Sabtu, 24 Agustus 2013

PERCY JACKSON : SEA OF MONSTERS Swept Away Those Previous Charms


Quote:
Annabeth: It's a Chariot of Damnation.
Grover: Looks like a New York City cab.
Annabeth: Same difference.

Nice-to-know:
Meskipun fakta film ini disyuting dengan kamera Super 35, pernyataan "Filmed in Panavision" masih tertera di kredit akhir.

Cast:
Logan Lerman sebagai Percy Jackson
Alexandra Daddario sebagai Annabeth
Douglas Smith sebagai Tyson
Leven Rambin sebagai Clarisse
Brandon T. Jackson sebagai Grover
Jake Abel sebagai Luke
Anthony Head sebagai Chiron
Stanley Tucci sebagai Mr. D


Director:
Merupakan feature film ketiga bagi Thor Freudenthal setelah Diary of a Wimpy Kid (2010).

W For Words:
Jika sebuah franchise fiksi laris semacam Percy Jackson & the Olympians karya Rick Riordan sudah menelurkan adaptasi layar lebar pertamanya di tahun 2010 lalu yang berkualitas standar, maka pilihan ada di tangan anda untuk tetap mengikuti sekuelnya atau berhenti begitu saja. Namun yang jelas kolaborasi Fox 2000 Pictures, 1492 Pictures, Sunswept Entertainment dan lain-lain masih tetap percaya diri untuk merilisnya di akhir musim panas tahun 2013 ini. Tentunya masih dengan dukungan aktor-aktris yang sama meski terjadi pergantian di tampuk sutradara dari sebelumnya Chris Columbus.

Kepopuleran Percy Jackson perlahan merosot digantikan oleh putri Ares, Clarisse yang cantik dan cekatan. Saat camp Half-Blood diserang Colchis Bulls, Percy berhasil menaklukkannya. Sayang pohon Thalia yang menjadi pertahanan mereka tumbang. Tugas Percy bersama dua sobat karibnya Annabeth dan Grover beserta saudaranya si mata satu Tyson bertekad mencari Golden Fleece meskipun harus bersaing dengan Luke Castellan dan kawanannya yang berniat membangkitkan Kronos. Misi mengarungi Segitiga Bermuda yang misterius dan berbahaya pun dimulai.

Skrip yang ditulis oleh Marc Guggenheim ini memang terasa mengecilkan ‘skala’ dari apa yang sebelumnya dikerjakan oleh Craig Titley. Bukan hanya itu, mitologi Yunani yang kental di prekuelnya memang terasa mengalami deviasi. Tidak sepenuhnya salah karena Riordan sendiri lebih memfokuskan diri pada masa remaja Percy yang naik turun termasuk menghadapi persaingan ataupun penerimaan kenyataan yang amat bergantung pada tingkat kedewasaannya. Ia pun lebih dituntut menggunakan instingnya saat berjuang sendiri tanpa mengandalkan embel-embel yang mengikuti namanya. 

Kinerja Freudenthal secara keseluruhan harus diakui tampak lebih memihak anak-anak dan remaja dibandingkan penonton dewasa. Efek CGI nya cukup memukau, menjadi nilai plus bagi penonton yang berkesempatan menyaksikannya dalam format 3D (atau bahkan 4DX yang teaternya baru dibuka di Blitzmegaplex Grand Indonesia). Variasi setting yang sebetulnya megah dan detil tersebut seakan sia-sia karena babak demi babak bergulir nyaris tanpa kesan berarti. Kepedulian penonton untuk mau mengenal apalagi mengikuti perjalanan para tokohnya dari awal sampai akhir menjadi minim.
Seperti fungsi karakternya dalam episode ini, Lerman menokohkan Percy lebih dari sisi dramatiknya menghadapi situasi-situasi tak terduga daripada heroiknya. Daddario dan Jackson terkesan terlalu karikatural sebagai supporting act. Sangat predictable. Sama halnya dengan Abel sebagai antagonis mudanya. Munculnya muka baru Rambin dan Smith tergolong menyegarkan walau tak ada pendalaman signifikan selain penekanan dua konflik utama yang saya sebutkan di atas. Fillion, Head ataupun Tucci yang lebih senior juga cuma mendapat screentime yang terbatas.

Percy Jackson : Sea of Monsters jelas bukan seri perbaikan, menyebabkan franchise ini berada pada lifeline yang kritis untuk diteruskan di masa mendatang. Namun yang jelas perolehan dollar secara domestik dan internasional akan lebih menentukan nasib The Titan’s Curse. Sementara itu simaklah terlebih dahulu berbagai elemen yang sengaja dibangun sebagai jembatan bagi seorang Percy Jackson meretas takdirnya sebagai putra Poseidon. Some one-liners and few familiar twists along the way might still worked to keep you excited or even completely swept away under two hours long.

Durasi:
106 menit

U.S. Box Office:
$48,346,000 till August 2013

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:

Sabtu, 17 Agustus 2013

ELYSIUM : Pretentious Sci-fi That Stimulates Our Imagination

Quote:
Max Da Costa: I promise you, one day I'll take you to Elysium.

Nice-to-know:
Bersetting waktu 2154 AD, seperti halnya Avatar (2009).

Cast:
Matt Damon sebagai Max
Jodie Foster sebagai Delacourt
Sharlto Copley sebagai Kruger
Alice Braga sebagai Frey
Diego Luna sebagai Julio
Wagner Moura sebagai Spider
William Fichtner sebagai John Carlyle

Director:
Merupakan feature film kedua bagi Neill Blomkamp setelah District 9 (2009).

W For Words:
Pada tahun 2009 yang lalu, Neill Blomkamp sukses mengangkat namanya sendiri lewat action sci-fi thriller District 9 yang meraup lebih dari seratus juta dollar untuk peredaran Amerika Serikat saja, terlepas dari bujet produksi yang hanya mencapai sepertiganya. Empat tahun kemudian ia kembali dengan genre serupa yang lebih menekankan sisi dramanya dengan setting yang jauh lebih futuristik. Salah satu aktor utamanya yakni Sharlto Copley dipertahankan meski bagi publik internasional jelas lebih tertarik pada nama besar Matt Damon dan Jodie Foster. I bet you too!

Tahun 2154, Bumi nyaris hancur dimana tinggal kaum miskin dan terpinggirkan yang tinggal di sana. Sedangkan golongan menengah ke atas hidup nyaman di Elysium dengan teknologi canggih yang mampu menyembuhkan segala jenis penyakit. Adalah Max de Costa, pekerja tambang tanpa sengaja terkena radiasi yang akan segera merenggut nyawanya. Ia bergabung dengan gang lokal demi mendapatkan akses ke Elysium dimana pejabat Departemen Pertahanan, Delacourt berkuasa atas bantuan agen kejam, Kruger. Sementara itu sahabat kecil Max, Frey juga bertekad menyembuhkan putrinya, Matilda yang didiagnosa mengidap kanker ganas.
Harus diakui skrip yang ditulis Blomkamp ini terlalu pretensius. Aspek dunia masa depan yang kompleks tidak sepenuhnya terjamah karena begitu banyak yang ingin disampaikan mulai dari cinta, pengkhianatan hingga konfrontasi. Pendekatan storytelling yang naratif berupaya dilakukan untuk memangkas detail tapi harus diakui tak sepenuhnya berhasil. Paruh pertama sibuk mengenalkan diferensiasi dua ‘planet’ sedangkan paruh kedua malah menghadirkan perebutan kekuasaan. Final act yang mengarah pada action juga terasa sedikit dipaksakan dalam waktu yang begitu minim.

Sebagai sutradara, Blomkamp melakukan upaya terbaiknya dengan ide inovatif dan kreatifitas tinggi seperti yang ditunjukkannya dalam District 9. Sayang ruang bermain dan juga ambisi yang berbeda tidak lagi sama hasilnya. Presentasi kondisi “2154” yang amat nyata dan kontradiksi jauh di atas rata-rata sci-fi sejenis dengan penggunaan spesial efek yang cukup belieavable. That’s why seeing it in IMAX version would be recommended. Dari sekuens fighting memang sedikit kedodoran karena minimnya senjata canggih ataupun jurus one-on-one yang memadai.
Copley lagi-lagi outstanding meski diberikan karakter antagonis. Setiap kemunculan Kruger di layar mampu menaikkan level film dengan tindak tanduknya yang brutal dan sifat anarkisnya. Damon dan Braga sesungguhnya bisa menciptakan chemistry yang lebih andaikan fokus film tidak melebar kemana-mana. Sebagai solo performer, keduanya terbilang tidak mengecewakan dalam menegaskan konflik emosi yang dihadapi masing-masing. Kekuatan peran Foster di paruh pertama sedikit cacat karena tidak ada latar belakang yang jelas akan tokoh Delacourt.

Terlepas dari segala kekurangannya, bagi saya Elysium tetap menjadi tontonan yang memuaskan karena varian karakternya yang menarik untuk dipelajari. Bagi yang tidak terpuaskan mungkin karena tersisa begitu banyak ruang kosong yang sebetulnya justru mampu melambungkan imajinasi. Coincidentally this is something a movie should provide for its viewers. Lupakan sejenak District 9 untuk bisa benar-benar melebur ke dalam dunia Elysium dengan ekspektasi seadanya. The idiocracy formula might not get this straight right away but further approach or even spin-off are on the cards.

Durasi:
109 menit

U.S. Box Office:
$57,562,417 till August 2013

Overall:
8 out of 10

Movie-meter:

Jumat, 16 Agustus 2013

THE CALL : Pick Up Its Thrill Over The Line

Quote:
Jordan Turner: And don't make promises... cause you know you can't keep'em.

Nice-to-know:
Awalnya Halle Berry dicasting saat Joel Schumacher duduk di kursi sutradara. Lalu Schumacher keluar dan digantikan oleh Brad Anderson. Berry sempat keluar juga karena jadwal yang tidak cocok sebelum kembali mengisi peran utama.

Cast:
Halle Berry sebagai Jordan Turner
Abigail Breslin sebagai Casey Welson
Morris Chestnut sebagai Officer Paul Phillips
Michael Eklund sebagai Michael Foster
David Otunga sebagai Officer Jake Devans
Michael Imperioli sebagai Alan Denado
Justina Machado sebagai Rachel

Director:
Merupakan film kesembilan bagi Brad Anderson yang lebih berpengalaman di serial televisi.

W For Words:
Rasanya baru beberapa waktu lalu bioskop tanah air disuguhi drama supernatural Inggris/Puerto Rico, The Caller (2011) dengan topik serupa yaitu telepon sebagai media penebar teror. Kali ini kolaborasi Troika Pictures, WWE Studios, Emergency Films,Apotheosis Media Group dan Amasia Entertainment mengandalkan nama besar peraih Oscar, Halle Berry dan bintang muda yang kian diperhitungkan di kancah Hollywood yaitu Abigail Breslin lewat premis emergency call 911 yang seringkali menjadi alternatif utama apabila menghadapi keadaan bahaya.

Operator 911 berpengalaman, Jordan Turner membuat satu kesalahan fatal dalam bertugas yang menyebabkan Leah Templeton tewas. Rasa bersalah membuatnya alih tugas sebagai tenaga pengajar bagi para calon operator. Namun saat remaja Casey Welson disergap seorang pria misterius dan meneleponnya untuk meminta tolong, Jordan harus mengerahkan segenap kemampuannya  sebelum korban gadis belia kembali jatuh.Misi yang tidak mudah karena mobil yang membawa Casey terus berjalan, meninggalkan jejak minim kepada petugas polisi yang segera melakukan penyisiran jalan.

Penulis skrip Richard D'Ovidio, Nicole D'Ovidio dan Jon Bokenkampsejak menit pertama sudah memperkenalkan sosok heroine dan antagonisnya secara gamblang meski lewat gelombang suara saja. Bisa diduga jika keduanya pada akhirnya harus berhadapan langsung melalui perantara sang korban tentunya. Klise? Ya jika anda memiliki banyak referensi thriller. Namun serentetanproses aksi reaksi dari berbagai tokoh pendukung mampu mengedepankan trik logis dalam upayanya memperlebar konflik cerita tanpa terkesan tarik ulur selama lebih kurang satu setengah jam durasinya. 

Sutradara Anderson juga terampil menjaga tensi film terlepas dari keterbatasan aspek. Sekuens nya terbilang rapi dimana penonton seakan ditempatkan sebagai pengamat langsung. Proyeksi topografi tak jarang dilakukan untuk menegaskan posisi korban berada yang terlacak oleh GPS. Bagian ending memang terasa sedikit kedodoran karena penekanan thriller psikologis dengan sedikit penjelasan, meninggalkan penonton dengan asumsinya masing-masing. Namun untungnya bagi saya adegan akhirnya cukup memorable dengan menghindari klise sejenis.
Berry tampil solid dalam menerjemahkan sisi emosional yang rentan bagi karakteristik profesinya. Sorot mata, intonasi suara dan bahasa tubuhnya sudah cukup banyak memberi informasi. Breslin terbilang hanya mengandalkan kepanikan seorang korban yang sulit menerka kelanjutan nasibnya sehingga mengindahkan pengendalian diri ataupun kekuatan intelektualitas yang dimilikinya. Eklund bermain cemerlang sebagai villain psikopat dengan awkward gesture dan unpredictable act nya, amat menonjol menjelang akhir film. Berbagai supporting seperti Chestnut, Imperioli, Dowse, Maffia tak mengecewakan.

The Call memang bukan film kelas A dengan keabsenan biaya produksi tinggi ataupun dukungan teknis memadai. Namun tidak menghalanginya menjadi sebuah tontonan pemicu ketegangan layaknya jantung yang terus berdenyut di sepanjang durasinya. Thanks to filmmaker and its cast who have made it possible. Suguhan ketakutan mencekam dan kekerasan berdarah di beberapa bagian layaknya icing on the cake justru membuat penonton tercekat dan terpekik sekaligus kian memihak pada protagonis untuk menuntaskan misi hidup matinya. Are you ready to pick up the call?

Durasi:
94 menit

U.S. Box Office:
$51,872,378till Jun 2013

Overall:
8 out of 10

Movie-meter:

Sabtu, 10 Agustus 2013

MR. GO : Monkey Business With Cuteness Overload


Tagline:
World's first gorilla pinch hitter and his 15-year old trainer begin on their miraculous run in the Korean Baseball League.

Nice-to-know:
Menghasilkan sekitar 17 juta dollar dalam 15 hari penayangannya di China saja.

Cast:
Xu Jiao sebagai Weiwei
Sung Dong-Il sebagai Sun Choong Soo
Kim Kang-Woo sebagai GM Doosan
Kim Hee-won sebagai Lin Xiaogang
Joe Odagiri sebagai Pemilik Chunichi Dragons
Cha Jong-Ho
Kim Jung-Eun

Director:
Merupakan f
ilm keempat bagi Kim Yong-Hwa yang angkat nama lewat 200 Pounds Beauty (2006).

W For Words:
Tersebutlah sebuah komik Korea yang dicintai publik tentang seekor gorilla yang ahli bermain baseball yang kemudian diproduksi oleh Dexter Studios menjadi sebuah film adaptasi. Distribusinya diyakini akan meluas ke seluruh daratan Asia terlebih segmentasi yang dituju adalah keluarga. Kita semua tahu bahwa sineas Korea sudah mulai diperhitungkan oleh kalangan internasional. Bukan hanya itu, keterlibatan aktris muda Xu Jiao yang pernah angkat nama lewat CJ7 (2008) bersama maestro komedi Hongkong, Stephen Chow menjadi daya tarik tersendiri selain tokoh Ling Ling tentunya.

Gadis belia berusia 15 tahun, Weiwei mewarisi sirkus dari kakeknya termasuk gorilla. Ling Ling yang selalu setia menemaninya sejak kecil. Utang besar yang ditangguk membuat Weiwei menyetujui kontrak promotor baseball Korea Selatan, Sun Choong Soo untuk menyertakan Ling Ling membela Doosan Bears dalam kompetisi antar klub profesional. Kemenangan demi kemenangan yang diraih membuat Weiwei dan Ling Ling terkenal di seantero negeri. Namun klub lawan, NC tidak tinggal diam dan membawa Rating, gorilla agresif dari sirkus yang dikenal jago melempar bola. 

Kim Yong Hwa yang bertanggungjawab dalam penulisan dan eksekusi menggunakan pendekatan dokumenter untuk membuka film. Cenderung efektif untuk merangkum sekian rentang waktu untuk mempersingkat durasi. Namun kelemahannya nyaris tidak ada pengenalan latar belakang yang cukup terhadap karakter Weiwei dan Ling Ling. Hal ini kemudian ditebusnya dengan beberapa penggalan flashback seiring film bergulir. Masuknya berbagai macam karakter kemudian memang mengalihkan perhatian dari lemahnya storytelling yang diusung oleh Kim.

Daya tarik utama film ini jelas ada pada spesial efek yang memungkinkan Ling Ling terlihat begitu ‘nyata’ di layar dengan segala bahasa tubuhnya. Interaksinya bersama Sung Dong Il terasa lebih memiliki ikatan dibandingkan dengan Xu Jiao. Sesuatu yang disebabkan karakter Sun yang lebih ‘quirky’ dengan daripada Weiwei yang hanya bisa ber’ooh ooh’ selain pergolakan batin seorang bounty hunter egois menjadi penanggungjawab dewasa. Meski demikian, Xu berhasil mengajak anda untuk bersimpati pada keluguan dan tekad kuatnya yang hidup sebatang kara tapi sudah jadi tumpuan di usia belasan tahun.

Setting tempat tinggal mewah Sun yang memadukan nuansa Jepang dan Korea sekaligus dengan pohon dan tumbuhan yang bernilai tinggi kerap menjadi pertunjukan yang memancing tawa penonton terlebih pada saat mabuk. Musik dari Lee Jae-hak yang turut menyuguhkan lagu populer lawas Ye Liang Tai Piaw Wo Te Sin dari Dire Straits dan Teresa Teng di pertengahan terdengar syahdu membangun mood di pertengahan film yang sebetulnya bisa diringkas dengan editing yang lebih ketat lagi. 3D nya lumayan memuaskan karena desingan bola yang terasa nyata melambung cepat ke arah mata kita.

Mr. Go sesuai titelnya menawarkan pengalaman seekor gorilla bermain baseball membela liga tempatnya bernaung dengan instruksi teriakan dan cambuk seorang remaja putri. Bagian itulah yang paling menghibur di sepanjang film baik yang mengerti olahraga ini atau tidak. Pertarungan puncak antara Ling Ling dan Rating menjadi icing on the cake terlepas dari kesengajaan final act dari filmmaker untuk mengangkat film produksi patungan Korea-Cina ini. Do mind all those cheesiness to get into this awesome human-creature adventure!

Durasi:
1
32 menit

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:

Sabtu, 03 Agustus 2013

THE SMURFS 2 : Might Better Stay In Comic Book Format


Quote:
Papa: It doesn't matter where you came from. What matters is who you choose to be..

Nice-to-know:
SofĂ­a Vergara
sempat memerankan cameo Odile Anjelou dari episode sebelumnya tapi adegan tersebut akhirnya dihapus.  

Cast:
Hank Azaria
sebagai Gargamel
Neil Patrick Harris sebagai Patrick
Brendan Gleeson sebagai Victor
Jayma Mays sebagai Grace
Jacob Tremblay sebagai Blue
Katy Perry sebagai Smurfette
Christina Ricci sebagai Vexy
Jonathan Winters sebagai Papa Smurf
J.B. Smoove sebagai Hackus
George Lopez sebagai Grouchy Smurf
Anton Yelchin sebagai Clumsy Smurf
John Oliver sebagai Vanity Smurf
Frank Welker sebagai Azrael

Director:
Merupakan f
ilm kesembilan bagi Raja Gosnell yang mengawali karir penyutradaraannya sejak Home Alone 3 (1997).

W For Words:
Ada kekhawatiran tersendiri saat mengetahui bahwa The Smurfs pada tahun 2011 yang lalu akan diangkat ke layar lebar. Bukan apa-apa. Salah satu buku komik terfavorit sepanjang masa itu tidak pernah saya lewatkan barang satu edisi pun karena kisahnya yang ringan, lucu, menghibur dan kaya karakteristik itu. Nyatanya film tersebut cukup memenuhi standar saya meski belum sesuai ekspektasi. Hasil box-office di kisaran 140 juta dollar di Amerika Serikat saja tampaknya jadi alasan kuat bagi produser dalam merencanakan sekuelnya dua tahun kemudian. Here it is!

Penyihir jahat Gargamel menciptakan sepasang makhluk mini serupa smurf yang bernama Vexy dan Hackus untuk memenuhi ambisinya mengisi ramuan tongkat saktinya. Nyatanya tidak berhasil dan tetap membutuhkan sari smurf yang asli. Maka diculiklah Smurfette yang kebetulan sedang kesepian karena mengira tak satu smurf pun mengingat ulang tahunnya. Papa Smurf dan kawan-kawan sekali lagi bertualang ke Paris demi membebaskannya. Patrick dan Grace yang sudah dikaruniai seorang putra sepakat membantu walau terganggu dengan kedatangan ayah tiri Patrick, Victor yang eksentrik.
Skrip yang masih ditulis oleh J. David Stem, David N. Weiss, Jay Scherick kali ini turut menggandeng David Ronn dan Karey Kirkpatrick berdasarkan karakter rekaan Peyo memberikan ‘bentuk’ petualangan lain kepada Papa Smurf dan Patrick lewat konsep parenthood dalam mewakili dunianya masing-masing selain krisis identitas yang menimpa Smurfette. Saya menghargai maksud baik ini tetapi sayangnya dalam eksekusi tidak cukup banyak waktu tersisa untuk melakukan eksplorasi menyeluruh. Alhasil jatuhnya menjadi tanggung dan hanya menyisakan berbagai slapstick untuk menjaga minat penonton.

Sutradara Gosnell masih memaksimalkan setting Paris termasuk katedral Notre Dame atau menara Eiffel dalam bercerita terutama di malam hari dimana warna biru smurf begitu kontras. Efek 3D nya tidak lebih baik dari prekuelnya karena cuma sedikit ‘kedalaman’ yang mampu memanjakan mata. Modernisasi coba dilakukan melalui tablet PC yang menggantikan buku sihir tua dengan exposure lebih besar melalui popularitas Gargamel di kota mode tersebut. Selebihnya masih mengandalkan slapstick (mostly adult) khas ketidaktahuan para smurf akan dunia manusia yang sebagian di antaranya malah membuat anda mengernyitkan kening.
Beban berat diemban NPH dimana tokoh Patrick mengalami perubahan karakter dengan tingkat kedewasaan yang cukup signifikan dari seri pertama. Sayangnya ia tidak melakukannya dengan baik. Berbagai aktor/aktris yang terlibat juga gagal memaksimalkan penjiwaan mereka termasuk Ricci dalam menyuarakan Vexy atau Gleeson sebagai Victor. Azaria pun masih terlalu satu dimensi sebagai Gargamel yang menyebalkan itu. Yang masih mencuri perhatian mungkin Azrael dan smurf narator yang disulihkan oleh Tom Kane sebagai pembuka dan penutup film itu.

The Smurfs sejak dahulu adalah dongeng quirky yang rajin melontarkan humor pengundang senyum sambil menyelipkan pesan moral bagi generasi muda, anak-anak pada khususnya. Seri kedua ini tak kehilangan akarnya tentang bagaimana menerima diri sendiri apa adanya, memilih jalan hidup yang diyakini terlepas dari latar belakang yang membentuknya. Satu smurf, satu karakter. You can also choose what you want to be. I wish there was a better presentation rather than weak storytelling that somehow undeniably still sells all over the world. Well, my opinion hasn’t changed yet that some comic books might better stay on its format.

Durasi:
105 menit

U.S. Box Office:
$
32,646,189 till Aug 2013

Overall:
7 out of 10

Movie-meter: