Kamis, 28 Juli 2011

JAKARTA MAGHRIB : Jalinan Kisah Warga Metropolitan Jelang Maghrib

Quotes:
Iman: Ya keluar. Gak jadi “keluar” di kamar ya keluar rumah..


Terbagi dalam 6 segmen:

IMAN CUMA INGIN NUR (12 min)
Iman yang asli Sidoarjo beristrikan Nur yang asli Betawi. Kelelahan mengurus balita mereka yang sakit hingga 3 hari, keduanya sepakat bercinta untuk melampiaskan penat dan rasa rindu. Sayangnya, Ibu Nur yang tinggal serumah dengan mereka kerapkali ikut campur dalam urusan rumah tangga. Iman pun mulai mempertanyakan eksistensinya di rumahnya sendiri.

ADZAN (6 min)
Preman Jakarta, Baung tidak terpuji tindakannya. Selain pengangguran, ia juga sering mabuk-mabukan dan memalak anak sekolah yang lewat untuk mendapatkan uang. Bertolak belakang adalah Pak Armen, penjaga mushola sekaligus pemilik warung kecil asal Solok yang saleh dan taat beragama. Kedua pribadi tersebut terlibat percakapan singkat yang bisa jadi membuka mata Baung kemudian.

MENUNGGU AKI (15 min)
Nasi goreng Aki sangatlah khas karena dimasak di atas anglo. Oleh sebab itu kehadirannya selalu ditunggu penghuni kompleks perumahan mulai dari Akbar, Tuti dan lain-lain yang berprofesi berbeda-beda. Satu kepentingan membuat orang-orang yang tidak saling mengenal itu menjadi berinteraksi satu sama lain menjabarkan isi kepala mereka masing-masing.

CERITA SI IVAN (10 min)
Demi bermain game di rental langganannya, Ivan kerap bolos dari Madrasahnya. Sayangnya sore itu tempatnya sudah terisi oleh keempat anak lainnya yang sudah membayar untuk berjam-jam. Tidak hilang akal, Ivan mengarang cerita kuntilanak yang kadang muncul menjelang maghrib untuk menakut-nakuti mereka, atau justru dirinya sendiri?

JALAN PINTAS (20 min)
Sepasang kekasih yang sudah menjalin hubungan selama 7 tahun berkendara ke suatu tempat demi mempersiapkan acara pernikahan adik sang lelaki yang menikah dengan ipar sang perempuan. Ketika mengambil jalan pintas, perbedaan karakter dan pola pikir keduanya mulai meruncing sehingga apa yang mereka bangun bisa saja dipertimbangkan kembali.

BA’DA (7 min)
Katanya berarti “Setelah” dimana tokoh-tokoh yang diceritakan sebelum Maghrib pada akhirnya dipersatukan di bagian akhir film baik secara langsung maupun tidak langsung.

Nice-to-know:
“Maghrib” merupakan istilah dalam bahasa Arab yaitu “Maghreb” yang berarti "tempat matahari terbenam" yang ditandakan dengan hilangnya mega merah di ufuk barat. Digunakan juga sebagai penanda waktu sholat atau berpulang dari aktifitas bagi kaum muslim.

Cast:
Lukman Sardi
Reza Rahadian
Adinia Wirasti
Ringgo Agus Rahman
Desta
Dodi Mahendra
Indra Birowo
Fanny Fabriana
Widi Mulia

Director:
Merupakan debut penyutradaraan bagi Salman Aristo.

Comment:
Ide cerita ini tentu saja menarik terlebih disajikan dalam konsep film omnibus. Masing-masing tema memiliki persamaan yaitu momen kejadian sebelum penanda waktu yang krusial artinya bagi kaum pemeluk agama mayoritas di Indonesia ini. Namun jangan salahartikan jika menganggap film ini berbau agamais karena justru menyoroti berbagai macam konflik yang mungkin muncul dalam kehidupan sehari-hari warga Jakarta ini.
Salman Aristo yang dikenal sebagai salah satu penulis skenario film jempolan saat ini memang terkenal terampil dalam mengolah sekumpulan fiksi mini yang dipublikasikan lewat jejaring sosial Twitter. Tentunya permainan kata-katanya tidak perlu diragukan lagi sehingga tidak heran jika pada akhirnya mampu dituangkan ke dalam format layar lebar dengan berbagai pengembangan yang cukup signifikan disana-sini.
Sayangnya duduk di kursi sutradara nampaknya memang tidak semudah berada di bangku penulis. Pergerakan kameranya masih cenderung naik turun, terkadang sudah cukup maksimal tapi tak jarang kurang konsisten dalam penentuan angle yang sangat berpengaruh pada jarak tangkap penonton terhadap layar. Proses editingnya tergolong lumayan mulus dengan interval yang berbeda-beda di setiap segmennya.
Favorit saya adalah segmen terakhir karena hanya berfokus pada dua sejoli di dalam ruang lingkup sempit yaitu sebuah mobil yang berjalan. Interaksi yang intens antara Reza dan Adinia meski dalam durasi singkat sekalipun sukses menjabarkan hubungan macam apa yang tengah mereka jalani. Bagaimana perbedaan visi dan tabiat begitu kentara dari setiap perdebatan panjang-pendek mengenai pekerjaan dan keluarga. Pertanyaan-pertanyaan penonton pun terjawab dari setiap lontaran kata ataupun ekspresi yang tertangkap secara eksplisit.
Di luar segmen tersebut bagi saya terkesan seperti masakan setengah jadi. Penyampaian konfliknya kurang kuat dan penyelesaiannya pun mengambang saja. Akumulasi penutupan di segmen “Ba’da” yang saya harapkan dapat menjadi highlight tersendiri malah datar. Tidak ada suatu “getaran” yang berusaha dialirkan dari produsen ke konsumen sehingga asumsi yang diharapkan dapat terbentuk sendiri dari pola pikir penonton rasanya sulit terjadi.
Walau demikian, Jakarta Maghrib tetap harus diapresiasi karena keberaniannya mengadopsi elemen “universal” yang terkandung dalam relasi suami istri, kekasih, rukun tetangga, tokoh hitam-putih masyarakat hingga anak-anak sekalipun. Keterlibatan aktor-aktris papan atas Indonesia disini sudah menjadi poin plus istimewa terlepas dari lemah atau kuatnya peranan masing-masing saat menyuguhkan problema yang menjadi bumbu utama. Pengalaman pertama adalah pembelajaran yang teramat berharga dari sebuah proses dan seorang Salman Aristo jelas sudah membuat langkah pertamanya lewat film ini.

Durasi:
75 menit

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar