Selasa, 16 Desember 2014

PENDEKAR TONGKAT EMAS : Saksi Tak Hidup Dari Aksi Balas Dendam

Quote:
Cempaka: Aku tidak takut mati. Namun tidak ada ilmu silat yang membuat seseorang hidup selamanya dan terhindar dari kematian.

Nice-to-know:
Xiong Xin Xin alias Hung Yan-yan adalah pesilat, aktor, stuntman, dan sutradara laga kelahiran Hong Kong, 25 Februari 1965. 

Cast:
Eva Celia sebagai Dara
Nicholas Saputra sebagai Elang
Reza Rahadian sebagai Biru
Tara Basro sebagai Gerhana
Christine Hakim sebagai Cempaka
Aria Kusumah sebagai Angin
Slamet Rahardjo sebagai Dewan Tertinggi
Whani Dharmawan sebagai Sayap Merah
Darius Sinathrya sebagai Naga Putih
Prisia Nasution sebagai Cempaka muda
Landung Simatupang sebagai Guru Sepuh


Director:
Merupakan film ke-15 bagi Ifa Isfansyah setelah 9 Summers 10 Autumns (2013).

W For Words:
Komik silat Indonesia pernah mencapai puncak kejayaan di era tahun 70an hingga 80an. Termasuk beberapa di antaranya sukses diadaptasi ke layar lebar seperti Si Ayub Dari Teluk Naga (1979), Jaka Sembung (1981), Pendekar Bukit Tengkorak (1987), trilogy Angling Darma, Wiro Sableng ataupun Saur Sepuh. Produser handal kenamaan Mira Lesmana sudah memiliki cita-cita untuk membangkitkan kembali genre yang satu ini semenjak delapan tahun yang lalu sebelum akhirnya mendapat dukungan penuh dari KG Studio di tahun 2012. Perjalanan Pendekar Tongkat Emas pun dimulai!

Pendekar yang disegani dan dihormati, Cempaka mulai menua. Pada suatu hari ia memanggil keempat anak didiknya yaitu Biru, Gerhana, Dara dan Angin untuk mewarisi Tongkat Emas. Sayangnya pembunuhan dan pengkhianatan terjadi hingga mahasenjata itu menjadi incaran banyak pihak. Satu-satunya yang menguasai jurus handal tersebut adalah Naga Putih yang telah lama menghilang. Dua murid Cempaka yang tersisa pun bertekad menemukannya sebelum dunia persilatan menjadi kacau karena dikuasai orang-orang yang salah.

Skenario yang ditulis oleh Jujur Prananto, Mira Lesmana, Ifa Isfansyah dan Seno Gumira Ajidarma ini seperti komiknya memang lebih menitikberatkan pada ‘drama’ yang terjadi di antara para karakternya. Bagaimana luapan ekspresi dan kecamuk emosi kerap membingkai setiap tindakan yang ada. Garis batas abu-abu yang memisahkan benar dan salah pun terkadang bias karena kepentingan yang mendasarinya. Sejak awal, anda langsung digiring untuk mengenal karakteristik empat murid Cempaka sebelum mencerna konflik utama yang digulirkan secara sederhana ini.

Kapabilitas Ifa yang meraih Piala Citra melalui Sang Penari (2011) di kursi sutradara memang tak perlu diragukan lagi. Setting dunia persilatan berhasil dibangun di Sumba terlepas dari kendala cuaca dan keterbatasan sumber daya. Pegunungan, perbukitan, lembah, danau, lautan di bawah hamparan langit biru dan sinar matahari yang kuat turut memperkaya unsur sinematiknya yang diambil menggunakan kamera Red Dragon. Dukungan penata laga pro dari Hongkong, Xiong Xin Xin kian menghidupkan setiap adegan tarung secara meyakinkan mulai dari menit pertama hingga terakhir.

Dua aktor ‘beda generasi’ beradu akting untuk pertama kalinya di layar lebar, Nicholas Saputra dan Reza Rahadian memang terpaut satu dekade dalam mencapai masa keemasannya. Tokoh Biru dan Elang yang kontradiktif mampu dihidupkan secara cemerlang. Eva Celia dan Tara Basro pun tak kalah memikat sebagai Dara dan Gerhana. Penampilan si cilik Aria Kusumah berhasil mencuri perhatian. Aktris senior Christine Hakim membuka film dengan narasi yang begitu meyakinkan. Dua aktor kawakan, Slamet Rahardjo dan Landung Simatupang juga menambah solid jajaran cast nan variatif ini.
Perjuangan tim filmmaker selama proses produksi lebih dari 2 tahun dengan biaya yang mencapai 25 milyar telah terbayar lunas. Perjuangan para pendekar untuk menjaga harkat, martabat dan harga dirinya sekaligus menegakkan kebenaran dan keadilan sudah tersaji sebagai tontonan yang cukup ‘berisi’ selama nyaris dua jam. Pada akhirnya Tongkat Emas hanyalah simbolisasi saksi tak hidup dari sebuah perwujudan aksi balas dendam terhadap obsesi yang harus dituntaskan. Mengalahkan atau dikalahkan, begitulah takdir pendekar.

Durasi:
112
menit

Overall:
8 out of 10

Selasa, 09 Desember 2014

STAND BY ME DORAEMON : Childhood Friendships Last Forever

Quote:
Nobita: No! Don’t go, Doraemon!
Doraemon: You’ll be fine without me.

Nice-to-know:
Berbeda dari film-film Doraemon sebelumnya, Stand By Me Doraemon menggunakan animasi 3DCG yang dikerjakan sejak Juni 2010 sekaligus memperingati ulang tahun ke-80.

Cast:
Wasabi Mizuta
sebagai Doraemon
Megumi Ohara
sebagai Nobita
Yumi Kakazu
sebagai Shizuka
Tomokazu Seki
sebagai Suneo
Subaru Kimura
sebagai Gian
Yoshiko Kamei
sebagai Sewashi
Vanilla Yamazaki
sebagai Jaiko
Shihoko Hagino
sebagai Dekisugi
Wataru Takagi
sebagai Sensei
Kotono Mitsuishi
sebagai Ibu Nobita
Yasunori Matsumoto
sebagai Ayah Nobita
Miyako Takeuchi
sebagai Ibu Gian
Aruno Tahara
sebagai Ayah Shizuka
Satoshi Tsumabuki
sebagai
Nobita dewasa

Director:
Merupakan film kesepuluh bagi Takashi Yamazaki yang kali ini didampingi debutan Ryuichi Yagi.

W For Words:
Saya dan kamu bersama generasi di atas dan di bawah kita sekalipun tidak akan pernah melewatkan aksi robot kucing maha penolong mulai dari versi komik, serial televisi hingga seri layar lebarnya. Demi memperingati ulang tahun ke-80, karya yang tercetus lewat kreatifitas Fujiko F. Fujio ini kembali digagas dalam format layar lebar. Kompilasi cerita lama yang terstruktur rapi dalam sebuah jalinan kisah utuh, berawal dari perkenalan sampai berujung pada perpisahan(?). Poster dan trailernya yang memang menjual ‘haru’ telah membangkitkan rasa penasaran bagi para fansnya di seluruh dunia sejak beberapa bulan lalu. Beruntung publik Indonesia bisa menyaksikannya melalui jaringan bioskop Blitzmegaplex dan Cinemaxx.













Bocah lelaki canggung berusia 10 tahun, Nobita kerap ditimpa kemalangan. Tidak pernah mendapat nilai baik di sekolah, kerap dimarahi guru dan orangtua hingga dijahili teman-temannya. Pada suatu ketika, Sewashi yang merupakan keturunan Nobita dari abad 22 membawa robot kucing untuk mengubah nasib kakek buyutnya tersebut. Misi Doraemon adalah menolong Nobita dengan berbagai peralatan canggih di kantong ajaibnya. Lambat laun keduanya mulai akrab sampai tiba waktunya Doraemon harus kembali ke masanya sekaligus melepaskan Nobita hidup mandiri. 












Secara plot, feature movie terbaru ini tidak memiliki masalah samasekali bagi para pembaca setia Doraemon. Namun bagi penonton yang samasekali awam rasanya akan sulit mencerna karena minimnya pengenalan latar belakang setiap karakter kunci yang digambarkan lewat satu dua kejadian sehari-hari saja. Beruntung eksplorasi chemistry antara Doraemon dan Nobita atau Nobita dan Shizuka terbilang berhasil dimaksimalkan sehingga amat membantu pergerakan momentum rasa dari A ke B dan seterusnya di sepanjang durasi. Tuntunan rasa yang begitu kontradiktif di paruh awal dan akhir pun mampu dicapai dengan baik.

Secara teknis, penggambaran karakter Shizuka lah yang terasa agak berbeda karena matanya dibuat lebih besar dan dagu yang lebih tajam. Sedangkan Doraemon dan Nobita mengandalkan bentuk iris mata yang variatif selain tentunya mulut untuk ‘berbicara’. Teknik animasi 3DCG terbilang efektif dalam menerjemahkan visual yang diinginkan, lengkap dengan kontras warna-warni yang dipilih sedemikian rupa. Penggambaran setting masa depan yang futuristik dan juga perjalanan mesin waktu yang spektakuler memikat adalah dua poin plus yang membuat anda wajib menyaksikan ini di layar lebar! Tanpa perlu dipertanyakan, efek 3D jelas akan menambah daya tariknya.

Dubbing yang dilakukan Wasabi Mizuta, Megumi Ohara, Yumi Kakazu dan kawan-kawan mampu menerjemahkan emosi dalam menghidupkan karakter masing-masing. Penggarapan scoring music terutama pada bagian sedih efektif menggugah perasaan penonton untuk menggulirkan air mata. Lagu tema, Himawari no Yakusoku yang dinyanyikan Motohiro Hata bisa jadi akan tinggal lama di benak anda, terlebih ketika menyaksikan end credit roll dimana suguhan rangkaian bloopers kocak akan menahan anda untuk tetap duduk di bangku bioskop.
Stand By Me Doraemon adalah sebuah pemenuhan fantasi sekaligus perjalanan nostalgia yang kompeten, ditujukan bagi semua orang yang pernah mengalami masa kanak-kanak. Mengapa tidak? Pada satu titik, mungkin anda pernah menjadi Nobita, Shizuka, Giant, Suneo ataupun Dekisugi. Bagaimana persahabatan mampu menjelma sebagai kekuatan yang mendorong kita untuk tumbuh bersama. Bagaimana tekad tinggi bisa menjadi modal utama dalam menaklukkan rasa takut sekaligus meraih mimpi semustahil apapun. This movie is about growing-up and leaving childhood behind, with or without ‘it’!

Durasi:
95 menit

Overall:
8.5 out of 10


Movie-meter:

Selasa, 23 September 2014

TABULA RASA : Sajian Beriktikad Baik Menggugah 'Rasa’



Quote:
Natsir: Aneh-aneh sajo rumah makan kito ini. Lebih banyak bertengkarnyo daripada memasaknyo.

Nice-to-know:
Film yang proses syutingnya berlangsung selama 30 hari dari Jan-Feb 2014 dimana lokasi mencakup Jakarta, Cileungsi-Bogor dan juga Serui-Papua ini menandakan kali pertamanya aktor papan atas Indonesia, Vino G. Bastian bertindak sebagai associate producer.


Cast:
Dewi Irawan sebagai Mak
Jimmy Kobogau sebagai Hans
Yayu Unru sebagai Parmanto
Ozzol Ramdan sebagai Natsir


W For Words:
Jika anda diminta untuk menyebutkan film kuliner mancanegara yang berkesan mungkin akan hadir judul-judul semacam Eat Drink Man Woman (1994), Chocolat (2000), Mostly Martha (2001), No Reservations (2007), Le Grand Chef (2007) Julie & Julia (2009) atau bahkan animasi Ratatouille (2007) dan yang juga akan segera beredar yakni Chef (2014) milik Jon Favreau. Tak jarang seusai menonton ada rasa hangat, dan juga lapar yang menyertai karena keberhasilan filmmaker mengemas produk tersebut. Kini pada kuartal ketiga tahun 2014 ini hadirlah persembahan terbaru dari Lifelike Pictures dengan tema serupa tapi tak sama. Penasaran?

Pemuda asal Serui, Hans bercita-cita menjadi pesepakbola profesional tapi kondisi kakinya tidak mengijinkan itu. Putus asa setelah bekerja serabutan, ia berjumpa Mak yang membawanya ke rumah makan Minang sederhana miliknya. Keputusan tersebut lantas ditentang oleh juru masak, Parmanto dan sang pelayan, Natsir. Namun Mak bertahan, bahkan mengajarkan Hans memasak. Kehadiran rumah makan baru yang lebih besar di depan mereka membuat keempatnya harus menyelesaikan perselisihan yang ada demi kelangsungan lapau mereka yang terancam bangkrut tersebut. 

Skrip yang ditulis oleh Tumpal Tampubolon ini sejak menit awal memang langsung memperkenalkan empat karakter utama kepada penonton dengan segala keunikan karakternya masing-masing. Sutradara Adriyanto Dewo juga secara terampil membatasi ruang ‘bermain’ mereka yaitu restoran Padang dan pasar saja sehingga fokus cerita tidak lari kemana-mana. Bagaimana hubungan kekerabatan dapat terjalin harmonis melalui percikan konflik pertemuan budaya Minang dan Papua ataupun motif uang yang (lagi-lagi) mengiringinya. Toh pada akhirnya kebutuhan sosial antar manusia tidak dapat dipungkiri. 

Debutan Jimmy Kobogau tampil menawan. Terlepas dari kepingan hilang dari latar belakang tokoh ini pada prolog nya, Hans terus ‘berjalan’ membangun jati dirinya di sepanjang film. Akting Dewi Irawan tidak perlu diragukan lagi sebagai Mak yang tengah berupaya berdamai dengan masa lalunya yang pilu. Ozzol Ramdan mungkin tokoh yang paling ‘lempeng’ di sini tetapi justru paling efektif menggugah tawa penonton dengan segala polah tingkahnya. Sedangkan Yayu Unru diplot sedemikian rupa untuk menjadi ‘pemicu’ walau tidak mencapai titik ekstrim sekalipun. Ada sinergi yang berkesinambungan antara satu sama lain sehingga penonton bisa mengikuti secara runut sekaligus peduli kepada karakter mereka. 

Kita patut bersyukur bahwa produser Sheila Timothy, yang memang saya kenal amat mencintai dunia kuliner Indonesia ini, mau bersusah payah membangun iktikad baik bersilaturahmi lewat masakan dalam film kuliner lokal pertama dengan menu andalan gulai kepala ikan dan rendang Batokok ini. Serangkaian proses riset menyeluruh mulai dari Minang hingga Serui pun dijalani, lengkap dengan segala pernak-pernik otentik yang ditampilkan dalam dapur rumah makan Minang Takana Juo tersebut. Alhasil, Tabula Rasa adalah sebuah sajian yang menggugah ‘rasa’, baik secara istilah maupun harfiah, yang tak hanya memanjakan selera tetapi juga sukses menyentuh kalbu anda.

Durasi:
107 menit

Overall:
8 out of 10

Movie-meter:

Originally written for Reader's Digest Indonesia. This review also can be found at:

Sabtu, 22 Maret 2014

DIVERGENT : Defying All Odds For Self-Discovery

Quote:
Beatrice 'Tris' Prior: And what if they already know?
Tori: Then you're already dead.


Nice-to-know:
In The Fault in Our Stars (2014), Shailene
dan Ansel memerankan sepasang kekasih sedangkan kali ini sebagai kakak beradik.

Cast:
Shailene Woodley sebagai Tris
Theo James sebagai Four
Ashley Judd sebagai Natalie
Jai Courtney sebagai Eric
Ray Stevenson sebagai Marcus
Zoë Kravitz sebagai Christina
Miles Teller sebagai Peter
Tony Goldwyn sebagai Andrew
Ansel Elgort sebagai Caleb
Maggie Q sebagai Tori
Mekhi Phifer sebagai Max
Kate Winslet sebagai Jeanine 


Director:
Merupakan feature film kelima bagi Neil Burger setelah Limitless
(2011).

W For Words:
Kesuksesan novel-novel remaja yang berintisari pencarian jati diri memang memicu pergerakan para filmmaker Hollywood untuk mengadaptasinya ke layar lebar dengan harapan hasil yang tak jauh berbeda, sebut saja The Hunger Games, Harry Potter series ataupun Twilight saga yang sangat high profile tersebut. Trend itu lantas dilanjutkan oleh Neil Burger yang mengangkat karya pertama Veronica Roth dari rangkaian trilogi sebagai sci-fi action drama yang sejauh ini berhasil meraup 58 juta dollar di minggu pertama peredaran Amerika Serikat saja. It’s a pretty good start actually!

Chicago di masa depan paska peperangan membagi masyarakatnya ke dalam lima faksi yaitu Candor (penjunjung kejujuran), Erudite (cendekiawan), Dauntless (pemberani), Amity (pecinta kedamaian) dan Abnegation (penolong tanpa pamrih). Tes yang dijalani Beatrice Prior di usia 16 mengelompokkan dirinya sebagai Divergent alias golongan di luar kelima faksi yang berarti hukuman mati. Keputusan nekad diambil ketika ia bergabung dengan Dauntless dan mengganti nama menjadi Tris hingga bertemu pemimpin kelompok, Four yang membantunya dengan tulus.

Duo penulis skrip, Evan Daughterty dan Vanessa Taylor berupaya semaksimal mungkin untuk mengatur pacing di bagian pembuka ini. Bagaimana premis dibuka lewat proses introduksi sosial politik masyarakat ‘masa depan’ sekaligus penjelasan latar belakang beberapa tokoh inti yang memadai. Kemudian serangkaian tes ekstrim yang diyakini mampu menyita perhatian pun dijalankan dimana keberpihakan penonton langsung diarahkan kepada Tris yang ‘baru’ sebelum sepak terjangnya di paruh terakhir yang terasa berpacu dengan waktu demi konklusi besar yang diharapkan mampu menjembatani seri berikutnya. 

Upaya sutradara Burger dalam membangun dunia futuristik patut diacungi jempol mengingat bujet yang tidak tergolong besar untuk sebuah proyek ambisius milik Summit Entertainment ini. Terima kasih atas bantuan green screen dan CGI yang walaupun sebetulnya tak terlalu istimewa tapi tetap menjaga standarisasi surreal yang dibutuhkan. Sinematografi yang cukup apik dari Alwin H. Küchler membuatnya layak disaksikan dalam format IMAX sekalipun. Berbagai action sequences nya dilakukan sesuai kebutuhan cerita agar pacingnya terjaga mengingat durasi film yang lumayan panjang tersebut.

Senang melihat Woodley akhirnya mendapat kesempatan bersinar setelah sebelumnya mencuri perhatian dalam The Descendants (2011). Lihat bagaimana Beatrice bertransformasi menjadi Tris dengan rentang emosi yang cukup panjang. Seorang heroine yang tak hanya cantik tapi juga berani menerima tantangan. James juga tak kalah memikat sebagai Four yang dingin misterius tapi cekatan luar biasa. Chemistry keduanya memang tak jarang terasa dipaksakan demi membumbui cerita. Toh pada akhirnya kita 'wajib' mengerti jika perjalanan dua protagonis saling jatuh hati tentunya akan lebih menarik untuk disimak.

Menarik menyaksikan Winslet berperan sebagai antagonis Jeanine terlepas dari minimnya screen presence di sepanjang film. Porsi yang sama juga berlaku pada sederetan nama beken senior lainnya semisal Judd, Maggie Q, Stevenson, Goldwyn dan Phifer meski nama yang tersebut di awal masih lumayan memorable. Sedangkan bintang-bintang muda semacam Courtney, Kravitz, Elgort, Lloyd-Hughes, Madsen dll boleh dibilang kian memperkaya karakterisasi hitam putih dalam seri pembukanya kali ini.

Terlepas dari problem pacing yang bergerak lambat di paruh awal dan cepat di paruh akhir, Divergent bukanlah film yang buruk. Penonton potensial yang tertarik mengikutinya bisa jadi berkali-kali lipat dari jumlah pembaca bukunya itu sendiri. Tak heran karena karakter utama yang simpatik dan juga dunia rekaan yang atraktif niscaya menjadi daya pikat tersendiri. Saya yakin petualangan akan terus berlanjut hingga Insurgent dan Allegiant yang diharapkan secara kualitas akan membaik. Who’s in her path for finding self-identity by defying all odds to create a better world?

Durasi:
139 menit

U.S. Box Office:
$58,000,000 till Mar 2014

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter: