Sabtu, 28 September 2013

INSIDIOUS : CHAPTER 2 Lambert’s Horror Saga Goes Full Circle


Quote:
Young Elise Rainier: In my line of work things tend to happen when it gets dark.

Nice-to-know:
Ketika Specs dan Tucker memasuki rumah Elise, terdapat lukisan African Tribal tergantung di dinding. Sama persis dengan yang ada di kamar Daniel dan rumah nenek di Paranormal Activity 2 dan 3.

Cast:
Patrick Wilson sebagai Josh Lambert
Rose Byrne sebagai Renai Lambert
Ty Simpkins sebagai Dalton Lambert
Lin Shaye sebagai Elise Rainier
Barbara Hershey sebagai Lorraine Lambert
Steve Coulter sebagai Carl
Leigh Whannell sebagai Specs
Angus Sampson sebagai Tucker


Director:
Merupakan feature film ketujuh bagi James Wan yang memulainya lewat Stygian (2000).

W For Words:
Masih segar dalam ingatan bagaimana The Conjuring sukses menakuti jutaan penonton Indonesia dua bulan lalu. Film yang kemudian menjadi summer hit dimana-mana bahkan dinobatkan sebagai salah satu horor terbaik sepanjang masa. Berlebihan? Tidak. We all know the mastermind behind it. None other than the talented James Wan. Pria kelahiran Malaysia tersebut, bahkan sebelum dua filmnya di tahun 2013 beredar, sudah menyatakan cukup dengan genre yang satu ini. Kabar yang tidak menggembirakan mengingat tak banyak sutradara yang ahli sepertinya. Namun keputusan tersebut dirasa masuk akal, terlebih semua trik miliknya mungkin sudah dikeluarkan, dimana anda akan mulai terbiasa dibuatnya. His bag of tricks might be empty after this! Let him fastforward to FF7 then.

Kematian misterius cenayang Elise Rainier membuat polisi mencurigai Josh Lambert sebagai pelakunya meski sang istri Renai membela habis-habisan. Mereka sepakat mengungsi ke rumah masa kecil demi suasana baru bersama sepasang putra Dalton-Jordan dan bayi mereka Cali. Lambat laun kelakuan Josh mulai aneh, bersamaan dengan teror supernatural yang menghampiri Renai. Ibu Josh, Lorraine lantas menghubungi rekan lama Elise, Carl untuk menguak misteri masa lalu dengan bantuan dua asisten Elise, Specs dan Tucker di sebuah rumah sakit tua sebelum semuanya benar-benar terlambat.
Dua tahun lalu Insidious menggebrak dengan horor psikologis yang memperkenalkan proyeksi astral. Penulis Whannell dan Wan langsung melanjutkan kejadian dari ending tersebut hingga membentuk satu kesatuan utuh. Klausa sebab akibat dijelaskan melalui dua plot yang berjalan bersisian. Beruntung mereka tidak terang-terangan mendikte logika penonton saat melakukannya. Nalar kita tetap dibiarkan bebas berasumsi sekaligus menganalisa di sepanjang prosesnya. Tidak sulit bagi anda yang memiliki banyak referensi dari puluhan (bahkan ratusan) horror/thriller sebelumnya.

Wilson dan Byrne yang pada prekuelnya mendapat karakter 'linier' kali ini berkesempatan lebih untuk mengeksplorasi kemampuan akting mereka. Shaye yang sebenarnya digambarkan sudah tiada justru masih memegang peranan kunci di sini. Begitupun Hershey yang harus menggunakan ingatan masa lampaunya untuk menarik benang merah dari semua kutukan yang menimpa. Duet pinpinbo Whannell dan Sampson memang berfungsi mencairkan suasana mencekam dengan aksi komedi mereka di beberapa bagian. Si kecil Simpkins yang sebelumnya menjadi sentral cerita di sini kebagian porsi yang minim tapi memorable, terlebih di bagian ber'telepon'. Penampilan Fitzpatrick dan Bisutti terbilang tidak mengecewakan walaupun harus terbantu dengan tim make-up dan wardrobe.
Sutradara Wan memang mahir menerapkan slogan, "It comes when least expected." Adegan-adegan yang dijamin membuat anda terpekik atau terlompat dari kursi. Setting rumah masa kecil Josh yang dominan warna lampu merah kuning temaram dengan ruang yang saling terhubung sudah cukup efisien sebagai panggung bercerita, ditambah lagi dengan rumah sakit terbengkalai yang menyimpan banyak misteri gelap. Konsep ruang dan waktu yang saling bertubrukan mungkin akan menjadi pertanyaan anda. Sah-sah saja mengingat selalu ada 'pintu' psikologis yang bisa menjungkirbalikan seluruh peristiwa. Scoring music dari Joseph Bishara kian memperkuat nuansa creepy yang dibangun. Judul ber font merah dan sound yang mendirikan bulu kuduk yang mengiringinya bahkan masih dipertahankan.

Insidious Chapter 2 terlepas dari pergeseran genre menjadi psychological thriller yang justru lebih menonjolkan kekerasan fisik tetap memikat sebagai tontonan yang tak boleh dilewatkan. Uniknya bagi saya yang beragama Buddha, premis film ini sangat kental dengan hukum karma dan hypnotherapy yang belakangan kerap dibahas. Bagaimana seseorang melacak masa lalunya untuk memperbaiki apa yang salah. Bagaimana karma seseorang bisa mempengaruhi karma orang lain. Tak ada pengulangan formula yang biasanya jadi stereotype sebuah sekuel. It will come in full circle. Another benchmark in Wan's young career that should be fully appreciated. It’s not only about haunted house but keeping what you love most before taken away.

Durasi:
106 menit

U.S. Box Office:
$69,349,509 till September 2013

Overall:
8 out of 10

Movie-meter:

Minggu, 15 September 2013

GROWN UPS 2 : Wasting Time Going Nowhere


Tagline:
Just because they're a little older doesn't mean they've grown up.

Nice-to-know:
Merupakan film sekuel pertama bagi Adam Sandler.

Cast:
Adam Sandler sebagai Lenny Feder
Kevin James sebagai Eric Lamonsoff
Chris Rock sebagai Kurt McKenzie
David Spade sebagai Marcus Higgins
Salma Hayek sebagai Roxanne Chase-Feder
Maya Rudolph sebagai Deanne McKenzie
Maria Bello sebagai Sally Lamonsoff

Director:
Dennis Dugan yang juga dikenal sebagai aktor ini bekerjasama untuk kesekiankalinya dengan Adam Sandler setelah terakhir Jack & Jill (2011).

W For Words:
Bertambah umur tidak selalu menjadikan seseorang lebih dewasa. Coba tanyakan empat sekawan Lenny Feder, Eric Lamonsoff, Kurt McKenzie dan Marcus Higgins yang memulai isu tersebut lewat Grown Ups (2010) yang pada akhirnya sukses meraup pendapatan dua kali lipat biaya produksinya untuk peredaran Amerika Serikat saja. Columbia Pictures dan Happy Madison Productions kali ini menggandeng Sony Pictures Entertainment untuk melanjutkan petualangan pria-pria dewasa tersebut. Permasalahannya apakah satu film dirasa belum cukup dalam menyampaikan esensinya?

Lenny memindahkan keluarganya ke lingkungan tempat tinggalnya dulu dimana ia tumbuh bersama Eric, Kurt dan Marcus. Tentu saja semua tak lagi sama. Lenny terus-terusan ditodong istrinya Roxanne untuk mempunyai bayi lagi, Eric yang selalu mempermasalahkan berat badannya, Kurt yang khawatir putrinya mulai berkencan, Marcus ternyata memiliki seorang putra Braden yang tubuhnya jauh lebih besar. Suasana yang semestinya hangat mulai tak terkendali ketika musuh dan cinta lama Lenny kembali, bersama ratusan anak lelaki asrama yang ingin membuat perhitungan dengan mereka.

Skrip yang masih ditangani oleh Fred Wolf dan Adam Sandler sendiri dengan tambahan Tim Herlihy ini mungkin tak seharusnya ditulis. Entah mengapa fokusnya menjadi kabur, penokohannya melenceng jauh sehingga yang tersisa hanyalah repetitive jokes yang lebih banyak miss daripada hit. Sebagian besar di antaranya keluar dari mulut Lenny (Sandler) yang kerap melecehkan orang-orang di sekitarnya. Permasalahan antar teman, suami-istri, orangtua-anak tanpa garis batas ini kian diperburuk dengan masuknya tokoh-tokoh baru yang fungsi sebenarnya menutupi kelemahan plot saja.

Dugan memang sudah berkali-kali bekerjasama dengan Sandler di genre yang paling dikuasainya ini. Sayangnya kolaborasi mereka tampaknya harus segera ditinjau ulang di kemudian hari karena kualitas yang semakin memudar, see their latest work Jack and Jill (2011) for example. Humor yang terlalu menjurus seksualitas mulai dari bikini hingga masturbasi ini selayaknya dipertanyakan mengingat identitasnya adalah film keluarga dengan segmentasi remaja pada khususnya. Nyaris tidak ada garis lurus yang bisa ditarik dari satu babak ke babak lainnya. Semua terasa dipaksakan memenuhi durasi.

Kemunculan muka-muka baru yang sesungguhnya memiliki nama malah dipertanyakan motifnya. Lihat bagaimana mengganggunya Meadows dan keluarga yang berulang kali mengatakan ‘What?’ dengan pitch meninggi. Swardson sebagai pengemudi ‘beler’, Ludwig sebagai putra tak diinginkan, Austin sebagai seteru masa kecil Lenny, Penny sebagai mantan love interest Lenny, Hudson sebagai instruktur gay dan lain-lain seharusnya memberi kedalaman konflik tapi terlalu sedikit screentime bagi mereka untuk berbuat lebih. Entah apa yang dipikirkan Lautner, Ventimiglia atau Schwarzenegger Jr. dalam menerima peran frat ‘annoying’ boys.

Bagi saya Grown Ups 2 adalah proyek percobaan. Percobaan mengulangi kelarisan prekuelnya. Percobaan memperpanjang isu tanpa formula yang laik. Percobaan menampilkan puluhan (bahkan mungkin ratusan) aktor-aktris tenar dalam satu film. Percobaan memaksimalkan humor basi yang bagaikan kompilasi dari film-film komedi sebelumnya. Semuanya itu berujung pada satu kondisi yaitu gagal alias failure! This movie won’t do any benefit for everybody’s resume except their own wallet for sure. Sandler in particular, you’ve got to grow up and move forward!

Durasi:
101 menit

U.S. Box Office:
$130,648,721 till September 2013

Overall:
6.5 out of 10

Movie-meter:

Sabtu, 14 September 2013

KICK-ASS 2 : Kicking Lower But Still Ass-tonishing


Quote:
Dave Lizewski: What's the matter, Chris? Shit hit your shorts?
Chris D'Amico: Yeah, and I'm gonna wipe my ass with your face.

Nice-to-know:
Jim Carrey membawa propertinya sendiri sebagai referensi seperti buku komik versi Colonel Stars dan Stripes.

Cast:
Aaron Taylor-Johnson sebagai Dave Lizewski / Kick-Ass
Chloƫ Grace Moretz sebagai Mindy Macready / Hit-Girl
Christopher Mintz-Plasse sebagai Chris D'Amico / The Motherfucker
Jim Carrey sebagai Colonel Stars and Stripes
Robert Emms sebagai
Insect Man
Lindy Booth sebagai Night Bitch
Morris Chestnut sebagai Detective Marcus Williams
Claudia Lee sebagai Brooke
Amy Anzel sebagai Mrs. Zane
Clark Duke sebagai Marty / Battle Guy
Augustus Prew sebagai Todd / Ass Kicker

Director:
Merupakan
feature film ketiga bagi Jeff Wadlow setelah Never Back Down (2008).

W For Words:
Who loves the underdog? Raise your hands so I can count. Okay, me too! Itulah sebabnya Kick-Ass (2010) mampu mencatatkan diri sebagai salah satu cult movies karena konten mengejutkan yang tidak disangka-sangka oleh moviegoersdi belahan dunia manapun. Terlepas dari perolehan domestic box-office yang tidak sampai boomingtapi tetap menguntungkan karena bujetnya yang tak seberapa, Marv Films dan Plan B Entertainment kelewat percaya diri untuk melanjutkan sekuelnya, apalagi lantas mendapat dukungan dari Universal Pictures. Hell yeah! We’re dying to see another adventures of Kick-Ass and of course Hit-Girl.
Kehadiran Kick-Ass menginspirasi lahirnya ‘pahlawan biasa’ lainnya termasuk Colonel Stars and Stripes yang membentuk perkumpulan Justice Forever yang berangggotakan Doctor Gravity, Night Bitch, Insect Man dan pasutri Remembering Tommy. Bergabungnya Kick-Ass dikarenakan Hit-Girl memutuskan pensiun demi memenuhi janji pada almarhum ayahnya Big Daddy. Sementara itu putra Red Mist yaitu Chris D’Amico mengubah identitasnya menjadi The Motherfucker dan menggunakan kekayaannya untuk merekrut berbagai penjahat berbahaya demi menguasai dunia sekaligus membalas dendam.

Tugas yang berat diemban Jeff Wadlow yang kali ini memegang tampuk penulis skrip dan sutradara sekaligus, berusaha menyamai pencapaian Matthew Vaughn sebelumnya, berdasarkan komik karya Mark Millar dan John Romita Jr. Usahanya patut kita apresiasi karena berhasil menempatkan tiga karakter utamanya yaitu Dave, Mindy dan Chris dalam dunia nyata dan juga dunia di balik topeng lengkap dengan segala kroniknya. Banyaknya karakter baru hitam putih yang masuk justru semakin memperkaya tanpa harus mengganggu plot utama secara keseluruhan.
Namun harus diakui storytelling yang dilakukan Wadlow sebagai sutradara tidaklah sekuat Vaughn termasuk dalam membangun dunia modern nan realistis. Penonton bisa dengan mudah menerka proses dari A ke B di sepanjang durasinya.Beruntung konsistensi drama dan aksi terjaga lewat balutan komedi satir yang kerap menyentil di sana-sini. Dialog one-liners nya memang tak setajam dulu tapi masih efektif menegaskan kemana kita harus berpihak. Spesial efek yang digunakan, terutama dalam pertarungan pamungkas, terbilang cukup maksimal mengingat bujet produksi yang tidak terlalu besar.

Menarik melihat duo protagonistkita yang berkembang dewasa termasuk mulai berkencan. Taylor-Johnson masih mengusung imej geeky nya, Grace Moretz juga dengan penampilan average girl nya. Anda dijamin terpukau saat adegan Dave berlatih pull-up mempertontonkan sexy abs nya atau Mindy bertransfomasi sebagai ‘it girl’ di sekolah. Keduanya membangun chemistry dengan baik walau tidak selalu berbagi layar. Lihat bagaimana sisi emosional mereka tergali ketika harus memegang teguh janji masing-masing terhadap orang-orang terdekatnya.
Mintz-Plasse dengan gemilang melanjutkan mimpi buruk anda sebagai spoiled rich brat. Chestnut bermain ganda sebagai ‘pengasuh’ Mindy sekaligus abdi hukum yang cukup berpengaruh di kota. Peran Mr. Lizewski yang dilakoni M. Brown sekilas mengingatkan kita akan Uncle Ben bagi seorang Peter Parker, sama halnya Lee terhadap McAdams dalam Mean Girls (2004). At one particular scene, i do imagine Mindy would became Carrie as well! Dari deretan tokoh baru favorit saya adalah Night Bitch dan Mother Russia yang masing-masing dimainkan secara pas oleh Booth dan Kurkulina. On top of that, Carrey lumayan berhasil melepaskan stereotype lewat penokohan memorable Colonel Stars and Stripes.

Kick-Ass 2 memang terbilang setia pada pakem superhero movies yang sudah-sudah. Bedanya adalah posisi ‘kalah’ justru ditempatkan di pertengahan menjelang akhir. Tujuannya jelas menghindari tipikalitas yang biasa diusung DC atau Marvel. Toh pada akhirnya kebaikan tetap akan unggul dari kejahatan. Final fight yang disuguhkan Kick-Ass and Hit-Girl setidaknya berhasil mengalihkan perhatian penonton dari degradasi kualitas sekuel secara keseluruhan. Those regular superheroes definitely represent us best especially when it comes to self-acceptance about who we truly are.

Durasi:
103 menit

U.S. Box Office:
$28,094,560 till September 2013

Overall:
8 out of 10

Movie-meter:

Sabtu, 07 September 2013

THE INTERNSHIP : When Nooglers Got Something To Prove


Quote:
Billy McMahon: So, we say 'no' to love?
Mr. Chetty: Yes, we say 'no' to love.

Nice-to-know:
Co-founder Google, Sergey Brin terlihat mengendarai sepeda saat adegan kedatangan di Google headquarters dan juga ketika menyelamati Billy dan Nick di akhir film.

Cast:
Vince Vaughn sebagai Billy McMahon
Owen Wilson sebagai Nick Campbell
Rose Byrne sebagai Dana
Aasif Mandvi sebagai Mr. Chetty
Max Minghella sebagai Graham Hawtrey
Josh Brener sebagai Lyle
Dylan O'Brien sebagai Stuart
Tiya Sircar sebagai Neha
Tobit Raphael sebagai Yo-Yo Santos

Director:
Merupakan
film ke-30 bagi Shawn Levy yang memulainya lewat beberapa serial televisi.

W For Words:
Siapa yang tidak mengenal GOOGLE di masa sekarang? Nyaris semua orang mengaksesnya untuk mendapatkan informasi apapun kapanpun dimanapun. Yang jelas kreatornya, Larry Page dan Sergey Brin telah mengubah peta informasi dunia dimulai pada tahun 1998 saat keduanya masih duduk di Universitas Stanford. Kini Twentieth Century Fox memang tidak bercerita mengenai sepak terjang mereka melalui produksi terbarunya ini, melainkan kiprah sekumpulan mahasiswa/i pilihan yang magang di sana dalam menjalani serangkaian tes sebagai bahan pertimbangan utama. 

Dua sales ahli,
Billy dan Nick semakin kesulitan melakukan penjualan karena orang lebih memilih teknologi digital dalam bertransaksi. Putus asa, mereka nekad melamar ke Google sebagai tenaga magang terlepas dari usia yang tidak muda lagi. Surat panggilan kemudian menempatkan keduanya di antara siswa-siswi cerdas dari berbagai penjuru termasuk Graham yang sombong dan ambisius. Pengalaman tinggi Nick dan Billy menjadi aset terbaik yang dimiliki kelompok pecundang yang beranggotakan Lyle, Stuart, Neha, Yo-Yo yang semula dianggap sebelah mata.

Vince Vaughn telah meniti karir panjang di Hollywood sebagai aktor, sebagian besar di antaranya bergenre komedi. Kali ini ia bertindak pula sebagai produser dan pemilik ide cerita yang lantas dituangkan ke dalam skrip bersama Jared Stern. Harus diakui multitasking nya terbilang berani dimana kreatifitas dipertaruhkan di atas segala-galanya. Isu-isu kontradiktif abadi seperti kuno versus modern dan senior versus junior kemudian dikombinasikan sedemikian rupa sebelum dilebur dengan konsep zero to hero demi untuk menggaet minat penonton. Though nothing new, I guess it still works charm.


Kekompakan Vaughn dan Wilson memang semula menjadi daya tarik utama dimana keduanya saling mengisi sebagai Billy dan Nick yang kali ini membutuhkan sedikit waktu sebelum membuat anda benar-benar ‘berpihak’ pada mereka.  Namun seiring durasi bergulir, perhatian penonton akan tertuju pada new kids on the block alias aktor-aktris muda tanpa nama seperti Minghella, Brener, O’Brien, Sircar, Raphael dengan varian karakteristik masing-masing. Tentunya jangan lupakan penampilan kaku Mandvi sebagai ketua training atau si cantik Byrne yang terlihat begitu fresh sebagai Dana. 

Sutradara Levy menghandle brand yang sudah demikian global dengan begitu hati-hati. Penggunaan narasi cepat memang tak jarang meninggalkan beberapa subplot yang tidak sampai terakomodir fungsinya tapi terbukti berhasil mempertahankan dinamismenya. Penataan setting Googleplex sebagai tempat belajar, bermain sekaligus bekerja pun dimaksimalkan sedemikian rupa untuk memicu faktor “wow” tanpa harus mengabaikan korelasinya sebagai panggung bertutur yang memikat. Keseimbangan unsur drama dan komedi juga dijaga di tengah pesatnya perkembangan internet di berbagai kalangan masyarakat. 

On top of that, The Internship masih mengandalkan formula baku sehingga tergolong predictable dari menit ke-1 sampai ke-119. Namun tetap tak menghalanginya menjadi tontonan menyenangkan, terlebih closing finale nya yang cukup memorable itu. Tak ayal pesan kehidupan nya sukses tersampaikan tanpa kesan menggurui. Yes, we should work to achieve something but don’t forget to live to the fullest especially maintain our own relationships with others. At least this comedy drama got heart to feel and those underdog Nooglers definitely had something to say.

Durasi:
119 menit

U.S. Box Office:
$44,665,963 till September 2013

Overall:
8 out of 10

Movie-meter:

Minggu, 01 September 2013

R.I.P.D. : Restless Cops Keeping Peace Tryouts

Quote:
Roy Pulsipher: Damn. I don't know what eyes to shoot you between.

Nice-to-know:
Di Amerika Serikat dan negara lainnya, film ini dirilis pada tanggal yang sama dengan Red 2, sekuel Red yang ditangani Robert Schwentke dengan bintang Mary-Louise Parker. Juga dua hari setelah Turbo yang disulihsuarakan oleh Ryan Reynolds.

Cast:
Jeff Bridges sebagai Roy
Ryan Reynolds sebagai Nick
Kevin Bacon sebagai Hayes
Mary-Louise Parker sebagai Proctor
Stephanie Szostak sebagai Julia
James Hong sebagai Nick's Avatar
Marisa Miller sebagai
Roy's Avatar

Director:
Merupakan feature film keempat bagi Robert Schwentke setelah RED (2010).

W For Words:
Buddy cop movies mungkin sudah biasa dalam persepsi anda. Bagaimana jika mereka hantu? I bet most of you might think for hours to recall similar themes you’ve seen before. Got it? No? Okay forgiven! Dead Heat di tahun 1988 dimana sutradara Mark Goldblatt memasangkan Treat Williams dan Joe Piscopo adalah satu dari sedikit judul di antaranya. Entah mengapa saya sendiri justru langsung teringat akan franchise Ghostbusters yang sudah menjadi teman setia sepulang sekolah dulu. Yes, I’m 80’s generation. Proud and will always be.

Bertekad menyerahkan emas temuan saat menggerebek sarang kriminal, polisi jujur Nick malah terbunuh dalam tugas. Rohnya sampai di hadapan Proctor yang menawarkannya sebuah posisi di Departemen Rest In Peace dimana pemberantas kejahatan yang telah meninggal bekerja menjaga perdamaian di muka bumi dari ancaman monster. Nick yang tidak memiliki pilihan kemudian dipasangkan dengan Roy, petugas senior nan eksentrik yang selalu punya cara sendiri. Kerjasama unik pun terjalin dimana Nick malah mendapat kesempatan untuk mencari pembunuhnya.
Adaptasi komik serial Dark Horse milik Peter M. Lenkov ini ditranskripsi oleh Phil Hay dan Matt Manfredi ke dalam bentuk skenario. Benang merah yang digunakan memang nyaris serupa dengan trilogy Men In Black (1997-2012) dimana ketidakcocokan Nick dan Roy dieksploitasi sedemikian rupa di awal cerita. Ide yang cukup orisinil adalah wujud asli dunia nyata Nick dan Roy yang begitu kontradiktif meski terkadang physical jokes yang repetitif ini tak jarang mengganggu. Sedangkan kelemahan yang paling mendasar adalah tidak adanya perbedaan prosedural ‘above universe’ yang semestinya bisa digali lebih jauh lagi.

Aktor aktris yang terlibat di sini sudah mengalami limitasi karakter sehingga terasa begitu satu dimensi. Humor yang dilontarkan terbilang hit and miss, sebagian besar terlalu karikatural. Bridges masih mengandalkan gaya lawasnya lengkap dengan suara sengau dan sorot mata tajamnya. Reynolds berupaya semaksimal mungkin menampilkan perjalanan emosi dari hidup hingga mati. Chemistry keduanya tergolong asyik terlepas dari keterbatasan di sana-sini. Parker juga masih mencuri perhatian dalam kerjasama keduanya berturut-turut dengan sang sutradara.
Overall, Sutradara Schwentke berupaya mengalihkan perhatian penonton dari faktor skrip yang kurang solid dengan memfokuskan diri pada dynamic duo Bridges-Reynolds dan sekuens aksi cepat dari satu titik ke titik lain. Sayangnya benang merah film tak dipungkiri memang membutuhkan polesan CGI yang mumpuni. Aspek lain lagi yang juga gagal ditampilkan karena teknologi yang digunakan kurang kekinian. Bahkan 3D nya tak membantu. Monsternya tak jauh beda dengan apa yang diburu oleh Ghostbusters sehingga gagal memukau penonton dewasa yang sudah kian terbiasa menikmati sajian mutakhir. 

R.I.P.D. mungkin masih bisa dihargai dalam usahanya menghibur penonton lewat materi yang begitu terbatas, mostly helped by Nick-Roy’s mishmash combination and Schwentke’s practical approach. Selebihnya adalah presentasi setengah jadi yang menyisakan begitu banyak lubang menganga di sana-sini. Twist di penghujung film pun rasanya tidak mengejutkan lagi. Moviegoers might find it quite (at least) suitable for one hour and a half entertainment but in the end should agree that those undead probably better rest in peace rather than get wrong tryouts.

Durasi:
96 menit

U.S. Box Office:
$33,284,630 till September 2013

Overall:
7 out of 10

Movie-meter: