Kamis, 30 Juni 2011

TRUE LOVE : Pelarian Rintangan Pernikahan Muda

Quotes:
Vania: Coba kamu sebutin satu aja kekurangan aku..

Storyline:
Memang tidak ada aturan baku untuk jatuh hati. Seorang mahasiswi cerdas yang asal usul keluarganya saru, Vania tidak mengira bisa jatuh hati pada Aris, seorang mahasiswa malas yang juga putra tunggal sebuah keluarga kaya-raya. Pertemuan dari warnet tersebut berakhir pada pernikahan yang tidak direstui tapi keduanya coba hidup bersama di tengah keterbatasan materi. Belum lagi sahabat sejak kecil Aris yaitu Guntur yang selalu mengikuti pasangan muda tersebut. Masalah mulai timbul karena keegoisan Aris tidak sejalan dengan kedewasaan Vania. Satu tragedi mengubah semuanya hingga Vania memilih meninggalkan Aris dalam kondisi mengandung. Tahun-tahun berlalu dan Aris mulai merindukan Vania dan anaknya. Berhasilkah keduanya bersatu kembali setelah berbagai hambatan yang ada?

Nice-to-know:
Diangkat dari novel berjudul Cinta Sepanjang Amazon karya Mira W. dimana gala premierenya diadakan di Hollywood XXI pada tanggal 30 Juni 2011.

Cast:
Fanny Fabriana sebagai Vania
Mario Lawalata sebagai Aris
Edo Borne sebagai Guntur
Happy Salma sebagai Gita
Alex Komang sebagai Rudy

Director:
Dedi Setiadi merupakan tokoh di balik kesuksesan tv play TVRI di tahun 80an seperti Jendela Rumah Kita dan Siti Nurbaya.

Comment:
Tentunya anda semua sudah mengenal nama Mira W. yang mulai dikenal aktif menulis sejak tahun 1975. Di tangannya telah lahir sejumlah novel percintaan seperti Galau Remaja di SMA, Merpati Tak Pernah Ingkar Janji, Cinta Menyapa Dalam Badai dan sebagainya. Kini karyanya Cinta Sepanjang Amazon diangkat ke dalam format layar lebar dimana skripnya dikerjakan bersama oleh Viva Westi dan Dedi Setiadi.
Film ini bukan merupakan drama biasa yang dapat dinikmati berbagai kalangan dan remaja pada umumnya. Namun lebih merupakan romansa dewasa yang mengambil rentang waktu teramat panjang yang disajikan dalam berbagai chapter perjalanan hidup. Kisah mengenai dua sejoli dengan idealisme berbeda menjalani cinta yang mereka yakini dari usia belia hingga dewasa dengan segala rintangan yang menghadang.
Kemahiran Dedi yang sudah sarat pengalaman itu tidak perlu diragukan lagi. Frame per frame yang dihasilkannya mengingatkan kita pada film tahun 80an yang beralur lambat dengan sinematografi yang konstan. Eksekusinya terbilang detail dengan memanfaatkan setting Raja Ampat yang indah alami dan Stockholm yang klasik itu. Sayangnya penempatan soundtrack dan ilustrasi musik terasa tidak pada tempatnya sehingga kerap mengganggu kenyamanan menonton.
Akting Fanny wajib mendapatkan perhatian besar disini. Peran Vania yang cerdas, mandiri dan dewasa mampu dilakoninya dengan mantap termasuk beberapa crying scenes yang emosional itu. Penonton akan diajak bersimpati padanya di sepanjang durasi film, mempertanyakan keputusan-keputusan dewasanya yang tidak perlu penjelasan tapi dapat dipahami terutama oleh kaum wanita. Hanya saja, proses transisi gadis muda bermasa depan cerah ke wanita yang berfokus pada keluarga terasa kurang maksimal.
Mario hanya bermain “OK” saja, tidak luar biasa. Peran Aris yang egois, kekanak-kanakan dan tidak berpikir panjang memang terasa pas di tangannya. Begitu pula kehadiran “setengah film” Edo Borne dalam karakter sahabat karibnya Guntur yang sebetulnya patut dipertanyakan motifnya itu. Happy Salma dan Alex Komang seperti biasa mampu memberikan penjiwaan yang kuat terlepas dari tampilan Rudy yang justru terlihat lebih tua dari abangnya.
Kekurangan film ini terbilang minor seperti penjelasan ini itu nya yang terasa kurang dari setiap tokoh sentral disini. Namun hal tersebut tidak dirasa mengganggu dan mungkin bisa terjawab dalam sekuel berikutnya jika kelak ada. Catatan Harian Si Boy tidak hanya mengajak penonton generasi lama untuk bernostalgia dan menerima versi estafet ini dengan tangan terbuka tetapi juga penonton generasi baru untuk bertualang dalam balutan tema klasik muda-mudi yang tak lekang oleh waktu. Persaingan cinta, pembuktian diri, kesetiakawanan, pengharapan memang akan selalu mendapat tempat dalam proses pendewasaan seseorang tanpa terkecuali.

Durasi:
125 menit

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:

Selasa, 28 Juni 2011

DOUBLE DHAMAAL : Empat Pria Terjebak Tipu Menipu

Storyline:
Aditya Shrivastav, Boman Contractor, Manav Shrivastav dan Deshbandhu Roy adalah 4 pemuda Hindi pengangguran dan miskin secara finansial. Mereka pada akhirnya sepakat mendatangi Kabir Nayak yang terlihat memiliki kehidupan mewah nan sempurna bersama istrinya, Kamini dan saudarinya, Kiya. Namun ternyata itu belum cukup karena Kabir memiliki affair dengan seorang wanita bernama Gulabo sehingga 4 pecundang itu berusaha memerasnya demi posisi mitra kerja yang sangat menggiurkan. Lewat serangkaian kejadian, Aditya, Boman, Manav dan Deshbandu terdampar di Macau dan meminta bantuan gangster kawakan, Mohsin Bhai. Berhasilkah mereka membalas dendam pada Kabir yang telah memiliki Kasino 'Four Jokers' tersebut?

Nice-to-know:
Diproduseri oleh Ashok Thakeria dan dirilis 24 Juni 2011 di India sana.

Cast:
Sanjay Dutt as Kabir Nayak
Mallika Sherawat as Kamini
Kangana Ranaut as Kiya Nayak
Riteish Deshmukh as Roy / Lee / Heera Bhai / Tukya "Kale" Ram
Arshad Warsi as Adi / Ghanta Singh
Aashish Chaudhary as Boman / Barbara Hori / Dodo
Jaaved Jaaferi as Manav / Jojo
Harry Josh as Johnny Bonzela

Director:
Indra Kumar

Comment:
Film ini konon merupakan sekuel dari Dhamaal (2007) yang tidak pernah saya saksikan ataupun dengar sebelumnya. Alasan menonton film ini murni karena rasa penasaran dimana sebuah judul film India yang diputar di jaringan XXI bisa dihitung jari dalam setahunnya. Jika harus menyebutkan 3 judul terakhir yang saya saksikan adalah My Name Is Khan, Kites dan Ravaan yang masing-masingnya berbeda genre itu.
Benang merah ceritanya sendiri tidak terlalu spesial dimana hanya mengandalkan interaksi dari four jokers yang berbeda-beda tingkah laku dan kepribadiannya itu beserta misi mereka untuk menipu sekaligus ditipu demi mendapatkan keuntungan. Tidak ada yang baru bukan? Formula sejenis banyak ditemukan dalam film-film Hollywood yang rupanya cukup banyak mempengaruhi sutradara Indra Kumar dalam mengarahkan film ini.
Saya nyaris tidak mengenali Sanjay Dutt dalam peran sebagai Kabir disini. Ia terlihat lebih mature dengan wibawa tersendiri sebagai penipu ulung kelas kakap. Mallika dan Kangana tampil cantik sebagai pemanis film meski tidak banyak exposure terhadap karakter Kamini dan Kiya kali ini. Riteish, Arshad, Aashish, Jaaved tergolong cukup kompak dan bahu membahu menjalankan 1001 trik dan penyamaran yang konyol bin norak tersebut.
Jika dimaksudkan sebagai film komedi, naskah karangan Tushar Hiranandani ini menurut saya terlalu berusaha keras mengocok perut penonton. Jika seharusnya berhenti di langkah 2 sudah cukup memancing tawa, kebanyakan scene jenaka disini justru terus melaju ke langkah 3, 4 dst sehingga malah terkesan slapstick dan norak. Dialog yang disusun oleh Rashid Sajid juga tidak secerdas yang diharapkan sehingga nilai jualnya masih kurang maksimal.
Terus terang “dipaksa” untuk tertawa terus-menerus dalam durasi yang tidak singkat itu ternyata sangat melelahkan. Double Dhamaal pada akhirnya tidak lagi menyuguhkan nuansa komikal tapi kebosanan amat sangat karena tidak didukung oleh penjelasan ini-itunya yang krusial. Satu-satunya yang menarik hanyalah suguhan warna-warna pastel cerah yang dominan di sepanjang film serta kontribusi soundtrack yang ear-catchy itu. Selebihnya hanya sebuah never-ending comedy yang hampa dan terlalu bersikeras menyentil logika.

Durasi:
140 menit

India Box Office:
Indian Rupee 25.65 crore di opening weeknya

Overall:
6.5 out of 10

Movie-meter:

Minggu, 26 Juni 2011

BLITZ : Meringkus Pembunuh Polisi Berantai

Tagline:
It’s killer-cop versus cop-killer!

Storyline:
Sersan Tom Brant seringkali “main hakim” sendiri di jalanan London. Meski demikian tidak ada yang berani menegurnya di kantor polisi. Hingga pada satu ketika, terjadi beberapa pembunuhan terhadap perwira polisi secara brutal. Tersangka utama adalah Barry Weiss yang seringkali keluar masuk penjara dan sikap abusifnya. Brant ditugaskan menangani kasus ini bersama atasan polisi yang baru, Porter Nash yang diolok-olok karena orientasi seksualnya yang berbeda. Kerjasama yang sepintas sulit dibayangkan itu pada akhirnya memang dibutuhkan untuk membekuk si pelaku keji tersebut.

Nice-to-know:
Diproduksi oleh Blitz Films dan Lionsgate yang juga membantu distribusinya.

Cast:
10 film terakhirnya selalu rilis di bioskop Indonesia termasuk Gnomeo & Juliet di tahun ini, Jason Statham berperan sebagai Detective Sergeant Tom Brant
Paddy Considine sebagai Porter Nash
Pencapaian terbaiknya selama ini diraih lewat Treacle Jr. (2010), Aidan Gillen bermain sebagai Barry Weiss / The Blitz
Zawe Ashton sebagai WPC Elizabeth Falls
David Morrissey sebagai Harold Dunphy

Director:
Merupakan film kedua bagi Elliott Lester setelah Love Is The Drug (2006).

Comment:
Terus terang saya sudah mulai jenuh melihat aksi Statham sebagai frontrunner dalam sebuah film aksi ataupun thriller. Pasalnya improvisasi yang dilakukannya tidak banyak berbeda dari satu peran ke peran yang lain tanpa terkecuali sebagai Detektif Brant disini. Yang sedikit membedakannya adalah gaya polisi tahun 70-80an yang diperagakannya dengan cukup lugas. Tidak sedominan biasanya memang tapi aksinya masih tetap enjoyable.
IMO, Gillen sebagai villain justru paling mencuri perhatian kali ini. Pembunuh berdarah dingin bergaya eksentrik yang haus publisitas Barry Weiss berhasil memicu antipati penonton yang berharap adanya hukuman setimpal baginya di akhir cerita. Karakter Porter Nash sebetulnya cukup menarik sebagai polisi gay yang terlihat straight tapi sayangnya kiprah Considine tidak banyak mendapat ruang untuk mengekspos perannya.
Skrip yang dikembangkan oleh Nathan Parker berdasarkan novel berjudul sama karya Ken Bruen ini tidak menawarkan banyak hal baru. Plot ceritanya sudah banyak ditemukan dalam film-film sejenis, hanya saja identitas sang pelaku sudah diungkap sejak pertengahan film. Dengan demikian yang tersisa hanyalah bagaimana strategi sang protagonis untuk dapat menjebak sang antagonis demi menegakkan keadilan sekaligus kepuasan audiens.
Sutradara Lester memang terlihat tidak berusaha menyajikan film dalam format smart dark thriller yang membuat penontonnya berpikir dan berdebar-debar. Namun lebih pada thriller yang ringan, terang dan cenderung mudah diprediksi. Meski demikian nuansa British memang terasa kuat pada unsur sinematografinya. Coba saja anda simak adegan kejar-kejaran di sepanjang jalan raya London yang ramai dan klasik itu.
Sebagai sebuah tontonan, Blitz memang menghibur karena tidak terlalu berambisi layaknya film-film Hollywood. It is good, but not great. Cukup banyak plot holes yang tersisa disana-sini bahkan hingga credit title muncul tetap menyisakan berbagai pertanyaan yang tidak sempat terjawab (atau memang sengaja dibiarkan begitu). Belum lagi karakter-karakternya yang terasa semi-developing meski tetap bervariasi. Tidak ada salahnya menikmati saja interaksi polisi-penjahat yang cukup inovatif layaknya kucing tikus itu.

Durasi:
90 menit

U.K. Box Office:
£79,565 till June 2011 (limited showing)

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:

Sabtu, 25 Juni 2011

LOSER LOVER : Pria “Tiga Kali” Kejar Impian

Quotes:
Sudkhet: Aku yang memberi atau kau yang menanyakan itu tidak ada bedanya..

Storyline:
Sudkhet memang tidak memiliki pola hidup yang baku, ia terlalu bersikeras menjadi dirinya sendiri yang samasekali berbeda dengan dunia pada umumnya. Cita-citanya satu yaitu menjadi musisi ternama bersama kawannya Under. Sayang audisi demi audisi membuahkan hasil. Suatu ketika Sudkhet bertemu gadis manis, Mayom yang merespon perkenalannya dengan kebingungan. Namun lambat laun terjadilah interaksi unik diantara keduanya. Mampukah Sudkhet mempertahankan impiannya dan memperjuangkan cintanya sekaligus tanpa menghiraukan kegagalan yang kerapkali menghampirinya?

Nice-to-know:
Diproduksi oleh Studio M39 dan sudah dirilis di Thailand pada tanggal 7 April 2011 yang lalu.

Cast:
Terakhir tampil dalam Best Of Times (2010), Arak Amornsupasiri bermain sebagai Sudkhet
Sempat membintangi That’s Sounds Good (2010), Ramita Mahapreukpong berperan sebagai Mayom
Sudarat Budtporm sebagai Gibzy

Director:
Merupakan film ketiga bagi Rergchai Paungpetch setelah 32 Thunwa (2009).

Comment:
Kesuksesan romantic comedy Thailand belakangan ini memang tidak lepas dari kemasan komedi segar dengan romantisme mengharu-biru yang juga dilengkapi dengan aktor-aktris yang eye-candy. Film yang satu ini juga menggunakan formula yang sama. Namun akankah hasil akhirnya sama dalam artian sukses secara kualitas? Belum tentu. Sedangkan dari segi komersil bisa jadi tak jauh berbeda karena genre yang satu ini akan terus dicari orang.
Plotnya sendiri terbilang dualisme. Satu mengenai pencarian kekasih, dua tentang pengejaran cita-cita. Persamaannya adalah sama-sama diwarnai penolakan dimana tantangan untuk mencoba lagi menjadi sebuah langkah yang butuh keberanian ekstra. Kedua hal tersebut memang saling bersinergi untuk menghadirkan konflik utama maupun tambahan yang serasa tarik ulur, terkadang tepat tetapi di sisi lain menjadi berantakan kehilangan arah.
Paungpetch yang bertindak sebagai produser, sutradara sekaligus penulis naskah menggunakan pendekatan komedi slapstick terhadap film romance ini. Suatu perjudian yang sangat beresiko! Kemungkinan berhasil memang kecil karena lebih banyak gagalnya. Dan apa yang saya khawatirkan memang terbukti karena Loser Lover pada akhirnya berada di tengah-tengah. Sisi romance nya kurang tergali dengan baik sedangkan segi comedy nya malah terforsir parah.
Dengan skrip yang sudah demikian two-faced maka menyulitkan Arak dan Ramita untuk mempertahankan konsistensi peran masing-masing. Namun keduanya bukan aktor-aktris sembarangan sehingga mampu menghidupkan tokoh Sudkhet dan Mayom dengan cute apalagi penampilan mereka disulap sedemikian rupa bak pria wanita Korea dengan gaya rambut dan berpakaiannya. Jangan lupakan juga sumbangsih Sudarat yang perannya Gibzy amat komikal tersebut.
Atas ketidak-konsistenannya itulah Loser Lover terasa kurang maksimal sebagai sebuah hiburan murni. Banyak sekali tokoh tambahan yang pop-in pop-out di layar yang sebetulnya tidak memberikan makna apa-apa selain memperpanjang durasi. Tearjerker moments yang diandalkan tidak cukup menyihir penonton dan comedic performances yang diutamakan terlalu memaksa audiens untuk tersenyum kering. Alhasil tidak ada yang cukup berkesan dari Loser Lover ini selain pesan moral bahwa kegagalan merupakan proses awal dari kesuksesan yang menanti. So, keep on trying without too much doubt, dude!

Durasi:
105 menit

Thai Box Office:
125,000,000 baht

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:

Kamis, 23 Juni 2011

CATATAN HARIAN SI BOY : Napak Tilas Asa Persaingan Cinta

Quotes:
Andi: Kita keluarga Yo. Gak selamanya adem ayem. Tapi semua bisa dibetulin Yo..

Storyline:
Seorang wanita bernama Nuke tengah sakit keras di rumah sakit sambil memegang diary merah. Putrinya Natasha terpaksa pulang dari London dijemput oleh pacarnya Nico yang kaya raya. Di tengah perjalanan, mobil mereka dihadang sekelompok kawanan sehingga menyebabkan Natasha terdampar di kantor polisi. Disanalah ia bertemu Satrio yang ditangkap karena kebut-kebutan bersama ketiga sahabatnya Herry, Andi dan Nina si pemilik bengkel RET Auto Speed tempatnya bekerja. Perjumpaan singkat itu mendekatkan Satrio dan Natasha yang kemudian memutuskan untuk mencari pria misterius bernama Boy yang dirindukan Nuke tersebut. Disinilah cinta dan persahabatan diuji habis-habisan untuk sesuatu yang diyakini baik adanya.

Nice-to-know:
Diproduksi oleh 700 Pictures dimana gala premierenya diadakan secara meriah di Epicentrum XXI pada tanggal 21 Juni 2011.

Cast:
Ario Bayu sebagai Satrio
Carissa Putri sebagai Natasha
Poppy Sovia sebagai Nina
Abimana Setya sebagai Andi
Albert Halim sebagai Herry
Paul Foster sebagai Nico

Director:
Awal yang baik Putrama Tuta yang memulai debut penyutradaraannya lewat film ini.

Comment:
Apa yang terlintas dalam kepala saya saat mengetahui bahwa ada sebuah film yang tengah diproduksi dan diprediksi berusaha mengekor sukses Catatan Si Boy yang dibuat hingga 5 seri dalam kurun waktu 1988-1991 itu? Jawabannya bisa jadi beragam tergantung dari sisi positif/negatif yang dilihat. Namun yang jelas saya sangat penasaran apalagi setelah mengetahui bahwa salah satu aktor favorit saya, Ario Bayu akan menjadi pentolannya.
Kekhawatiran akan skrip asal jadi langsung sirna begitu prolog film dibuka dengan style tersendiri. Sejak menit itulah saya mengagumi hasil karya duet penulis Priesnanda Dwisatria dan Ilya Sigma yang tidak berusaha meremake tetapi melakukan regenerasi dengan berbagai pembaharuan yang telah disesuaikan dengan jamannya. Hasil akhirnya tentu saja sebuah ide yang fresh meski tetap bermuatan elemen-elemen lama tanpa ada kesan dipaksakan.
Apresiasi tinggi juga patut dilayangkan bagi sutradara Putrama yang sukses menciptakan atmosfir menyenangkan sehingga para castnya mampu bermain dengan nyaman. Kerjasamanya dengan Yunus Pasolang secara maksimal menghadirkan gambar-gambar yang ciamik hasil kinerja motion dan angle kamera yang kreatif. Belum lagi kontribusi soundtrack “Tribute to Boy” disuguhkan oleh DJ Winky Junko sangat ear-catchy itu mampu membangun suasana young and dynamic. Well done!
Ario Bayu merupakan aktor konsisten yang seringkali under the radar. Disini ia benar-benar menunjukkan star quality nya. Posturnya yang tinggi tegap plus gayanya yang cool membuat karakter Satrio pantas menjadi idola baru. Jangan coba bandingkan karakter Satrio dengan Boy karena Ario dan Onky karena sudah jelas berbeda dimana keduanya sama-sama asyik dengan caranya masing-masing.
Sama halnya tokoh Herry yang merupakan versi baru dari Emon, Albert Halim sukses bertransformasi menjadi pria kemayu dengan gesture dan logat yang khas. Beda lagi dengan Abimana yang paling mencuri perhatian lewat karakter Andi yang cuek dan ngasal tapi tetap setia kawan. Celetukan-celetukannya terdengar norak tapi jawara di setiap scene yang melibatkannya. Kedua peran ini paling sering memancing tawa lepas penonton di sepanjang durasinya.
Carissa bermain aman sebagai gadis cantik yang diperebutkan dua pria sekaligus. Sedangkan Poppy mampu melebur utuh dalam karakter Nina yang tomboy, mandiri walaupun kesepian. Dua tokoh wanita ini terampil menjembatani para tokoh pria untuk saling berinteraksi secara natural dan terikat pada konflik yang diusung. Jangan lupakan penampilan para cameo dari edisi lawasnya seperti Onky Alexander, Btari Karlinda, Didi Petet ataupun terbaru macam Joko Anwar, Nazyra C. Noer dll.
Kekurangan film ini terbilang minor seperti penjelasan ini itu nya yang terasa kurang dari setiap tokoh sentral disini. Namun hal tersebut tidak dirasa mengganggu dan mungkin bisa terjawab dalam sekuel berikutnya jika kelak ada. Catatan Harian Si Boy tidak hanya mengajak penonton generasi lama untuk bernostalgia dan menerima versi estafet ini dengan tangan terbuka tetapi juga penonton generasi baru untuk bertualang dalam balutan tema klasik muda-mudi yang tak lekang oleh waktu. Persaingan cinta, pembuktian diri, kesetiakawanan, pengharapan memang akan selalu mendapat tempat dalam proses pendewasaan seseorang tanpa terkecuali.

Durasi:
100 menit

Overall:
8.5 out of 10

Movie-meter:

Selasa, 21 Juni 2011

MILLI AND NATHAN : Datang Pergi Romantisme Remaja

Quotes:
Milli: Cinta itu seperti kopi, enak diminum kalo masih panas. Tapi resikonya jadi cepat habis..

Storyline:
Sekelas dalam sebuah SMU di Bandung, Milli dan Nathan saling menyukai satu sama lain. Nathan yang cerdas dan fokus pada cita-citanya sebagai kebanggaan keluarga seringkali mengingatkan Milli untuk rajin belajar. Namun sikap Milli yang polos malah semakin menarik Nathan untuk menjatuhi pilihannya. Keduanya pun berpacaran layaknya remaja berbahagia, apalagi didukung oleh kedua sahabat mereka yaitu Asti dan Oji. Selepas kelulusan, Nathan lebih memilih melanjutkan kuliah di Jakarta, meninggalkan Milli yang memilih untuk menetap dan meneruskan impiannya sebagai penulis novel. Perpisahan tidak terhindarkan meski beberapa tahun kemudian keduanya bertemu kembali tanpa bisa membohongi perasaan masing-masing. Apakah menyatukan dua hati yang saling mencinta sedemikian sulit karena pertentangan ego?

Nice-to-know:
Diproduksi oleh Falcon Pictures dan gala premierenya diselenggarakan di fX Platinum XXI pada tanggal 22 Juni 2011.

Cast:
Olivia Jensen Lubis sebagai Milli
Chris Laurent sebagai Nathan
Sabai Morscheck sebagai Asti
Chaca Rasidy Ariefiansyah sebagai Oji
Fendy Chow sebagai Oscar
Frans L. Tumbuan
Minati Atmanagara
Mario Lawalata
Him Damsyik

Director:
Pria kelahiran Salatiga berusia 46 tahun bernama Hanny R. Saputra ini mulai dikenal luas lewat debutnya, Virgin di tahun 2004.

Comment:
Romantisme remaja.. Ah rasanya sebuah tema drama cinta yang tak lekang oleh waktu dan telah melahirkan berjuta-juta versi diantaranya. Lantas yang tersisa hanyalah eksekusi sebuah skenario dengan sentuhan baru plus nilai jual yang coba ditawarkan disana-sini. Kali ini faktor nama sohor Hanny R. Saputra dan Olivia Jensen lah yang berusaha mengangkat film secara keseluruhan. Berhasil atau tidaknya tentu dikembalikan kepada penilaian masing-masing penonton.
Plot ceritanya sendiri nyaris sama dengan sebuah judul film nasional yang baru saja tayang beberapa waktu lalu. Tidak perlu saya sebutkan agar tidak terkesan spoiler. Perbandingan dari berbagai segi boleh saja dilakukan tapi yang jelas masing-masing film memiliki plus minus tersendiri. Kali ini sang penulis skrip handal Titien Wattimena berupaya menyuguhkan detail konflik dari sudut pandang para karakter utamanya sehingga didapatkan sisi personal yang ingin disampaikan.
Olivia merupakan aktris muda berbakat dalam hal akting tapi masih terlihat kesulitan memvariasikan perannya dari satu film ke film lainnya. Karakter Milli di tangannya digambarkan siswi optimis, lugu, ceria kemudian bertransformasi menjadi penulis muda cerdas, sukses, mandiri. Sedangkan debut Chris tidak terlalu mengecewakan meski ia lebih mengandalkan wajah fresh dan cutenya sebagai heartthrob bernama Nathan yang sikapnya selalu maju mundur itu.
Chemistry mereka terjalin cukup manis dan menggemaskan. Saya tidak akan berbicara mengenai French kiss yang kabarnya digunting LSF tersebut. Namun sejak menit awal penonton diajak bersimpati pada keduanya. Sedangkan karakter yang dihidupkan oleh Sabai dan Chaca juga turut memperkuat esensi persahabatan yang terjalin sejak bangku sekolah itu dimana permainan “Pancasila Lima Dasar” mungkin akan membawa ingatan anda melayang kembali..
Sutradara Hanny masih menggunakan ciri khasnya yakni tempo lambat untuk mengeksekusi skrip detail dari Titien. Bisa jadi anda akan merasa bosan walau jika ditelaah lebih jauh, gambar-gambar yang disuguhkan sebetulnya berbicara banyak. Terima kasih pada lokasi setting Kota Kembang yang mampu dimaksimalkan untuk mendukung penceritaan. Dramatisasi terbangun dengan baik tanpa kesan berlebihan walau sayangnya harus ditutup dengan ending yang terlalu rushing tanpa penjelasan lebih dalam akan alasan dan situasi sebenarnya yang dihadapi tokoh Nathan tersebut.
Milli & Nathan memang tidak akan mengajarkan anda akan konsep baru percintaan dua sejoli muda usia tetapi harus diakui cukup mengesankan dalam bertutur dan menegaskan problema yang terjadi di antara kedua tokoh utamanya. Suatu suguhan yang mengajak anda berandai-andai untuk mengalami perasaan seperti yang dimiliki Milli. Bukankah bahagia dan sedih itu satu paket? Terbungkus dalam balutan satu cinta yang tulus bersemi..

Durasi:
90 menit

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:

Senin, 20 Juni 2011

ADA APA DENGAN POCONG : Misteri Pocong Teror Empat Pemuda

Quotes:
Boy: Loe pecahin aja tuh kaca biar rame. Kalo kurang rame, bakar!

Storyline:
Bermula pada Wawan yang mengalami teror oleh pocong di kostnya disusul oleh Hary, Boy dan Tedi yang mengalami hal sama. Tidak tahan, Hary dan Wawan menyambangi seorang dukun sakti yang memberikan mereka keris mini sebagai perlindungan. Tedi dan Hary pun mengalami kecelakaan misterius karena pocong yang semakin marah. Boy yang ketakutan membuka mulut pada Ririn dan Mirna akan kejadian sesungguhnya yang berkaitan dengan Lastri, gadis kutu buku yang ditaksir Hary tapi menaruh hati pada Wawan. Akankah mereka berempat selamat dari gempuran pocong yang menyimpan dendam itu?

Nice-to-know:
Diproduksi oleh Mitra Pictures dan Co Bic Production dimana gala premierenya dilangsungkan di Hollywood XXI pada tanggal 20 Juni 2011.

Cast:
Zaky Zimah sebagai Boy
Joanna Alexandra sebagai Ririn
Dallas Pratama sebagai Wawan
Raymond Knuliq sebagai Hary
Jerry Likumahwa sebagai Tedi
H Bolot sebagai Dukun
Mpok Atiek sebagai Suster

Director:
Chiska Doppert dua kali menggarap film sebelumnya yaitu Missing (2005) dan Gotcha (2006).

Comment:
Prolog film ini langsung dibuka tanpa tedeng aling. Sepertinya Chiska hanya melanjutkan apa yang sudah dilakukan Nayato sebelumnya. Oh wait! Dari dulu saya selalu curiga keduanya adalah orang yang sama. Mungkin Nayato lebih senang berkostum pocong sedangkan Chiska memilih kostum kuntilanak. Sayangnya pesta Halloween masih jauh di depan, bapak dan ibu.. Namun untuk menghargai, saya akan tetap memakai nama Chiska dalam penulisan review ini.
Seberapa keras usaha Ule Sulaeman untuk menghasilkan skrip yang kreatif sekalipun sepertinya akan sia-sia. Eksekusi Chiska tidak dapat diganggu-gugat atas dasar apapun juga. Tidak heran jika terlalu banyak elemen yang mengganggu disini mulai dari miscast, misplaced, misruled, mismatch dan lain-lain. (Buka Wikipedia untuk menambah sederetan kata “mis” lainnya). Dan jangan minta saya untuk menyebutkan contoh kasus-kasusnya karena akan menyinggung terlalu banyak pihak.
Entah apa fungsi para aktris disini selain pemanis layar belaka. Joanna yang hobi jump-in jump-out pada scene-scene tertentu. Mpok Atiek yang hanya kebagian satu scene di rumah sakit sebagai suster tua genit. Atau Monique yang ternyata memiliki kemampuan “membelah diri” sebagai pocong dan kuntilanak sekaligus terlepas dari siapapun pemerannya. Penonton diamini untuk percaya bahwa dialah di balik semua make-up dan kostum horor tersebut. OMG!
Bagaimana dengan para aktornya? Zaky kembali mengeksploitasi keiteman dan kekhasannya dalam berlogat dan melontarkan celetukan-celetukan jenaka. Di awal-awal mungkin cukup berhasil tapi lama-kelamaan semakin menjemukan. Dallas sebelumnya cukup berwatak dalam berakting kali ini tidak menjanjikan apa-apa. Raymond lagi-lagi bermodal body panzer dan congor bawelnya. Paling mengganggu dari semua adalah karakter Tedi dan Dukun dimana budeg dan bolot itu ternyata memang beda tipis. Once or twice is funny but more than that would be sick. Mohon jangan salahkan Jerry ataupun H Bolot karena mereka hanya dibayar!
Mari kita beralih pada kiprah sang pocong dan kuntilanak. Mana yang lebih efektif dalam tampil? Tentu saja pocong sebab doski dijadikan judul! Mau lihat pocong naik mobil, busway, taksi? Itu tidak penting sebab yang lebih menarik adalah apakah mereka melompat-lompat dalam melakukannya atau ada yang berbaik hati membukakan ikat kakinya? Silakan berasumsi. Kabar baikya adalah tidak ada perlakuan nista yang ditujukan pada mereka kali ini sehingga imej horor setidaknya tetap terjaga.
Ada Apa Dengan Pocong sebetulnya berpotensi menjadi parodi horor yang lebih menghibur lagi andai digarap dengan lebih serius. Opening yang cukup menggebrak dengan angle dan lighting yang tidak lazim itu seketika sirna setelah 15 menit berlalu. Yang tersisa hanyalah serpihan-serpihan gambar tanpa isi yang lambat laun tersapu oleh hembusan angin berbau kantuk dari mulut para penonton. Jemu sekaligus tersiksa oleh kebodohan menantikan tirai di bawah tulisan EXIT terbuka.

Durasi:

80 menit

Overall:
6 out of 10

Movie-meter:

Minggu, 19 Juni 2011

UNKNOWN : Hilang Ingatan Dualisme Identitas

Quotes:
Dr. Martin Harris: For a moment they had me convinced that I was crazy. But when they came to take me, when they killed your friend, I knew.


Storyline:
Biokimia Dr. Martin Harris dan istrinya Elizabeth tiba di Berlin untuk menghadiri konferensi dimana seorang ilmuwan dan Pangeran dari Arab akan membicarakan penemuan fenomenal. Sayangnya dalam perjalanan, taksi yang ditumpangi Martin mengalami kecelakaan hingga membuatnya hilang ingatan secara utuh setelah 4 hari koma. Tanpa identitas dan kesulitan mengingat kembali, Martin mencoba menemukan istrinya yang ternyata sudah bersama Dr. Martin Harris lain yang bukan dirinya! Di samping itu ada beberapa pihak yang berusaha melenyapkan nyawanya. Bagaimana Martin bisa menjawab semua teka-teki tersebut?

Nice-to-know:
Diproduksi oleh Warner Bros Pictures yang berkolaborasi dengan beberapa perusahaan lainnya dimana tanggal rilis di Amerika Serikat adalah 16 Februari 2011 yang lalu.

Cast:
Aktor berusia 59 tahun ini terakhir mengisi suara Azlan dalam The Chronicles of Narnia: The Voyage of the Dawn Treader (2010), Liam Neeson bermain sebagai Dr. Martin Harris
Memulai karirnya lewat serial televisi Duelles (2002), Diane Kruger berperan sebagai Gina
January Jones sebagai Elizabeth Harris
Aidan Quinn sebagai Martin B
Bruno Ganz sebagai Ernst Jürgen
Frank Langella sebagai Rodney Cole
Sebastian Koch sebagai Professor Leo Bressler

Director:
Merupakan film keempat bagi Jaume Collet-Serra setelah terakhir kali sukses mencabik-cabik perasaan lewat The Orphan (2009).

Comment:
Dua alasan saya menyaksikan film ini adalah faktor sutradara dan jajaran castnya terutama aktor aktris utama. Jaume Collet-Serra meskipun filmografinya belum banyak tapi sudah mampu menghasilkan karya-karya yang intriguing. Tidak peduli jika seorang Liam Neeson dikatakan terlalu banyak bermain dalam film-film sejenis sebelumnya, ia tetaplah aktor watak yang handal dalam menerjemahkan peran-peran yang ditawarkan kepadanya.
Diangkat dari novel berjudul “Out of My Head” karya Didier Van Cauwelaert, duet penulis Oliver Butcher dan Stephen Cornwell menerjemahkan bagian demi bagian dengan runut. “Who am I?” di bagian opening akan membuat anda sama blanknya dengan karakter Dr. Martin Harris. Pemaparan sekuensi yang cermat berhasil menjaga intensitas cerita sekaligus memaksa penonton untuk tetap antusias menyaksikannya hingga akhir.
Film ini lebih tepat dikategorikan suspense mystery daripada action thriller. Terlepas dari berbagai adegan aksi seru yang disematkan, tidak menjadi fokus utamanya. Jalinan kisahnya yang tidak mudah ditebak karena berbagai twist yang disisipkan membuat kita menerka-nerka akankah tokoh Dr. Martin Harris akan sukses menemukan jawaban pada akhirnya? Apa yang kita pikirkan A ternyata berbalik menjadi B, begitu seterusnya hingga seluruh rangkaian teka-teki terjawab di bagian penutupnya.

Sutradara Collet-Serra manyajikan berbagai elemen thriller yang baik layaknya pembatas buku. Lihat saja adegan pembuka kecelakaan mobil yang membuat Neeson mengalami amnesia, sangat realistis! Atau kejar-kejaran mobil di tengah kota yang mengasyikkan walau disyut tidak terlalu detil dari sisi antagonisnya. Sinematografi ciamik dihadirkan Flavio Martínez Labiano dengan nuansa abu-abu, atmosfir kering yang melambangkan cuacana Jerman yang dingin bersalju.
Penampilan Neeson mungkin mengingatkan anda pada Taken (2008). Bedanya ia ‘hilang ingatan’ disini tetapi tetap sama tangguhnya dengan peran ‘singa terluka’ disana. Salah satu aktris fave saya, Kruger di luar dugaan tidak hanya menjadi sidekick belaka. Gina tergolong superwoman yang mampu meloloskan diri dari bahaya sekaligus menyelamatkan sang superhero. Awesome! Sedangkan Jones lumayan mencerahkan sebagai ‘istri’ Dr. Martin Harris yang anggun.
Unknown bukanlah film ambisius yang ingin mencetak dollar ataupun meraup penghargaan internasional dengan kekuatan cerita dan karakterisasinya. Kemudahan antagonis melacak protagonis untuk kemudian memberinya nafas panjang sebelum menghabisinya tampak masih kurang logis. Selebihnya trio produser Leonard Goldberg, Andrew Rona dan Joel Silver benar-benar seperti mengajak penonton membaca sebuah novel seru, lembar per lembar untuk memecahkan misteri terselubung itu. Overall, well done for me. Great puzzle if you had those pieces in place!

Durasi:
113 menit

U.S. Box Office:
$63,686,397 till May 2011

Overall:
8 out of 10

Movie-meter:


Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Sabtu, 18 Juni 2011

INSIDIOUS : Proyeksi Astral Pengundang Arwah Baka

Quotes:
Foster Lambert: Dalton scares me when he gets up and walks around at night.

Storyline:
Pasutri sempurna, Renai dan Josh Lambert memiliki 3 orang anak masing-masing Dalton, Foster dan Cal pindah ke rumah baru. Di suatu pagi setelah malamnya terjatuh, Josh mendapati Dalton koma. Tidak ada penjelasan medis yang dapat diterima logika hingga akhirnya setelah 3 bulan, Dalton dirawat di rumah. Semenjak itu, kejadian-kejadian mengerikan mulai terjadi. Renai yang stress meminta ibu mertuanya, Lorraine untuk menemani. Penasaran dengan misteri yang melingkupi, Lorraine memanggil sahabat lamanya Elise untuk menganalisa apa yang sesungguhnya melanda rumah tersebut.

Nice-to-know:
Pada adegan dimana Josh membubarkan kelasnya, anda akan melihat nama sutradara James Wan di papan tulis hitam digarisbawahi dua kali serta coretan boneka puppet SAW yang terkenal itu.


Cast:
Reuni keduanya dengan Simpkins setelah Little Children (2006), Patrick Wilson berperan sebagai Josh Lambert
Pernah menerima nominasi Aktris Pendukung Terbaik lewat Damages (2007) dalam ajang Golden Globe, Rose Byrne bermain sebagai Renai Lambert
Debutnya dalam remake War Of The Worlds (2005), Ty Simpkins kebagian peran Dalton Lambert
Lin Shaye sebagai Elise Rainier
Barbara Hershey sebagai Lorraine Lambert

Director:
Merupakan feature film kelima bagi James Wan yang mulai dikenal namanya lewat Saw (2004).

Comment:
Rumah berhantu. Rasanya sudah jutaan kali anda pernah mendengar frase tersebut dalam konteks sebuah film horor. Berharap menemukan hal yang sama dalam film yang satu ini? Nanti dulu. Penulis Leigh Whannell jelas memiliki “sesuatu” dalam skripnya kali ini, sebuah twisted plot yang tidak baru tapi berhasil dikombinasikan dengan begitu kreatifnya sehingga terciptalah film horor modern bercitarasa klasik. Curious? You should be..
Masih ingat nama James Wan? Pria Malaysia otak di balik SAW yang legendaris itu? Skill thriller dan horror nya tidak perlu diragukan lagi karena dari sanalah ia berhulu. Saya justru berpendapat disini James seperti Raja Midas dengan sentuhan emasnya. Apapun yang dilakukan James dalam mendirikan bulu kuduk sangatlah berhasil mulai dari lighting, angle kamera, setting, eksekusi, pengarahan cast hingga spesial efek (sound/visual). Dan agar bernuansa tradisional khas 80an, James memilih warna pucat yang dominan abu-abu, hitam, putih sebagai main colornya. Smart choice!
Semua gimmick horor yang pernah ada di pikiran anda diwujudkan oleh James dalam durasi lebih kurang seratus menit. Sebut saja rumah tua, loteng gelap, pintu terbanting, kamera infrared, suara bisikan, lantai berderit, anak kesurupan, pengusir hantu, foto penampakan dsb. Belum lagi sosok horor macam nenek rambut panjang, pria jubah hitam, iblis merah dll dijamin akan mengisi kepala anda dalam jangka waktu yang tidak pendek.
Paruh pertama film ini memang murni menyajikan atmosfir rumah berhantu yang dibangun secara perlahan untuk membuat anda terus bersugesti dalam mood yang tidak mengenakkan. Sedangkan paruh kedua menjelang akhir, tensinya terasa dipercepat hingga membuat anda tersengal-sengal bernafas dalam ketakutan yang tidak terbayangkan. James will drive you crazy scary both in slow and quick heartbeat racing!
Wilson sekali lagi membuktikan kualitas aktingnya dimana Josh tidaklah kompulsif tapi mampu mengakomodir istri dan anaknya dengan masuk akal. Byrne juga tidak mengecewakan sebagai Renai yang tertekan dan bingung menghadapi situasi yang demikian tak lazim itu. Dua aktris watak kawakan yaitu Shaye dan Hershey menerjemahkan karakter masing-masing dengan determinasi tinggi, begitu pula Whannell dan Sampson secara jenaka bertindak layaknya anggota The Ghostbusters!
Terus terang saya tidak mudah ditakuti oleh film horor apapun juga. Namun harus saya akui Insidious adalah one of the scariest movies of all time yang mampu membuat anda terpaku dalam kengerian tanpa batas sambil merasakan degup jantung yang tidak menentu. Saya yakin anda akan merasakannya pula dan bisa jadi merasa paranoid setelah meninggalkan gedung bioskop. Tapi ini bukanlah akhir dari penderitaan 100 menit anda karena bersiaplah terbayang-bayang oleh creepy images yang secara otomatis terekam dalam memori terlebih saat harus sendiri memasuki rumah kosong anda. Berani? Karena jika tidak anda akan melewatkan kesempatan “What it feels like to be scared out of your skulls for once in your lifetime?”

Durasi:
100 menit

U.S. Box Office:
$53,010,822 till June 2011

Overall:
8.5 out of 10

Movie-meter:

Jumat, 17 Juni 2011

IRONCLAD : Sejarah Magna Carta dan Pertahanan Benteng Rochester

Quotes:
Marshall: Have you ever killed a man, squire? It is not a noble thing. Not even when it is for God!

Storyline:
Tahun 1215, kaum Pemberontak Inggris Raya memaksa Raja John yang otoriter untuk menandatangani Magna Carta, sebuah dokumen perjanjian yang mengatur hak-hak manusia bebas. Sayangnya Raja John malah memilih sikap antipasti dan menugaskan pasukan bersenjata di belahan Selatan Inggris untuk menumpas siapapun yang menghalanginya dalam menerapkan Pemerintahan Tirani. Di antara tujuan kotornya itu berdiri sebuah benteng Rochester, tempat yang akan menjadi simbol momentum perjuangan mencari keadilan dan kebebasan itu sendiri.

Nice-to-know:
Paul Giamatti menyelesaikan syuting bagiannya hanya dalam waktu 7 hari.

Cast:
Terakhir kita saksikan aktingnya dalam Solomon Kane (2009), James Purefoy sebagai Marshall
Paul Giamatti sebagai King John
Kate Mara sebagai Lady Isabel
Jason Flemyng sebagai Beckett
Jamie Foreman sebagai Coteral
Brian Cox sebagai Albany
Mackenzie Crook sebagai Marks

Director:
Merupakan film ketiga bagi Jonathan English sejauh ini setelah terakhir Minotaur (2006) yang juga sempat tayang di bioskop-bioskop Indonesia itu.

Comment:
Prolog film ini sudah mengesankan epic semi dokumenter yang buruk. Skrip pertama dikerjakan oleh Stephen McDool. Kemudian dirombak kembali oleh Jonathan English dan dibantu oleh Erick Kastel. Entah siapa yang salah diantara mereka bertiga, sulit untuk ditelusuri. Plot cerita yang sangat sangat sederhana dirasa cukup untuk membawakan kisah yang mengambil setting waktu paska jaman Robin Hood tersebut.
Sekelumit background tersebut lantas dilanjutkan oleh permainan pedang, pisau, gada, panah, rantai, minyak panas, peluru martil dsb yang menghujam ataupun memisah-misahkan anggota tubuh manusia di antara para tokohnya! Dan ini terjadi secara repetisi hingga durasinya berakhir dengan hanya dilengkapi oleh dialog-dialog yang tidak bernas sama sekali yang turut berisikan satu dua kata erangan atau makian. What the hell?
Dengan skenario yang demikian dangkal rasanya sulit untuk mengharapkan adanya pengembangan karakter disini. Lupakan nama besar Purefoy, Giamatti, Flemyng, Cox atau lainnya yang notabene aktor barisan depan Inggris Raya. Semua yang mereka lakukan disini hanya sebatas membaca skrip dan berlomba-lomba menyelesaikan scene masing-masing. Entah mengapa nama-nama yang mereka gunakan serasa dicomot sembarangan dari berbagai novel atau artikel lepas.
Sutradara English mungkin terobsesi saat membaca sejarah Inggris mengenai Benteng Rochester yang ternama itu secara garis besarnya saja hingga lantas muncul ide untuk membuat sebuah film berdarah yang realistis. Untuk urusan yang satu ini, ia terbilang berhasil karena adegan-adegan sadis baik secara detail ataupun sekelebat saja diyakini membuat anda miris dan ngilu sekaligus. Penggunaan kamera yang shaky seakan mengisyaratkan keotentikannya. Benarkah begitu?
Dengan segala sisi yang berusaha disuguhkan Ironclad tidak heran jika film ini pada akhirnya rilis langsung dalam format DVD. Totally boring bagi saya yang menyaksikannya pada pertunjukkan paling malam. Untungnya formula slasher (meski teramat tidak tepat) bekerja dengan baik untuk membuat saya terjaga. Selepas pembantaian berdarah demi pembantaian berdarah yang tidak berkesudahan, film pun sukses ditutup dengan teramat klise dan dipermudah. Prolog dan epilog yang sama nihilnya. Sebuah semangat film indie yang terlalu ambisius tapi tidak didukung oleh modal yang cukup, bahkan sebagai replika sejarah yang tidak kuat sekalipun.

Durasi:
110 menit

Overall:
6.5 out of 10

Movie-meter:

Kamis, 16 Juni 2011

THE TARIX JABRIX 3 : Pertaruhan Imej Gank Motor Bandung

Quotes:
Cacing: Sebelum kita balapan, bagaimana kalau kita berkencan? Bonceng-boncengan yuu..

Storyline:
Kesempatan The Tarix Jabrix untuk menjadi pahlawan gagal karena kebakaran yang melanda sebuah panti asuhan tidak berhasil mereka tangani dengan baik. Caca Sutarya kembali ke pekerjaannya sebagai agen asuransi dimana si bos memintanya pergi ke Bandung untuk bernegosiasi dengan geng motor setempat Road Devils yang banyak menyebabkan kerugian moral sekaligus material. Cacing pun mengajak Mulder, Dadang dan si kembar Coki-Ciko untuk turut serta. Sesampainya di tujuan mereka langsung dihadang Road Devils yang ternyata diketuai oleh cewek cantik bernama Melly, bukan Barokah lagi. Cacing pun harus menggunakan “pesona” sekaligus “kemampuan”nya untuk bersaing dengan Melly demi nama geng motor mereka masing-masing.

Nice-to-know:
Diproduksi oleh Starvision dan gala premierenya dilangsungkan di Hollywood XXI pada tanggal 14 Juni 2011.

Cast:
Tria Changcut sebagai Caca Sutarya
Dipa Changcut sebagai Mulyana Derajat
Alda Changcut sebagai Ciko
Qibil Changcut sebagai Coki
Erick Changcut sebagai Dadang
Olivia Jensen sebagai Melly
Kamidia Radisti sebagai Mayang
Joe P Project sebagai Ayah Mulder
Ingrid Widjanarko sebagai Ibu Caca
Candil sebagai Bertie
Budi Dalton sebagai Laksamana Roda Gila

Director:
Merupakan film layar lebar kedelapan bagi Iqbal Rais dimana The Tarix Jabrix 1 sendiri adalah debut pertamanya.

Comment:
Meneruskan film yang sudah sukses dan begitu ikonik memang tidak mudah, apalagi sampai berlanjut di dua sekuelnya. Namun Iqbal Rais dan The Changcuters menjawab tantangan tersebut dimana film ketiga The Tarix Jabrix akhirnya muncul dalam kurun waktu 4 tahun! Tentu saja ada berbagai elemen baru yang dihadirkan disini dan secara keseluruhan saya menilai film ini cukup solid sebagai sebuah komedi ringan tanpa harus banyak berpikir.
Plotnya sendiri masih membahas para anggota The Tarix Jabrix secara personal tanpa kehilangan esensi persahabatan di antara mereka berlima. Namun tema utama yang ingin ditonjolkan adalah persaingan The Tarix Jabrix dengan Road Devils yang berbeda visi tersebut. Bagaimana kedua topik tersebut dapat berbaur secara tepat merupakan tugas penulis skrip Cassandra yang kali ini sedikit memperbaiki kinejanya yang biasanya klise.
Sutradara Iqbal secara cerdik mampu mengambil benang merah dari dua prekuelnya untuk bercerita secara fasih walaupun di beberapa bagian terasa dipermudah. Saya acungi jempol bagi pemanfaatan setting yang maksimal mulai dari Tangkuban Perahu, Kawah Putih, Gunung Patuha dan berbagai lokasi kebanggaan Jawa Barat lainnya. Suatu aspek yang mungkin sepele bagi orang lain tapi penting bagi saya karena berdaya jual tinggi sebagai jati diri Indonesia.
Tria masih mendapat porsi dominan disini sebagai Caca Sutarya yang berprofesi sebagai agen asuransi sekaligus pemimpin geng motor Tarix Jabrix. Menurut saya, Cacing tidak sengocol yang lalu dimana hal ini positif karena penonton dapat melihat sisinya yang lain. Erick dituntut menggenggam atau melepaskan cintanya terhadap Mayang, beda lagi Dipa yang berusaha menemukan jati dirinya sendiri tanpa campur tangan ayahnya.
Jika anda pernah melihatnya dalam peran ABG labil melankolis sebelumnya, disini ia terlihat lebih dewasa sebagai Jendral pemimpin Road Devils yang berjaket kulit, berhelm dan bermotor serba merah itu. Dan sifat judes dominan Olivia tersebut berbanding terbalik dengan Kamidia yang tengah bimbang menghadapi pernikahan dengan pria yang tidak menyukai hobi bermotornya itu. Selebihnya Candil, Eddy, Joe turut memberikan andil sendiri sebagai komedian setia negeri ini. Tanpa lupa menyebutkan nama Budi Dalton sebagai Koboyi yang tampilannya mengingatkan pada sosok David Carradine.
The Tarix Jabrix 3 masih mengusung semboyan bersikap sopan, tidak melanggar aturan lalu lintas, hormat orangtua tapi kali ini melengkapinya juga dengan sederetan tips bermanfaat dan pesan moral yang tidak bersifat menggurui. Penuturan yang fun dengan background musik yang easy listening menjadikannya sebuah tontonan wajib yang dapat dinikmati berbagai kalangan hingga pada akhirnya dapat memaafkan kelemahan-kelemahan minor yang ada. Siap untuk Tarix? Ambil motor anda, cek prosedur standarnya sebelum memulai petualangan hidup anda masing-masing..

Durasi:
85 menit

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:

Rabu, 15 Juni 2011

NIGHT OF THE DEMONS : Mimpi Buruk Malam Halloween

Tagline:
All Hell Is Going To Break Loose

Storyline:
Malam Halloween menjadi ajang pesta bagi sekawanan remaja di sebuah kastil tak berpenunggu. Tidak ada yang tahu bahwa pernah terjadi tragedi menakutkan di tempat yang sama beberapa decade lalu. Setelah polisi membubarkan mereka dalam hitungan menit, tinggal Maddie, Collin, Jason dkk yang tersisa disana. Berusaha keluar di tengah malam mencekam, ketiganya malah berhadapan dengan iblis-iblis yang terbangun dan merasuki teman-teman mereka satu persatu. Satu-satunya tempat teraman adalah bilik berdinding mantra yang menjauhkan iblis-iblis tersebut. Berhasilkah mereka melewati malam dengan selamat atau malah bergabung ke neraka?

Nice-to-know:
Jangan lupakan scene menarik yang nyeleneh setelah credit title berakhir.

Cast:
Mulai dikenal setelah mendukung While You Were Sleeping (1995), Monica Keena bermain sebagai Maddie
Mengawali debut akting dalam Terminator 2: Judgment Day (1991) yang laris manis itu, Edward Furlong berperan sebagai Colin
Shannon Elizabeth sebagai Angela
Bobbi Sue Luther sebagai Suzanne
John F. Beach sebagai Jason

Director:
Merupakan film kedua bagi Adam Gierasch setelah Autopsy (2008).

Comment:
Mungkin anda pernah mendengar versi originalnya di tahun 1988 yakni sebuah horor kelas B yang sukses menarik perhatian hingga mendapat rating yang cukup bagus. Pada masa itu genre ini memang menjadi tambang emas para produser untuk mengeruk keuntungan. Namun rentang waktu lebih dari 2 dekade bagi Michael Arata dan Jerry Daigle untuk membuat remakenya bisa jadi sebuah keputusan yang terlalu berani karena genre ini tidaklah sepopuler dahulu.
Plotnya mengalir begitu saja tanpa perlu banyak berpikir yakni mengumpulkan + 10 muda-mudi untuk berkumpul di sebuah kastil kuno megah pada malam Halloween. Selanjutnya mudah ditebak, terjadilah pesta miras dan seks di antara mereka sebelum iblis-iblis merasuki dan merajai malam panjang yang tidak berkesudahan. Prolog film sempat membahas juga asal muasal kejadian memilukan di kastil terkutuk itu, entah berusaha memperkuat cerita atau ada tujuan lain.
Sayangnya cara Jace Anderson dan Adam Gierasch menyajikan skrip terasa lemah dimana banyak sekali dialog-dialog klise ala remaja wanita. Gierasch juga memperparah dengan konsep penyutradaraan MTV style yang hingar bingar dan perpindahan kamera yang terlampau cepat di setiap scenenya tanpa berusaha memaksimalkan angle tata ruang. Padahal spesial efek alias make up sang demons sudah cukup meyakinkan di sepanjang durasinya.
Jika anda mencermati nama-nama yang mengisi cast mungkin terkejut melihat nama Elizabeth, Furlong ataupun Keena disini. Bukan peran-peran spesial yang mereka mainkan walaupun upaya terbaiknya telah terlihat. Bisa jadi mereka hanya sekadar mengisi kekosongan filmografi sampai pada akhirnya seiring waktu melupakan keterlibatan masing-masing di film ini.
Selayaknya horor kelas B, film ini juga menghadirkan boobs, blood and gore. Sayang tidak semuanya bekerja dengan maksimal terlebih sex scenes nya yang menggelikan ataupun tingkat kesadisan yang menjemukan. Satu-satunya yang memorable adalah lipstick scene yang aneh tapi nyata itu. Tanpa berusaha membangun mood ataupun menyisakan kejutan bermakna, Night Of The Demons hanya menambah deretan remake gagal saja.

Durasi:
90 menit

Overall:
6.5 out of 10

Movie-meter:

Senin, 13 Juni 2011

ELEPHANT WHITE : Misi Balas Dendam Traffickers Bangkok

Storyline:
Di Bangkok, pembunuh bayaran cekatan Curtie Church disewa oleh seorang pebisnis untuk membunuh 6 pria. Setelah tugasnya selesai, pebisnis tersebut menawarkan kontrak lain agar Curtie menghabisi kepala sindikat tersebut yang telah menjebloskan putrinya ke dunia pelacuran dan narkoba sebelum akhirnya tewas. Curtie menghubungi Jimmy untuk memperoleh pasokan senjata berat. Pada saat menuntaskan misinya, Curtie bertemu dengan pelacur muda bernama Mae yang membantunya menyelamatkan gadis-gadis terpenjara itu. Siapa sesungguhnya Mae yang misterius itu?

Nice-to-know:
Diproduksi oleh Millennium Films yang bekerjasama dengan Swingin' Productions.

Cast:
Sempat mendukung serial televisi Black Panther tahun lalu, Djimon Hounsou bermain sebagai Curtie Church
Terakhir tampil sebagai dirinya sendiri dalam serial televisi Bored to Death (2010), Kevin Bacon berperan sebagai Jimmy The Brit
Jirantanin Pitakporntrakul sebagai Mae
Sahajak Boonthanakit sebagai Rajahdon

Director:
Prachya Pinkaew mulai angkat nama setelah menulis, memproduseri sekaligus mengarahkan Ong Bak (2003) yang fenomenal itu.

Comment:
Satu-satunya alasan saya menonton film ini adalah kehadiran Djimon Hounsou yang biasanya bersinar dalam peran pendukung beberapa film ternama. Sedangkan bagi yang lain mungkin menganggap Kevin Bacon, an always decent veteran actor atau Prachya Pinkaew yang sukses menangani film-film martial arts Thailand dan memulai debut Hollywood nya lewat film ini. Sayangnya akhirnya hanya rilis dalam format video saja pada tanggal 17 Mei 2011 yang lalu.
Keputusan direct-to-dvd tersebut memang beralasan. Skrip yang ditulis oleh Kevin Bernhardt itu terlalu banyak mencampur-adukkan ide mulai dari action, drama, relijius, tradisional hingga supernatural yang mengaburkan inti cerita itu sendiri. Tema klise balas dendam yang dibahas di prolog film lenyap begitu saja setelah beberapa menit berlalu dan saya jamin penonton juga akan melupakannya sesegera mungkin.
Pinkaew tergolong masih mampu menghadirkan adegan pertarungan yang keren dan memanjakan mata disini. Tetapi perbedaan nuansa Hollywood dan Thailand tak bisa dipungkiri. Seberapa kerasnya ia berusaha menghadirkan unsur etnik dengan memindahkan lokasi syuting ke Bangkok tidak banyak menolong. Pengarahannya terhadap aktor-aktris yang bermain disini dalam menjiwai karakter masing-masing juga terkesan datar saja.
Hounsou tampak berupaya mengangkat film seorang diri dengan konsep hero yang misterius sekaligus berhati mulia. Lain halnya dengan Bacon yang sedikit memaksakan mengubah aksennya sedemikian rupa sehingga terdengar konyol. Sedangkan Pitakporntrakul menjadi sisi terlemah dalam jajaran castnya dimana tokoh Mae yang sudah “aneh” semakin tak berdaya dengan buruknya akting dan penempatan serba salah di sepanjang scene yang melibatkannya.
Elephant White bisa jadi bermakna Gajah Putih alias Thailand itu sendiri yang juga mengusung spirit Buddhisme disini. Namun gagasan yang biasanya bekerja dengan baik dalam genre horor itu menjadi salah bumbu dalam sebuah film aksi semacam ini. Kegagalan pada nyaris semua departemen film ini tinggal menyisakan fighting scenes yang sebenarnya tidak buruk tapi tidak mampu menyelamatkan 90 menit dalam hidup para penonton yang terbuang sia-sia.

Durasi:
90 menit

Overall:
6.5 out of 10

Movie-meter:

Minggu, 12 Juni 2011

SERDADU KUMBANG : Standar Pendidikan Pencapaian Cita Anak

Quotes:
Acan: Coba bayangkan sendiri kalau papinya Umbe adalah Pak Alim. Hiiyyy seram..

Storyline:
Dalam rangka mencapai program kelulusan 100%, SD & SMP 08 berusaha memperketat sistem pengajarannya. Pak Guru Alim adalah salah satu yang paling mendukung hal ini meskipun ditentang oleh Ibu Guru Imbok yang berpendapat masih ada cara lain yang lebih manusiawi. Adalah siswa-siswa yang tidak lulus tahun lalu yakni Amek, Dulah, Acan, Ujang dan Umbe yang terkena dampaknya. Amek sendiri lebih senang menonton televisi daripada belajar, bertolak belakang dengan kakaknya Minun yang selalu juara kelas dan lomba Matematika. Ibu mereka Siti selalu membanting tulang menghidupi keluarga selagi menunggu kepulangan suaminya Zakaria yang sudah tiga tahun merantau di Malaysia. Akankah perubahan positif dapat terjadi di desa Mantar pada akhirnya terutama pada generasi muda penerus yang dimilikinya?

Nice-to-know:
Diproduksi oleh Alenia Pictures dan gala premierenya dilangsungkan di Epicentrum XXI pada tanggal 9 Juni 2011.

Cast:
Yudi Miftahudin sebagai Amek
Aji Santosa sebagai Umbe
Fachri Azhari sebagai Acan
Monica Sayangbati sebagai Minun
Titi Sjuman sebagai Siti Aisyah
Ririn Ekawati sebagai Bu Guru Imbok
Lukman Sardi sebagai Pak Guru Alim
Asrul Dahlan sebagai Zakaria
Leroy Osmani sebagai Pak Openg
Dorman Borisman sebagai Pak Jabuk
Surya Saputra sebagai Ketut
Gerry Puraatmadja sebagai Pak Haji Idrus
Putu Wijaya sebagai Papin
Fanny Fadillah sebagai Jaenady

Director:
Merupakan film ketiga bagi Ari Sihasale setelah sebelumnya Tanah Air Beta (2010) yang cukup diterima kalangan pecinta film lokal.

Comment:
Alenia Pictures tergolong konsisten menyajikan satu film keluarga di musim liburan sekolah setiap tahunnya. Biasanya ditokoh utamai oleh remaja belia dengan pengharapan akan sesuatu yang lebih baik dari kondisi mereka sekarang. Proses tersebutlah yang menarik untuk disajikan dan dikombinasikan dengan segala permasalahan yang biasa mengiringi. Dan kali ini tugas Jeremias Nyangoen lah dalam menulis skenario film yang konon diilhami dari kisah nyata hasil tulisan tangan Rain Chudori ini.
Sutradara Ari Sihasale menggunakan sudut pandang suku Mandar yang bertempat tinggal di Sumbawa sebagai latar belakangnya. Beberapa long shot yang menyapu landscape indah beberapa kali ditampilkan walau tidak sedominan karya-karyanya sebelum ini. Eksekusi Ale dalam menjembatani kelompok dewasa dan remaja belia disini terbilang mulus sehingga tercipta interaksi timbal-balik yang menyenangkan untuk diikuti.
Penunjukkan Yudi sebagai Amek sangat tepat. Penampilan fisiknya yang tidak sempurna sejak awal mampu mengundang simpati penonton untuk mengikuti perjalanannya dengan runut. Bagaimana ia menyelaraskan cita-citanya dengan keterbatasan pendidikan yang diperoleh. Aji dan Fachri juga cukup melengkapi kekompakan trio ini sebagai Umbe dan Acan yang kocak meskipun persahabatan mereka bukanlah yang terdepan dalam film ini.
Aktor-aktris senior yang turut bermain kali ini memberikan performa yang memikat tanpa perlu saya sebutkan satu persatu. Titi Sjuman paling menonjol dimana logat dan gesture nya sudah menyerupai Siti, wanita Sumbawa yang terkesan jutek tetapi sangat suportif pada suami dan putra-putrinya itu. Menyenangkan melihat Lukman Sardi bersinar bukan di karakter frontal seperti biasanya. Tokoh guru galak Pak Alim yang ofensif dijiwainya dengan lugas. Tak jarang bersinggungan dengan Ririn Ekawati yang amat menyayangi murid-muridnya dan menjunjung tinggi tujuan pengajaran sebagai Bu Imbok.
Konsep ceritanya sendiri memang luas sehingga ada kalanya kehilangan fokus disana-sini karena harus dipadatkan dalam durasi satu jam tiga perempat. Terkadang film berusaha melakukan sindiran-sindiran halus terhadap sistem pendidikan negara kita yang masih belum sempurna ini, tetapi di sisi lain usaha mewujudkan cita-cita jangka pendek sekaligus panjang juga mendapat perhatian yang tinggi meski prosesnya tidak terlalu disorot. Belum lagi nilai-nilai persahabatan, persaudaraan, keluarga yang lumayan frekuentif mengisi scene demi scene yang disajikan secara variatif itu.
Terlepas dari ketidak sempurnaan film dalam mempertahankan jalur yang dilaluinya, Serdadu Kumbang masih mampu menghadirkan dramatisasi menyentuh yang natural. Terima kasih pada music scoring garapan Ipang yang begitu inspiratif dan easy listening. Sentilan kekerasan dalam sistem pengajaran sebagai sebuah perdebatan dilematis juga sukses mencapai sasaran. Di atas semua itu, aspek terpenting adalah setiap anak mesti diarahkan sejak dini untuk memiliki cita-cita dan tetap fokus pada tujuannya seiring mengenyam pendidikan layak. Itulah tugas anda sebagai orangtua kelak untuk membimbingnya. Pada kesempatan ini Ale dan Nia pun sukses menyampaikan messagenya dengan cara mereka sendiri.

Durasi:
105 menit

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter: