Minggu, 30 September 2012

PREMIUM RUSH : Action Ride With No Brake


Quotes: 
Wilee: I like to ride. Fixed gear. No brakes. Can't stop. Don't want to, either.

Nice-to-know: 
Joseph Gordon-Levitt sempat menabrak taksi dan membanting tubuhnya ke kaca jendela hingga pecah. Hasilnya adalah 31 jahitan di lengannya yang digunakan untuk melindungi wajahnya. Kecelakaan yang tak diinginkan ini ditampilkan di credit title sebelum daftar cast bergulir.

Cast: 
Joseph Gordon-Levitt sebagai Wilee
Jamie Chung sebagai Nima
Dania Ramirez sebagai Vanessa
Sean Kennedy sebagai Marco
Michael Shannon sebagai Bobby Monday
Aasif Mandvi sebagai Raj
Wolé Parks sebagai Manny
Christopher Place sebagai
Bike Cop 

Director: 

Merupakan feature film kelima bagi David Koepp setelah Ghost Town (2008).

W For Words: 
Joseph Gordon-Levitt telah menempuh perjalanan panjang untuk menjadi aktor pilihan produser masa kini sejak kemunculan sosok ciliknya dalam Family Ties (1988) atau Dark Shadows (1991). Kini ia berlakon sebagai kurir bersepeda yang berani mengambil resiko, Wilee. Premis yang sesungguhnya tak asing lagi bagi penonton generasi lawas dimana Kevin Bacon pernah melakukannya dalam Quicksilver (1986). Namun bagi penonton generasi baru tentu ini adalah sesuatu yang fresh dan belum pernah mereka lihat sebelumnya. I believe both generations will give it a try!

Demi tambahan uang, Wilee meminta tugas terakhirnya hari itu pada Raj. Tidak sulit karena dengan sepeda frame baja bergigi besi tanpa rem, jarak dari lokasi A ke B menjadi singkat walaupun lalu lintas ramai Manhattan tak dapat dihindari. Di luar dugaan kurir pesaing, Manny yang tengah mendekati kekasihnya, Vanessa mengambil paket misterius darinya. Wilee tidak tinggal diam dan mengejar Manny di sepanjang kota hingga menarik perhatian polisi dan juga pria asing berjas, Bobby Monday yang tampak menyimpan maksud jahat tersembunyi.

Sutradara Koepp tampak memahami betul jalanan NYC mulai dari jalan utama hingga pelosok lengkap dengan track pejalan kaki dan pesepeda sekaligus yang tak jarang geografisnya turun naik. Itulah sebabnya unsur action dinamis dan thriller inovatif disini mampu terus memacu adrenalin penonton. Sinematografi “panjang kali lebar” milik Mitchell Amundsen termasuk peta berbasis GPS dari layar ponsel secara tak langsung memandu sudut pandang penonton yang seakan dibawa serta menelusuri satu persatu titik lokasi yang dituju. 

Skrip milik Koepp-Kamps ini mencoba menipu garis waktu dengan narasi maju mundur demi sebuah perspektif non linier yang utuh. Suatu hal yang seharusnya tidak perlu dilakukan apabila plot intinya sudah cukup kuat untuk bercerita secara runut. Lontaran dialog “praktis” dan konflik “sederhana” di antara para tokohnya berusaha dihajar dengan tempo cepat sehingga penonton akan memaklumi bahwa sesungguhnya tidak ada pihak antagonis yang patut ditakuti atau karakter pendukung fungsional yang pantas diingat. If it’s not, it would be boring presentation.

Gordon-Levitt merupakan pilihan tepat bagi karakter Wilee dengan athleticism tinggi. Visinya dalam bersepeda jelas menentukan nasibnya, apakah tertangkap, tertabrak, gagal menjalankan tugas dsb. Lihat visualisasi probabilitas resiko yang selalu dikalkulasinya setiap mengambil sebuah keputusan. Sangat menarik! Ramirez dan Parks memang sejak awal ditampilkan secara cool untuk menjadi penyeimbang Wilee. Upaya Shannon untuk benar-benar terlihat menyebalkan lumayan berhasil. Sama halnya dengan penokohan Chung yang berbeda dari biasanya. 

Premium Rush adalah sebuah tontonan yang dikemas dalam packaging yang dua kali lebih bagus dari isi yang sebenarnya. Acungan jempol bagi Koepp yang bekerjasama dengan orang (Gordon-Levitt) yang tepat! Berbagai adegan kejar-kejaran panjang dijamin membuat anda menahan nafas sambil mengagumi kebesaran nyali para kurir berani mati tersebut. Tak lupa selipan beberapa violence baik yang dimaksudkan secara sadar atau tidak mungkin membuat anda meringis sambil membayangkan kemungkinan terburuk yang bisa terjadi. Pengalaman menyaksikan bikers beraksi tak akan lebih menyenangkan dari ini. Lakukanlah tanpa rem yang pakem alias nalar yang kritis. Just enjoy the ride!

Durasi: 
91 menit

U.S. Movie Box Office: 
$19,665,102 till September 2012

Overall: 
7.5 out of 10

Movie-meter:

Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Sabtu, 29 September 2012

A SEPARATION : Domestic Drama That Leaves You Judging


Quotes: 
Simin: Does he even realize you are his son?
Nader: I know he is my father!


Nice-to-know:
Pada adegan pembuka, dua KTP yang sedang difotokopi adalah milik Hedye Tehrani dan Hamid Farokhnezhad yang bermain sebagai pasangan yang akan bercerai dalam film Farhadi sebelumnya yaitu Fireworks Wednesday(2006).

Cast: 
Peyman Moadi sebagai Nader
Leila Hatami sebagai Simin
Sareh Bayat sebagai Razieh
Shahab Hosseini sebagai Hojjat
Sarina Farhadi sebagai Termeh
Ali-Asghar Shahbazi sebagai Nader's Father


Director: 

Merupakan feature film kelima bagi Ashgar Farhadi setelah Darbareye Elly (2009).

W For Words: 
Perceraian adalah jalan terakhir yang dapat diambil sepasang suami istri dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Beragam alasan biasanya mengiringi yang tak pernah bisa dijelaskan secara harfiah. Adalah Asghar Farhadi yang secara gamblang mengangkat tema ke dalam film Iran yang dikenal ketat dalam sensor dan filtrasi. Hasilnya? Piala Oscar untuk kategori Film Berbahasa Asing Terbaik tahun ini pun berhasil direngkuhnya. Prestasi yang amat membanggakan! Meski terlambat lebih dari satu tahun, tak ada salahnya apabila anda menyaksikan film ini di bioskop kesayangan sesegera mungkin. 

Simin menggugat cerai Nader di pengadilan hanya karena ingin membawa putrinya yang berusia 11 tahun, Termeh ke luar dari Iran demi pertumbuhan lebih baik. Sebaliknya Nader tidak mengijinkan karena alasan wajib menjaga ayahnya yang menderita Alzheimer sampai tak bisa berkata-kata samasekali. Hakim tidak mengabulkan permohonan itu hingga Simin memilih keluar dari rumah. Nader menyewa jasa Razieh untuk merawat ayahnya di saat ia bekerja. Urusan yang semula sepele menjadi runyam ketika kejujuran dipertanyakan dan hati dipaksa berbicara.

Farhadi menyajikan semua konflik yang begitu dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Dinamika hubungan suami-istri, orangtua-anak, guru-murid dan antar sesamanya dibungkus sedemikian rupa dalam kemasan sosial politik yang begitu eksplisit. Nuansa “real” semakin diperkuat dengan teknik kamera handheld yang dominan di sepanjang film. Dukungan musik yang minim sekalipun tidak sampai mengganggu mood penceritaan yang sudah demikian intens. Editingnya tergolong mulus mempertahankan sekuensi runut yang mengalir lancar.

Tidak ada tokoh antagonis disini. Anda diajak menempatkan diri sebagai Simin, Nader, Razieh atau Hojjat secara simultan. Mereka semua memiliki alasan kuat di balik setiap tindakannya meski pada akhirnya mempengaruhi satu sama lain. Perbedaan tingkat sosial antara keluarga Simin dan Hojjat memang tak terlalu mencolok tapi cukup untuk membentangkan jurang di antara mereka lewat pertentangan baik dan buruk. Disinilah terlihat kecenderungan bahwa kaum istri lebih kompromi dibandingkan suami yang lebih emosional mempertahankan harga diri dan keluarganya masing-masing. 

Termeh dan kakeknya merupakan dua karakter akar dalam film ini. Bagaimana orangtua pesakitan begitu menyita perhatian anak, menantu dan cucunya yang melakukan usaha terbaik tanpa pamrih. Bagaimana putri semata wayang begitu mendambakan keutuhan rumah tangga kedua orangtuanya yang justru saling berargumentasi untuk memperebutkan hak asuhnya. Kepentingan Nader dan Simin tidak akan pernah sama, anda mengerti bahwa keduanya benar dalam pandangannya masing-masing, tapi apakah sepadan dengan pengorbanan cinta yang mereka lakukan? 

Dua jam lebih memang bukan waktu singkat. Anda akan terpaku di kursi sekaligus terpukau menyaksikan rollercoaster emosi yang begitu menguras energi. Pada satu titik mungkin anda menghela nafas dan merasa beruntung bahwa anda bukanlah salah satu dari karakter dalam film ini. A Separation secara gemilang mencampur adukkan hak dan kewajiban, kebohongan dan kejujuran, perasaan dan logika, sebab dan akibat yang begitu impulsif dalam satu pengadilan hukum yang berlaku. Ambiguitas keputusan akhir yang diambil Termeh di penutup film setidaknya menggambarkan keadaan itu. Whoever wins, they already lose!

Durasi: 
123 menit

Overall: 
8.5 out of 10

Movie-meter:

Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Jumat, 28 September 2012

RAAZ 3 : Sleazy Indian Horror Wishmaster Typical


Quotes: 
Shanaya: Biar dia merasakan bagaimana memenangkan semua lalu kehilangan segalanya..

Nice-to-know: 
Film yang diproduksi oleh Fox STAR Studios dan Vishesh Films ini sudah rilis di India pada tanggal 7 September 2012 yang lalu.

Cast: 
Bipasha Basu sebagai Shanaya Shekhar
Emraan Hashmi sebagai Aditya Arora
Esha Gupta sebagai Sanjana Khrisna
Manish Choudhary sebagai Taradutt


Director:
Merupakan
film ke-27 bagi Vikram Bhatt setelah Dangerous Ishhq  (2012).

W For Words: 
Baru saja pekan lalu disuguhi Heroine yang dibintangi Kareena Kapoor, maka penikmat film India di Indonesia akan disajikan plot serupa yaitu persaingan aktris senior dan junior. Hanya saja skrip milik Shagufta Rafique ini tidak bergenre drama melainkan horor! Bukan cuma itu, subjudul The Third Dimension ternyata benar-benar dilengkapi format 3D, sayangnya kita hanya kebagian 2D nya saja. Tidak mengapa karena sewaktu menontonnya, saya tidak menemukan banyak efek 3D yang istimewa untuk dinikmati selain serbuan serangga dan jari-jari tangan. That’s it!

Shanaya Shekhar memiliki semuanya, karir aktris cemerlang dan pacar ganteng setia yang juga seorang sutradara, Aditya Arora. Dalam sebuah ajang penghargaan aktris terbaik, di luar dugaan jatuh ke tangan Sanjana Khrisna, bintang muda yang juga adik tirinya. Shanaya yang terpukul menerima tawaran iblis Taradutt untuk mengguna-gunai Sanjana dan memanfaatkan Aditya untuk mencekoki racun tersebut. Lambat laun, Aditya menjadi dekat dengan Sanjana sehingga kemarahan Shanaya semakin memuncak. Pertaruhan hidup dan mati harus mengakhiri cinta segitiga itu. 

Paruh pertama film masih menawarkan beberapa adegan horor yang cukup menakutkan terutama saat Sanjana dikejar hantu badut atau pelayannya yang dipaksa bunuh diri. Namun paruh kedua menurun drastis dimana kengerian hanya dibangun dari spesial efek buruk dan teriakan-teriakan Sanjana yang membahana. Sutradara Bhatt jelas sudah tidak asing lagi dengan elemen-elemen semacam itu, ditambah dengan konten seksual eksplisit yang nyaris selalu ada di setiap filmnya. Penempatan lagu-lagu milik Jeet Ganguly dan Rashid Khan tergolong tidak tepat apalagi dengan editing yang juga tidak maksimal.

Basu tampil memukau sebagai Shanaya yang manipulatif. Sosok antagonis dalam sapuan garis mata hitam, kuku panjang warna-warni dan tubuh seksi terpahat. Aspek-aspek narsistik berbaur dengan sifat jahat menjadi kombinasi yang mematikan. Gupta awalnya tampak kaku tapi membaik seiring film berjalan. Tokoh Sanjana yang lugu dan terlihat tak berdaya itu memang menjadi bulan-bulanan yang pas. Sedangkan Hashmi yang cukup beruntung bisa “berbagi kasih” secara adil dengan kedua “aktris” tersebut tidak mendapat pengayaan karakter yang cukup untuk dieksplorasi.

Tak usah kuatir jika belum pernah menyaksikan dua prekuelnya karena Raaz 3 dapat dikatakan berdiri sendiri. Kisah pertentangan baik dan buruk yang diwarnai hal-hal klise, predictable ala film-film kelas B. Karakter jin yang dihidupkan Manish Choudhary bahkan mengingatkan anda pada Wishmaster (1997) lengkap dengan tampilan mengerikannya. Jika demikian, apa alasan yang tersisa bagi anda untuk menonton film ini? Jawabannya adalah Bipasha Basu. Shanaya wouldn’t disappoint you with “She was a star and will always remain one.” strong statement In this sleazy edition.


Durasi: 
139 menit

Overall: 
7 out of 10

Movie-meter:

Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Kamis, 27 September 2012

KUTUKAN ARWAH SANTET : Eksploitasi Gancet Berbasis Pesan Moral


Quotes: 
Ruben: Lu kemana sih pas Tuhan bagiin otak gak dateng?

Nice-to-know: 
Film ini diproduksi oleh Sentra Mega Kreasi.

Cast: 
Julia Perez sebagai Kirana
Ruben Onsu sebagai Ruben
Anjani sebagai Tya
Jenny Cortez sebagai Beby
Samoedra Safera sebagai Mumud
Robby Purba sebagai Firman
Dwi AP sebagai Raymond
Cinta Ratu sebagai Myrna
Ozzi Dian sebagai Fandy
Erlandho S sebagai Johan

Director: 
Merupakan debut penyutradaraan Hanny Mustofa.

W For Words: 
Produksi Sentra Films ini awalnya berjudul Hantu Gancet dengan poster seronok yang menampilkan adegan bercinta yang cukup frontal dengan punggung lelaki di atas tubuh wanita yang telanjang. Setelah proses penghalusan, judul dan posternya pun berubah tapi tetap tidak mampu menghapus kesan norak dari pikiran anda saat mendengar dan melihatnya. Isu santer yang konon awalnya muncul dari daerah Plangon, Cirebon ini pun diangkat oleh Hanny Mustofa yang bertindak sebagai penulis skrip sekaligus sutradara ke dalam tontonan fiktif dengan selipan twist disana-sini. Katanya..

Vaginismus mengakibatkan tubuh Firman dan Myrna yang tengah bersenggama di lab kampus tak bisa terpisah. Fandy dan Johan yang berusaha membantu malah menewaskan Myrna. Empat tahun kemudian, adik Myrna yaitu Tya bersama dua sahabatnya, Mumud dan Ruben bertekad menyelidiki misteri hilangnya sang kakak. Dosen baru yang cantik seksi, Kirana mulai menarik perhatian mereka. Satu persatu korban pria berjatuhan di sekitar kampus. Benarkah ini semua kutukan arwah gancet atau ada dalang di balik misteri yang ada?
Hanny Mustofa? Mudah-mudahan bukan nama alter ego yang belakangan ini marak di industri perfilman kita. Skrip tambal sulam darinya sibuk menumpuk berbagai macam plot dengan brilian! Pertama, ada adik mencari kakaknya dengan bantuan dua temannya. Kedua, ada dosen baru yang paranoid karena selalu diganggu arwah perempuan. Ketiga, ada cowo pemarah yang seakan seumur hidupnya hanya dihabiskan dengan ML . Kesemuanya dibalut dalam satu benang merah, selentingan kutukan arwah gancet yang berujung pada twist abad ini, siapa sih pelaku sesungguhnya? 

Keputusan Jupe untuk terus bermain dalam film horor seks baik mengandung komedi atau tidak, seharusnya patut disesali apalagi sebagian adegan syur disini terbukti tidak dilakoninya sendiri. Anjani sebisa mungkin menghadirkan karakter Tya yang believable dimana sisi emosional dan curiosity nya dieksploitasi habis-habisan tapi keterikatan penonton padanya masih akan minim. Ruben Onsu dan Samoedra Safera berupaya menjadi penyeimbang dengan celetukan-celetukan komediknya meskipun kurang efektif menggugah tawa. Satu adegan yang tidak perlu adalah saat Mumud turut menjadi korban yang berbuntut “deramah”.

Bagi penonton yang mendambakan adegan seksual pembangkit syahwat siap-siap kecewa. Imajinasi anda hanya akan dipermainkan dengan potongan demi potongan visualisasi bercinta yang tidak eksplisit. Hal yang menggelikan adalah intensi “incest” yang menutup cerita walau tergunting sensor. F*ck! Namun ada yang lebih menggelikan yaitu lagu tema “Mau Dangar” dari Inplus featuring Anjani yang menembangkan, “Tak bisa lepas lagi. Raganya terpaku dan mati menyatu. Andai aku tak tergoda, gancet ini tak akan terjadi..” lengkap dengan adegan ala video klip. Saya benar-benar tidak memercayai indera penglihatan dan pendengaran sendiri.

Kutukan Arwah Santet, meski saya lebih suka judul inisiasinya, merupakan keberanian luar biasa dari seorang produser bernama Shanker RS yang mengangkat tagline “kisah nyata asu gancet yang heboh” ke dalam tontonan layar lebar khusus dewasa. Film yang sejak penampakan pertama sudah nista ini hebatnya masih berani berkoar tentang pesan moral secara lengkap mulai dari pemaparan doktrin khas dosen ilmiah hingga contoh kasus ala mistis. Do we really need this? Peribahasa “anjing menggonggong, kafilah berlalu” mungkin paling tepat menerjemahkannya.


Durasi: 
81 menit

Overall: 
6 out of 10
  
Movie-meter:

Rabu, 26 September 2012

THE MELODY : Another Predictable Tearjerker Romance


Quotes: 
Mok: Facing death is probably easier than fighting for love.

Nice-to-know: 
Film berjudul asli Rak Tam Nong Nee ini mengalami penundaan rilis di Thailand karena banjir yang melanda akhir tahun 2011 lalu.

Cast: 
Pariyachat Limthammahesorn sebagai Mok
Worawej Danuwong sebagai Wind


Director: 

Merupakan debut Tossapol Srisukontarat yang lebih dikenal sebagai produser televisi senior.





W For Words:
Produksi TAT ini jelas memanfaatkan momen hari kasih sayang untuk menjaring penonton berpasangan datang ke bioskop di negeri gajah putih pada waktu itu. Berselang 6 bulan kemudian baru dapat dinikmati penonton Indonesia. Premisnya sederhana dan sudah ribuan kali diangkat sebelumnya lewat melodrama Korea ataupun produksi Hollywood, salah satunya adalah A Walk To Remember (2002). Ya, seorang pemuda yang tengah mencari jati diri hingga bertemu seorang gadis yang disukainya yang ternyata mengidap penyakit mematikan. You can bet, it’s another tearjerker!
 
Karir penulis lagu dan penyanyi kondang, Wind tengah berada di jalan terjal ketika single terbarunya hanya menduduki posisi 19 di tangga lagu. Kekecewaannya dilampiaskan dengan kemarahan terhadap timnya yang berpikir untuk mencari penggantinya. Wind melarikan diri ke Mae Hong Sorn dan berjumpa Mok,  pianis cantik yang kemudian menjadi inspirasinya untuk berubah sekaligus menciptakan lagu baru. Namun kebahagiaan berlangsung singkat, Mok yang berjuang melawan leukemia harus melewatkan konser amal Wind yang sukses mengangkat namanya kembali.

Pariyachat dan Worawej memang tidak bermain buruk tapi akting mereka tidak spesial. Nilai plus ada pada faktor wajah keduanya yang tergolong enak dilihat, setidaknya mampu menghidupkan chemistry yang manis. Sebetulnya peran Wind sendiri cukup menantang dimana terjadi pergeseran karakter dari awal hingga akhir film tapi sayangnya titik baliknya terlalu cepat, hanya 30 menit setelah kemunculan anak-anak penderita leukemia. Ketertarikan Mok kepada Wind juga terbilang instan setelah keduanya baru saling mengenal dalam hitungan jam.

Sutradara Srisukontarat sukses menghadirkan production value yang memikat, terutama sinematografi panoramik Thailand Utara yang sangat indah dengan bukit bunga Doi Mae Ou Khor atau danau Pang Ung tersebut. Dukungan tata suara dan musik juga berupaya menyentuh sanubari penonton dengan lirik jujur nan menyentuh dalam dentingan piano. Sayangnya editing yang kurang mulus terkadang membuat peradeganan terasa berlompatan meski bisa jadi disengaja demi menyiasati tempo film yang berjalan cukup lambat itu.

Skrip film seakan dikerjakan mulai dari bagian akhir sebelum ditarik melebar sampai prolog lewat serangkaian proses klise. Itulah sebabnya The Melody amatlah predictable, lengkap dengan romantic dan heartfelt scenes yang dirancang untuk membuat anda tersenyum sekaligus menitikkan air mata di lain kesempatan melihat perkembangan asmara kedua tokoh utamanya. If you love Thai movies or sad ones as well, this is still worth to watch. Prepare some tissue first just in case you and your girlfriend can’t keep those tears falling down your face!

Durasi: 
90 menit

Overall: 
7.5 out of 10

Movie-meter:

Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Senin, 24 September 2012

MISTERI PASAR KAGET : Uang Berganti Daun, Film Berganti Sinetron


Quotes:
Apa bapak percaya keberadaan pasar kaget yang katanya kalo siang itu kuburan tapi kalau malam berubah menjadi pasar?

Nice-to-know: 
Film yang diproduksi oleh Cakrawala Fastindo Film dan Tirto Media Utama ini gala premierenya diadakan di Hollywood XXI pada tanggal 24 September 2012.

Cast: 
Erly Ashyla sebagai Bethari
Permata Sari Harahap sebagai Putri Cemeti
Liek Suyatno sebagai Mbah Rekso
Masroom Bara sebagai Kyai Sambu
Baron Hermanto
Ava Solo
Roy Marten
Yati Surachman
Polo
Chandra Sundawa

Director: Wimbadi JP dan Kiki Nuriswan.

W For Words: Setelah judul muncul sebagai pembuka film, nampaknya ada dua nama familiar yang menyita perhatian saya yaitu Monty Tiwa dan Khikmawan Santosa di jajaran editor supervisor dan sound designer supervisor. Namun tak usah bercapek-capek menanyakan sejauh mana keterlibatan mereka dalam film produksi patungan Cakrawala Fastindo Film dan Tirto Media Utama ini. Cukup percaya saja pada produser debutan, Herbayu Aditra dalam upayanya mengangkat urban legend yang berhembus di Yogyakarta ini. Pernah dengar?

Tepat pada malam pernikahan Putri Cemeti, suaminya dibunuh perampok. Ayahnya yang memergoki juga tak luput menjadi korban. Ibunya Bethari bersama Putri Cemeti akhirnya memutuskan bunuh diri dengan melompat ke jurang. Mereka berubah menjadi siluman penunggang delman dimana setiap malam berkeliling membantai para lelaki yang tengah bermesraan dengan pasangan mereka. Adalah Mbak Rekso dan Kyai Sambu yang tidak ingin tinggal diam dan ingin menghentikan teror yang biasanya mengiringi kemunculan pasar mbengi di area pekuburan tersebut.

Semua plot dalam film terasa nonsens. Pertama, ketidakjelasan motif Bethari dan Putri Cemeti membunuh orang-orang desa secara random. Penjelasan yang akhirnya didapat di akhir cerita malah membuat penonton mengernyitkan dahi seraya berujar, “WTF?!”. Kedua, keberadaan pasar kaget, pasar setan, pasar mbengi atau apalah sebutannya dalam film menjadi saru. Apa sih yang sebetulnya ingin disampaikan selain duit berubah menjadi daun? Ketiga, siapa sebenarnya sosok protagonis yang ingin dikedepankan dalam film? Mbah Rekso, Kyai Sambu? Jawabannya tidak ada. 

Kemalangan yang dialami dua karakter utama ibu dan anak tersebut juga belum cukup membangun simpati penonton yang digiring untuk memahami perbuatan jahat mereka. Erly Ashyla jelas bukan almarhumah Suzanna yang mampu menciptakan ikon kuat di layar lebar terlepas dari kemiripan make-up dan kostum Bethari. Permata Sari Harahap lebih menyedihkan lagi karena sepanjang film hanya mengamati atau berteriak-teriak memanggil sang ibu yang tengah menjalankan aksi. Sederet kalimat dari Putri Cemeti dalam menutup film spontan membuat saya terjungkal dari kursi sebelum dibantu berdiri oleh petugas bioskop yang dari wajahnya tampak merasa bersalah sudah memutar film yang.. Apa tadi judulnya?

Duet sutradara Wimbadi JP dan Kiki Nuriswan mungkin tidak bermaksud membuat sebuah film buruk, hanya saja kinerja mereka tidak inspiratif samasekali. Nuansa tradisional memang berhasil dipresentasikan lewat tata artistik yang cukup meyakinkan tapi tidak ada artinya jika panggung megah itu disia-siakan dengan adegan para pelakon yang sibuk menutup pintu, berlarian kesana kemari setelah mendengar suara delman di sepanjang durasinya. Teror ketakutan juga gagal dihadirkan lewat “ciuman maut” frekuentif dari Bethari atau sajian “ilmu kanuragan” ala kadarnya yang membuat saya terus berpikir keras memutar otak, “Dia sebenernya ngapain sih?”


Entah apa visi dan misi filmmakers dalam memproduksi film dengan kualitas semacam ini di tahun 2012! Misteri Pasar Kaget tak lebih bagus dan malah mungkin lebih jelek dari sinetron Indosiar yang setidaknya punya puluhan jam untuk mengeksplorasi ide absurd sekaligus menjelaskannya pada penonton. Itupun dengan catatan gratis, cukup toleran dengan suguhan iklan komersial di setiap jedanya. Namun bagi penonton yang datang ke bioskop dan membayar seharga tiket, kekecewaan mereka dapat dianalogikan seperti mendapati uang di tangan berubah menjadi daun. Setali tiga uang!

Durasi: 
79 menit

Overall:
- 

Movie-meter:
No rating

Minggu, 23 September 2012

HEROINE : Desperate Survival In Movie Industry


Quotes:
Pallavi: Either you manipulate, or you get manipulated. The choice is yours, babes.

Nice-to-know:
Film yang diproduksi oleh Bhandarkar Entertainment dan UTV Motion Pictures ini rilis di India pada tanggal 21 September 2012.

Cast:
Kareena Kapoor sebagai Mahi Arora
Randeep Hooda sebagai Angad
Arjun Rampal sebagai Aryan Khanna
Shahana Goswami sebagai Promita
Lillete Dubey sebagai Ibu Mahi Arora
Divya Dutta sebagai Pallavi
Ranvir Shorey

Director:
Merupakan
film kesebelas bagi Madhur Bhandarkar setelah Dil Toh Baccha Hai Ji (2011).

W For Words:
Begitu menarikkah kehidupan seorang pelakon wanita di luar layar? Tentu saja! Terlebih perjalanan karir aktris yang biasanya dianggap lebih singkat daripada aktor dalam industri perfilman manapun tanpa terkecuali Bollywood yang sangat produktif mengeluarkan sekitar 500 judul film dalam setahunnya. Sutradara pemenang National Award, Madhur Bhandarkar mengangkat tema tersebut lewat skrip yang juga ditulisnya bersama Niranjan Iyengar. Aktris cantik yang dikenal dengan julukan Bebo yaitu Kareena Kapoor menjadi tokoh sentral sekaligus nyawa film.

Mahi Arora adalah seorang aktris besar yang tengah berada di puncak kejayaan. Kandasnya hubungan dengan Aryan di ambang pernikahan mereka dalam sekejap menghempaskan Mahi ke titik nadir. Peran Pallavi sebagai PR handal untuk setiap langkah yang diambilnya perlahan mengembalikan Mahi ke jalur yang semestinya. Kedekatan dengan kapten tim cricket India, Angad semakin menyempurnakannya. Namun ternyata peran besar untuk membuatnya bertahan di industri perfilman bukan hal yang mudah untuk digapai.

Aktris yang bermain sebagai “aktris” jelas bukan perkara mudah. Kali ini Kareena Kapoor melakukannya dengan cemerlang. Emosi naik turun seiring pergeseran konflik terpampang jelas seperti optimis, depresi, bahagia, sedih dsb di dalam sosok Mahi Arora yang penuh percaya diri. Fleksibilitas akting Randeep Hooda sebagai Angad tampak lebih baik dari Arjun Rampal yang bermain tipikal sebagai Aryan. Kredit tersendiri pantas disematkan bagi Divya Dutta yang cerdas ambisius sebagai public relation Pallavi dan juga Shahana Goswami sebagai aktris lesbian Promita. 

Agaknya Madhur Bhandarkar mengerti betul seluk beluk perfilman Bollywood. Banyak karakter stereotype disini mulai dari sutradara idealis, aktor perfeksionis, aktris oportunis dan sederet pelaku industri dengan segala sikap saling memanfaatkannya. Tak lupa bumbu rokok, alcohol dan seks juga menyertai. Babak demi babak yang repetitif itu pada akhirnya ditutup dengan ending tak inspiratif. Sinematografi Mahesh Limaye mampu menghadirkan nuansa glamor yang diharapkan. Musik dari Salim-Sulaiman dengan nomor-nomor Halkat Jawani, Saiyaan dan Heroine cukup earcatchy.

Dua setengah jam anda akan “dipaksa” untuk bisa bersimpati pada Kareena Kapoor karena frekuensi patah hati dan politik kotor yang cukup melelahkan. Kontradiktif dengan sifat pemarah dan oportunisnya yang lumayan menyebalkan. Argumentasi yang dilakukan bersama sang ibu sayangnya terlalu singkat dimana latar belakang seorang Mahi harusnya bisa lebih dieksplorasi untuk pemahaman karakter. Beruntung permainan dialog-dialog bernas nan menggigit masih mampu menjaga intensitas penonton untuk bertahan di kursi masing-masing.

Layaknya film India pada umumnya, Heroine mengalami penurunan kualitas paska interval. Kedangkalan skrip pendek yang didramatisir sedemikian rupa itu menjadi penyebab utamanya. Pengembangan plot nyaris tanpa inovasi baru sehingga sangat predictable. Setidaknya akting mumpuni dan seksi Kareena Kapoor dalam balutan baju indah dan make-up cantik menyelamatkan film dari kebosanan. Wajib tonton bagi anda yang tertarik dengan “rahasia kehidupan” para pelaku industri yang selama ini telah menawarkan begitu banyak alternatif hiburan.

Durasi:
150 menit

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:

Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Sabtu, 22 September 2012

ARCHITECTURE 101 : When First Love Gets Another Shot


Quotes: 
Seung-Min: If I give up here, I think I will regret

Nice-to-know: 
Film yang diproduksi oleh Myung Films ini sudah rilis di Korea pada tanggal 22 Maret 2012 yang lalu.

Cast: 
Eom Tae-woong sebagai Seung-min Dewasa
Han Ga-in sebagai Seo-Yeon Dewasa
Lee Je-hoon sebagai Seung-min Muda
Bae Su Ji sebagai Seo-Yeon Muda
Ko Jun-hee sebagai Eun-chae
Kim Dong-Joo sebagai Ibu Seung-Min
Lee Seung-Ho sebagai Ayah Seo-Yeon

Director:
Merupakan
film kedua bagi Lee Young-Ju setelah Possessed (2009).

W For Words: 
Saya percaya sebuah statistik yang menyatakan bahwa hanya 1 dari setiap 1000 orang di dunia yang beruntung bisa hidup bahagia bersama cinta pertamanya. Sisanya harus berakhir di tengah jalan karena 1001 alasan yang tidak akan pernah sama. Bagaimana jika anda mendapatkan satu kesempatan lagi untuk berjumpa dengan cinta pertama anda di waktu dan kondisi yang sudah sangat jauh berbeda? Melodrama Korea yang hak distribusi nya dipegang oleh Lotte Entertainment ini berupaya mempresentasikan kasus langka tersebut sedekat mungkin dengan kenyataan.

Arsitek Seung Min tiba-tiba mendapat kunjungan wanita tak dikenal yang menginginkan dirinya membangun kembali rumah masa kecilnya di Pulau Jeju. Dia adalah Seo Yeon yang ternyata cinta pertama Seung Min di tahun pertama kuliah kelas arsitektur. Awalnya Seung Min menolak sebelum menyanggupi tugas terakhirnya ini sebelum bertolak ke Amerika Serikat. Kenangan indah kembali bangkit dimana kisah cinta lama mereka ternyata belum benar-benar selesai. Mungkinkah kesempatan kedua itu datang?

Sutradara sekaligus penulis skrip Lee Young-ju secara lugas membagi frame ke dalam dua masa yang berbeda dengan rentang waktu 15 tahun. Alur maju mundur itu sedikit banyak membantu penonton untuk bersungguh-sungguh memahami karakter Seung Min dan Seo Yeon sesuai usia mereka. Beberapa tempat yang menjadi lokasi syuting seperti kelas, kantor, rumah keluarga, warung makan juga mampu memberikan nuansa yang dibutuhkan termasuk rumah yang dibangun secara khusus di Kota Namwon, Pulau Jeju. Referensi struktural tahun 90an juga tidak hilang, lihat saja gaya rambut, baju gombrong, pemutar cd, komputer harddisk terbatas dan tentunya radio panggil alias pager

Tokoh Seung Min muda akan membuat banyak penonton pria bersimpati. Siapa yang tidak pernah merasakan ada di posisinya? Deg-degan melihat gadis pujaan lewat, keinginan memegang tangan dan menciumnya, meluangkan waktu bersama, menyatakan perasaan terdalam dsb. Je-hoon menjiwainya dengan naïf dan nervous sekaligus, tipikal lelaki pemalu yang lebih memilih mundur daripada maju dan menelan kekalahan. Tae-woong melanjutkan karakter tersebut ke dalam pria dewasa yang mandiri, rasional dan berkemauan keras. I love the transformation here!
 
Tokoh Seo Yeon remaja jelas pujaan banyak lelaki. Cantik, lembut, bercita-cita menjadi pianis ternama dan berasal dari kalangan berada. Su Jie menokohkannya dengan ceria dan bersemangat, tipikal gadis yang bisa mendapatkan apa saja. Ga-in melanjutkan karakter tersebut ke dalam wanita dewasa yang tegar, percaya diri dan tahu apa yang diinginkannya. Itulah sebabnya, Seo Yeon selalu tampak selangkah lebih maju di depan Seung Min untuk urusan inisiatif walau tidak sampai dikatakan agresif.

Bukan cuma urusan cinta, Young-ju turut menghadirkan apa yang biasanya ada di film negeri ginseng tersebut yaitu keluarga! Kecintaan Seo Yeon pada ayahnya terlihat dari tekadnya membangun kembali rumah yang telah runtuh serta kunjungan besuknya di rumah sakit. Relasi naik turun Seung Min dan ibunya justru lebih dalam lagi, pertengkaran dan perpisahan yang emosional juga mewarnai kehidupan mereka yang sederhana. Konektivitas sebuah hubungan panjang dilakukan lewat simbolis pintu rusak dan kaos Geuss milik Seung Min remaja serta batu bata tinggi badan dan jejak kaki milik Seo Yeon kecil. Hal-hal sepele yang bermakna dalam apabila diusung secara tepat.

Memori cinta pertama dan patah hati pertama bisa jadi membekas di lubuk terdalam setiap orang. Architecture 101 membangkitkan itu semua secara wajar dan relevan. Berbagai kesalahpahaman yang mengarah pada keputusan yang salah kerapkali berujung pada penyesalan dan rasa penasaran tanpa jawab di kemudian hari. Sad factor kali ini adalah perasaan pilu menyaksikan dua orang yang sebetulnya saling mencintai tapi tidak bisa bersama. Itulah realita pahit bahwa hidup memang tak selalu berakhir bahagia. Eventhough might not the way you want it to be but the ending sticks just perfectly to the statement.

Durasi: 
118 menit

Overall: 
8.5 out of 10

Movie-meter:

Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Jumat, 21 September 2012

TED : As Crazy As Its Charms


Quotes: 
Ted: [dressed in a suit and tie] I look stupid.
John: No, you don't, you look dapper.
Ted: John, I look like something you give to your kid when you tell 'em Grandma died.

Nice-to-know: 
Tak banyak yang tahu jika Mark Wahlberg dan Seth MacFarlane lolos dari tragedi 9/11 karena tidak naik pesawat yang menabrak World Trade Center pada waktu itu. Wahlberg sudah memesan tiket penerbangan American Airlines Flight 11 tapi memutuskan berkendara ke New York terlebih dahulu sebelum terbang ke California berikutnya. McFarlane sudah dijadwalkan di pesawat yang sama tetapi tertinggal 10 menit dan sempat melihat tabrakan tersebut ketika duduk di bandara.

Cast: 
Mark Wahlberg sebagai John Bennett
Mila Kunis sebagai Lori Collins
Seth MacFarlane sebagai Ted
Joel McHale sebagai Rex
Giovanni Ribisi sebagai Donny
Patrick Warburton sebagai
Guy

Director: 
Merupakan feature film debut bagi Seth MacFarlane yang lebih dikenal sebagai aktor dan penulis ini.

W For Words:
Setiap anak di belahan dunia manapun pasti pernah memiliki mainan kesayangan masa kecil. Berapa dari anda yang akan unjuk tangan jika saya sebutkan boneka teddy bear sebagai salah satu contohnya? Nyaris semua! Berapa dari anda yang, katakan saja, beruntung mendapati boneka teddy bear anda hidup? Tidak ada! Setidaknya imajinasi tersebut mampu divisualisasikan secara unik lewat kolaborasi Universal Pictures, Media Rights Capital, Fuzzy Door Productions, Bluegrass Films dan Smart Entertainment yang diperuntukkan bagi kalangan dewasa saja ini.

John Bennett kecil tidak pernah memiliki teman sampai orangtuanya membelikan boneka teddy bear pada hari Natal. Satu permintaan saat bintang jatuh terkabul, Ted hidup dan menjadi sahabat terbaik John.. sampai berusia 35 tahun! Empat tahun sudah, John menjalin hubungan kasih dengan Lori Collins yang secara status sosial dan pendapatan jauh di atasnya. Hal itu tidak mengurangi kemesraan mereka dimana John sendiri mulai berpikir untuk menikah. Masalahnya Lori tidak terlalu menyukai Ted yang dianggapnya sebagai penghambat. Bagaimana kelanjutan polemik dilematis ini?

Rasanya tinggal menunggu waktu bagi seorang berbakat seperti Seth MacFarlane untuk dapat mengeluarkan segenap potensi yang dimilikinya. Kesempatan itu tiba melalui film ini dimana ia bertindak sebagai produser, sutradara, penulis dan pengisi suara! Premis yang semula terdengar bodoh, absurd dan mustahil itu mampu dikejawantahkan secara brilian menjadi komedi slapstick bernuansa satir yang mampu mengundang tawa dan simpati dari penonton pada saat bersamaan. Semua karakter dalam film ini memiliki fungsi masing-masing untuk menjembatani setiap konflik yang ada.

Mark Wahlberg sukses menghidupkan tokoh pria dewasa John Bennett yang pecundang tetapi tetap pribadi yang menyenangkan, kawan dan kekasih yang setia. Mila Kunis memberikan persona tepat bagi wanita karir Lori Collins yang memiliki perencanaan dan masa depan yang cemerlang. Keduanya berbagi  chemistry yang believable, tidak luar biasa tapi cukup menerjemahkan problema apa yang kira-kira ada di antara mereka. Pihak antagonis berhasil dibawakan Giovanni Ribisi dan Max Harris sebagai ayah dan anak yang terganggu mentalitasnya. Selain itu Joel McHale juga memberikan kontribusi menarik lewat sosok atasan yang congkak dan kelewat percaya diri.

Polah tingkah Ted di sepanjang film memang efektif mengocok tawa. Anda tetap akan jatuh cinta padanya walau segila apapun kelakuannya. Adegan paling membekas dalam benak anda bisa jadi ketika Ted menunjukkan kemesumannya lewat bahasa tubuh nan eksplisit. Hilarious! Kinerja animasi dari Tippett Studio dan Iloura secara luar biasa mampu mewujudkan gerak bibir, mata, tubuh yang amat nyata layaknya manusia dalam ukuran mini. Alih suara dari MacFarlane turut memberikan “nyawa” tersendiri, terlepas dari betapa familiarnya formula sidekick yang digunakan sang creator dalam membangun sisi komedik yang diinginkan.
Berbagai referensi yang digunakan film ini memang lawas. Teddy Ruxpin adalah boneka beruang yang bisa berbicara dan menjadi mainan terlaris medio 1985-1986. Hm, Ted mungkin tidak “semanis” Teddy karena lebih suka mengisap ganja dan bermain perempuan. Masih ada sains fiksi petualangan klasik, Flash Gordon (1980) yang menampilkan Sam J. Jones sebagai dirinya sendiri. Sosok yang menjadi role model bagi John Bennett yang mendambakan kekuatan serupa untuk setidaknya mengubah hidupnya ke arah yang lebih baik. Manusiawi bukan?
Kelebihan utama Ted tidak hanya menjual kelucuan tapi juga definisi nyata tentang cinta dan persahabatan sejati yang begitu lekat dengan kehidupan sehari-hari. SIapa yang tidak pernah ada di posisi John Bennett? Untuk itulah film yang menggunakan narasi linier layaknya komik bergambar itu memang lebih disegmentasikan untuk penonton pria dewasa. Satu pertanyaan antah berantah yang tak terjawab adalah jika Ted begitu terkenal, mengapa ia masih harus bekerja dan John masih kesulitan uang? In the end, not every moviegoers will fully appreciate this movie but surely everyone of them will love Ted, cute heart-warming bear who always know how to have fun and friends.

Durasi: 
106 menit

U.S. Box Office:
$217,838,900 till Sep 2012

Overall:out of 10

Movie-meter:

Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent