Senin, 29 Juni 2015

SPL 2 : A TIME FOR CONSEQUENCES No-Holds-Barred For Action Fanfare

Original title:
Saat po long 2

Nice-to-know:
Bukan merupakan prekuel ataupun sekuel walaupun masih dibintangi Wu Jing dan Simon Yam dengan karakter yang juga berbeda.

Cast:
Tony Jaa sebagai Chai
Jacky Wu sebagai Kit
Max Zhang sebagai Ko
Simon Yam sebagai Wah
Louis Koo sebagai Hung
Unda Kunteera Thordchanng sebagai Sa
Jun Kung sebagai Bill

Director:
Merupakan film ke-13 bagi Cheang Pou-sui setelah The Monkey King (2014).

W For Words:
Para penikmat action Mandarin mungkin akan menyebutkan Saat po long alias Kill Zone (2005) jika ditanya salah satu film favoritnya sepanjang masa. Adalah Wilson Yip yang membesutnya jauh sebelum trilogy Ip Man yang legendaris tersebut. Satu dekade kemudian, 1618 Action Limited dan Abba Movies Co. Ltd. merilis sekuelnya meski tak lagi digawangi Yip dan juga sudah ditinggalkan oleh dua bintang besar Donnie Yen dan Sammo Hung. Jangan apatis dulu. Cobalah perlakukan film ini sebagai standalone. Reset mindset anda. Who knows you will love it even better.
Setelah penyamarannya terbongkar dalam sebuah misi human trafficking yang dilakukan oleh Hung, polisi Kit dijebloskan ke dalam penjara Thailand yang dijaga oleh sipir Chai. Kedua orang berbeda jalur hidup tersebut memiliki tujuan yang nyaris sama. Hung bertekad transplantasi jantung dari adiknya Bill demi melanjutkan hidup, sedangkan Ko berniat mencari donor sumsum tulang belakang untuk putrinya Sa yang menderita leukemia. Tak dinyana, kecocokan ada pada Kit yang sedang diupayakan bebas oleh pamannya Wah. Pertalian nasib itu kemudian harus dituntaskan dalam pertarungan klimaks berdarah.













Skenario Jill Leung dan Wong Ying ini terbilang ‘cheating’ dalam hal menjembatani komunikasi antar dua bangsa. Lihat bagaimana translator digital bahasa Mandarin dan Thailand yang begitu akurat. Atau pertukaran ‘emoji’ via ponsel yang di luar dugaan mampu memancing tawa penonton. Namun semua itu tertutupi dengan bangunan character arc yang solid dan variatif sehingga arah keberpihakan sudah jelas sejak menit awal tanpa harus dikacaukan dengan strukturisasi twist yang berlebihan. Setup berbagai adegan aksinya juga mulus dengan aksi reaksi yang wajar dari para tokohnya. 

Sutradara Cheang seakan naik kelas beberapa tingkat di sini setelah  The Monkey King (2014) yang mengecewakan itu. Plot demi plot terjahit sempurna demi menciptakan rangkaian emosi yang tidak pernah putus menuju konklusi epilog nya. Salute to editor David Richardson. Sekuens fighting nya begitu apik dengan varian lokasi yang tak kalah menarik, mulai dari penjara hingga gedung bertingkat mewah. Dukungan scoring music layaknya orkestra klasik sekaligus sumbangsih suara Xie Zhongjie dan Kayla Dawn kian memperkuat tone dan dramatisasi yang dibutuhkan.














Wu Jing yang dalam prekuelnya tidak mendapat spotlight memadai kali ini menunjukkan kharismanya sebagai martial arts star yang pantas dipuja. Sementara itu Tony Jaa yang sempat tenggelam usai kiprah cemerlangnya dalam Ong Bak (2003) seharusnya mendapatkan momentum kebangkitan lagi lewat peran Chai. Max Zhang memberikan impresi mendalam sebagai sipir Ko yang kejam dan tangguh. Sama halnya dengan Louis Koo yang mungkin tidak akan anda kenali di sini. Thordchanng sebagai Su yang bernasib malang justru tak jarang menjadi comic-relief. 

SPL 2 yang diberi subjudul A Time For Consequences ini masih setia pada elemen unggulan yang ada pada pendahulunya yaitu pertukaran jurus berenergi tinggi. Namun jelas tidaklah tabu jika sebuah film action turut dilengkapi dengan cerita emosional yang menampilkan beraneka ragam hubungan antar manusia nan kompleks lengkap dengan penjabaran sifat-sifat dasarnya. Tinggalkan sejenak logika anda untuk bisa lebih menikmati suguhan yang begitu kental dengan hukum sebab akibat ini. Definitely one of the best action movies in recent years you wouldn’t want to miss. Ready for high-octane tension and rollercoaster emotion? 

Durasi:
120 menit

Movie-meter:




Senin, 22 Juni 2015

THE POLTERGEIST : Classic Haunted House Tale Got Modernized

Quote:
Madison Bowen: They're here...


Nice-to-know:
Rosemarie Dewitt ingin membintangi reboot ini usai merasakan animo besar penonton gala premiere The Conjuring (2013) yang dibintangi suaminya Ron Livingston.

Cast:
Sam Rockwell sebagai Eric Bowen
Rosemarie DeWitt sebagai Amy Bowen
Saxon Sharbino sebagai Kendra Bowen
Kyle Catlett sebagai Griffin Bowen
Kennedi Clements sebagai Madison Bowen
Jared Harris sebagai Carrigan Burke
Jane Adams sebagai Dr. Brooke Powell
Susan Heyward sebagai
Sophie


Director:
Merupakan film kedua bagi Gil Kenan setelah City of Ember (2008).

W For Words:
Poltergeist (1982) merupakan salah satu contoh simbiosis mutualisme antara Tobe Hooper dan Steven Spielberg yang bertindak sebagai sutradara dan produser-penulis dalam menghasilkan film cult yang menjadi benchmark horor rumah berhantu selama beberapa waktu ke depan. Kini lebih dari tiga dekade kemudian, Sam Raimi yang sebetulnya salah satu nama handal di genre terkait, berniat merebootnya dengan berbagai penyesuaian. Sayangnya ia hanya bertindak sebagai produser dan akhirnya mempercayakan duet Gil Kenan dan David Lindsay-Abaire untuk mencoba mengekor kesuksesan duet yang tersebut di atas.

Karena resesi ekonomi dan terancam pailit, Eric Bowen mengajak istrinya Amy pindah ke kompleks perumahan anyar Berkeley Square yang dijual dengan harga murah karena dibangun di atas tanah bekas pemakaman. Anak-anak mereka yakni remaja putri Kendra, Griffin dan Madison harus menyesuaikan diri dengan kondisi rumah yang unik tersebut. Lambat laun mereka merasakan adanya entitas lain yang ‘hidup’ bersama mereka. Ketika Madison menghilang, pakar supernatural Dr. Brooke Powell pun dipanggil beserta mantan suaminya pengusir hantu ternama Carrigan untuk mengatasi masalah itu.















Sutradara Kenan memang berusaha setia dengan source originalnya hingga yang bisa dilakukannya (dengan cukup berhasil) adalah memaksimalkan setting rumah demi menciptakan klastrofobik dan juga tata kamera Javier Aguirresarobe yang dinamis menangkap setiap pergerakan obyek dan subyeknya sekaligus. Beberapa jump scares yang disiapkan terbilang inovatif dalam membangun ketakutan penonton, terlepas dari mood keseluruhan yang cenderung masih terlalu ‘light’. Terima kasih pada timing editing dan scoring music yang cukup efektif tersebut.

Rockwell dan DeWitt mampu menejermahkan peran orangtua dengan baik terlepas dari keterbatasan karakter mereka. Sama halnya dengan Sharbino dan Clements yang terasa begitu satu dimensi. Sebaliknya Catlett diberi keleluasaan lebih untuk menggali karakter Griffin dibandingkan pendahulunya. Pasangan Harris dan Adams jelas tidak berada pada kelas yang sama dengan The Warrens dalam The Conjuring (2013). Namun kehadiran keduanya di paruh kedua film berhasil mencuri perhatian dengan love-hate relationship nya yang tergambar jelas. 














Pada akhirnya harus diakui memang sulit untuk mengapreasi The Poltergeist secara utuh. Jika dibandingkan dengan originalnya, reboot ini jauh dari kata menyeramkan, meski masih bisa membuat anda deg-degan. Jika dibandingkan dengan horor kontemporer, horor yang satu ini terlalu ‘klasik’, walau berupaya relevan lewat penggunaan segala jenis gadget terbaru. Nampaknya perpaduan efek visual yang natural dengan kinerja CGI jadi salah satu kendala utama, terlebih beban teknologi 3D yang juga dibebatkan padanya. Then it’s up to you whether you want to visit this reboot or revisit the original one. Both still have fun haunted house experiences, something i believe that you just want to see on screen.


Durasi:
93 menit

U.S. Box Office:
$44,619,721 till Jun 2015

Movie-meter:

Selasa, 16 Juni 2015

JURASSIC WORLD : Recapture The Predictable Adventure

Quote:
Claire: We're talking about an animal here.
Owen: A highly intelligent animal.


Nice-to-know:
Film pertama dari franchise yang tidak menampilkan Sam Neill, Laura Dern atau Jeff Goldblum. Keputusan ini diambil oleh sutradara Colin Trevorrow demi alasan sentimental dan eksperimental baru.

Cast:
Chris Pratt sebagai Owen
Bryce Dallas Howard sebagai Claire
Irrfan Khan sebagai Masrani
Vincent D'Onofrio sebagai Hoskins
Ty Simpkins sebagai Gray
Nick Robinson sebagai Zach
Jake Johnson sebagai Lowery
Omar Sy sebagai Barry
BD Wong sebagai Dr. Henry Wu
Judy Greer sebagai Karen

Director:
Merupakan feature film kedua bagi Colin Trevorrow setelah Safety Not Guaranteed (2012).

W For Words:
Siapa yang tidak mengenal Jurassic Park karya maestro Steven Spielberg di tahun 90an? Franchise fenomenal yang sudah menghasilkan total lebih dari 2,5 milyar dollar dari peredaran di bioskop-bioskop seluruh dunia kala itu. Bahkan hingga hari ini, konsumsi home video dan rerun televisi masih cukup tinggi. Fakta-fakta tersebut dirasa cukup menjadi alasan produser Patrick Crowley dan Frank Marshall untuk ‘melanjutkan’ petualangan dengan visi baru dan tentunya dukungan teknologi CGI yang sudah semakin canggih. Permasalahannya adalah, “Apakah moviegoers modern masih akan tertarik dengan makhluk lawas dinosaurus?” atau “Apakah moviegoers lawas masih akan tertarik untuk bernostalgia?”

Taman Jurassic, Isla Nublar yang diprakarsai oleh John Hammond dua puluh tahun silam kini memiliki fasilitas dan atraksi baru termasuk dinosaurus Indominus hasil rekayasa genetik yang dikembangkan oleh tim peneliti yang dikepalai oleh Dr. Henry Wu. Manajer Claire yang semula tenang mulai panik tatkala dua keponakan yang dititipkan kakaknya Karen yaitu Gray dan Zach tengah membaur dengan ribuan pengunjung lainnya saat kekacauan mulai terjadi. Instuktur raptor, Owen yang sudah mencium gelagat buruk sejak awal pun harus turun tangan meminimalisir resiko nyawa berjatuhan yang mungkin terjadi.











Skenario yang ditulis keroyokan oleh Rick Jaffa, Amanda Silver, Colin Trevorrow dan Derek Connolly ini sebagian besar masih mengandalkan apa yang sudah ada di tiga seri sebelumnya tetapi terasa lebih menekankan pada three-act structure nya. Pengenalan berbagai karakter yang mayoritas satu dimensi tersebut berikut ‘dunia’ yang menjadi panggung bermainnya dilakukan secara detil, seakan mengajak penonton memahami secara langsung petualangan macam apa yang akan mereka alami. Beberapa subplot baik yang melibatkan kelompok kecil individu ataupun besar terus berjalan beriringan demi menerjemahkan proses survival itu sendiri.

Sutradara Trevorrow tampak tidak menyia-nyiakan kesempatan proyek besar perdananya ini dengan visi yang jelas tanpa ambisi berlebihan di seluruh departemen. Variasi shot dan angle camera dari sinematografer John Schwartzman seakan menempatkan kita dalam sudut pandang orang pertama yang menjelajahi Isla Nubar. Kombinasi CGI dan efek praktis yang solid terbilang efektif menghidupkan segala jenis dinosaurus yang ada. Scoring music milik Michael Giaccchino mungkin tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan John Williams terdahulu. Namun tergolong cekatan membangun mood sekaligus menjaga tensi yang dibutuhkan.












Pratt yang sepintas bergaya ala Indiana Jones mampu menjaga kharismanya sebagai tough guy Owen yang tak kenal rasa takut. Dallas Howard yang mewakili feminisme awalnya cukup annoying tapi mampu bertransformasi sesuai pergulatan konflik yang dialami sosok Claire. Simpkins dan Robinson yang menjadi pengunjung beruntung (atau justru tidak) akan dengan mudah mendapat keberpihakan para penonton belia. Aktor kawakan, Khan dan D’Onofrio yang terlalu stereotype setidaknya turut memperkaya karakterisasi yang ada.

Jurassic World adalah tontonan summer blockbuster high profile sekaligus paying homage terhadap trilogi Jurassic Park yang legendaris itu. Trevorrow sukses meramu elemen drama, humor, ketakutan dan ketegangan dalam satu perjalanan yang menyenangkan. Untuk sejenak lupakan originalitas yang anda cari dan coba temukan berbagai set, gimmick dan scene yang dipertahankan sedemikian rupa untuk menggali memori anda kembali. Longtime fans wouldn’t mind to revisit this without concern of disappointments. While new ones will enjoy the experience seeing dinosaurs, as the true stars, on the big screen for the first time.

Durasi:
124 menit

U.S. Box Office:
$204,600,000 till Jun 2015

Movie-meter:

Kamis, 04 Juni 2015

INSIDIOUS CHAPTER 3 : When The Chill Goes Downhill

Quote:
Elise Rainier: Give her back!
Nice-to-know:
James Wan tidak menyutradarai seri ketiga ini karena tengah mengerjakan Furious 7 (2015).

Cast:
Stefanie Scott sebagai Quinn Brenner
Dermot Mulroney sebagai Sean Brenner
Lin Shaye sebagai Elise Rainier
Angus Sampson sebagai Tucker
Leigh Whannell sebagai Specs
Tate Berney sebagai Alex Brenner
Steve Coulter sebagai Carl
Hayley Kiyoko sebagai Maggie

Director:
Merupakan debut penyutradaraan Leigh Whannell yang sebelumnya menulis dan turut membintangi dua prekuelnya.

W For Words:
Tidak adil rasanya jika nama James Wan berkibar sendirian meski pencapaiannya di genre horror/thriller selama satu decade terakhir memang mengagumkan. Siapa yang tidak mengenal dwilogi Insidious atau septuple Saw. Namun jangan lupakan tandem setianya, Leigh Whannell yang bahkan sudah mendukung Wan dengan mengambil peran dalam feature debutnya, Stygian (2000). Tiba saatnya Whannell mendapatkan spotlight nya sendiri dengan menggawangi seri ketiga dari franchise horror yang dikembangkannya ini. Thanks to Wan's decision for directing Furious 7. I know most of us were disappointed when we got that news in the first place. But hey, give this dude a chance to show what he's got.

Remaja putri Quinn bertekad menentukan jalan hidupnya sendiri lewat percobaan seni peran paska SMU berakhir. Namun sang ayah Sean kerap membebaninya dengan tanggungjawab akan adiknya Alex. Dalam kebuntuan dan kesedihannya, Quinn lantas kerap mencoba berkomunikasi dengan mendiang ibunya Lilith. Cenayang Elise yang ditemuinya sontak menyadari bahwa ada arwah lain yang mengikuti Quinn bahkan mengancam nyawanya. Namun Elise harus berjuang mengatasi ketakutannya sendiri sebelum membantu keluarga Brenner melewati kemelut tersebut.











Dari segi cerita, nyaris tidak ada yang baru yang ditawarkan oleh Whannell. Pakem 'roh yang meninggalkan tubuh' masih jadi menu utama. Mungkin proyeksi astral itu sendiri memang diyakini masih menyimpan banyak misteri akan alam hidup dan mati. Setting rumah yang berpindah ke apartemen tua setidaknya memberikan perspektif baru bagi penonton. Bagaimana tetangga samping dan atas anda bisa menciptakan situasi janggal yang tidak diharapkan.

Dari segi eksekusi, semua trik yang digunakan Wan berupaya dihadirkan kembali. Scoring music yang membangun atmosfir masih terbukti efektif mengiringi setiap jump scares yang tentu saja ditunggu-tunggu audiens. Namun perbedaan visi dan penyusunan sekuens dalam storytelling nya yang cukup kentara tak dapat dipungkiri seberapapun kerasnya Whannell berusaha. Coba cermati penampakan hantu demi hantu yang terasa seperti perpaduan gaya barat dan timur.













Jajaran cast yang mumpuni terbilang menjadi penyelamat prekuel ini. Aktris senior Shaye mampu menerjemahkan karakter cenayang Elise yang superior sekaligus rapuh pada saat bersamaan. Pendatang baru Scott akan dengan mudah mengambil simpati penonton karena sejak menit awal tokoh Quinn sudah dirundung nasib malang. Mulroney tampak meneruskan apa yang sudah dilakukan Wilson melalui karakter ayah yang bertekad mempertahankan anak kesayangannya meski kali ini tanpa 'kekuatan khusus'. Berbagai pendukung juga sukses menjalankan peranan masing-masing, terutama Angus Sampson.

Insidious Chapter 3 jelas merupakan seri terlemah dari semuanya. Sajian horor yang sebetulnya masih bisa menakuti tetapi tidak sampai merasuki pikiran anda. No matter how bad i (or most reviewers) wrote about this, you're still gonna watch it. Keputusan yang samasekali tidak salah karena beberapa petunjuk yang tersebar di sepanjang film harus anda rangkai demi keutuhan sebuah trilogy yang diharapkan tidak ditambahkan kembali. Some of set-up scenes were creative enough to raise chills. Which one works best for you is your duty to find out.

Durasi:
97 menit

Movie-meter: