk, hingga yang tersisa adalah kenangan itu sendiri yang seringkali terakumulasi tanpa mengenal kesadaran penuh. Siap untuk berikrar?
Durasi:
107 menit
U.S. Box Office:
$41,202,458 opening week of Feb 2012.
Overall:
8 out of 10
Movie-meter:
Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent