Jumat, 02 Desember 2011

MACHINE GUN PREACHER : Transformasi Pendeta Pejuang Anak Sudan

"Heartwrenching faith and gunfight. Butler handled mixed emotions perfectly. U don't see this kind of movie everyday!"

Tagline:
Hope is the greatest weapon of all.


Storyline:
Bebas dari penjara, Sam Childers bersama rekannya Donnie mendatangi Bandar narkoba yang telah menjebak mereka. Peristiwa tersebut berujung pada kematian seorang pria India yang kemudian mengubah Sam untuk mengikuti jalan Tuhan atas petunjuk istrinya Lynn. Pelan-pelan Sam mulai menata hidupnya dan merintis usaha konstruksi yang kemudian membawanya ke Sudan. Disanalah, Sam benar-benar merasa terpanggil jiwanya untuk menyelamatkan ratusan anak yang dipaksa untuk menjadi tentara perang. Keputusan yang mungkin akan mengubah hidupnya selamanya.

Nice-to-know:
Sebelum Michelle Monaghan, Vera Farmiga awalnya merupakan pilihan utama untuk peran Lyn tetapi batal karena tengah mengandung.

Cast:
Baru saja menyelesaikan peran Tullus Aufidius dalam Coriolanus, Gerard Butler bermain sebagai Sam Childers dalam film yang juga diproduserinya sendiri ini.
Terakhir mendampingi Jake Gyllenhaal dalam Source Code, Michelle Monaghan berperan sebagai Lynn Childers
Kathy Baker sebagai Daisy
Michael Shannon sebagai Donnie
Madeline Carroll sebagai Paige
Souleymane Sy Savane sebagai Deng

Director:
Merupakan film ke-9 bagi Marc Forster setelah terakhir menggarap 007-Quantum of Solace (2008).

Comment:
Pernah menyaksikan perjuangan seseorang yang bukan siapa-siapa tetapi berani mempertaruhkan segalanya demi kemanusiaan? Sebagian dari anda bisa jadi menyebutkan Hotel Rwanda (2004) sebagai referensinya. Kali ini penulis skrip Jason Keller melakukan upaya terbaiknya yang didasarkan kisah nyata yang dialami oleh Sam Childers. Tema keagamaan bercampur dengan konflik sipil yang diakibatkan oleh krisis penderitaan rakyat Sudan tentu bukan topik yang mudah untuk diangkat.
Salah satu aktor favorit saya, Gerard Butler di luar dugaan menunjukkan akting terbaik di sepanjang karir aktornya. Transformasi emosi yang terus berubah-ubah di sepanjang film sesuai perjalanan hidup Sam Childers terasa amat nyata. Lihat bagaimana multiperan sebagai narapidana, pengedar narkoba, suami bertobat, ayah pemberontak, penembak jitu, pendeta optimis hingga pejuang kemanusiaan yang dilakoni Butler yang bukan kebetulan memiliki penampakan yang mirip dengan Childers asli.

Michael Shannon sebagai mantan partners in crime Childers juga menunjukkan bakat maksimal walau sutradara Forster tidak banyak memberikannya ruang ekspos. Sama halnya dengan Michelle Monaghan yang secara gemilang mampu bertindak sebagai istri suportif dalam susah maupun senang walaupun harus menyimpan rapat gejolak emosinya sendiri. Puluhan anak-anak Afrika yang ambil bagian disini juga menyuguhkan kontribusi natural sesuai kepentingan cerita.
Sutradara Forster menghadirkan sinematografi yang brilian dengan dukungan ilustrasi musik menyayat hati dari Tito Rahman. Perang sipil yang diwarnai penyiksaan, pembunuhan, penyanderaan hingga penghancuran benar-benar menghempaskan perasaan. Plot yang demikian rumit dan kontroversial ini dijabarkan secara detil memberikan waktu bagi penonton untuk mencerna makna demi maknanya. Satu kekurangan mendasar adalah tidak adanya timeline yang jelas sehingga kita tidak tahu berapa lama Sam Childers memperjuangkan semuanya di Sudan.

Catatan terpenting adalah isu yang diangkat dalam film ini mungkin tidak selalu sesuai bagi penonton yang memiliki imannya masing-masing. Proses menemukan Tuhan yang terkesan instan itu ditambah dengan fanatisme khotbah di hadapan umat Kristen yang berapi-api merupakan sebagian adegan yang cukup sensitif. Belum lagi reaksi kaum hipokrit akan pertentangan kebenaran secara logika dan hakiki yang silih berganti menemukan keberpihakannya itu.
Machine Gun Preacher mungkin bukan film yang anda ingin tonton lebih dari satu kali karena isinya yang membuat sanubari terasa miris. Namun momen-momen kuat di dalamnya berulang kali menyentuh perasaan anda. Sam Childer adalah seorang inspirator hitam di atas putih, yang untuk sejenak mungkin akan membuka mata anda terhadap realita kekejaman perang sekaligus mengetuk pintu hati agar mau berbuat sesuatu yang berarti bagi kaum-kaum yang kurang beruntung di luar sana.

Durasi:
129 menit

U.S. Box Office:
$531,595 till mid Nov 2011

Overall:
8 out of 10

Movie-meter:


Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Tidak ada komentar:

Posting Komentar