Kamis, 19 Mei 2011

BATAS : Menguji Perhinggaan Diri Pedalaman Kalimantan

Quotes:
Jaleswari: Mandau telah ada di dalam dirimu, menebas putus batas keraguanmu..

Storyline:
Jaleswari menerima tanggung jawab berat untuk menyelidiki rantai pendidikan yang selalu terputus di pedalaman Kalimantan. Dua minggu waktu yang diberikan harus dimaksimalkannya terlebih kondisinya yang tengah hamil. Sesampainya disana, Jaleswari diantar oleh Arif, petugas perbatasan untuk bertemu dengan Panglima, Kepala Suku yang mengajarkannya akan “Bahasa Hutan”. Sebetulnya bukan tidak ada tenaga pendidik disana, Adeus yang ditunjuk justru memilih mundur karena pola hidup masyarakat dan adat istiadat setempat yang demikian tertutup akan sistem baru yang dibawanya dari kota besar. Mampukah Jaleswari mengubah semua kondisi tersebut apalagi melihat antusiasme seorang anak lokal bernama Borneo?

Nice-to-know:
Diproduksi oleh Keana Production dan gala premierenya diselenggarakan di Epicentrum XXI pada tanggal 12 Mei 2011.

Cast:
Marcella Zalianty sebagai Jaleswari
Arifin Putra sebagai Arif
Ardina Rasti sebagai Ubuh
Jajang C Noer sebagai Nawara
Piet Pagau sebagai Panglima
Marcell Domits sebagai Adeus
Alifyandra sebagai Borneo

Director:
Merupakan film pertama Rudi Soedjarwo setelah absen 2 tahun. Karya terakhirnya adalah Hantu Rumah Ampera (2009) yang sempat masuk daftar Asian horror movies to watch.

Comment:
Jujur saya menyiapkan diri untuk kemungkinan terburuk dari kualitas akhir film ini. Mengingat harus absen pada gala premierenya dan nyaris semua rekan-rekan memberi penilaian negatif pada waktu itu. Namun melihat nama sutradara dan jajaran cast yang mengisinya, rasanya sulit untuk memalingkan muka dari film yang naskahnya ditulis oleh Slamet Rahardjo Djarot ini.
Tema globalnya dibagi menjadi dua. Satu, seseorang yang berusaha mengintrusi sekumpulan orang yang sudah terpatri dengan adat istiadat dan pola pikir setempat dengan optimismenya. Dua, masyarakat yang antipati dengan perubahan baru yang dibawa dari dunia luar tempat tinggal mereka. Dari situ kemudian digalilah subplot-subplot mengenai pencarian jati diri dari berbagai tokoh yang terlibat di dalamnya.
Jika anda bisa melihat secara luas, tentu dapat menangkap maksud yang ingin disampaikan seorang Rudi Soedjarwo kali ini. Dan jangan coba bandingkan karya yang satu ini dengan karya-karyanya yang lain karena konsepnya sudah jelas berbeda. Rudi menggunakan pendekatan psikis yang sangat personal dari masing-masing karakternya dan hal tersebut memang tidak mudah ditangkap begitu saja oleh penonton yang bisa jadi cepat merasa bosan karenanya.
Paling kentara adalah tokoh Jaleswari yang dihidupkan dengan matang oleh Marcella Zalianty. Ia seringkali berperang dengan batinnya sendiri yaitu kegalauannya dalam mengandung, perasaan kehilangan cinta diwujudkan lewat adegan seorang diri menyuarakan isi hatinya. Di luar itu, ia terlihat tegar dan mampu menjadi sosok yang inspiratif bagi orang-orang di sekitarnya. Sama halnya dengan Rasti yang meski tidak mendapat porsi dialog yang banyak tapi bahasa tubuh dan ekspresi Ubuh sudah berbicara banyak mewakili kepahitan yang dialaminya.
Dua pendatang baru, Alifyandra dan Marcell Domits berakting dengan sangat menarik dalam peranannya masing-masing. Karakter Borneo yang selalu bersemangat memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi. Berbanding terbalik dengan karakter Adeus yang bahkan tidak percaya diri dengan satu-satunya kemampuan yang ia miliki yaitu mengajar. Jangan ragukan kwalitet Piet Pagau dan Jajang C Noer yang lagi-lagi berhasil melebur dalam karakter Nawara dan Panglima.
Kekurangan film ini terletak pada editingnya yang kelewat kasar dalam memotong adegan demi adegan, juga penggunaan handheld camera pada opening film yang cukup mengganggu. Beberapa tambahan karakter sebenarnya tidak terlalu penting jika dimaksudkan untuk memperkaya konflik termasuk Arifin Putra yang meski sudah berusaha maksimal tapi saya merasa karakter Arif tidaklah sepenting itu. Plus endingnya yang seharusnya bisa diakhiri 5-10 menit lebih cepat untuk memperkuat makna closingnya.
Batas adalah sebuah film perjalanan yang kental dengan pengalaman spiritual para karakternya. Tidak ambisius tetapi cukup realistis. Bagaimana mengatasi ketakutan-ketakutan yang akan selalu ada dalam diri seseorang untuk akhirnya mampu keluar dari belenggu-belenggu yang membatasi langkahnya selama ini. Dan tidak ada yang lebih tepat selain pedalaman Borneo dengan segala keterbatasannya untuk digunakan sebagai settingnya. Kunci untuk menikmatinya adalah bersikap santai dan sabar terhadap ritme film yang teramat datar dan lamban. Absurd tetapi nyata senyata-nyatanya, bukankah jiwa manusia memang demikian?

Durasi:
115 menit

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar