XL #PerempuanHebat for Kartini Day

THE RING(S) : A short movie specially made for Valentine's Day

Senin, 30 April 2012

THE COLD LIGHT OF THE DAY : Meaningless Title For Above Class Action


Tagline:
Instinct Is His Greatest Weapon.

Nice-to-know:
Film yang diproduksi oleh Intrepid Pictures, Film Rites, Fria Luz Del Dia, A.I.E., Galavis Film, Picture Machine, Summit Entertainment ini baru akan rilis di Amerika Serikat tanggal 7 September 2012.

Cast:
Henry Cavill sebagai Will Shaw
Verónica Echegui sebagai Lucia
Bruce Willis sebagai Martin Shaw
Sigourney Weaver sebagai Jean Carrack
Joseph Mawle sebagai Gorman
Caroline Goodall sebagai Laurie Shaw
Rafi Gavron sebagai Josh Shaw

Director:
Merupakan film ketiga Mabrouk El Mechri setelah terakhir JCVD (2008) yang gagal di pasaran itu.

W for Words:
Ada sesuatu yang menggelitik pikiran saya mengenai penggunaan judul film yang tidak biasa ini. Bahkan setelah film berakhir pun, saya tidak menemukan korelasi apa-apa yang pantas dikaitkan dengannya. Skrip yang dikerjakan oleh Scott Wiper dan John Petro ini terasa seperti kebalikan premis dari Taken (2008) serta memiliki banyak persamaan elemen dengan Abduction (2011). Namun tidak ada salahnya menyaksikan kiprah Henry Cavill sebagai pemanasan menuju Man of Steel yang ditunggu-tunggu tahun depan itu.
Tatkala berlibur dengan kapal pesiar di Spayol, Will Shaw mendapati keluarganya hilang di tengah lautan. Pertemuan kembali dengan ayahnya, Martin tak berlangsung lama karena tewas diterjang peluru sesama agen CIA, Jean Carrack yang ingin melenyapkan saksi mata karena transaksi tas misterius yang super rahasia itu. Dalam kebingungan, Will melarikan diri dari kejaran orang-orang yang mengincar nyawanya sambil mencari cara untuk menyelamatkan keluarganya sekaligus membongkar kasus tersebut.

Sutradara Mabrouk sebetulnya memulai film dengan baik. Paruh pertama yang beralur lambat sukses menempatkan suspensi yang mampu membuat penonton penasaran dan juga bersimpati pada tokoh Martin Shaw yang posisinya tak menguntungkan samasekali sebagai protagonis. Namun paruh kedua yang lebih banyak menekankan aksi justru sedikit kehilangan greget karena kekliseannya, ditambah kinerja kamera hiperaktif yang kesulitan menyembunyikan permainan triknya disana-sini supaya terlihat believeable.
Satu-satunya yang tampil cemerlang disini adalah Bruce Willis yang sayangnya hanya kebagian 20 menit pertama. Henry Cavill sendiri sebagai jagoan sudah berupaya keras menyuguhkan karisma yang diharapkan mengingat sosok Will Shaw adalah pria biasa yang hanya mengikuti instingnya untuk bertahan hidup dan berbuat yang terbaik. Malangnya Sigourney Weaver lagi-lagi mengulangi kesalahan yang sama setelah Abduction (2011) dimana tokoh Jean Carrack tampak tidak berkelas dengan kekejaman intimidatif yang kaku dibawakannya. Saya tertawa keras saat ia mengemudikan mobil secara ugal-ugalan dan berteriak “Wooo.” I couldn’t believe my own ears!

The Cold Light Of Day dapat dikategorikan sebagai action Spanyol kelas B yang terlalu berusaha menjejalkan setiap unsur film aksi ke dalamnya. Anda akan menemukan adegan kejar-kejaran menyusuri kota, tembak menembak, melompat dari tempat tinggi tanpa kurang suatu apapun, kebut-kebutan dengan motor maupun mobil yang terkesan hanya demi memperpanjang durasinya. Rasanya serentetan aksi saja tak akan cukup menjaga perhatian penonton untuk tetap fokus pada perwujudan skrip buruk yang untungnya masih menawarkan sedikit twist yang tersisa.

Durasi:
93 menit

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:


Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Minggu, 29 April 2012

VICKY DONOR : Unusual “Fertility” Themes Handled With Care


Quotes:
Vicky: Jika aku dengar kau maka aku akan mati bujangan.

Nice-to-know:
Film yang diproduksi oleh J.A. Entertainment, Rampage Motion Pictures, Rising Sun Films ini sudah rilis di negara asalnya India pada tanggal 20 April 2012 yang lalu.

Cast:
Ayushmann Khurrana sebagai Vicky Arora
Yami Gautam sebagai Ashima Roy
Dolly Ahluwalia sebagai Dolly
Jayant Das sebagai Vicky's Father
Annu Kapoor sebagai Dr. Baldev Chaddha
John Abraham

Director:
Merupakan film kedua bagi Shoojit Sircar setelah ...Yahaan (2005).

W for Words:
Menilik judul dan posternya, bisa jadi anda mengharapkan sebuah tontonan cheesy nan vulgar yang setidaknya bisa menghibur selama 2 jam lebih. Nyatanya kesan tersebut justru hilang samasekali tanpa harus kehilangan unsur hiburannya. Terima kasih atas kinerja Juhi Chaturvedi yang begitu gemilang dalam memperlakukan premis yang sebetulnya sensitif itu sebelum menuangkannya dalam skrip yang penuh dialog berbobot lewat serentetan subplot menarik yang menyertainya.
Dr. Baldev Chaddha memiliki klinik fertilitas yang banyak dikunjungi pasutri yang kesulitan mempunyai anak. Sayangnya ia belum menemukan donor yang tepat sebelum berjumpa Vicky Arora, pemuda tampan enerjik pengangguran yang ternyata didukung oleh catatan genetik yang luar biasa. Setelah bersusah payah meyakinkan Vicky untuk menjadi donor sperma, Dr. Chaddha membalasnya dengan limpahan materi yang setimpal dengan kerja kerasnya. Vicky dalam sekejap kaya raya hingga jatuh cinta pada gadis banker, Ashima Roy yang membuatnya yakin untuk meninggalkan kebiasaannya tersebut.

Paruh pertama film ini ditempatkan dalam tonase komedi yang menggigit tanpa terkesan memaksa anda untuk tertawa. Pengenalan karakter utama mengalir dengan wajar, lihat bagaimana upaya keras Dr. Chaddha tanpa lelah dalam membujuk kerap berujung pada penolakan Vicky sebelum akhirnya terbentuk sebuah simbiosis mutualisme di antara keduanya. Tanpa lupa situasi klinik Dr. Chaddha dan rumah salon Vicky itu semakin memperkuat cerita sebagai latar belakang yang penuh dinamika.
Paruh kedua memang bergulir melambat tatkala membahas romansa Vicky dan Ashima. Rahasia masa lalu masing-masing yang terkuak memang memaksimalkan konflik emosional yang ada walaupun diakhiri dengan garis bawah yang dipermudah. Namun perbedaan kultur antara Bengali (Kolkata) dan Punjabi (New Delhi) yang melatari keluarga kedua mempelai sukses dieksploitasi dengan cadas penuh warna selayaknya Romeo dan Juliet dari keturunan Tybalt dan Capulet.

Ayushmann Khurrana yang merupakan aktor debutan bisa jadi namanya akan semakin bersinar setelah peran Vicky Arora yang dijiwainya dengan flamboyan, berandal sekaligus percaya diri. Sama halnya dengan Yami Gautam yang cantik memesona sebagai Ashima. Kekurangmatangan keduanya sempat mengurangi chemistry yang terjalin tapi tidak terlalu mengganggu mengingat aktor-aktris senior di sekitar mereka menampilkan akting yang luar biasa termasuk Annu Kapoor sebagai Dr. Baldev Chaddha yang berkali-kali menyebutkan idiom “sperma” sebagai kata sifat yang bervariasi.
Vicky Donor jelas bukan tipikal film India pada umumnya. Komposisi musik dan koreografi disini tergolong minim, terlepas dari pertunjukan John Abraham yang memulai debutnya sebagai produser disini lewat nomor “Rum & Whisky” saat menggulirkan credit title. Edukasi seksual mengenai ketidaksuburan bagi kaum muda yang sudah/berencana menikah (konvensional maupun modern) berhasil dihantarkan tanpa provokasi samasekali. Pembelajaran yang sehat penuh manfaat bergaya humoris dari tangan dingin sutradara Shoojit Sircar yang menjadikannya salah satu suguhan Bollywood terbaik tahun ini.

Durasi:
122 menit

Asian Box Office:
Rs 22 crore in India till April 2012

Overall:
8 out of 10

Movie-meter:


Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Sabtu, 28 April 2012

FIRST KISS : Another Age Different Cliché Approach


Tagline:
Bass: Mana yang kau pilih? Dipanggil bibi atau nona?

Nice-to-know:
Diproduksi oleh Five Star Productions dan sudah rilis di Thailand pada tanggal 26 Januari 2011 yang lalu.

Cast:
Kaneungnich Jaksamithanon sebagai Chanisa
Pichasini Tanwiboon sebagai Bass
Songsitt Rungnoppakhunsri
Takrit Hemannopjit

Director:
Kirati Nakintanon

W for Words:
Ciuman pertama rasanya lebih sulit didapat oleh kaum perempuan dibandingkan laki-laki. Siapa yang setuju dengan saya? Jika anda beruntung, tentunya sudah merasakannya sejak ada di bangku sekolah menengah. Jika tidak, anda mungkin sekadar bernasib malang atau justru menantikan hal terbaik yang biasanya terjadi paling akhir? Sineas Thailand kembali mengangkat fenomena romantis dasar yang berlaku universal itu ke dalam tontonan remaja-dewasa yang tak lekang oleh waktu.
Kepalang gembira mendapati pria pujaannya sejak kecil Ohm kembali ke Bangkok, Sa ternyata tak bertepuk sebelah tangan. Sayangnya hal tersebut dirusak saat Sa yang sedang mengidamkan ciuman pertama di usia yang menginjak 25 tahun itu justru terenggut di sebuah bis kota tanpa sengaja oleh bocah SMU berusia 17 tahun, Bass. Namun pertemuan tak terduga itu justru menimbulkan ketertarikan di antara keduanya. Kedua sahabatnya, Jane dan Mahm mengingatkan Sa untuk menggunakan logika dimana Bass sendiri tengah bermasalah dengan ayahnya.

Seperti biasa pasangan utama film ini dikelilingi teman-teman yang tidak cantik/tampan. Sa memiliki Mahm yang cerewet dan Jane yang berkelakuan “feminin”. Sedangkan Bass mempunyai Jim yang kutu buku dan Art yang berwajah “aneh”. Jane dan Art dimanfaatkan habis-habisan dalam mendulang humor “fisik” yang kepalang mengganggu karena scenenya yang repetitif seakan memaksa penonton untuk tertawa dengan tidak wajar.
Chemistry Jaksamithanon dan Tanwiboon sendiri tercipta dengan baik. Sa terlihat berperangai lembut dengan kecantikan alaminya, tipikal wanita kantoran yang terbiasa hidup mandiri. Bass tampak dewasa dari anak seusianya walau tidak mengingkari umur aslinya terlebih hidupnya selalu dimanjakan harta dan diatur ayah kandungnya sendiri. Scene favorit saya adalah ketika keduanya berlarian di setiap sudut sekolah sambil menghindari kejaran guru galak. Niscaya ingatan anda akan kembali pada indahnya masa SMP/SMU dahulu.

Konflik yang dibangun memang tak jauh dari sudut pandang Sa yang dilematis, memilih pria impiannya sejak kecil dan mencintainya saat dewasa dengan kondisi atau pria masa kini yang mencintainya tanpa syarat tapi berusia jauh lebih muda. Perbedaan perlakuan, kebiasaan hingga pola pikir dibahas habis termasuk ketakutannya untuk membuat keputusan yang salah. Isu pria yang menumpang hidup atau wanita yang menikah karena uang juga dihadirkan ke permukaan.
First Kiss memang tak sesempit judulnya. Ciuman pertama konon memang menentukan langkah berikutnya. Premis ringan yang diangkat di awal menertawakan polah tingkah Sa yang polos justru berkembang menjadi rumit saat dirinya berada di antara dua hati. Tuntutan akan pernikahan berbanding lurus dengan pertambahan usia terutama bagi kaum wanita. Komedi romantik Thailand yang satu ini pun mengumpamakan hukum alam tersebut dengan lugas dan manis meskipun dengan bumbu-bumbu klise disana-sini.

Durasi:
105 menit

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:


Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Jumat, 27 April 2012

EXORCISMUS : Twisted Unique Ending Possession Movie


Original title:
La posesión de Emma Evans

Nice-to-know:
Film yang diproduksi oleh Filmax ini sudah rilis di negara asalnya Spanyol pada akhir tahun 2010 yang lalu.

Cast:
Sophie Vavasseur sebagai Emma
Stephen Billington sebagai Christopher
Richard Felix sebagai John
Jo-Anne Stockham sebagai Lucy
Lazzaro E. Oertli Ortiz sebagai Mark
Isamaya French sebagai Rose
Tommy Bastow sebagai Alex

Director:
Merupakan film kedua bagi Manuel Carballo setelah El último justo (2007).

W for Words:
Baru saja minggu lalu bioskop kita didatangi The Devil Inside (2012) yang bercerita tentang pengusiran setan, maka minggu ini ada La posesión de Emma Evans yang justru sudah rilis dua tahun sebelumnya. Premis film sejenis memang tidak jauh berbeda dimana selalu dihadirkan kondisi normal dahulu sebelum serangkaian peristiwa mencekam semakin menegaskan ketidak normalan yang terjadi pada tokoh utamanya. Yes, it’s another God versus evil!

Emma Evans yang baru berusia 15 tahun terlibat argumentasi dengan ibunya yang melarangnya pergi ke konser di London dengan kawan-kawannya, Rose dan Alex. Emma yang dianggap menderita gangguan psikologis justru lebih menampakan gejala kerasukan dimana tindakan “bawah sadar” nya cenderung membahayakan orang-orang sekitarnya. Pertemuannya dengan Pendeta Christopher memulai usahanya untuk lepas dari pengaruh iblis yang menghinggapi dirinya lewat serangkaian prosesi exorcism.
Pendekatan dokumenter dilakukan oleh sinematografer Javier Salmones sehingga penonton seakan berada lebih dekat dengan tokoh-tokohnya. Sutradara Manuel Carballo banyak bermain dengan efek suara menggelegar yang berhasil membangun suasana mencekam terlepas dari “biasa”nya gambaran kejadian supernatural yang menimpa Emma Evans.

Alih-alih terlihat menyeramkan yang biasanya terjadi seperti posisi tubuh yang berbalik, berjalan di dinding atau mengutuk dengan bahasa yang asing di telinga, Sophie Vavasseur justru lebih terlihat sebagai gadis biasa yang mengalami masalah perilaku karena tekanan di rumah. Emosi naik turunnya saat ia menjadi dirinya dan bukan dirinya jelas sesuatu yang tidak mudah dilakukan terlebih melibatkan interaksi dengan ayah, ibu, adiknya atau Pendeta Christopher yang juga dimainkan dengan baik oleh Stephen Billington yang mengalami kegagalan di masa silam.
Kelebihan Exorcismus adalah twist tak biasa yang disempilkan di penghujung cerita. Konklusi setengah jam terakhir yang membahas motif Emma dan modus Christopher sejak awal memang timbal balik saling mempengaruhi hasil akhirnya. Hal yang menarik disini adalah sang iblis tidak muncul dalam situasi klise horor Amerika biasanya melainkan kondisi normal pada siang hari atau luar ruangan sekalipun. Pengalaman yang tentunya cukup menakutkan bagi anda jika sang iblis terkesan lebih kuat daripada manusia yang kehilangan iman dan kepercayaannya itu.

Durasi:
98 menit

U.S. Box Office:
€270,086 till Dec 2010 in Spain

Overall:
7 out of 10
Movie-meter:


Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Kamis, 26 April 2012

SINEMA PURNAMA : Semangat Indie Menggurat Rasa


Quotes:
Arman: Langit itu kebebasan, tidak berbatas. Langit itu sederhana dan indah karena kesederhanaannya.

Nice-to-know:
Film yang diproduksi oleh Imaginarium Entertainment bersama dengan Studio DG, Studio Amarana, Gundala Pictures dan Mimpi2 ini tayang istimewa di Blitzmegaplex Pacific Place pada tanggal 26 April dan 3 Mei 2012.

Cast:
Andrie Rizky sebagai Arman
Maryam Supraba sebagai Marni
Naya Anindita sebagai Rani
Lisa Syahtiani
Said Satriyo
Tim Matindas sebagai Bagas
Ananda Moechtar sebagai Dorinda
Jamie Soekarna
Dolfry Indasuri

W For Words:
DUNIA PARUH WAKTU - Radian Kanugroho (18 menit)
Menyukai fotografi membuat Arman amat mendewakan langit sebagai latar belakangnya. Hal tersebut didukung penuh oleh kekasih barunya Rani yang kemudian menjadi tunangannya. Masa lalu yang pernah dilewati bersama mantan istrinya dahulu Marni membuat Arman harus menentukan pilihan sulit masa depannya sendiri.
>Konsep fotografi indah terbilang senada dengan latar belakang panorama yang tersaji pada segmen pembuka ini. Interaksi minim antara Arman dengan Rani ataupun Marni memang membuat kita sulit untuk mengeksplorasi pilihan hati Andrie Rizky yang sesungguhnya. Meski demikian, persinggungan konflik yang memuncak di akhir cerita antara dua karakter wanita menjadi highlight yang mengejutkan meski harus ditutup dengan ambiguitas semu yang mengembalikan interpretasi pada masing-masing penonton.

THE KIOSK - Pandu Birantoro (22 menit)
Pemilik toko buku Ke’kun bernama Bagas yang juga seorang penulis kembali berhubungan dengan teman masa kecilnya Dorinda yang akan menikah sebentar lagi. Tak ayal, keduanya terlibat percakapan seru mengenai makna cinta, hubungan inter personal serta persahabatan mereka yang diuji oleh batasan kasih sayang itu sendiri.
>Penggunaan bahasa Inggris yang fasih dan mengalir dengan lancar dari aktor-aktrisnya menjadi nilai tambah tersendiri. Dialog-dialog yang terjadi antara Bagas dan Dorinda mengalun santai tatkala menganalisa apa yang mereka punya ataupun yang terjadi di sekeliling keduanya. Kemungkinan akan timbulnya percikan asmara adalah suatu teka-teki yang terjawab di kemudian waktu. Karakter Bagas yang tak begitu saja mengikuti kata hatinya semakin jelas lewat sekelumit kisah masa kecilnya. Tak dipungkiri pertemuan singkat justru meninggalkan kesan mendalam yang tak terencanakan.



DONGENG KSATRIA - Ray Nayoan (30 menit)
Bocah berusia 10 tahun bernama Gibran ditantang oleh geng kompleksnya The Last Boyz untuk masuk ke sebuah rumah kosong nan angker. Disanalah ia terpental ke dimensi lain hingga diselamatkan gadis kecil tak bernama yang disebutnya sebagai Kartini. Hubungan persahabatan istimewa yang terjalin di antara keduanya membuat Gibran ingin melakukan sesuatu bagi Kartini.
>Jarang memang sebuah film pendek bisa bercerita tentang cinta dari sudut pandang anak-anak. Ray Nayoan melakukannya disini lewat konsep imajinatif futuristik yang sayangnya masih mentah. Tak ada kejelasan batas antara dunia khayal dan nyata membuat premis yang sebetulnya menarik ini gagal total. Persinggungan konsep antara kepolosan dan masa akil balik karakter-karakternya yang masih belia ini pada akhirnya tidak berhasil menyampaikan esensi persahabatan multi makna kepada penontonnya.

SINEMA PURNAMA - Andra Fembriarto (26 menit)
Ahmad berupaya keras menyelenggarakan Festival Film Jihad sebagai dakwahnya agar dapat mengikuti jejak idolanya Ustad Mahmud dalam hal mendapatkan cinta. Janda kembang tetangganya yang bernama Sari membantu memilihkan film-film apa yang dapat menarik minat masyarakat. Interaksi keduanya menimbulkan semangat baru dalam diri Ahmad walau pada akhirnya ia mempertanyakan kesetiaannya sendiri terhadap iman yang selama ini dijunjungnya tinggi-tinggi.
>Festival film memang sebuah kultur yang kerapkali dijadikan acara puncak bagi komunitas yang mendukungnya. Kali ini perbedaan mendasar antara dua tokoh utamanya mengisyaratkan konsep majemuk yang tak terhindarkan mulai dari hal kecil hingga besar sekalipun. Hubungan Ahmad dan Sari yang beranjak dari pakem tersebut menyiratkan pembatas kompleksitas yang terbentuk lewat serangkaian dialog tajam kocak menggigit. Penyelesaian berkonotasi ringan di bagian pamungkasnya mungkin terasa naïf tetapi tujuan keduanya dalam membudayakan film jelas tercapai manis.

Secara keseluruhan, Sinema Purnama mungkin belumlah sempurna sebagai tontonan. Namun semangat indie yang mendasari para produser muda usia seperti Pandu Birantoro, Tim Matindas, Ananda Moechtar dan Andra Fembriarto jelas patut diapresiasi dalam upayanya memperkaya khasanah perfilman Indonesia. Format omnibus yang dipilih sebagai jalur memang tidak secara otomatis menempatkan keempat segmen tersebut dalam satu benang merah. Keragaman fokus cerita-cerita pendek yang didukung oleh muka-muka baru ini seakan mengajak masyarakat untuk larut menikmati eksperimental sineas-sineas anyar dalam balutan varian rasa yang jujur menggurat.

Durasi:
98 menit

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:

Rabu, 25 April 2012

THE WITNESS : Realita Rapuhnya Saksi Mata Pembunuhan


Quotes:
Safara: Tak pernah ada musisi lain yang sehebat dia.

Nice-to-know:
Film yang diproduksi oleh Skylar Pictures ini mengadakan gala premierenya di Epicentrum XXI pada tanggal 24 April 2012.

Cast:
Gwen Zamora sebagai Angel
Pierre Gruno sebagai Satria
Agung Saga sebagai Ais
Kimberly Ryder sebagai Safara
Marcelino Lefrandt sebagai Indra
Febby Febiola sebagai Celine

Director:
Merupakan film ketiga Muhammad Yusuf setelah Tebus (2011).

W For Words:
Skylar Pictures kali ini menggandeng sineas Filipina yaitu Jose Mari Abacam dan Rofino Dwinanto untuk memproduksi sebuah thriller yang skripnya ditulis oleh Beby Hasibuan ini. Judul bahasa Inggris pun dipilih untuk memiliki nilai jual lebih selain keterlibatan aktor-aktris kedua negara yang saling berkolaborasi itu tentunya. Menilik premisnya memang terlihat tidak spesial yaitu seorang saksi mata pembunuhan keji tapi harapan akan sebuah pendekatan baru yang kreatif memang cukup besar adanya.
General Manager sebuah hotel bernama Angel yang baru ditransfer dari Mania ke Jakarta berupaya melanjutkan hidupnya setelah seantero keluarganya yaitu kedua orangtuanya, pembantunya, satpam rumahnya sekaligus adiknya, Safara tewas dibantai secara keji oleh seorang pria asing. Hal yang tidak mudah karena Angel kerapkali dihantui oleh mimpi dan pikiran aneh. Detektif Indra berupaya membantunya mengatasi trauma sekaligus menyingkap misteri yang masih tersisa.

Seringkali sebuah trailer menyisakan twist ending. Namun untuk kali ini sejak menit pertama, penonton sudah diberitahu bahwa Pierre Gruno lah sosok antagonis dan Gwen Zamora merupakan protagonisnya. Pertemuan keduanya di awal yang berlanjut di akhir memang membuat proses di antaranya menjadi tidak terlalu penting lagi selain suguhan “hantu gentayangan” di berbagai sudut rumah yang berupaya mengaburkan batas antara mimpi dan kenyataan itu sendiri.
Durasi 100 menit yang digunakan sutradara Yusuf untuk bercerita juga terasa amat lambat. Terkadang adegan yang sudah statis itu masih dibuat slow motion lagi. Konflik utama yang sebenarnya sederhana itu seakan menyeret penonton dalam sebuah labirin misteri yang sudah diketahui ujung pangkalnya lewat serangkaian petunjuk di awal film. Anda tinggal menarik garis lurus antara tokoh A, tokoh B dan sebagainya, voila, didapatlah sebuah skema keluarga yang ternyata dilandasi oleh motif klise belaka.

Lagi-lagi peran polisi dan detektif tak lagi penting disini selain sebagai pelengkap saja. Karakter Indra yang diperankan oleh Marcelino Lefrandt seharusnya menciptakan chemistry tersendiri bagi pemulihan jiwa Angel. Sama halnya dengan karakter Celine yang dimainkan oleh Febby Febiola ternyata hanya muncul di menit-menit awal saja. Sedangkan Agung Saga seakan terjebak dalam multi-identitas mulai dari pemusik, jago beladiri hingga pecinta melodramatik yang pada akhirnya kurang berhasil menarik simpati penonton.
Hiburan bagi mata jelas ada di faktor Gwen Zamora dan Kimberly Ryder yang elok nan rupawan itu. Akting keduanya yang sesungguhnya tak terlalu menonjol itu rupanya masih mampu menjadi daya tarik tersendiri bagi The Witness. Potensi yang dibangun di atas pondasi yang belum kokoh itu memang masih rapuh bagi penonton untuk berpijak di atas realita yang ada. Seriskan permainan asmara yang kerapkali mendasari film-film Filipina pada umumnya tapi luput dari perhatian dalam kesempatan ini.

Durasi:
100 menit

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:

Selasa, 24 April 2012

Nobar MODUS ANOMALI 26 April @Blitz PP


Peserta yang sudah melunasi pembayaran adalah sebagai berikut:
1. Angelina Puspita
2. Diaksa Adhistra
3. Vaninja
4. Johannes Prayudhi
5, Cecilia Rusli
6. Firas Bakrie
7. Dido Segara
8. Adhie Pamungkas
9. Kania Kismadi
10. Dewi Srikit
11. Adam Dwi Prakasa
12. Azarine Marshel
13. Sandra Eka Ristianjani
14. Safita Permatasari
15. Deasy
16. Dino Hutasuhut
17. Gana Pasaribu
18. Yuki Aditya
19. Rangga Wisesa
20. Segaf Abdullah
21. Ainel Firas
22. Ahmad Hanafi
23. Tiwi
24. Reino Ezra
25. Ranggina Thassiya
26. Monica
27. Ratna Dewi
28. Niko Radityo
29. Dicky
30. Ian Salim
31. Elvira Kusno
32. Timotius Prassanto
33. Mira Margaretha
34. Edwin R Supriyadi
35. Jois Pitaloka
36. Shinta Amalia
37. Paul Augusta
38. Kyo Hayanto
39. Yudo Yuridyo
40. Ahmad Muttaqin
41. Satrio Nindyo Istiko
42. Andri
43. Gege
44. Ash
45. Dila
46. Haqi Achmad
47. Ifrul
48. Galih Panuntun
49. Prima (Richie Yamin)
50. Anisa Mulyati (2)
51. Robertus Andrias
52. Addo Oemardy
53. Suhendra Halim
54. Hanisa Kusuma Astuti
55. Adinda Bintang
56. Yulia PS
57. Alvin Hariz Sudhana
58. Doni Agustan
59. Gayatri Nadya
60. Adrian Jonathan
61. Lidya Ramadhania
62. Dion Dharmawan
63. Irfan
64. Imam Alfarabhy
65. Andi
66. Amanda Puspita Sari
67. Adi Subandyono
68. Silvia Handarta
69. Teddy Trihatmodjo
70. Downey Ong

Senin, 23 April 2012

MODUS ANOMALI : Kepingan Misteri Pembunuh Misterius


Quotes:
John: Sorry, I can’t protect us..

Nice-to-know:
Film yang diproduksi oleh Lifelike Pictures ini menyelenggarakan screening di Blitzmegaplex Grand Indonesia dan gala premiere di Epicentrum XXI pada tanggal 17 April 2012.

Cast:
Rio Dewanto sebagai John Evans
Hannah Al Rashid
Izzati Amara Isman
Aridh Tritama
Surya Saputra
Marsha Timothy
Sadha Triyudha
Jose Gamo

Director:
Merupakan film keempat Joko Anwar yang justru diawali oleh komedi romantis Janji Joni pada tahun 2005.

W For Words:
Kesuksesan Kala dan Pintu Terlarang, setidaknya secara kualitas, telah menetapkan standarisasi baru film nasional bergenre thriller. Otak di balik semua itu berasal dari Joko Anwar yang untuk kedua kalinya bekerjasama dengan produser handal, Sheila 'Lala' Timothy lewat rumah produksinya Lifelike Pictures. Film ini sendiri sempat mencuri perhatian publik internasional saat berkesempatan tayang perdana dalam ajang SXSW di Texas pada tanggal 9-17 Maret yang lalu dengan hasil penilaian yang beragam dari kritikus-kritikus asing.
John Evans terbangun mendapati dirinya terkubur dalam tanah. Tidak ada satu hal pun yang dapat diingat termasuk siapa dirinya. Ponsel yang dimilikinya tak menyisakan kontak apa-apa. Kosong! Ketika berjalan menyusuri hutan, John menemukan sebuah pondok kayu dengan teve dan video player yang memperlihatkan pembunuhan terhadap seorang wanita hamil yang disinyalir sebagai istrinya. Belum hilang keterkejutannya, John menyadari bahwa ia tidak sendiri di hutan itu. Ada sosok lain yang mengintai di balik pepohonan dan semak-semak. Berhasilkah John keluar hidup-hidup dari hutan tersebut sekaligus memecahkan misteri kelam yang terjadi?

Rio Dewanto merupakan tokoh sentral yang mendominasi keseluruhan film. Untungnya ia cukup berhasil menampilkan ekspresi kebingungan dan ketakutan yang terpancar jelas lewat sosok John yang terus berkeliling hutan siang dan malam demi mencari jawaban. Penampilan para pendatang baru seperti Hannah Al Rashid, Izzati Amara Isman, Aridh Tritama, Sadha Triyudha, Jose Gamo juga tidak mengecewakan terlepas dari minimnya porsi yang diberikan. Dua nama yang lebih senior yakni Surya Saputra dan Marsha Timothy memberikan nilai tambah tersendiri bagi jajaran cast yang semuanya lumayan fasih berbahasa Inggris tersebut.
Joko Anwar yang mengakui film ini berbujet rendah dimana syutingnya hanya menghabiskan waktu sepuluh hari secara cerdas merekonstruksi bangunan cerita sedemikian rupa sebelum terjawab tuntas di penghujung film. Adegan kekerasan di beberapa bagian memang masih dalam batas toleransi tetapi yang membuatnya istimewa adalah ketepatan timing sehingga mampu mengundang reaksi spontan para penonton yang diyakini terhenyak di kursi masing-masing.

Bagian opening hingga pertengahan film yang memenangkan Bucheon Award di ajang Network of Asian Fantastic Films ini dihabiskan untuk eksplorasi "ajang bermain" nya yaitu hutan itu sendiri yang sudah menggambarkan nuansa sunyi, asing, misterius dan penuh bahaya. Komposisi musik dari Aghi Narottama, Bemby Gusti dan Ramondo Gascaro terasa pas menghadirkan suasana mencekam yang teramat menghantui audiens untuk larut dalam superioritas narasinya itu.
Modus Anomali tidaklah sulit untuk dicerna setelah anda menyelesaikan menit-menit terakhir yang menyingkap suspensi satu per satu. Sambil menunggu klimaks tersebut, tak ada salahnya anda berupaya menerka twist macam apa yang kali ini disuguhkan. Temukanlah setiap kepingan puzzle yang tersebar di seluruh penjuru demi mendapatkan gambaran utuh yang akan mencengangkan anda. My message for you, stop reading too much reviews everywhere and let your very own "mindfuck" begins!

Durasi:
87 menit

Overall:
8 out of 10

Movie-meter:

Minggu, 22 April 2012

MIRROR MIRROR : THE UNTOLD ADVENTURE OF SNOW WHITE Re-storytelling Effort In Such Diversity


Quotes:
The Queen: They're not wrinkles. They're just crinkles.

Nice-to-know:
Lily Collins dalam sesi interview mengakui bahwa ia sempat diaudisi untuk peran Snow White dalam Snow White and the Huntsman (2012) sebelum kalah dari Kristen Stewart.

Cast:
Julia Roberts sebagai The Queen
Lily Collins sebagai Snow White
Armie Hammer sebagai Prince Alcott
Nathan Lane sebagai Brighton
Jordan Prentice sebagai Napoleon
Mark Povinelli sebagai Half Pint
Joe Gnoffo sebagai Grub
Sean Bean sebagai King

Director:
Merupakan film keempat Tarsem Singh setelah tahun lalu mencuri perhatian lewat Immortals.

W for Words:
Siapa yang tidak mengenal dongeng Putri Salju dan kutukan Nenek Sihir serta Pangeran Tampan yang menyelamatkannya. Hollywood dan industri perfilman manapun di dunia pernah mengadaptasinya dalam berbagai judul termasuk yang satu ini dan yang akan segera beredar nantinya yaitu Snow White and the Huntsman. Menarik melihat dua film ini akan berhadapan langsung dalam tangga box-office di tahun 2012 meskipun secara penekanan samasekali berbeda, antara light dan dark.
Setelah Raja menghilang, Ratu kejam mengontrol kerajaan dengan pajak tinggi. Putrinya yang berusia 18 tahun, Snow White dikurung dalam menara karena dianggap akan menyaingi kecantikannya. Namun Snow White berhasil menyelinap keluar dan mempertemukannya dengan Pangeran Alcott yang tampan dan kaya raya. Ratu tak tinggal diam, ia merencanakan pernikahan dengan Pangeran Alcott walau harus menyingkirkan Snow White. Dibantu 7 kurcaci perampok, Snow White mulai mengenal jati dirinya sendiri untuk melanjutkan perjuangan ayahnya di masa lampau.

Jason Keller dan Melisa Wallack menerjemahkan kinerja klasik dari Jacob Grimm danWilhelm Grimm dengan twist menyenangkan. Di luar topik cinta yang masih menjadi jualan, film ini bercerita mengenai politik lewat tirani Sang Ratu yang memeras keringat rakyat dengan pajak tinggi dan juga strata sosial melalui keberadaan 7 kurcaci yang terpinggirkan dari peradaban karena dianggap miskin, tidak mampu ataupun tidak normal. Transformasi Snow White dari gadis pingitan menjadi mandiri hingga memimpin pemberontakan pun merupakan pencapaian tersendiri yang semakin menegaskan emansipasi wanita.
Sutradara Tarsem Singh terkenal dengan visualisasi estetikanya yang memukau. Kelebihan itu terpancar dari tatanan setiap sudut kerajaan yang memanjakan mata terlebih dunia dalam cermin ajaib yang sangat imajinatif itu. Anda tidak perlu gimmick 3D untuk menikmati suguhannya kali ini. Sayangnya Tarsem melakukan hal bodoh sewaktu credit title bergulir yakni sosok Lily Collins yang bernyanyi dan berdansa dengan menggelikan dalam alunan musik India bersama seantero cast disini. Dude, it’s a live action movie, not animation like we’ve seen before!

Julia Roberts bermain di luar kebiasaannya yaitu ratu iblis sekaligus ibu tiri pencemburu. Upaya Ratu mempercantik diri lewat perawatan “tak biasa” merupakan bagian terbaik dari film yang membuat saya tertawa terpingkal-pingkal. Lily Collins walaupun alisnya “unik” menampilkan pesona aktris muda bermasa depan cerah dimana tokoh Snow White di tangannya terasa feminin dan menyenangkan. Armie Hammer sendiri menjiwai peran Pangeran dengan santai dan lugas. Sedangkan Tujuh kurcaci diperankan oleh aktor-aktor yang wajahnya tak asing lagi karena filmografi yang demikian panjang adanya.
Mirror Mirror adalah sajian Singh di luar kebiasaan genrenya yang justru sukses menghadirkan tontonan keluarga yang menyegarkan, berwarna, sarat pesan moral yang disampaikan secara sederhana tanpa kesan menggurui. Humornya yang terkadang sarkastis bekerja dengan baik walau sebagian di antaranya terasa dipaksakan. Andai saja film ini beredar sebelum franchise Shrek (2001-2010) mungkin hasilnya akan lebih diapresiasi oleh penikmat film. Anyway it’s still a nice effort by the filmmakers for re-storytelling in such diversity!

Durasi:
106 menit

U.S. Box Office:
$36,773,242 till April 2012

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:


Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Sabtu, 21 April 2012

21 JUMP STREET : Stupid Yet Entertaining Cover Up


Tagline:
They're too old for this shift.

Nice-to-know:
Channing Tatum sempat melepaskan tawaran bermain disini sebanyak dua kali sebelum akhirnya diyakinkan oleh Jonah Hill yang juga bertindak sebagai eksekutif produser untuk mengambil peran Jenko.

Cast:
Jonah Hill sebagai Schmidt
Channing Tatum sebagai Jenko
Brie Larson sebagai Molly Tracey
Dave Franco sebagai Eric Molson
Rob Riggle sebagai Mr. Walters
DeRay Davis sebagai Domingo
Ice Cube sebagai Captain Dickson

Director:
Merupakan kolaborasi kedua Phil Lord dan Chris Miller setelah Cloudy with a Chance of Meatballs (2009).

W for Words:
Siapa diantara anda yang pernah menjadi penikmat serial televisi 21 Jump Street di penghujung era 1980an? Salah satunya adalah saya yang masih balita tapi sesekali menyimak bersama kakak di rumah. Cukup ya nostalgianya. Jika waktu itu Patrick Hasburgh dan Stephen J. Cannell menggagas ide ceritaya maka kali ini Michael Bacall bersama dengan Jonah Hill menggarap skrip layar lebarnya dengan karakter-karakter yang samasekali berbeda nama dan kepribadian.
Dua polisi patroli sekali lagi mendapat kesempatan mengulang masa SMU mereka. Schmidt yang kutu buku dan Jenko yang populer mendapat tugas untuk meringkus pengedar sekaligus penyalur narkoba yang dapat menyebabkan kematian setelah serangkaian fase ‘teler’. Sayangnya kondisi pergaulan remaja sekarang tidaklah sama dengan bertahun-tahun lalu. Mereka pun harus berpacu dengan waktu melakukan adaptasi sekaligus menunaikan misinya di samping ujian terhadap persahabatan itu sendiri.

Terus terang saya tak pernah terkesan dengan Jonah Hill sebelumnya. Namun kontribusinya dalam reboot ini teramat besar. Schmidt di tangannya terasa hidup mulai dari sekelumit potret masa kecilnya yang tergambar lewat interaksinya dengan kedua orangtuanya hingga tumbuh berkembang menjadi siswa cerdas tetapi sulit bergaul apalagi bercinta. Chemistry nya dengan Brie Larson juga tercipta manis dimana sederetan dialog “unyu” di antara mereka tetap menjadi highlight tersendiri.
Channing Tatum yang sudah identik dengan idiom ‘tampan bodoh’ justru terlihat nyaman dengan predikat tersebut lewat karakter Jenko. Keunggulan telak di awal dari sahabatnya yang kemudian berbalik 180 derajat membuat persaingan dua tokoh ini semakin memanas. Upaya saling unjuk gigi menjadi babak-babak yang menarik untuk disimak walau terjadi di atas kebodohan dan kesalahpahaman yang semu. Ya, bromance memang tidak selamanya berjalan mulus, bukan?

Berbagai twist konyol berhasil diselipkan seperti pertukaran identitas Schmidt dan Jenko di SMU atau kejar-kejaran mobil yang (seharusnya) berpotensi memicu ledakan besar. Sutradara Lord dan Miller yang juga bersahabat seakan mengerti benar konsep buddies-bromance sehingga tarik ulur di antara kedua tokoh utama terasa wajar. Coba tebak di bagian mana kehadiran cameo dua tokoh sentral serial televisi lawasnya yaitu Johnny Depp dan Peter DeLuise. Niscaya anda akan ternganga kala adegan tersebut muncul.
21 Jump Street tak dipungkiri adalah tontonan bodoh yang justru sangat menyenangkan untuk dinikmati. Action dan comedy nya berjalan konstan di atas konflik kepentingan “cinta, sahabat atau dedikasi” yang terkadang menjadi obyektifitas yang teramat sulit untuk dipilih. Penyamaran “tak sempurna” membuat kekuatan film ini terasa “sempurna” dalam mengembangkan setiap formula lazim dalam film sejenis tanpa harus terbilang basi dan klise. Just enjoy the show as much as your popcorn in your hand does!

Durasi:
109 menit

U.S. Box Office:
$109,413,763 till April 2012

Overall:
8 out of 10

Movie-meter:


Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Jumat, 20 April 2012

THE DEVIL INSIDE : F*ck Ending Leaves You Nothing At All


Tagline:
No soul is safe.

Nice-to-know:
Vatican tidak menyarankan anda untuk menonton film ini

Cast:
Fernanda Andrade sebagai Isabella Rossi
Simon Quarterman sebagai Father Ben Rawlings
Evan Helmuth sebagai Father David Keane
Ionut Grama sebagai Michael Schaefer
Suzan Crowley sebagai Maria Rossi

Director:
Merupakan film ketiga bagi William Brent Bell setelah Stay Alive (2006).

W for Words:
Exorcism merupakan tema yang tak pernah habis diangkat dalam sebuah horor. Herannya apapun formulanya, film jenis tersebut selalu sukses membuat saya ketakutan dibanding hantu-hantuan biasa. Apa sebab? Bisa jadi karena kejadian yang terasa dekat dengan kehidupan sehari-hari dan bisa menimpa siapa saja. Setan yang mengambil wujud manusia untuk menentang keberadaan Tuhan tak jarang membuat kepercayaan menjadi goyah. Itulah yang ingin disampaikan penulis William Brent Bell bersama Matthew Peterman kali ini.

Isabella Rossi merasa terpanggil untuk menguak misteri ibunya, Maria Rossi yang membunuh tiga orang langsung selama kerasukan iblis. Kasus tersebut kemudian ditutup dan Maria dianggap mengidap kelainan jiwa hingga dirawat dalam sebuah sanatorium tertutup. Dibantu dengan Father Ben Rawlings dan Father David Keane, Isabella belajar mengenai exorcism sebelum berhadapan langsung dengan ibunya yang masih dihinggapi berbagai “penunggu”nya itu.
Sutradara Brent Bell kembali menggunakan konsep ‘found-footage’ di paruh pertama film untuk menegaskan realita yang terjadi di antara tokohnya. Suspensi yang dibangun terbukti menjanjikan karena berulang kali membuat penonton tercekat karena kejutan-kejutan yang mengerikan. Namun memasuki paruh kedua, nyaris tak ada bedanya dengan mockumentary biasa dimana karakter-karakter yang terbangun terasa satu dimensi tanpa penjelasan yang cukup untuk membuat penonton melakukan evaluasi menyeluruh.

Fernanda Andrade memang cantik tapi aktingnya masih jauh dari maksimal. Entah mengapa ketika mengunjungi Maria Rossi, Isabella justru tidak terlihat memposisikan diri sebagai putrinya melainkan saudara jauh. Tidak terasa chemistry ibu dan anak yang kuat meskipun Suzan Crowley sudah berakting cukup meyakinkan sebagai sosok yang kerasukan. Reaksi Simon Quarterman sebagai Father Ben juga terlampau tenang meskipun keyakinannya sempat diguncang hebat. Saya mengharapkan ketakutan yang lebih darinya menghadapi kekuatan kasat mata yang jauh lebih hebat.
Kekurangan terbesar The Devil Inside tak lain tak bukan terletak pada endingnya. Tokoh Maria Rossi yang sejak detik pertama diceritakan justru dihilangkan begitu saja, menyisakan Isabella dengan semua keterbukaan konflik yang menganga. Tampaknya Brent Hill berupaya mengikuti pakem ‘open-ending’ Hollywood bergenre serupa dengan kejutan pahit? Well, it ain’t wise at all. Jika ini diangkat dari kisah nyata mungkin dapat dimaafkan. Namun jika tidak, rasanya penonton berhak mendapatkan uangnya kembali setelah dicekam kengerian tanpa alasan sedemikian rupa.

Durasi:
83 menit

U.S. Box Office:
$53,245,055 til March 2012

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:


Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Kamis, 19 April 2012

NENEK GAYUNG : Zaky Zimah dan Multi “Hubungan” Uniknya


Quotes:
Usep: Paling cuma ketemu setan, ini gua lagi ngobrol sama setan.

Nice-to-know:
Film yang diproduksi oleh Movie Eight dan Unlimited Production ini screeningnya diadakan di fX Platinum XXI pada tanggal 15 April 2012.

Cast:
Nikita Mirzani sebagai Dewi / Nenek Gayung
Zaky Zimah sebagai Duta
Yadi Sembako sebagai Boim
Joe Richard sebagai Abas
Yurike Prastica sebagai Emak
Tata Sivek
Kartika Putri
Mudy Taylor sebagai Pengamen

Director:
Merupakan debut bagi Nuri Dahlia.

W For Words:
Entah siapa yang awalnya memulai desas-desus mengenai adanya hantu nenek-nenek yang membawa gayung dan tikar menebar maut. Yang jelas saya pernah membaca di salah satu surat kabar ibukota bahwa kecelakaan tragis yang menimpa pengendara sepeda motor di jalur busway bilangan Jakarta Timur disebabkan karena ia berbicara dengan sang nenek tanpa satupun saksi mata yang membenarkan. Betul atau tidak, sulit dibuktikan! Bono Sutisno menuangkan ide tersebut ke dalam skrip yang kemudian dikerjakan oleh rumah produksi dan filmmaker yang tergolong baru di industrinya.
Alkisah seorang nenek pemandi jenazah selalu siap sedia dengan tikar dan gayungnya. Namun kala ajal menjemput, ia tak sempat dimandikan suaminya. Arwah penasaran nenek gayung pun mulai merambah calon korbannya yang akan meninggal 7 hari setelah bertemu dan diajak bicara olehnya. Tak jauh dari situ, tiga sahabat masing-masing Duta, Boim dan Abas sibuk mengencani gadis idaman masing-masing. Duta yang tengah melamar Pamela mendadak diputuskan. Dalam kesedihan, ia berkenalan dengan seorang gadis cantik bernama Dewi yang merupakan wujud cantik dari nenek gayung.

Film ini mengingatkan saya akan tradisi Setan Budeg (2009) dan Hantu Tanah Kusir (2010) milik Findo Purwono HW yang menonjolkan ketololan trio pemuda dengan arwah yang membayangi mereka dalam wujud cantik sekaligus seram. Kali ini Zaky Zimah bertandem dengan Yadi Sembako dan (kejutan) Joe Richard yang tak hanya menampilkan humor situasional tetapi juga menyerempet homoseksual yang murni berfungsi sebagai pengocok tawa, apalagi ditambah kehadiran Yurike Prastica dengan “bacot” besarnya itu.
Sutradara Nuri Dahlia memang masih terlihat kaku dengan shot-shot satu dimensinya yang monoton. Namun storytelling nya sudah lumayan mengalir lancar. Sama baru dengannya adalah Nikita Mirzani yang aksen berbicara lambatnya sedikit mengganggu karena seperti anak kecil belajar mengeja per kata. Meski demikian, daya tarik fisiknya tak dapat dipungkiri mampu menyegarkan mata. Penampilan sang nenek gayung dengan wajah dan tangan “hitam” nya sedikit memupus pakem hantu Asia yang biasanya “pucat pasi”, cukup berhasil membangun aura menyeramkan di setiap kemunculannya.

Nenek Gayung tidaklah seburuk yang saya harapkan (baca harapkan, bukan duga!) karena unsur horor dan komedinya mampu berjalan seimbang. Beruntung peran utama dipercayakan pada Zaky Zimah yang sukses “berpacaran” dengan tiga tipe wanita sekaligus mulai dari yang cantik, yang gendut hingga nenek-nenek! Interaksi Duta dengan setiap karakter dalam film ini tergolong menyenangkan, memupus semua kekurangan yang terpampang disana-sini. Nilai yang saya berikan adalah dari sisi hiburannya yang sukses mengguncang seisi bioskop dengan tawa membahana. Mudah-mudahan sekuelnya Kakek Cangkul tidak lebih buruk!

Durasi:
79 menit

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:

Rabu, 18 April 2012

AMPHIBIOUS 3D : Too Old For Such Scare













Quote:
Rudi: Lihat, sudah kubilang ada hal buruk di bawah sana!

Nice-to-know:
Sedianya akan dirilis pada bulan Oktober 2011 bersamaan dengan ajang iNAFFF05 tetapi mengalami kemunduran jadwal hingga enam bulan berikutnya.

Cast:
Janna Fassaert sebagai Skylar Shane
Michael Paré sebagai Jack Bowman
Monica Sayangbati sebagai Tamal
Verdi Solaiman sebagai Andi
Mohammad Aditya sebagai Big Rudi

Director:
Merupakan film ke-11 bagi Brian Yuzna dimana Rottweiler (2004) adalah yang terakhir beredar di bioskop-bioskop Indonesia.

W for Words:
Produksi Fu Works, Komodo Dragon, Komodo Films dan The 3D Company ini mengklaim dirinya sebagai film 3D Indonesia pertama walaupun produksinya masih patungan dengan Belanda. Naskahnya digubah oleh John Penney, Somtow Sucharitkul dan Brian Yuzna dari hasil pemikiran San Fu Maltha. Permasalahannya adalah mereka seakan terlambat setidaknya 20 tahun menggarap tema yang populer di masa silam itu tanpa perlu saya sebutkan judulnya satu persatu.
Ahli biologi kelautan, Skylar Shane menyewa jasa ekspatriat kapten kapal, Jack Bowman untuk mencari spesies prasejarah dari jaman Sileurian yang muncul karena tsunami di perairan Sumatera Utara. Sayangnya ekspedisi mereka terganggu karena ulah kawan-kawan Jack yang juga penyelundup itu terlebih mempekerjakan anak-anak di bawah umur termasuk Tamal yang kerapkali memohon kebebasan. Teror mulai muncul saat makhluk yang bernama Mixopterus itu muncul dan menelan korban satu persatu.

Alasan utama saya menyaksikan film ini adalah Brian Yuzna. Sutradara spesialis horor thriller kelas 2 (atau bahkan 3) yang film-filmnya masih enak ditonton karena faktor darah dan kejutan yang tidak menyenangkan. Sayangnya disini seberapapun ia berupaya, tidak mampu menutupi kekurangan akting para cast yang amat miskin, terutama orang-orang Indonesia itu sendiri yang saya tidak habis pikir mengapa bisa ikut-ikutan berbahasa Inggris. Dialog yang tercipta di antara mereka juga amat dangkal terlepas dari suspensi cerita yang sebetulnya masih bergulir itu.
Mixopterus tersebut dapat dikatakan kalajengking raksasa dimana ekornya yang tajam langsung dapat menusuk orang hingga tewas atau racunnya yang mematikan bisa disemprotkan untuk membutakan panca indera. Kemampuan hidup di darat dan di laut membuat hewan amfibi yang satu ini istimewa. Spesial efek yang dikomandoi oleh Orlando Bassi ini mampu mewujudkan penampakan Mixopterus dengan cukup mengesankan meski belum masuk kategori sempurna.

Satu-satunya kelebihan Amphibious 3D adalah memadukan unsur mistis lokal dengan makhluk predator dimana endingnya terbilang berani setelah melalui berbagai adegan berdarah yang harus digunting habis oleh LSF. Di luar itu, horor yang satu ini membosankan karena berjalan dalam tempo yang lambat dan narasi yang bertele-tele. Jermal yang digunakan sebagai latar belakang padahal sudah merupakan production value yang bagus untuk memicu ketegangan di atas keterasingan para karakternya. It has potential but not enough to deliver with all those lesser 3D gimmicks. Watchable for once before completely forgotten!

Durasi:
83 menit

Overall:
6.5 out of 10

Movie-meter:

Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Senin, 16 April 2012

GONE : Lazy Thriller Little Suspense

Tagline:
No one believes her. Nothing will stop her.

Nice-to-know:
Film yang berlokasi syuting di Portland, OR yang juga kampung kelahiran Joel David Moore ini tidak mengadakan screening di awal rilis.

Cast:
Amanda Seyfried sebagai Jill
Daniel Sunjata sebagai Powers
Jennifer Carpenter sebagai Sharon Ames
Wes Bentley sebagai Peter Hood
Sebastian Stan sebagai Billy
Nick Searcy sebagai Mr. Miller

Director:
Pria Brazil yang mengawali karir penyutradaraan feature film berjudul Nina (2004) bernama Heitor Dhalia ini mengerjakan film keempatnya sejauh ini.

W for Words:
Pemilihan judul film ini terbilang amat sederhana sehingga sulit bagi penonton untuk mereka apa kira-kira yang ingin disuguhkan oleh sutradara Dhalia dan penulis skrip Allison Burnett. Namun melihat nama dan wajah Amanda Seyfried terpampang besar-besar di poster, rasanya dialah nilai jual sekaligus karakter utama yang ingin dikedepankan. Sah-sah saja mengingat gadis bermata besar ini tengah naik daun di Hollywood berkat peran-peran yang sukses mencuri perhatian.
Jill yang baru pulih dari trauma penculikan yang dialaminya bertahun-tahun lalu kembali dilanda rasa takut saat adiknya yang alkoholik, Molly menghilang. Kasus yang belum terungkap membuat Jill yakin hal serupa akan akan terulang kembali. Jill menghubungi polisi yang tidak mempercayai kisahnya termasuk Peter Hood yang terus mengawasinya. Akankah Jill harus menghadapi sang penculik sendirian sekaligus membahayakan nyawanya sendiri?

Seyfried sendiri terbilang berhasil memerankan Jill yang paranoid (atau gila) karena dirundung kecemasan berlebihan. Meski demikian kemampuannya menganalisa, mencari alibi, mengumpulkan bukti sekaligus beraksi sendiri menghadapi penculik patut diacungi jempol. Terima kasih pada stereotype dimana pihak kepolisian lagi-lagi tidak bertindak sesuai harapan. Heroine wanita dalam sebuah film tergolong lebih mampu menimbulkan simpati penonton karena dianggap kurang “berdaya”.
Sepanjang film mungkin anda berusaha menebak apakah pelakunya ternyata salah satu dari orang-orang yang dikenal Jill. Kecurigaan bisa jadi dilayangkan pada polisi Peter atau kekasih Molly yaitu Billy. Suspensi tersebut disimpan rapat-rapat hingga bagian ending tapi sayangnya tak akan terlalu mengesankan anda pada akhirnya. Itupun dengan catatan, anda mampu bersabar menunggu menit demi menit dari sutradara Dhalia yang menggunakan tipikal film klasik Noir tanpa tendensi itu.

Bukan hanya itu, Dhalia tampak terlalu berusaha keras menghadirkan dunia yang gelap, misterius dan penuh sarkasme dimana setiap orang tampak memiliki agenda tersembunyi masing-masing. Hal yang mengaburkan batas antara nyata atau tidak sehingga penonton sulit untuk mengerti apa yang sesungguhnya terjadi. Gone memang lebih terkesan sebagai thriller kelas B dalam nuansa modern, hanya saja ambiguitas yang tak terjawab sempurna sangat mungkin meninggalkan rasa tidak puas selepas credit title bergulir.

Durasi:
94 menit

U.S. Box Office:
$11,527,305 till March 2012

Overall:
6.5 out of 10

Movie-meter:

Notes:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent