Storyline:
Thufa tengah bimbang saat kliennya memutuskan untuk memakai jasa penyanyi dangdut senior Rhoma Irama untuk pentas panggungnya padahal ia telah berjanji pada kekasihnya Delon yang penyanyi pop untuk tampil. Belum selesai memutuskan, teman semasa kecilnya Ridho pulang ke Indonesia karena dipanggil ayahnya dengan tugas menciptakan nuansa baru pada musik dangdut yang didaulat musik asli tradisional Indonesia. Ridho sendiri tengah dekat dengan Haura Sydney, mahasiswi Australia yang sedang membuat karya tulis di Indonesia. Konflik cinta segitiga tersebut semakin memuncak ketika kepentingan demi kepentingan seakan saling bertubrukan. Siapa yang akhirnya dipilih Thufa dan bagaimana Ridho dapat menjawab tantangan ayahnya itu?
Nice-to-know:
Diproduksi oleh Rumah Kreatif 23
Cast:
Rhoma Irama
Ridho Rhoma
Cathy Sharon
Delon
Pepeng Naif
Director:
Endri Pelita & Asep Kusdinar
Comment:
Kesan paling tepat menggambarkan film ini menurut saya adalah tidak fokus! Duet sutradara Endri dan Asep memegang peranan yang sangat penting disini, Endri merangkap sebagai produser dan Asep memegang posisi penulis. Keduanya tampak terlalu ambisius menyajikan suatu tontonan yang mumpuni dari berbagai lini. Alhasil konsep cerita menjadi tercerai-berai tidak karuan. Coba bayangkan sebagai berikut:
Pertama, ada sang legenda Rhoma Irama yang berusaha menginspirasi sebagai tokoh dangdut kenamaan Indonesia. Ia mencoba memperkenalkan putranya yang baru pulang studi dari luar negeri sekaligus mempertahankan kharismanya sendiri. Lihat beberapa scene yang mempertontonkan ilmu kanuragan dan kearifan guru besar yang dimiliki Rhoma. Masih cukup menjual rasanya.
Kedua, ada cinta segitiga antara Ridho, Cathy dan Delon. Jujur saja ketiganya tidak berbagi chemistry dengan baik. Beruntung dari segi akting, Cathy masih cukup konsisten lumayan menutupi kekurangan Ridho dan Delon yang seringkali terlihat canggung kalau tidak mau dikatakan aneh di sebagian besar scene yang mereka lakukan kecuali scene menyanyi tentunya!
Ketiga, ada penggemar berat Ridho yang berprofesi sebagai supir taksi. Subplot tambahan ini dibuat untuk memperpanjang konflik walau menjadi tidak terintegrasi dengan baik ke dalam bangunan cerita. Ending yang melibatkan tokoh ini teramat sangat ganjil dan terlalu didramatisir.
Keempat, ada tokoh gadis bule yang entah darimana terpikir membuat karya tulis 200 halaman tentang dangdut?! Lihat bagaimana dengan mudahnya ia terpikat pada sosok Ridho dan mau terlibat dalam semua hal berbau dangdut tersebut. Weird!!
Sinematografi yang ditampilkan sedikit bernuansa film tahun 1980an yang sayangnya tidak didukung oleh editing yang baik terutama saat pergantian scene sehingga terkesan seperti meloncat-loncat dari satu potongan klip ke yang lainnya. Musik latar yang disuguhkan malah lebih terasa India dibandingkan Melayu, entah jika kuping saya yang salah tangkap. Pada akhirnya Dawai 2 Asmara hanyalah sebuah proyek idealis yang dibuat dengan semangat tinggi tetapi belum memberikan hasil maksimal sebagai suatu tontonan utuh yang solid dari berbagai aspek.
Durasi:
100 menit
Overall:
7 out of 10
Movie-meter:
6-sampah!
6.5-jelek ah
7-rada parah
7.5-standar aja
8-lumayan nih
8.5-bagus kok
9-luar biasa
Begitulah, segala sesuatu pasti ada kurang dan lebihnya, kekurangannya terasa dominan sebab yang merasakan memang sudah nggak suka dari awalnya begitu sebaliknya. Maka apapun pendapat yang muncul adalah bijaksana jika tidak hanya menampilkan sisi jeleknya
BalasHapusMas Abdul Haris, kami sebagai reviewer sedapat mungkin netral dalam menilai suatu karya seni. Seperti yang anda lihat, saya menonton semua jenis film tanpa melihat genre ataupun orang2 yg terlibat di dalamnya. Coba posting disini penilaian anda pribadi dan mungkin bisa dijadikan bahan diskusi bersama. Salam
BalasHapus