Rabu, 22 November 2017

COCO : Cherish Memories To Keep Us Alive


Quote:
Héctor: What are you doing?
Miguel: I'm walking like a skeleton.
Héctor: No, skeletons don't walk like that.
Miguel: That's how *you* walk.
Héctor: No, I don't.


Nice-to-know:
The Land of the Dead dalam film terinspirasi dari kota Guanajuato di Mexico yang terkenal dengan perbukitan rumah yang berwarna-warni.

Cast:
Anthony Gonzalez sebagai Miguel (voice)
Gael García Bernal sebagai Héctor (voice)
Benjamin Bratt sebagai Ernesto de la Cruz (voice)
Alanna Ubach sebagai Mamá Imelda (voice)
Renee Victor sebagai Abuelita (voice) (as Renée Victor)
Jaime Camil sebagai Papá (voice)
Gabriel Iglesias sebagai Clerk (voice)
Lombardo Boyar sebagai Plaza Mariachi / Gustavo (voice)
Ana Ofelia Murguía sebagai Mamá Coco (voice)


Director:
Merupakan feature film kelima bagi Lee Unkrich yang kali ini bertandem dengan debutan Adrian Molina. 

W For Words:
Kenangan adalan peninggalan. Sebuah alat pengingat bagi orang hidup akan seseorang atau sesuatu yang pernah hadir dalam masa lalu mereka, baik ataupun buruk itu. Pixar Studio bersama Disney dengan jeli mengangkat tema tersebut lewat sebuah perayaan tradisi yang kental dengan nilai-nilai keluarga, dari sudut pandang satu individu naif yang punya mimpi besar. Tidak terlalu mengherankan jika anda setia mengikuti karya-karya mereka dari tahun ke tahun, yang bekerja maksimal bagi segala kalangan usia tentunya.

Meski ditentang habis-habisan oleh orangtuanya, seorang bocah laki-laki tetap bermimpi untuk menjadi musisi ternama seperti sang idola Ernesto de la Cruz yang telah lama meninggal. Saat berupaya mencuri gitar peninggalan, Miguel malah terseret ke alam kematian hingga bertemu kakek nenek moyang sekaligus mendiang keluarganya yang ternyata tidak mendukungnya juga. Dibantu Hector, ia berpetualang demi mendapatkan ‘restu’ agar bisa kembali ke dunianya sendiri dan meneruskan cita-citanya sebelum terlambat.

Kwartet Lee Unkrich, Jason Katz, Matthew Aldrich dan Adrian Molina secara cermat menggunakan kultur Mexico, Día de los Muertos sebagai latar belakang cerita. Sebuah tradisi yang rasanya punya sebutan sendiri-sendiri di belahan bumi manapun, sebagai contoh “ceng beng” untuk orang Tionghoa. Beragam karakter yang muncul silih berganti memiliki fungsinya masing-masing dalam bangunan plot. Hanya saja porsi keluarga ‘nyata’ Miguel memang tidak diberi kedalaman sama dengan yang ‘kasat mata’. Jangan lupakan selipan humor sarkastis yang tak jarang menghadirkan tawa spontan. 

Sutradara Sanchez tak hanya memanjakan mata dengan penggambaran warna-warni dunia orang hidup dan mati yang begitu kontras, lengkap dengan jembatan keemasan dari kelopak bunga, tapi juga berhasil mengetuk hati anda dengan penuturan kisah keluarga secara sederhana yang penuh suka duka. Film ini bisa dengan mudah jatuh ke ranah soap opera klise yang mudah terlupakan tetapi peletakkan twist yang elegan di penghujung menghapus stigma tersebut. Berbagai tembang yang hadir di sepanjang film mungkin belum terlalu ear-catchy memorable tapi jelas memiliki kekuatan lirik tersendiri.

Menonton Coco jelas merupakan sebuah investasi, yang kerap bisa diturunkan kepada siapapun untuk menyerap nilai-nilai yang diusungnya. Sebuah coming of age story yang tak hanya mengajarkan kita untuk terus mengejar bintang di langit tapi tak sampai meninggalkan akar itu sendiri. Pixar has found another way to move us from happiness to tears through good and bad memories, that everything can be changed if you believe enough. One more thing, juat because the past didn’t turn out like you wanted it to, doesn’t mean your future can’t be better than you ever imagined. Miguel’s journey will prove it to you!

Durasi:
126 menit

Movie-meter:

Rabu, 27 September 2017

PENGABDI SETAN : Imperious Genre Revival Of Classic Local Horror

Quote:
Rini: Kalo memang itu Ibu, kita bilang sama dia supaya gak ganggu kita lagi.
Suwono: Kuburan kan cuma ada orang mati. Dan orang mati gak bahaya.


Nice-to-know:
Proses syuting memakan waktu selama 18 hari di daerah Pengalengan, Jakarta dan Sentul.

C
ast:
Tara Basro sebagai Rini Suwono
Endy Arfian sebagai Toni
Nasar Anuz sebagai Bondi
Adhiyat Abdulkhadir sebagai Ian
Dimas Aditya sebagai Hendra
Ayu Laksmi sebagai Mawarni Suwono
Elly D Luthan sebagai Nenek Rini
Egi Fedly sebagai Budiman Syalendra
Bront Palarae sebagai Suwono
Arswendy Bening Swara sebagai Ustad
Fachri Albar sebagai Batara
Asmara Abigail sebagai Darmina


Director:
Merupakan feature film keenam bagi Joko Anwar setelah A Copy Of My Mind (2015). 

W For Words:
Salah satu horror cult lokal yang diakui oleh masyarakat luas adalah Pengabdi Setan yang diproduksi Rapi Films pada tahun 1980 dan disutradarai oleh Sisworo Gautama Putra. Meski hanya mengandalkan make up dan kostum seadanya tanpa polesan efek spesial, film yang dibintangi Ruth Pelupessy, WD Mochtar, Fachrul Rozy,  Simon Cader, Him Damsyik dll ini dijamin akan membuat bulu kuduk anda berdiri dengan segala penceritaan dan pengadeganannya. Saat pertengahan tahun lalu mendengar kabar remake nya dengan menunjuk Joko Anwar yang juga memfavoritkannya, I know you’ll be in for this treat

Keluarga Suwono pindah ke rumah nenek Rini yang jauh dimana-mana demi pengobatan Ibu Mawarni yang sakit misterius. Tak lama kemudian Ibu meninggal dan Ayah terpaksa meninggalkan rumah karena pekerjaan. Rini beserta ketiga adiknya Toni, Bondi dan Ian terpaksa tinggal hingga kemudian diganggu oleh hantu perempuan.  Dibantu oleh tetangganya Budiman dan putranya Hendra yang menaruh hati padanya, Rini pun bertekad menguak tabir masa lalu yang disimpan keluarganya rapat-rapat sebelum semuanya terlambat. 

Skenario yang dikerjakan Joko bersama Subagio Samtani, Sisworo Gautama, Imam Tantowi, Naryono Prayitno ini sedianya memberi porsi memadai bagi masing-masing karakternya untuk bernafas dan saling bersinergi. Namun dalam prosesnya, masih terlalu banyak pertanyaan yang mengusik tentang keberadaan satu sama lain yang kerap dibiarkan tak terjawab. Keutuhan keluarga menjadi hal terakhir yang saya pedulikan hingga film berakhir. Jawaban rangkaian teka-teki yang dimaksudkan sebagai twist pun rasanya tidak terlalu dinanti lagi.

Terlepas dari segala kekurangan materi, harus diakui tata artistik, lighting dan pemanfaatan setting menjadi kekuatan yang sulit dipungkiri. Berbagai sudut rumah mulai dari tangga, lorong, sumur, kamar hingga halaman mampu mewujudkan panggung ketakutan bagi setiap karakternya untuk unjuk gigi. Beragam trik jump scares yang cukup konsisten di sepanjang durasinya dijamin membuat anda terpekik kaget hingga spontan menutup mata. Belum lagi lantunan suara Aimee Saras dalam tembang Kelap Malam yang akan merasuk ke dalam benak penonton.



Karakter ayah memang tidak pernah sempurna di film-film Joko, either he’s missing or simply an asshole. Pengabdi Setan kembali mempertegas fakta itu. Tetapi bukan itu yang akan menggarisbawahi review ini, melainkan inisiatif Joko untuk menetapkan benchmark baru bagi para pembuat film genre ini di tanah air yang memang tak seharusnya lari dari citarasa lokal yang kental. Alhasil Pengabdi Setan yang anyar pun sukses mewarisi versi lawasnya akan konsep orisinil horor Indonesia lengkap dengan balutan pesan moral yang diusungnya. Who’s in for another prequel/sequel? Especially after what has been revealed before end credits.

Durasi:
107 menit

Movie-meter:

Jumat, 08 September 2017

IT : Float High Above Fear And Freedom

Quote:
Georgie: Bill? If you'll come with me, you'll float too.

N
ice-to-know:
27 adalah angka yang melekat dalam film ini. Film dirilis 27 tahun setelah serial televisinya ini tepat sebulan setelah ulang tahun Bill Skarsgard yang ke-27. Pennywise kembali ke Derry setiap 27 tahun sekali. Jonathan Brandis yang memerankan Bill muda di film aslinya meninggal di usia 27.

C
ast:
Jaeden Lieberher sebagai Bill Denbrough
Jeremy Ray Taylor sebagai Ben Hanscom
Sophia Lillis sebagai Beverly Marsh
Finn Wolfhard sebagai Richie Tozier
Chosen Jacobs sebagai Mike Hanlon
Jack Dylan Grazer sebagai Eddie Kaspbrak
Wyatt Oleff sebagai Stanley Uris
Bill Skarsgård sebagai Pennywise

Nicholas Hamilton sebagai Henry Bowers
Director:
Merupakan feature film ketiga bagi Andy Muschietti setelah Mama (2013).

W For Words:
Badut ibarat dua mata pisau, ada yang meng
hibur, ada juga yang menakutkan. Tergantung persepsi anda ataupun pengalaman pribadi di masa kecil yang mungkin masih tergambar jelas dalam ingatan. Namun di tangan horror master Stephen King lewat bukunya yang diterbitkan pada tahun 1986 yang telah diadaptasi ke serial televisi awal 90an, tentunya anda semua sudah bisa menebak ke mana film ini akan mengarah. Apalagi di tangan dingin kakak beradik Muschietti, Barbara yang bertindak sebagai produser dan Andries yang bertanduk sebagai sutradara. Hell no!

Remaja Bill Denbrough hidup dalam rasa bersalah setelah adiknya Georgie hilang secara misterius saat bermain dengan kapal kertas buatannya di tengah hujan. Bersama Eddie, Stanley, Richie yang tergabung dalam The Losers, mereka lantas bertemu dengan Beverly, Ben, Mike yang juga kerap dibully, termasuk oleh Henry dkk. Kawanan tersebut kemudian menemukan fakta adanya berbagai insiden aneh masa lampau yang sempat terjadi di kota kecil Derry itu, yang mengarah pada sosok badut misterius Pennywise yang terus mengintai rasa takut tanpa batas.
Cary Fukunaga memang batal mengepalai proyek cult ini tapi tak lantas menyurutkan langkahnya untuk memperkaya materi skenario dengan bantuan Chass Palmer dan Gary Dauberman. Pondasi karakter anak-anak mendapat porsi yang memadai. Pahit manisnya hidup yang mereka jalani baik di lingkungan sekolah ataupun rumah tak jarang memberikan kesan coming of age story yang biasa kita jumpai dalam film drama remaja. Oleh sebab itu, rasa simpati dan empati terasa begitu mudah mengetuk pintu kepedulian penonton akan sepak terjang mereka. Hanya saja peran orang-orang dewasa di sekitarnya masih digambarkan satu dimensi, yang membuatnya jatuh di luar garis keberpihakan.

Nama Muschietti memang belum sebesar James Wan ataupun David F. Sandberg sebagai sineas horor modern dengan kekuatan box office. Namun kepiawaiannya mengukur materi novel sebelum memutuskan membaginya dalam dua bagian pantas diapresiasi. Perpindahan setting dari aslinya 50an ke 80an pun bukan tanpa alasan, banyak gimmick yang terbilang mampu memperkuat penceritaan. Kombinasi trik jump scares tradisional plus modern alias CGI juga turut membangun ketegangan yang konstan di sepanjang film. Sinematografer Chung berhasil memaksimalkan pencahayaan dan tata kamera statis dinamisnya hingga menghasilkan atmosfir mencekam.

Lillis dan Wolfhard bisa jadi memperoleh nilai tertinggi di antara anggota The Losers lainnya lewat kapabilitas akting keduanya yang mencuat. Namun Lieberher, Ray Taylor, Jacobs, Dylan Grazer, Oleff tetap mampu mengikat chemistry mereka bertujuh secara utuh. Belum lagi antagonis Hamilton yang mendapat panggungnya sendiri. Sementara itu Bill Skarsgard berhasil keluar dari bayang-bayang sang ayah Stellan atau kakak tertua Alexander yang lebih dulu angkat nama. Peran badut berdansa penebar teror yang diyakini banyak kritikus akan membuka jalan panjang baginya ini dijamin akan menetap lama dalam ingatan anda.

IT adalah sebuah tontonan nostalgic yang menyeramkan sekaligus menyenangkan. Dari rumah The Neibolt Street hingga gorong-gorong bawah tanah kota Derry, emosi dan adrenalin anda akan terus dipacu menyaksikan teror demi teror Pennywise terhadap kepada The Losers. Pemahaman filsafat “mengatasi rasa takut demi menggapai kebebasan” meskipun prosesnya memakan durasi yang cukup lama, menjadi salah satu highlight penting yang membuat semuanya utuh dan dapat diterima nalar. This millenial edition will float high above its predecessors. And friendship bounds they had offered would never sink.

Durasi:
134 menit

Overall:
8.5 out of 10

Movie-meter:

Selasa, 17 Januari 2017

LA LA LAND : A Honest To Goodness Musical Romance For Life


Quote:
Mia: People love what other people are passionate about.

Nice-to-know:
Menurut komposer Justin Hurwitz, semua track piano direkam oleh pianis Randy Kerber selama pre produksi. Lantas Ryan Gosling belajar piano dua jam setiap hari, enam hari dalam seminggu demi mendalami setiap track hingga sukses memainkan semuanya selama syuting berjalan tanpa bantuan body double atau CGI.

Cast:
Ryan Gosling sebagai Sebastian
Emma Stone sebagai Mia
J.K. Simmons sebagai Bill
Claudine Claudio sebagai Karen
Jason Fuchs sebagai Carlo
Finn Wittrock sebagai Greg
John Legend sebagai Keith         

Director:
Merupakan feature film ketiga bagi Damien Chazelle setelah Whiplash (2014).

W For Words:
Damien Chazelle memang sudah terbukti memiliki kecintaan tinggi terhadap musik. Sempat mengenyam pendidikan di Princeton High School hingga Harvard University dengan spesialisasi drummer jazz, ia akhirnya meninggalkan cita-citanya menjadi musisi dan memilih filmmaking. Sebuah keputusan yang tepat karena feature debutnya yang terinspirasi dari kisahnya sendiri, Whiplash (2014) berhasil meraih 3 piala Oscar. Dua tahun berlalu, kecintaannya terhadap Hollywood pun dituangkan lewat film ini yang bertemakan romansa modern. Judulnya simpel tapi apakah maknanya sesederhana itu?

Sebastian dan Mia mungkin hanya dua dari sekian juta orang di Los Angeles yang memilih untuk mengikuti passion sebagai mata pencaharian. Sebastian adalah pianis jazz yang bekerja di restoran berkelas, yang bercita-cita bisa membuka klub jazz sendiri. Mia adalah barista kedai kopi yang tak bosan mengikuti audisi film, dengan harapan bisa menjadi aktris tenar suatu saat nanti. Keduanya dihadapkan pada problematika serupa, yaitu pembatasan potensi dan kesempatan yang tak kunjung datang. Pertemuan demi pertemuan lantas menyatukan keduanya dalam jalinan asmara sebelum mimpi dan realitas menjadi hambatan.

Chazelle mengemas perjalanan cinta sekaligus mimpi Sebastian dan Mia hanya dalam 4 musim yaitu spring, summer, fall dan winter. Rollecoaster emosi yang juga silih berganti mengisi kanal perasaan mereka pun diterjemahkan secara apik. Dialog yang terkesan raw tak lantas membuat kita mengerutkan kening tapi justru membuka mata kita lebar-lebar sehingga kita bisa mengerti sepenuhnya pergulatan batin mereka dalam membuat tiap keputusan. Struktur plot yang begitu terorganisir mendukung forward storytelling sampai backward conclusion yang begitu ciamik.

Elemen fantasia begitu kuat diterapkan Chazelle dalam teknis penyutradaraannya. Komposisi warna yang kontras menyajikan gambar-gambar yang mencolok mata. Begitupun tone lighting yang selalu disesuaikan dengan mood Sebastian dan Mia dari awal hingga akhir. Belum lagi tata artistik Austin Gorg yang luar biasa. Koreografi buah pemikiran Mandy Moore berpadu serasi dengan alunan musik Justin Hurwitz sehingga tercipta tarian dan lagu yang akan bersinergi secara mudah dengan indera penglihatan dan pendengaran anda.

Istilah three times lucky mungkin tepat mendeskripsikan kolaborasi ketiga Ryan Gosling dan Emma Stone yang berpotensi meraih piala Oscar untuk pertama kalinya setelah sama-sama pernah dinominasikan sebelumnya ini. Who knows? It's a love letter to classic Hollywood romance movies and both did very well with strong chemistry between them. Stone pada khususnya mempertunjukkan kualitas akting yang mumpuni. Lihat bagaimana audisi demi audisi yang dilakoninya, seakan berakting dalam akting yang sesungguhnya mulai dari ekspresi sampai gestur nyata. Gosling seperti biasa mempertontonkan kharismanya yang luar biasa. Permainan musik dan bahasa tubuhnya di atas panggung teramat meyakinkan.

La La Land adalah sebuah tribute sempurna yang rasanya sulit untuk tidak membuat kita jatuh cinta. Jatuh ke dalam buaian mimpi yang terasa menyimpan sejuta harapan atau malah pelukan cinta yang dirasa memberikan beribu kehangatan. Baik mimpi ataupun cinta, keduanya memang butuh kompromi dengan segala konsekuensinya, terlebih saat dihadapkan pada realita yang tak bisa terhindarkan. Chazelle had successfully stated the obvious and transformed a honest to goodness musical romance ever made. A pure cinematic bliss we will remember for such long time!

Durasi:
128 menit

U.S. Box Office:
$74.081.569 till Jan 2017

Overall:
9 out of 10

Movie-meter: