Sabtu, 22 Juni 2013

WORLD WAR Z : Reinvent Zombie Invasion For Better Experiences

Tagline:
Remember Philly!

Nice-to-know:
Paramount Pictures lewati proses panjang demi peroleh hak adaptasi novel Max Brooks, World War Z: An Oral History of the Zombie War.

Cast:
Brad Pitt sebagai Gerry Lane
Mireille Enos sebagai Karin Lane
Daniella Kertesz sebagai Segen
James Badge Dale sebagai Captain Speke
Ludi Boeken sebagai Jurgen Warmbrunn
Matthew Fox sebagai Parajumper


Director:
Merupakan feature film kesepuluh bagi Marc Forster setelah Machine Gun Preacher (2010).

W For Words:
Film zombie apocalypse terbaik bagi saya sejauh ini adalah 28 Days Later (2002) yang dilanjutkan dengan sekuelnya 28 Weeks Later (2007) yang sangat British itu. Kini Hollywood mencoba peruntungannya dengan memproduksi film sejenis yang diadaptasi dari novel Max Brooks keluaran tahun 2006. Sebagai daya tarik utama dipasang nama aktor handal, Brad Pitt dengan sederet cast yang belum banyak dikenal publik. Tidak tanggung-tanggung, jadwal rilis film berformat 2D, 3D dan IMAX 3D (di sebagian negara) pada periode summer mengindikasikan rasa percaya diri Paramount Pictures selaku distributor internasional.

Kota-kota besar di dunia mulai hancur karena wabah misterius yang mengganas yakni mengubah manusia normal menjadi zombie hanya dalam hitungan detik. Pihak Pemerintah dan militer Amerika Serikat kelimpungan. United Nations mengutus pegawainya, Gerry Lane melancong ke beberapa negara demi menemukan sumber virus sekaligus mencari penangkalnya. Sebagai imbalan, istrinya Karin dan dua putrinya dijanjikan tempat penampungan aman. Gerry harus berpacu dengan waktu sebelum umat manusia punah walau harus mempertaruhkan nyawanya sendiri. 

Skrip yang digagas oleh empat orang kreatif masing-masing Matthew Michael Carnahan, Drew Goddard, Damon Lindelof, J. Michael Straczynski ini memiliki alur linier. Adegan pembuka sudah langsung menempatkan anda di tengah situasi yang kian memburuk yang dialami tokoh utamanya. Paruh awal sukses memacu adrenalin anda tatkala melihat chaos dimana-mana baik dari sudut pandang orang pertama atau ketiga. Paruh akhir memang tidak terlalu intens karena lebih menekankan pada harapan hidup yang patut diperjuangkan walaupun kecil.

Sutradara Forster berhasil membangun setting ‘tidak biasa’ untuk  eksekusi sebuah premis yang sebenarnya sudah sering diangkat. Budapest, Skotlandia dan UK pun menjadi panggung bertutur yang fresh. CGI yang digunakan juga terbilang mencengangkan sekaligus efektif  dalam merajut ketegangan. Kapan lagi anda bisa melihat ratusan bahkan ribuan zombie yang teramat agresif hingga bisa meleburkan penghalang apapun. Gimmick 3D mungkin bisa meningkatkan intensitas meskipun tidak terlalu membantu ketika pendekatan shaky cam digunakan di beberapa bagian.

Pitt menghidupkan karakter Gerry Lane secara gemilang baik sebagai andalan umat manusia ataupun kepala keluarga yang dibebani tanggung jawab penuh. Kita mungkin akan memanggilnya lucky bastard tapi tetap tak ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya sepanjang durasi bergulir. Enos menjaga sisi dramatis film lewat karakter Karin yang samasekali tidak terlihat lemah. Sebaliknya Kertesz menyuguhkan penampilan heroik tentara wanita Israel berambut cepak bak Demi Moore dalam G.I. Jane (1997). Badge Dale, Boeken, Mokoena beserta duo aktris cilik Jerins dan Hargrove mampu mendukung para tokoh inti dalam film. 

World War Z memang menjual pengalaman bagi penonton. Itulah sebabnya banyak penjelasan signifikan yang digelorakan di sana-sini demi menjahit unsur logika dengan kemungkinan yang tak pernah terbayangkan dapat terjadi. Tentunya berbagai konsep menarik tetap dikedepankan termasuk penyelesaiannya yang cukup mindfuck tersebut. Sebuah suguhan summer blockbuster tahun ini yang berbeda karena memadukan drama kemanusiaan dengan action horror post-apocalyptic yang rasanya masih masuk akal. Prepare yourself for a thrilling fast-paced journey from start to finish!

Durasi:
116 menit

U.S. Box Office:
$66,411,834 till Jun 2013

Overall:
8 out of 10

Movie-meter:

Minggu, 16 Juni 2013

A WEDDING INVITATION : Sappy Romantic Drama With Slightly Disbelief Core

Quote:
Qiao Qiao: Do you know how it feels? The ache in your heart, whenever you think of someone?

Nice-to-know:
Produksi patungan Beijing Century Media International dan CJ Entertainment ini sudah rilis di China pada tanggal 12 April 2013 yang lalu.

Cast:
Eddie Peng sebagai Li Xing
Bai Baihe sebagai He Qiao Qiao
Jiang Jin Fu sebagai Mao Mao
Lin Mei-Hsiu sebagai Ibu Li Xing
Pace Wu sebagai Zhou Rei

Director:
Merupakan film kelima bagi sutradara Korea, Oh Ki-Hwan yang saya kenal lewat Art of Seduction (2005).

W For Words:
Masih adakah kesempatan kedua bagi cinta? Sudah berapa ribu kali tema tersebut diangkat dalam film oleh sineas belahan dunia manapun. Kali ini China dan Korea berkolaborasi atas prakarsa CJ Entertainment menghadirkan versinya sendiri. Penulis skrip China, Qin Haiyan memberi amunisi pada sutradara Korea, Oh Ki-Hwan untuk mengeksekusinya. Meski sempat kesulitan mencari cast yang pas akhirnya bergabunglah aktor populer Taiwan, Eddie Peng dengan bintang China, Bai Baihe sebagai lead nya. Formula yang tampaknya cukup ampuh untuk menarik minat masyarakat Asia Pasifik.

Li Xing dan Qiao Qiao adalah pasangan kekasih semenjak SMU. Menjelang lulus, Li Xing melamar Qiao Qiao di sebuah café. Di luar dugaan, Qiao Qiao menolak dengan alasan Li Xing belum siap. Mereka membuat perjanjian jika dalam 5 tahun ke depan belum menikah maka akan bersatu kembali. Saat yang dinanti tiba, Qiao Qiao menghubungi Li Xing hanya untuk mendapati pria tersebut akan menikah dengan putri bosnya, Zhou Rei. Dengan bantuan sahabatnya yang gay yaitu Mao Mao, Qiao Qiao memberanikan diri untuk merebut hati Li Xing kembali sekaligus menguak rahasia besar yang tersimpan.

Premis film ini memang menjanjikan. Sayangnya banyak lubang menganga disana-sini yang membuat penonton sulit untuk dapat memahami pribadi Li Xing dan Qiao Qiao sepenuhnya.  Apapun alasannya, cap materialistis Qiao Qiao sulit dihilangkan. Gadis ini menjadi abu-abu karenanya. Sama halnya dengan Li Xing yang terkesan berdiri di tengah-tengah, antara playboy flamboyan atau kekasih setia. Kompetisi masak yang diikuti Li Xing juga tidak meyakinkan. Publikasi besar hingga disiarkan langsung di televisi dengan ditonton oleh ribuan pasang mata hanya untuk menjadi chef hotel bintang tiga? Really?

Sutradara Oh dengan timnya yang dibawa langsung dari negeri ginseng itu memang sudah melakukan yang terbaik. Terbukti feel filmnya sangat Korean dengan pemilihan setting yang ciamik dan tata artistik yang sedap dipandang. Scoring musik dari Lee Ji-Soo juga tidak mengecewakan dalam membangun mood. Transisi komedi di paruh awal menjadi melodrama di paruh akhir terbilang mulus meski dilakukan dengan cukup instan. Terima kasih pada supporting Jiang Jinfu dan Pace Wu yang lumayan mencuri perhatian.

A Wedding Invitation adalah sebuah date movie dimana sang pria sebaiknya menyiapkan tisu untuk pasangannya. Pada akhirnya akan membagi audiens menjadi dua. Mereka yang kritis tidak akan terlalu menyukainya karena alasan yang saya sebutkan di paragraf sebelumnya. Namun bagi easy viewers tampaknya tak akan merasa keberatan dan bisa dengan mudah terhanyut dalam permainan takdir. Pesan yang ingin disampaikan tentu saja ajakan untuk menghargai setiap momen selagi jatuh cinta sebelum semuanya terenggut dan meninggalkan guratan penyesalan nan dalam.

Durasi:
104 menit

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:

Sabtu, 15 Juni 2013

MAN OF STEEL : Superb Induction For Super Human We All Know

Quote:
Jonathan Kent: You just have to decide what kind of man you want to grow up to be, Clark. Whoever that man is, he's going to change the world..

Nice-to-know:
Darren Aronofsky, Duncan Jones, Ben Affleck, Tony Scott, Matt Reeves dan Jonathan Liebesman sempat dipertimbangkan untuk menyutradarai film ini sebelum Zack Snyder terpilih.

Cast:
Henry Cavill
sebagai Clark Kent / Kal-El
Amy Adams
sebagai Lois Lane
Michael Shannon
sebagai General Zod

Kevin Costner sebagai Jonathan Kent
Diane Lane sebagai Martha Kent
Russell Crowe
sebagai Jor-El

Ayelet Zurer sebagai Lara Lor-Van
Antje Traue sebagai Faora-Ul
Laurence Fishburne
 sebagai Faora-Ul
Harry Lennix sebagai General Swanwick
Richard Schiff
sebagai Dr. Emil Hamilton
Christopher Meloni
sebagai Colonel Nathan Hardy
 

Director:
Merupakan feature film keenam bagi Zack Snyder setelah terakhir menggarap Sucker Punch (2011).

W For Words:
Siapa yang tidak mengenal sosok pahlawan dengan lambang huruf S di dadanya? Jangan buru-buru memanggil dia dengan Superman dahulu karena Warner Bros sepakat untuk menyebutnya manusia baja pada installment pertama reboot terbaru tokoh legendaris DC Comics ini. Jika generasi saya dan seterusnya baru mengenal nama Christopher Reeve, Dean Cain, Brandon Routh atau mungkin Tom Welling sebagai para pemerannya secara simultan di layar lebar dan layar gelas, tentunya penunjukan aktor Inggris berusia 30 tahun bernama Henry Cavill cukup beralasan mengingat talentanya yang besar.

Di ambang kehancuran planet Krypton dan aksi kudeta Jenderal Zod, Jor-El dan Lara Lor-Van berhasil mengirim bayi laki-laki mereka Kal ke bumi. Anak dengan kekuatan luar biasa itu kemudian diasuh oleh pasutri Kent, Jonathan dan Martha yang memberinya nama Clark. Segenap peristiwa yang dialami membuat Clark tumbuh dewasa dengan segudang pertanyaan. Adalah wartawati Lois Lane yang bertekad menyelidiki asal-usulnya. Sementara itu Jenderal Zod dan armadanya bebas dari kutukan hingga bertekad membangun kembali Krypton di muka bumi walau harus membinasakan umat manusia. 

Tidak usah heran jika anda menemukan banyak template yang serupa dengan trilogi Batman (2005-2012) karena nama Christopher Nolan ada di jajaran pemilik ide cerita bersama dengan David S. Goyer yang sorangan bertugas rangkap sebagai penulis skenario juga. Introduksi terhadap sang manusia baja itu dilakukan secara detail mulai dari fase anak-anak, remaja sampai dewasa lengkap dengan evolusi sisi emosionalnya. Meski berhasil membalutnya dalam nuansa modern, kecenderungannya menuju genre science fiction instead of fantasy cukup mengganggu saya. Namun mengingat Kal berasal dari luar bumi, hal tersebut (harus) dimaklumi.

Kekuatan utama yang dimiliki film ini ada pada hubungan personal Clark dengan ayah kandung dan ayah-ibu angkatnya. Berbagai momen dramatis yang menghadirkan kutipan-kutipan ‘sakti’ dijamin mampu meluluhlantakkan sanubari anda hingga tak sadar menggulirkan air mata. Penonton yang secara pribadi dekat dengan orangtua pasti merasakan hal demikian. Dua aktor kaliber Oscar yang bukan kebetulan pernah memerankan Robin Hood yakni Costner dan Crowe menunaikan tugasnya dengan luar biasa. Lane dan Zurer juga tak kalah gemilang menampilkan naluri keibuan mereka yang begitu kental.

Bagi saya Cavill sendiri merupakan figur tepat untuk menghidupkan sang manusia baja. Wajah simpatik yang ditunjang dengan fisik kokoh kian menegaskan aura kepahlawanannya. Adams sebagai wartawati ambisius pemenang Pulitzer sukses memperlihatkan rasa keingintahuan tinggi dengan tekad kuatnya. Sayang chemistry keduanya saat berbagi layar justru terlihat kurang maksimal. Semoga pada kesempatan mendatang dapat diperbaiki. Shannon secara cemerlang menjiwai tokoh antagonis Zod dengan sorot mata tajam dan intonasi suara yang menggelegar. Traue sebagai pendampingnya lumayan menyita perhatian masih dengan konsep femme fatale.

Snyder tidak main-main dalam membangun set yang fantastik. Opening berdurasi dua puluh menitan yang mempertontonkan kultur planet Krypton adalah salah satu opening terbaik dalam sejarah film superhero. Belum lagi kecanggihan teknologi yang digunakan para penghuninya amatlah mencengangkan. Bombardir spesial efeknya memang tak dapat dihindari tetapi masih dalam konteks materi yang ada termasuk kedekatan berbagai aspek dengan dunia yang kita tinggali sehari-hari. Gimmick 3D nya memang tidak mutlak sebagai pilihan tapi cukup memuaskan. Balutan scoring musik megah dari Hans Zimmer tak usah diragukan lagi.


Man Of Steel diyakini tidak akan mengecewakan fanboy/fangirl nya di seluruh dunia termasuk merangkul generasi baru karena filmmaker nya tidak melupakan karakteristik dasar yang sudah demikian lekat. Skripnya memang belum sempurna tapi gaya penceritaan dinamis, editing ciamik dengan alur maju mundur dan tempo adaptif agaknya efektif menutupi segala kekurangan yang ada. In the end, it’s a superb induction about a super human we all know. Made us getting into Kal’s shoes to feel his emotions, understand his choices, fulfill his fate is the best thing Snyder could offered.

Durasi:
143 menit

U.S. Box Office:
$125.080.000 till
Jun 2013

Overall:
8.5 out of 10

Movie-meter:

Rabu, 05 Juni 2013

THONGSOOK 13 : Thai Decent Horror Goes CGI


Quote:
Beam: You know I'm not a real woman!
Jack: For god's sake, you're just a lesbian!

Nice-to-know:
Film yang berjudul Inggris, Long Weekend ini sudah rilis di Thailand pada tanggal 31 Januari 2013 yang lalu.

Cast:
Chinnawut Intarakusin
sebagai Thongsuk
Acharanat Ariyaritwikol sebagai Jack
Ch
eeranat Yusanon sebagai Nam
Sean Jindachot
sebagai Boy        
Kitlapat Korasudraiwon
sebagai Pui
Butsarin Yokpraipan sebagai Beam

Director:
Merupakan film keempat bagi Taweewat Wantha setelah The Kindergarten(2009).

W For Words:
Suguhan horor terbaru Minds@Work dan Wave Pictures ini menawarkan premis yang sudah ribuan kali dieksekusi oleh filmmaker di berbagai belahan dunia manapun. Sekelompok anak muda berlibur di tempat terpencil, melakukan kesalahan fatal hingga harus menanggung akibatnya lewat serangkaian kejadian supernatural. Ya, rekor di Indonesia sendiri dipegang oleh tak lain tak bukan, Nayato Fio Nuala/Koya Pagayo. Perbedaannya mungkin hanya di segi teknis yang jauh lebih baik terlebih di departemen CGI. Tidak percaya?

Thongsuk dan Nam telah bersahabat sejak kecil. Menginjak bangku remaja, Thongsuk yang menderita gangguan autis kerap menjadi bahan olok-olok temannya. Jack yang menaruh hati pada Nam mengajaknya berlibur bersama Boy serta kekasih lesbian Pui dan Beam ke pulau terpencil tanpa sepengetahuan Thongsuk. Di luar dugaan, Thongsuk berhasil menyusul. Jack dan Boy yang kesal menguncinya di kuil yang dipercaya pernah menjadi TKP pembantaian massal di waktu lampau oleh arwah jahat. Menjelang Jumat tanggal 13, sejarah tersebut pun terancam berulang. 

Skrip yang digawangi oleh kwartet Eakasit Thairaat, Sommai Lertularn, Adirek Wattaleela, Taweewat Wantha ini berupaya keras menghindari keklisean yang sudah-sudah. Itulah sebabnya disematkan berbagai ‘tikungan’ untuk tetap mempertahankan penonton di kursinya masing-masing termasuk ‘kreatifitas’ presentasi kematian yang begitu beragam. Kilas balik yang membuka film bertujuan memberikan pondasi akan karakter Thongsuk dan Nam. Namun apakah itu cukup? Terbukti dramatisasi di bagian penutup nampaknya masih kesulitan menguras emosi penonton. 

Wajah tampan Chinnawut yang blasteran tergolong sukses menghidupkan sosok Thongsuk yang lugu dan pantas menggalang simpati. Sorot matanya yang tajam berkali-kali berbicara meski tanpa dialog sekalipun. Debut layar lebar penyanyi Cheeranat juga tidak mengecewakan. Aksi Nam yang dominan di sepanjang film cukup menonjolkan kekuatan emosi yang dalam. Sayangnya tidak banyak yang dapat dllakukan Kitlapat dan Butsarin selain berpelukan dan berteriak. Sedangkan Acharanat dan Sean menjiwai dua pemuda begundal dengan tipikal individualis yang mudah terlupakan.

Taweewat sebagai sutradara rupanya banyak ‘belajar’ dari The Evil Dead (1981) atau The Cabin In The Woods (2011) dengan tema serupa. Bahkan pada satu kesempatan, sosok hantunya langsung mengingatkan anda pada Mama (2013). Paruh pertama yang lambat digunakan untuk membangun suspensi misteri. Paruh kedua barulah dihujani darah dan kesadisan yang cukup optimal. Penggunaan spesial efek dilakukan secara maksimal dalam mengumbar ketakutan mulai dari asap dan bayangan sebagai bentuk teror. Sah-sah saja karena masih terlihat rapi dan relevan dengan kebutuhan cerita.

Walaupun terlambat diimpor ke Indonesia, Thongsook 13 setidaknya masih meneruskan citarasa horor Asia dengan tradisi yang kuat sebut saja jimat pengusir, lilin pelindung dan sebagainya. Peringatan hari Jumat tanggal 13 yang diyakini sebagai terbukanya gerbang neraka pun dipertahankan. Secara keseluruhan masih lebih baik dari beberapa judul sejenis milik negeri gajah putih tersebut dimana kekosongan adegan mampu diisi dengan dialog one-liner pengocok tawa sebelum diteruskan dengan teror non stop yang seperti biasa memicu keberpihakan anda terhadap salah satu tokoh untuk bertahan hidup pada akhirnya.

Durasi:
96 menit

Asian Box Office:
THB 12,700.000 till Feb 2013 in Thailand

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:

Minggu, 02 Juni 2013

THE HANGOVER PART III : Not Drunk Enough To Get You Laugh



Quote:
Alan: We can't be friends anymore. When we get together, bad things happen and people get hurt.
Mr. Chow: Yeah, but that's the point! It's funny!

Nice-to-know:
Sean Penn dan Robert Downey Jr. sempat dipertimbangkan untuk peran yang akhirnya jatuh ke tangan John Goodman.

Cast:
Bradley Cooper sebagai Phil
Ed Helms sebagai Stu
Zach Galifianakis sebagai Alan
Justin Bartha sebagai Doug
Ken Jeong sebagai Mr. Chow
John Goodman sebagai Marshall

Director:
Feature film pertama Todd Phillips adalah Road Trip (2000).

W For Words:
Kwartet Phil, Stu, Alan dan Doug sudah dua kali menghibur anda sebelumnya lewat The Hangover (2009) dan The Hangover Part II (2011) dimana mereka terbangun dalam keadaan setengah mabuk, menyadari ada sesuatu yang salah hingga berupaya keras mengingat-ingat demi memperbaiki semuanya. Nah, pada installment ketiga ini secara mengejutkan tradisi tersebut dipatahkan. Tentunya dengan mengindahkan adegan post credit-title. Masih penasaran dengan produksi Green Hat Pictures dan Legendary Films ini? Well, you should give a try if you say yes.

Paska kematian ayah jutawannya yang mendadak, Alan dibawa teman-temannya ke institusi kejiwaan untuk diperiksa lebih lanjut. Sayangnya dalam perjalanan, mereka keburu dihadang gangster kejam Marshall dan kawanannya yang sepakat menyandera Doug untuk ditukar dengan Chow. Pasalnya, Chow yang kabur dari penjara itu baru saja melarikan batangan emas Marshall senilai puluhan juta dollar. Phil, Stu dan Alan kemudian memutar otak untuk menemukan Chow dalam waktu singkat. Misi yang tidak mudah karena Chow licin seperti belut.
Skrip yang digarap oleh Todd Phillips dan Craig Mazin ini terasa setengah jadi. Konflik yang mengalir linier harus diakui merupakan pendekatan yang fresh. Namun hal itu tidak dibarengi oleh pengembangan karakteristik yang memadai. Jon Lucas dan Scott Moore  terkesan hanya mengulangi slapstick dari keempat tokoh utama yang sudah muncul di dua seri sebelumnya. Titik berat yang ada pada Alan seharusnya dapat lebih dimaksimalkan sebagai start dan finish yang memuaskan. Sebaliknya villain/antagonis di sini justru mencuri perhatian penonton dengan porsi memadai.

Seperti sudah disebutkan di atas, Ken Jeong mendapat peran yang cukup krusial. Chow memang menyebalkan di tangannya tetapi masih kurang menggigit di sebagian besar aksinya.
Galifianakis tampil lebih variatif daripada biasanya. Proses yang dialami Alan untuk menjadi pria dewasa seutuhnya merupakan highlight tersendiri. Cooper dan Helms yang sebelumnya dominan kali ini lebih berfungsi sebagai supporting characters belaka. Malangnya Goodman terlalu stereotype sebagai gangster. Lupakan penampilan ‘cameo’ Graham atau Bartha tapi coba pusatkan perhatian pada McCarthy yang benar-benar tampak sepadan. 
Philips sebagai sutradara sudah berusaha menjaga misteri hingga akhir, lengkap dengan petunjuk demi petunjuk yang mengarah kepadanya. Malang karena sejak menit pertama kekuatannya tidak cukup besar untuk menyita perhatian penonton. Yang mungkin patut diacungi jempol adalah keberaniannya menaikkan tensi melalui rangkaian aksi kejar-kejaran yang melibatkan jalan raya hingga gedung tinggi. Jika sebelumnya anda disuguhi tupai dan harimau sebagai penggiring twist, maka kali ini elemen tersebut hilang. Gantinya adalah jerapah yang bernasib malang demi sebuah shocktherapy kecil pada prolognya.
 
Secara konten, The Hangover Part III ini terbukti masih bersahabat dengan penonton dewasa. Namun kerjasama tim yang memudar itu membuat kenikmatan terasa hambar. Lihat bagaimana masing-masing karakternya nyaris berdiri sendiri di tiap kesempatan. Seri yang satu ini memang diperuntukkan bagi fans setia yang ingin menyaksikan (katanya) bagian terakhir petualangan wolfpack. Bagi saya, penggunaan judul “Wolfpack Got Back” or “Kidnapped For Mission” akan lebih tepat. Jika memang kelak ada kelanjutan atau spin-off (layaknya indikasi end credit title) sebaiknya Phillips melakukan persiapan yang lebih baik demi pesta mabuk-mabukan yang lebih gokil lagi. Who’s still with ‘em?

Durasi:
100 menit

U.S. Box Office:
$69.448.603 till May 2013

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:
 


Sabtu, 01 Juni 2013

YEH JAWAANI HAI DEEWANI: Crazy Youth In Love Chasing Dreams



Quote:
Bunny:
In life there must be a little bit of minced mutton with bread, chicken drumsticks and hakka noodles, right?

Nice-to-know:
Judul film yang berarti This Youth Is Crazy ini rilis di India pada tanggal 31 Mei 2013 sama dengan Blitzmegaplex Indonesia.

Cast:
Deepika Padukone sebagai Naina
Ranbir Kapoor sebagai Bunny
Aditya Roy Kapoor sebagai Avi
Madhuri Dixit sebagai Mohini
Kalki Koechlin sebagai Aditi
Kunaal Roy Kapur sebagai Taran

Director:
Merupakan film kedua Ayan Mukherjee setelah  Wake Up Sid (2009).

W For Words:
Terus terang saya belum mempunyai banyak referensi untuk standar komedi romantis Bollywood berkualitas selama beberapa dekade terakhir. Judul yang paling memorable tentu saja Kuch Kuch Hota Hai (1998). Nyatanya sebelum itu ada Dilwale Dulhaniya Le Jayenge (1995) dengan pasangan bintang yang sama, Shah Rukh Khan dan Kajol yang katanya menginspirasi keluaran terbaru Dharma Productions ini. Daya tariknya pun tidak kalah yakni Ranbir Kapoor dan Deepika Padukone, dua dari sedikit bintang muda sedang bersinar yang uniknya pernah berkencan di dunia nyata selama setahun pada 2008 lalu. 

Kabir alias Bunny adalah pemuda idola kampus yang penuh semangat meski tumbuh dalam pengawasan ketat ayah kandung dan ibu tirinya. Bersama kedua sahabatnya Abhi dan Aditi, mereka merencanakan trekking ke Manali. Adalah Naina, siswi kedokteran yang nyaris tidak tahu bagaimana bersenang-senang akhirnya memenuhi ajakan Aditi demi menghindari kejenuhan. Bunny dan Naina yang pernah sekelas semasa sekolah mulai dekat dan berbagi mimpi masing-masing. Perjalanan tersebut lantas mengubah jalan hidup keempatnya hingga bertemu kembali delapan tahun kemudian.
Skrip yang dikerjakan Ayan Mukherjee dengan bantuan Hussain Dalal untuk dialognya ini terbilang masih menggunakan pendekatan ‘lawas’ yaitu anak yang berupaya keluar dari kungkungan orangtua, tema yang sebenarnya amat lekat untuk periode pra abad ke-21. Pendalaman karakter Bunny dan Naina dewasa pun kurang maksimal, hanya terbatas pada satu dua tendensi yang numpang lewat. Bisa jadi dikarenakan porsi remajanya sudah demikian dominan. Alhasil penonton kesulitan ‘masuk’ pada konflik sesungguhnya sebelum memutuskan apakah keduanya layak bersama atau tidak pada akhirnya.

Mukherjee di kursi sutradara sukses menyuguhkan film yang good looking, mengingatkan kita pada trademark Karan Johar yang kali ini duduk di bangku produser. Paruh pertama yang mengalir dinamis agaknya tidak diimbangi oleh paruh kedua yang sedikit predictable meski terjadi pergolakan emosi yang lebih kentara. Tata artistik, make-up hingga kostum dikerjakan secara maksimal. Belum lagi sinematografi mumpuni dari Maniknandan yang menangkap lanskap Manali dengan luar biasa, termasuk puncak bukit Jodhpur itu. Suguhan musik enerjik dari Pritam kian menyempurnakan. 
Keunggulan film tak dipungkiri terletak pada jajaran castnya. Ranbir menghidupkan sosok Bunny dengan gemilang. Simpatik, penggoda tapi tidak kehilangan pegangan terhadap mimpinya. Deepika berhasil mengubah imej Naina yang geek menjadi super sexy tanpa harus mengorbankan kecerdasannya. Keduanya mampu membangun chemistry yang loveable yet inspirative on screen. Aditya menjadi supporting yang solid sebagai Avi yang banyak bergantung pada sahabatnya. Kalki yang berdarah Perancis juga mencuri perhatian sebagai Aditi, gadis tomboi berkepribadian unik.

Yeh Jawaani Hai Deewani mungkin satu dari sangat sedikit contoh film dimana materi terbatas tetap mampu dipresentasikan secara memukau. Terima kasih terhadap jerih payah aktor-aktris yang terlibat di dalamnya meski karakterisasinya agak satu dimensi. Andai saja skripnya lebih matang dengan penjabaran konflik yang lebih modern, niscaya hasilnya akan lebih wow lagi. Setidaknya anda bisa mengambil ‘pelajaran’ dengan senyum lebar bahwa mengejar mimpi memang butuh pengorbanan yang tidak sedikit. Pada akhirnya itu menjadi sebuah pilihan hidup dengan berbagai konsekuensinya.

Durasi:
159 menit

Asian Box Office:
Rs 62.11 crore in first week in India

Overall:
8 out of 10

Movie-meter: