Sabtu, 30 Juni 2012

THE FLOWERS OF WAR : Powerful Defense With Hearts and Sacrifices


Quotes:
Yu Mo: Sometimes the truth is the last thing we want to hear..

Nice-to-know:
Film yang mewakili China dalam ajang Academy Awards 2012 kategori Film Berbahasa Asing Terbaik ini proses syutingnya berlangsung 18 jam per hari selama 164 hari .

Cast:
Christian Bale sebagai John Miller
Ni Ni sebagai Yu Mo
Zhang Xinyi sebagai Shujuan Meng
Tong Dawei sebagai Major Li
Atsurô Watabe sebagai Colonel Hasegawa
Huang Tianyuan sebagai George

Director:
Merupakan film ke-22 bagi Zhang Yimou yang memulainya lewat Red Sorghum (1987).

W For Words:
“13 Flowers of Nanjing” karya Geling Yan adalah satu dari sekian novel milik alumni Columbia College Chicago Fiction Writing MFA itu yang diadaptasi ke layar lebar. Kali ini tidak main-main karena digarap langsung oleh sutradara kenamaan China, Zhang Yimou. Film ini akhirnya menjadi wakil RRC dalam ajang Academy Awards 2012 kategori Film Berbahasa Asing Terbaik  meski gagal masuk 5 besar. Kisah yang mengambil setting masa penjajahan Jepang memang bukan hal yang baru tetapi tetap menarik untuk disimak karena memberikan sudut pandang yang berbeda dari yang sudah-sudah.

China, 1937. Perias mayat, John Miller dalam perjalanan menuju gereja Katolik di Nanjing untuk menguburkan seorang pendeta mendapati dirinya berada di tengah situasi perang yang memuncak. Sekelompok siswi harus berbaur dengan segerombolan pelacur yang tengah mencari perlindungan di dalam sekolah tersebut. Suasana sengit yang tercipta di awal memang harus diakhiri dengan kerjasama untuk kertahan hidup. John dianggap kedua kubu sebagai orang yang tepat untuk membela kehormatan mereka dari penindasan tentara Jepang yang membuat banyak korban berjatuhan.

Sutradara Zhang memaksimalkan bujet terbesar dalam sejarah perfilman China untuk menghadirkan sekuens sinematik yang apik sesuai jamannya. Drama historis ini banyak memaparkan simbolisme yang penuh makna perjuangan dan pengorbanan sehingga aspek realistisnya terjaga dengan baik, apalagi lewat kinerja handheld camera di beberapa bagian. Sama dengan kondisi Perang Dunia II yang pernah diperlihatkan dalam Saving Private Ryan (1998). Desain gereja Yohei Tanada yang megah tersebut kontras dengan tata kostum William Chang Suk-Ping yang variatif bagi masing-masing karakter.

Banyak sekali memorable scenes yang akan membekas dalam ingatan anda. Perjuangan seorang tentara China hingga titik darah penghabisan dalam memerangi sekelompok tentara Jepang yang kejam, heroisme yang akan memancing sorakan anda. Tindakan pelecehan seksual secara masal terhadap warga sipil yang begitu keji, anti-humanisme yang akan mencabik perasaan anda. Sisanya adalah perjuangan untuk bertahan hidup termasuk berlari di tengah terjangan peluru sekaligus pengorbanan untuk aspek kemanusiaan yang lebih mulia lagi. Lupakan sejenak niatan Zhang dalam mengeksplorasi hubungan “cinta lokasi” antara John dan Yu Mo sebagai bumbu tontonan belaka.

Bale tergolong sukses menerjemahkan bajingan pemabuk yang egois dan haus uang menjadi pendeta karbitan yang patriotik dan penuh perhatian. Sayangnya sejak awal penonton sudah diperkenalkan pada tokoh John Miller yang demikian, tanpa karakterisasi dan latar belakang yang mendukungnya. We just have to accept him for the way he is at the present. Debutan Ni Ni sebagai pelacur intelek Yu Mo seakan diciptakan untuk meneruskan figur “kembang baru” dalam perfilman China seperti halnya Gong Li, Zhang Ziyi, Tang Wei di masa lampau. Sama mengesankannya adalah Huang sebagai si kecil George atau Atsurô sebagai Colonel Hasegawa yang memberikan perspektif berlawanan dari sosok antagonis Jepang sejak menit pertama bergulir.

Sedikit kelemahan disini adalah Zhang terlalu memaksakan setiap tokoh dalam The Flowers Of War memiliki fungsinya masing-masing sebagai penyokong cerita. Itulah sebabnya alasan sepele tokoh Dou dan Lan ngotot keluar gereja menjadi pertanyaan banyak penonton, atau bagaimana campur aduknya emosi dalam adegan pertukaran identitas sehingga penonton dapat tertawa di tengah kesenduan yang dibangun. Pada akhirnya drama emosional ini memilih bertahan (di dalam gereja) untuk memerangi kecamuk dilematis dalam diri untuk berbuat sesuai hati nurani, bukan karena tuntutan keadaan. Still one powerful experience for becoming one of the witnesses we have never lived in!

Durasi:
146 menit

U.S. Box Office:
$4,430,650 till Mar 2012

Overall:
8 out of 10

Movie-meter:

Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Kamis, 28 Juni 2012

AMBILKAN BULAN : Kesederhanaan Imajiner Kepolosan Anak-anak

Quotes:
Amelia: Kenapa sih mama gak pernah cerita kalo aku punya kakek nenek yang masih hidup?


Nice-to-know: 
Film yang diproduksi oleh Mizan Productions bekerjasama dengan Falcon Pictures ini gala premierenya dilangsungkan di Epicentrum XXI pada tanggal 17 Juni 2012.

Cast:
Lana Nitibaskara sebagai Amelia
Agus Kuncoro sebagai Ayah Amelia
Astri Nurdin sebagai Ratna
Landung Simatupang sebagai Mbah Gondrong
Hemas Nata Negari sebagai Pandu
Bramantyo Suryo Kusumo sebagai Kuncung
Jhosua Ivan Kurniawan sebagai Hendra
Berlianda Adelianan Naafi sebagai Ambar

Director: 
Merupakan film ketujuh bagi Ifa Isfansyah yang tahun lalu menggebrak lewat Sang Penari / The Dancer.

W For Words: 
Masa liburan sekolah memang biasanya diisi oleh film anak-anak. Pertama kali melihat nama sutradara Ifa Isfansyah yang tengah naik daun berkat Sang Penari (2011) melakukan kecenderungan itu ditambah faktor penulis skrip handal Jujur Prananto yang juga terlibat, ekspektasi saya seketika melambung jauh. Dapat dikatakan film yang terinspirasi dari lagu kondang lawas milik A.T Mahmud ini memiliki nilai jual yang tinggi walaupun aktor-aktris cilik pendatang baru yang terlibat di dalamnya belum mempunyai nama samasekali.

Setelah kematian suaminya, Ratna harus banting tulang untuk menghidupi keluarga. Sayang putri semata wayangnya, Amelia justru merasa kesepian dan kurang perhatian. Perkenalannya dengan sepupu Ambar melalui Facebook membuat Amelia bertekad menghabiskan waktu liburnya di desa. Di sana ia bertemu teman-teman Ambar yaitu Pandu, Kuncung dan Hendra bersama-sama menjelajah desa Karanganyar. Mereka keasyikan bermain hingga tersesat di hutan angker yang konon dihuni oleh Mbah Gondrong yang tidak bersahabat dengan anak-anak. 

Genre fantasi musikal yang diusung film memang cenderung konsisten dari awal sampai akhir. Adegan pembuka yang memperlihatkan lukisan “hidup” dengan kupu-kupu yang terbang “keluar” sudah menjelaskan konsepnya. Peran CGI disini amatlah penting. Hasilnya memang cukup memanjakan mata terlepas dari korelasi dengan bangunan cerita yang tidak terlalu krusial di beberapa bagian. Tidak lupa pakem “modernisasi” juga tercermin dari penggunaan ponsel canggih hingga kefasihan bersosial media di kalangan anak-anak tersebut. Sebuah contoh relevansi nyata yang sulit disembunyikan.

Bagian awal yang menitikberatkan konflik anak dan orangtua memang biasa. Beruntung sutradara Ifa tak mendramatisir, ia memilih untuk menekankan esensi “pengertian” Ratna terhadap Amelia dan begitupun sebaliknya dengan caranya masing-masing tanpa harus berlebihan. Paruh terakhir yang mengedepankan persahabatan Amelia dengan kawan-kawan barunya terjalin melalui dialog-dialog wajar, sesekali memancing tawa karena perbedaan dialek ataupun bahasa yang terjadi. Memang secara chemistry, kelima bocah ini belum menampilkan chemistry yang kuat satu sama lain tetapi kepolosan mereka lumayan mencuri perhatian penonton.

Pegunungan Lawu di Jawa Tengah yang menjadi latar belakangnya ditampilkan dengan sangat indah. Kontras dengan isu llegal logging alias pembalakan liar yang diangkat filmmaker. Tidak kompleks tapi sesuai dengan faktual yang ada. Saya bersyukur tidak ada stereotype penjahat pintar-pintar bodoh melawan anak-anak cerdas yang sudah terlalu sering diusung. Tokoh-tokoh cilik disini tampaknya cukup dewasa untuk memikirkan konsekuensi setiap tindakan mereka. Bukankah kecanggihan teknologi dalam menyerap informasi di jaman modern ini seharusnya membantu seperti itu?

Selayaknya genre fantasi pada umumnya, Ambilkan Bulan sedikit terjebak pada absurditas hampa yang membuat plotnya terasa diperpanjang disana-sini. Hal ini cukup melelahkan bagi penonton untuk mengikutinya sampai akhir dengan menghiraukan kebosanan yang hinggap. Namun sisi musikalitas yang dibebatkannya berhasil menutupi kelemahan tersebut. Olah vokal dan koreografi para pemeran film ini dituntaskan dengan baik. Dukungan sepuluh hit lawas A.T Mahmud yang disuarakan sejumlah musisi kondang Indonesia dengan sedikit pembaharuan itu mengalun nyaman di telinga. Suguhan sederhana nan imajinatif dari dan untuk hati ini tetaplah pantas diapresiasi.

Durasi: 
90 menit

Overall: 
7 out of 10

Movie-meter:

Rabu, 27 Juni 2012

TEXAS KILLING FIELDS : Promising Casts Confusing Thriller

Tagline:
Once in... There's no way out.

Nice-to-know:
Dalam mempersiapkan peran mereka, Sheryl Lee dan Chloë Grace Moretz menghabiskan waktu di pusat rehabilitasi pengguna narkoba.

Cast:
Sam Worthington sebagai Mike Souder
Jeffrey Dean Morgan sebagai Brian Heigh
Chloë Grace Moretz sebagai Little Ann Sliger
Corie Berkemeyer sebagai Shauna Kittredge
Trenton Perez sebagai White Kid
Sheryl Lee sebagai Lucie Sliger
Jessica Chastain sebagai Pam Stall

Director:
Merupakan feature film kedua Ami Canaan Mann setelah Morning (2001).

W For Words:
Konon film ini dibuat berdasarkan kisah nyata pembantaian sejumlah gadis belia yang terjadi di Texas bagian Selatan yang hingga hari ini kasusnya belum terungkap. Skrip yang dikerjakan oleh Don Ferrarone ini mungkin akan mengingatkan anda pada The Texas Chainsaw Massacre (2003) walau tidak sampai mencapai tingkat gory yang sama. Sekali lagi kombinasi kejahatan dan kegilaan pelaku yang kontras dengan kelambanan polisi dalam beraksi di kota kecil menjadi suguhan utama yang banyak dilakukan oleh filmmakers internasional sebelumnya.

Mike Souder yang bertindak sebagai detektif pembunuhan di kota Texas mendapat partner baru dari New York yaitu Brian Heigh. Keduanya tengah mengusut jejak pembunuh berantai sadis yang selalu membuang mayat korbannya yang telah dimutilasi ke dalam area yang disebut The Killing Fields. Sang pembunuh yang selalu selangkah lebih maju dalam permainan kerapkali menjebak kedua detektif tersebut dengan petunjuk palsu. Ketika gadis lokal Ann Sliger menghilang, Mike dan Brian pun harus berpacu dengan waktu untuk menyelamatkan sekaligus membekuk orang yang mereka buru.

Prosedur interogasi dan penyidikan kasus dalam film ini tidak jauh berbeda dengan apa yang sudah disuguhkan serial televisi bertemakan serupa, sebut saja Law & Order atau CSI. Sang penulis skrip yang juga mantan petugas administrasi Badan Anti Narkoba seakan langsung menempatkan audiens di tengah situasi yang berjalan dimana segala petunjuk sebelumnya tidak lagi dijelaskan. Belum selesai kebingungan berlangsung, penonton lantas diperkenalkan pada serentetan tokoh baru dari yang paling penting hingga yang selayang pandang begitu saja.

Dean Morgan sebenarnya sudah bermain meyakinkan dengan karisma detektif berpengalaman dan family man yang kuat dalam diri Heigh. Sebaliknya Worthington masih terjebak stereotype peran-peran sebelumnya, belum lagi perangai keras tokoh Souder seakan tanpa sebab. Moretz seperti biasa tampil paling memikat sebagai Ann yang memiliki problem keluarga tapi korelasinya terhadap bangunan cerita patut dipertanyakan. Belum lagi Clarke yang sebenarnya terlihat sukses sebagai bad ass Rule tapi timbul tenggelam sepanjang film. Sulit rasanya menjalin koneksi dengan salah satu tokoh disini meskipun nama-nama yang terlibat di dalamnya jelas bukan aktor-aktris sembarangan.

Upaya sutradara Canaan Mann (putri kandung Michael Mann) dalam menyuguhkan thriller kompleks beratmosfer depresi dan kehampaan memang cukup berhasil. Namun kesan amatir masih sulit lepas menilik sinematografi dan editingnya. Narasi liar antara tokoh, tempat dan kejadian yang terus berpindah-pindah pada akhirnya menyisakan minim ketertarikan bagi penonton yang sesungguhnya setia menantikan sesuatu yang brilian dan twisted. Hal tersebut tidak pernah terjadi! Texas Killing Field seharusnya tetap menjadi misteri menakutkan di dunia nyata, bukan menggelikan di layar lebar.

Durasi:
100 menit

U.S. Box Office:
$45,282 till Nov 2011

Overall:
6.5 out of 10

Movie-meter:

Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Selasa, 26 Juni 2012

CINTA DI SAKU CELANA : Hiburan Filosofis Pilihan Hidup


Quotes:
Gifar: Ya tapi lu gak bisa nungguin momen terus. Ciptain dong, Mad! Kesempatan yang udah di depan mulut, tinggal lu emut, malah lu lepehin.

Nice-to-know:
Film yang diproduksi oleh Starvision ini screeningnya diselenggarakan di Hollywood XXI pada tanggal 21 Juni 2012.

Cast:
Donny Alamsyah sebagai Ahmad
Joanna Alexandra sebagai Bening
Dion Wiyoko sebagai Gifar
Ramon Y Tungka sebagai Gubeng
Gading Marten sebagai Roy
Lukman Sardi sebagai Bagas
Enditha sebagai Briptu Nila

Director:
Merupakan film kedua bagi Fajar Nugros setelah Queen Bee (2009).

W For Words:
Pendekatan seseorang terhadap cinta bisa dilakukan dengan dua cara yaitu aktif dan pasif. Tentunya hasilnya akan berbeda pula. Itulah perbedaan karakter Ahmad dan Gifar yang saling bersahabat. Sekelumit kisah cerita pendek ‘Cinta di Saku Belakang Celana’ ini pertama kali muncul di note Facebook sebelum Gramedia menerbitkan versi novelnya karya Fajar Nugros dengan judul 'I Didn't Lose My Heart, I Sole it On eBay’. Starvision yang semula ingin rilis terbatas film yang didasari skrip garapan Ben Sihombing tersebut akhirnya setuju untuk rilis nasional demi menjangkau audiens yang lebih luas lagi.

Berangkat dari Panti Asuhan yang membesarkannya membuat Ahmad tumbuh dewasa meski tak pernah mengenal cinta. Rekannya di kantor pos yaitu Gifar mengajarkan Ahmad untuk berani mengejar cinta gadis manis bernama Bening yang dikenalnya melalui kiriman kartu pos tunangannya. Akhirnya Ahmad mau menulis surat cinta dan memberikannya pada Bening. Malang sebelum kesampaian, dompet Ahmad dicopet oleh Gubeng yang melarikan surat tersebut. Akankah Ahmad berserah pada realitas yang terjadi atau justru semakin ngotot mengejar impiannya yang beranjak menjauh itu?
 
Paruh pertama film dititikberatkan pada interaksi tiga tokohnya saja yaitu Ahmad, Gifar dan Bening. Donny Alamsyah dan Dion Wiyoko mendapatkan kesempatan sebesar-besarnya untuk mengeksplorasi persahabatan dua karakter yang berbeda dalam memandang cinta. Ahmad yang cerdas tapi naïf dalam bercinta berbanding terbalik dengan Gifar yang mahir bercinta tapi bodoh. Perkenalan terhadap tokoh Gubeng membuat paruh kedua berjalan dalam tempo yang lebih cepat dengan kemunculan tokoh-tokoh baru yang semakin mempertajam konflik mulai dari Roy, Bagas hingga Briptu Rahmat dan Briptu Nila. Mudah-mudahan penonton tidak bingung ataupun merasa terganggu dengan perubahan drastis ini.

Departemen musik dalam film ini terbukti berhasil membangun mood yang diinginkan. Lagu lawas Slank yakni Foto Dalam Dompetmu berkali-kali berkumandang menciptakan kesenduan cinta yang tak kunjung diraih. Sedangkan dua track dari pendatang baru Abbay Messi yaitu Cinta Di Saku Celana dan Hey Love mampu membangkitkan semangat optimisme dalam diri Ahmad. Kerjasama penata suara Khikmawan Santosa dan penata musik Tya Subiakto Satrio terjalin dengan baik sehingga menjadi nilai tambah tersendiri dalam dukungannya terhadap film secara keseluruhan.

Sutradara Nugros dengan terampil mengemas urban pop romantic comedy ini di luar pakem-pakem yang ada. Elemen kartu pos, commuter, binatu sampai Russian Roulette bukan dimaksudkan berjalan tanpa arti, ada makna tersembunyi di balik itu semua. Setting lokasi dapat dimaksimalkan sedemikian rupa untuk bercerita, lihat stasiun maupun gerbong KRL sebagai titik interaksi Ahmad dan Bening atau pasar Senen yang hiruk pikuk ketika Ahmad dan Gubeng harus berjibaku sebelum bernegosiasi. Sang editor Cesa David Luckmansyah juga menjalankan tugasnya dengan rapi untuk menjaga esensi film.

Cinta Di Saku Celana menyajikan drama dan komedi secara seimbang tanpa harus berlebihan. Deretan wajah yang sudah tidak asing antara lain Lukman Sardi, Enditha, Luna Maya, Masayu Anastasia, Lolita Putri, Imey Liem, Yati Surachman, Agus Kuncoro juga turut andil mengisi posisi ‘special appearance’. Catatan khusus bagi Pricillia Tanamal yang kocak sebagai Ibu Kos atau Vita Ramona yang membuka film dengan karikatural. Film ini murni bertutur tentang pilihan-pilihan krusial terutama profesi dan pasangan hidup yang kerapkali menentukan kelangsungan langkah anda selanjutnya. Sebuah presentasi filosofis yang samasekali tidak kehilangan tujuannya dalam menghibur penonton.

Durasi:
80 menit

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:

Senin, 25 Juni 2012

TERI MERI KAHAANI : Cliché Overlong Dramatic Love Stories

Quotes:
Aradhana: Cinta tidak hanya terjadi dengan saling memandang..

Nice-to-know:
Film yang diproduksi oleh kerjasama Kunal Kohli Productions, Eros International Media, Eros International, Wave Cinemas Awalnya ini sudah rilis di India pada tanggal 22 Juni 2012, sama seperti Indonesia.

Cast:
Priyanka Chopra sebagai Ruksar / Aradhana / Radha
Shahid Kapoor sebagai Javed / Govind / Krish
Greg Heffernan sebagai Officer Green
Omar Khan sebagai Mihir
Prachi Desai
Raj Singh Arora



Director:
Merupakan feature film kelima bagi Kunal Kohli yang memulai karirnya melalui film televisi berjudul Trikon di tahun 1990.

W For Words:
Perjalanan cinta sepasang kekasih pada tiga masa yang berbeda tentu bukan ide baru dalam industri perfilman, salah satunya adalah produksi Taiwan yang berjudul Three Times (2005) . Meski demikian gaya penyajian yang berbeda-beda tetap menjadikannya menarik untuk disimak apalagi didukung oleh latar belakang yang kuat. Penulis skrip Kunal Kohli, Robin Bhatt, Rumbles Kohli berdasar kisah nyata ini membangun konflik di setiap bagiannya sedemikian rupa untuk mempertahankan rasa ketertarikan penonton akan pasangan Priyanka Chopra dan Shahid Kapoor selama durasi nyaris dua jam.

Poona 1960, aktris Ruskar dan musisi Govind tak sengaja bertemu di gerbong kereta dan saling terpikat. Inggris 2012, pelajar Radha dan Krish tiba-tiba bertabrakan di jalan. Sargodh 1910, penduduk sipil di tengah pergolakan politik Aradhana dan Javed mendadak berjumpa di teras rumah. Ketiga bentuk permainan takdir itu membuat dua sejoli tersebut jatuh cinta walaupun harus menghadapi rintangan yang tidak mudah dilalui. Benarkah cinta sejati itu tak lekang oleh waktu?

Sutradara Kohli memilih gaya narasi yang tidak biasa untuk setiap masa dalam framenya masing-masing. Bukan perkara sulit mengingat sejuta kemungkinan konflik yang biasa menerpa sebuah hubungan cinta akan selalu ada mulai dari perjodohan, perselingkuhan, pemutusan hingga cinta segitiga. Kohli tinggal bermain dengan dramatisasi yang dipadukan dengan karikatural komedi yang menitikberatkan pada bahasa tubuh Priyanka-Shahid dan music latar karya. Sayangnya semua berjalan dalam pararelisme yang lambat dan cenderung membosankan.

Priyanka dan Shahid memang belum menghadirkan chemistry yang maksimal tetapi keduanya terlihat meyakinkan dalam membawakan kepribadian yang beragam pada tiga periode tersebut. Lontaran dialog-dialog puitis yang tercipta di antara mereka terkadang membuat anda membelalakkan mata walau tak jarang membuat anda menyunggingkan senyum. Karakterisasi yang tidak berkembang dari lemahnya skrip tak mampu ditutupi sehingga keterikatan penonton untuk larut dalam jalinan kisah pun tergolong minim.

Menit-menit terakhir Teri Meri Kahaani agaknya dijahit secara instan sedemikian rupa untuk membuahkan sebuah konklusi manis bahwa takdir cinta sejati akan selalu menemukan jalan untuk kembali. Naif memang tapi tidak ada salahnya diperjuangkan dengan keyakinan penuh jika kesempatan itu datang. Suatu esensi yang memang diharapkan dan sudah dapat diprediksi sebelumnya oleh para penonton yang sepertinya tidak antusias lagi menyongsong endingnya karena terlanjur merasa lelah. Don’t blame us because we’ve been told the whole stories before with all those cliché and similarities!

Durasi:
115 menit

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:

Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Minggu, 24 Juni 2012

BRAVE : Less Innovative But Still Morality Charming


Quotes:
Princess Merida: I want my freedom!
Queen Elinor: But are you willing to pay the price your freedom will cost?

Nice-to-know:
Awalnya dikabarkan berjudul The Bear and the Bow.

Voice:
Kelly Macdonald sebagai Merida
Emma Thompson sebagai Elinor
Billy Connolly sebagai Fergus
Julie Walters sebagai The Witch
Robbie Coltrane sebagai Lord Dingwall
Kevin McKidd sebagai Lord MacGuffin / Young MacGuffin
Craig Ferguson sebagai Lord Macintosh

Director:
Film kedua Brenda Chapman setelah The Prince of Egypt (1998) yang kali ini berkolaborasi dengan spesialis film pendek Mark Andrews dan astrada Steve Purcell.

W For Words:
Demi memperbaharui citarasa animasinya, Disney sudah beberapa kali bekerjasama dengan Pixar dalam menyuguhkan tontonan yang lebih modern dan tentunya menjual bagi segmentasi yang ditujunya. Salah satu dedengkot di belakangnya adalah Irene Mecchi yang kali ini bertandem dengan ketiga sutradara menggarap skrip aksi heroine (pertama kali dalam produksi Pixar) pemberani yang jago memanah dalam nuansa Skotlandia. Menarik walaupun trailernya tidak terlihat menawarkan apa-apa. Still we cannot judge a movie by its trailer only. See deeper and give it a chance, in fact it’s a school holiday for kids!

Puteri Merida seringkali berargumen dengan ibunya, Ratu Elinor yang ingin menikahkannya dengan salah satu dari putera Lord Dingwall, Lord MacGuffin atau Lord Macintosh. Kontes memanah pun diadakan dan bisa ditebak, Merida yang jago memegang busur pun menang telak. Ketika melarikan diri ke hutan, Merida berjumpa penyihir yang mengabulkan permintaannya yaitu mengubah sang Ibu sesuai takdirnya. Tak diduga, Ratu Elinor berubah menjadi beruang dan segera menjadi buruan seantero kerajaan. Merida harus andalkan keberaniannya untuk menghapus kutukan tersebut sebelum terlambat.

Premis yang diangkat masih seputar dongeng berlandaskan nilai-nilai keluarga yang memang tak terlalu inovatif. Pernah ada Brother Bear (2003) dengan ide yang kurang lebih sama, hanya berbeda ikatan dan gender saja. Disini Merida tetaplah tipikal puteri Disney yang mendambakan kebebasan dan kemandirian hidup. Konflik dengan sang ibu adalah kekuatan utama cerita tanpa berniat mengesampingkan sederetan tokoh lelaki yang berseliweran di istana dengan aksi spontanitas masing-masing. Raja Fergus dan tiga putra kembarnya terbukti masih mampu mencuri perhatian sebagai pelengkap.

Tampilan visualnya sangatlah memanjakan mata. Detil gesture terutama kibasan rambut merah kribo Merida amat diperhatikan. Alam Skotlandia dengan pegunungan, mata air alami, hutan rimbun sampai bukit hijau memang terasa lebih hidup dalam format 3D tetapi tidak terlalu esensial pengaruhnya. Musik latar yang menggugah juga mengalun pas mengiringi aksen Skotlandia asli Kelly McDonald dalam menyuarakan Merida yang pemberontak, sama halnya dengan aksen British aktris veteran Emma Thompson dalam menyulihkan Elinor yang over-protektif itu.

Brave memang lebih terkesan Disney yang simple and heartwarming dibandingkan Pixar yang complex and marvelous. Satu yang harus diakui adalah penyampaian pesan moral yang begitu mengena tentang menjadi diri sendiri tanpa harus bersikap egois. Penyesalan memang selalu datang terlambat tetapi akan selalu ada kesempatan untuk memperbaiki kerusakan yang sudah terjadi. Kids will love the decent fairytale and adults will enjoy the predictable moment to moment entertainment until it finished. Quite strong narrative from start to end with enough giggles from magical humors along the way.

Durasi:
100 menit

U.S. Box Office:
$66,700,000 in opening week of June 2012

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:

Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent