Kamis, 06 Oktober 2011

L4 LUPUS : Eksploitasi Penderita Lupus Ala Damien

Quotes:
Dokter Adam: RS ini milik semua orang, Tikah. Kesusahan bukan cuma milik kamu. Jadi dokter jangan cengeng!


Storyline:
Atikah adalah seorang dokter muda yang manis, ceria, tulus dan peduli pada pasien-pasiennya di RS Kramat. Sepulang kerja ia menghabiskan waktu dengan Mutiara, adiknya yang tuli, bisu, dan buta sejak lahir. Saat penyakit Lupus yang belum dapat disembuhkan menyerang Mutiara, perhatian Atikah semakin tersita hingga mengabaikan kehadiran Dokter Adam yang menaruh hati padanya. Namun roda kehidupan ternyata semakin kejam ketika Atikah juga divonis penyakit yang sama dengan adiknya itu. Akankah kesempatan untuk cinta dan harapan hidup masih pantas didapatkannya?

Nice-to-know:
Diproduksi oleh Damien Dematra Production dan gala premierenya dilangsungkan di fX Platinum XXI pada 3 Oktober 2011.

Cast:
Ayu Azhari sebagai Dr. Cakrawati
Virda Anggraini sebagai Atikah
Natasha Dematra sebagai Mutiara
Lucky Moniaga sebagai Adam
Tiara Savitri sebagai Prof. Cahaya
Irul Luthan sebagai Dr. Agung

Director:
Merupakan film keempat bagi Damien Dematra yang mengawali karir penyutradaraannya lewat Di Atas Kanvas Cinta (2009).

Comment:
Mengawali review kali ini, mari mengulik istilah dan maknanya terlebih dahulu. Kata Lupus berasal dari bahasa Latin yang berarti “anjing hutan”. Definisinya kurang lebih adalah penyakit sistem imunitas di mana jaringan dalam tubuh dianggap benda asing. Reaksinya bisa mengenai berbagai sistem organ tubuh seperti jaringan kulit, otot, tulang, ginjal, sistem saraf, kardiovaskuler, paru-paru, lapisan pada paru-paru, hati, sistem pencernaan, mata, otak, maupun pembuluh darah dan sel-sel darah.
Damien sebagai penulis novel/skrip, mengklaim dirinya sebagai filmmaker pertama di dunia yang membahas penyakit Lupus. Sah-sah saja toh tidak ada satupun yang akan kepoh demi membuktikan anggapannya salah. Damien menciptakan plot yang demikian sederhana yaitu drama yang melibatkan dokter-suster-pasien saja, dimana ketiga tokoh tersebut diperluas kembali menjadi kakak-adik-kekasih. Semudah itu rupanya membuat formula sebuah film. Give him applause, please!
Damien sebagai produser, menyewa dokter ahli sebagai supervisi produksi rupanya terlalu mahal baginya. Alhasil ciri-ciri fisik kondisi pasien yang terserang penyakit Lupus benar-benar terabaikan, tidak diperlihatkan samasekali. Sang pasien hanya digambarkan kesakitan dimana penanganan dokter hanya sebatas menenangkan saja tanpa penjelasan medik yang masuk di akal. Bagaimana bisa mengharapkan simpati dari audiens akan penderitaan tokoh-tokohnya?
Damien sebagai sutradara, membagi filmnya dalam dua babak yaitu sedih dan senang. Mungkin maksud beliau adalah memberikan variasi agar filmnya tidak kelewat berat atau sebaliknya. Namun perpindahan babak yang terlampau frekuentif apalagi ditandai dengan lonjakan scoring musik yang terlalu ekstrim sangatlah tidak tepat. Penonton tidak akan tergerak untuk mengikuti jalinan kisahnya lagi karena moodnya sudah terkacaukan.
Damien sebagai music composer, memasukkan tak kurang dari 7 lagu dimana 2 diantaranya bahkan dinyanyikan sendiri. Lirik berbahasa puitis yang terlalu mudah dicerna dengan titi nada yang kurang variatif menjadikan lagu-lagunya terdengar seperti karaoke version. Apalagi ditambah dengan kemunculan teks lagu diiringi dengan klip aktor-aktrisnya berjalan, berlari bahkan menari-nari. Apakah ia mengharapkan penonton ikut menyanyi atau justru malah terbuai dalam tidur?
Damien sebagai cinematografer, memindahkan lokasi syuting RS Kramat dan Bogor seperti berjalan kaki saja. Jika hanya untuk kepentingan artistik, lantas bagaimana Atikah, Mumut, Dokter Adam sanggup menempuh perjalanan bolak-balik dengan waktu yang tidak sedikit dalam keadaan sehat maupun sakit? Endingnya pun berpindah ke pantai dimana diperlihatkan dua “alam” yang berkomunikasi masing-masing. Sangatlah absurd, tetapi tentunya jauh dari keabsurdan The Tree of Life.
Pada akhirnya Love For Lupus ini lebih tepat diberi judul Love For Damien. Nama seorang pria “multitalenta” yang tidak henti-hentinya membangun pencitraan sempurna akan dirinya sendiri itu. Hingga melupakan inisiasi tujuan mulianya yang gagal tersampaikan kali ini yaitu mengundang empati bagi para penderita Lupus sekaligus media informasi bagi masyarakat umum yang belum mengetahui penyakit mematikan tersebut. Suatu contoh kasus nyata dimana kepentingan pribadi mengambil alih kepentingan umum dalam sebuah film.

Durasi:
85 menit

Overall:
6 out of 10

Movie-meter:


Notes:
6-sampah!
6.5-jelek ah
7-rada parah
7.5-standar aja
8-lumayan nih
8.5-bagus kok
9-luar biasa

1 komentar: